PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di
samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit,
penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan
dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus
dilakukan secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan
terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera
ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.
DEFENISI
Trauma kepala adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.(3)
Page 1
PATOFISIOLOGI
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kepala bergantung
pada:
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi
otak berupa :
Lesi bentur (Coup)
Lesi antara (akibat pergeseran tulang. Dasar tulang tengkorak yang menonjol/falx
dengan otak, perenggangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi
media).
Lesi kontra (counter coup).(3)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS
(Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan
peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas
secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan
komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin
bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh
darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan
terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri)
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian
oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia,
terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata
oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial
meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak
Page 2
dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang
berakibat fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial
herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada
batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata
proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus,
banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal
maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka
matanya tanpa ada daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in
syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang
bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan
terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan
luas pada daerah korteks serebri.
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan
Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga
adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah
otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral
sehingga terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi
kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia
pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian
tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun
dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh
darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi.
Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah
maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga
fungsi serebral terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan
konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols
berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis.
Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous.
Page 3
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter
di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi
serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang
minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya
memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.
Page 4
Cedera Akselerasi-Deselerasi
Dipandang dari aspek mekanis, akselerasi dan deselerasi merupakan fenomena yang
serupa, dan hanya berbeda arahnya saja. Jadi efek akselerasi kepala pada bidang sagital
dari posterior ke anterior serupa dengan deselerasi kepala anterior-posterior.
Cedera yang dimanifestasikan sebagai cedera kompresi, regangan dan robekan,
mengakibatkan kerusakan structural melalui satu dari dua mekanisme.
Mekanisme yang pertama adalah akibat adanya perbedaan relative arah gerakan antara
otak terhadap fenomena yang didasari oleh keadaan berikut :
Page 5
Otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas tertentu di dalam rongga tengkorak dan
pada saat mulai gerakan (sesaat mulainya akselerasi), otak tertinggal dibelakang gerakan
tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Sehingga akibatnya otak akan relative
bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cedera pada
permukaannya, terutama pada vena vena jembatan. Mekanisme ini merupakan salah satu
penyebab terjadinya hematom sebdural.
Mekanisme cedera akselerasi yang kedua adalah jejas yang terjadi didalam otak
sendiri yaitu cedera otak difus sindrom konkusi dan cedera aksonal difusa (difuse axonal
injury). Perdarahan jaringan akibat robekan, dan sebahagian besar dari kontusi
intermediate coup. Kerusakan yang terjadi tergantung dari tipe dan jumlah beban serta
durasi akselerasi yang berlangsung. Cedera akselerasi dikelompokkan menjadi tiga tipe,
yaitu translasi, rotasi, dan angular.(1)
Akselerasi Translasi
Akselerasi translasi terjadi bila titik berat otak bergerak dalam suatu sumbu garis
lurus. Cedera akselerasi translasi yang murni jarang terjadi mengingat bahwa secara
fisiologis hubungan anatomis kepala-leher tidak memungkinkan gerakan ini. Gerakan
translasi dapat muncul dalam periode yang singkat sewaktu kepala bergerak, atau kepala
berhenti bergerak sesaat sebelum gerakan lain timbul, atau satu-satunya kemungkinan
lain adalah adanya benturan pada vertex yang menimbulkan gerakan superior inferior.
Pada prinsipnya mekanisme jejas yang timbul merupakan akibat pergeseran relative
otak tengkorak dan bukan disebabkan oleh jejas di dalam otak, dengan demikian beban
akselerasi trasnlasi yang murni tidak bias menimbulkan cedera otak difus, tetapi hanya
cedera-cedera fokal saja, termasuk konstusi counter cup hematom intra serebral dan
hematom subdural. Disamping itu biasanya kesadaran penderita baik. (5)
Akselerasi Rotasi
Akselerasi rotasi terjadi bila ada gerakan rotasi dititik berat otak tanpa disertai
pergerakan titik berat tersebut. Mengingat bahwa titik berat otak terletak didaerah
kelenjar pineal maka dalam kejadian sehari-hari gerakan akselerasi yang murni ini
mungkin terjadi, terkecuali pada bidang horizontal dimana perputaran dapat terjadi
mengelilingi aksis vertical yang melalui pineal.(1)
Akselerasi Angular
Akselerasi angular merupakan mekanisme cedera yang paling umum terjadi,
merupakan gabungan dan akselerasi translasi dan rotasi. Dalam hal ini titik berat otak
bergerak dalam arah membentuk sudut. Berdasarkan anatomi kepala dan leher, gerakan
rotasi secara klinis terpusat pada daerah servical bawah, lokasi tersebut juga merupakan
MUHAMMAD HAFIZD LUBIS
STASE NEUROLOGI DI RSUD RANTAU PRAPAT
Page 6
penentu proporsi translasi dan rotasi yang berlangsung. Komponen gerakan rotasi
cenderung lebih banyak melibatkan servical bagian atas, dan sebaliknya komponen
gerakan translasi cenderung melibatkan daerah servical yang lebih kebawah.
Mengingat frekuensinya yang sering terjadi kejadian sehari-hari maka cedera
akselerasi angular ini merupakan mekanisme yang paling banyak mencederai otak dan
hamper semua jenis cedeera kepala dapat terjadi akibat mekanisme ini kecuali fraktur
tengkorak dan hematom epidural.
Tingkat cedera akan lebih berat bila kekuatan akselerasi ditambah sementara durasinya
konstan. Pada fase pertama yang telah dibahas diatas, nilai cedera tel;ah sedemikian
tingginya sehingga walaupun ditingkatkan lagi, hanya dapat mengubah pla jejas sedikit
saja. Pada fase kedua jaringan vascular pada permukaan otak terlah terancam, dan dengan
meningkatnya nilai cedera, selanjunya akan dapat melampaui batas toleransi jaringan
tersebut serta menimbulkan kerusakan daerah sebelumnya belum terlihat atau menambah
jumlah kerusakan pembuluh darah. Pada fase yang ketiga cedera lebih banyak
menimbulkan jejas pada otak, dengan adanya peningkatan kekuatan akselerasi dapat
meningkatkan nilai cedera untuk menimbulkan jejas vaskuler.
Ada beberapa factor dan kondisi pracedera yang dapat berperan pada keadaan-keadaan
patologis akibat kejadian rudapaksa kepala, yaitu :
1. Duramater yang tipis dan melekat erat dengan tabula interna atau permukaan
dalam tengkorak mempunyai kecenderungan untuk ikut terobek bersamaan dengan
terjadinya fraktur tulang tengkorak.
2. Hematom epidural tanpa ada fraktur tulang tengkorak, khususnya pada anak-anak
dan dewasa muda dikaitkan dengan fleksibilitas tulang dan longgarnya duramater
terhadap tengkorak.(1)
Page 7
Page 8
Gejala klinis :
Gangguan kesadaran yang berlangsung singkat beberapa detik hingga 10 menit.
MUHAMMAD HAFIZD LUBIS
STASE NEUROLOGI DI RSUD RANTAU PRAPAT
Page 9
Rinorre
Diagnosis klinis rinorre kadang agak sulit mengingat pada posisi berbaring biasanya
likuor tertelan, disamping juga beberapa diagnosis banding yang perlu difikirkan yaitu
hipersekresi nasal, rhinitis alergika, epistaksis dan sebagainya.
Diagnosis pasti dan penentu lokasi kebocoran ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang yang menggunakan bantuan pewarnaan fenolftalein yang dimasukkan melalui
punksi lumbal.
Pada tahap awal biasanya penderita diistirahatkan berbaring dan diberikan suntikan
anabolic seperti: Deca-durabolin, serta prevalensi terhadap kemungkinan infeksi.
Penanganan bedah untuk menutuo kebocoran biasanya diterapkan setelah 10-14 hari
kemudian bila tidak ada tanda-tanda penyembuhan.(1)
Otorre Likuor
Kejadian ini terjadi pada kira-kira 7% kasus fraktur basis kranii. Walaupun sering kali
kebocorannya profus, ia jampir selalu dapat pulih secara spontan setelah 5-10 hari.
Prinsip penanganannya secara umum mirip dengan kebocoran likuor melalui hidung.
Aerokel
Keadaan ini timbul pada hamper sepertiga kasus rinorre, dimana lebih dari
sepertiganya terjadi dalam waktu 48 jam pertama. Biasanya udara berada di rongga
subdural atau subaraknoid bagian frontal, di sisterna basalis, intraventrikel atau jaringan
otak.
MUHAMMAD HAFIZD LUBIS
STASE NEUROLOGI DI RSUD RANTAU PRAPAT
Page 10
Kontusio Serebri
Lesi kontusio bisa terjadi tanpa adanya dampak yang berat. Yang penting untuk
terjadinya lesi kontusio ialah adanya akselerasi kepala, yang seketika itu juga
menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang dekstruktif.
Akselerasi yang kuat berarti oula hiperektensi kepala. Karena itu otak membentang batak
otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
ascendens retikularis difus. Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dank
arena itu kesadaran hilanh selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio didaerah-daerah dampak (coup), countercoup dan
intermediate, menimbulkan gejala deficit neurologic, yang bisa berupa reflex barbinsky
yang positif dan kelumpuhan U.M.N. setelah kesadaran pulih kembali, si penderita
biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperai pada
trauma kepala tersebut diatas, autoregulasi pembuluh darah serebral terganggu, sehingga
terdapat vasopparalisis, tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau
menjadi cepat dan lemah. Juga karenapusat vegetative ikurt terlibat, maka rasa mual,
muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Kontusio serebri yang tidak terlampau berat bisa berakhir dengan kematian beberapa
hario setelah mengidap kecelakaan. Pada umumnya kematian tersebut tidak disebabkan
oleh beratnya lesi kontusio tetapi karena komplikasi kardio-pulmonal. Gangguangangguan disusunan kardiopulmonal pada trauma kepala bisa terjadi melalui mekanisme
seperti berikut. System vascular bisa ikut terkena secara langsung karena perdarahan
ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagau reaksi tubuh, volume sirkulasi ditambah
dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraseluler. Keadaan ini bisa menjurus ke
hemodialusi jika si penderita diberi cairan melalui infuse tanpa plasma darah atau darah.
Gangguan yang akan menyusulnya ialah tekanan osmotic dan O 2 (PO2) menurun.
Keadaan buruk ini akan lebih-lebih fatal, jika jantung ikut terkena trauma juga, sehingga
output jantung menjadi kecil dan tekanan vena sentral meninggi. Komplikasi yang
memperberat keadaan terlukis diatas disebabkan oleh berkembangnya asidosis. Penderita
dengan kontusio serebri pada hari pertama masih tidak sadar, pernapasannya terganggu,
reflex batuk dan menelan mungkin belum pulih uga. Karena keadaan yang tidak
menguntungkan itu, mungkin terjadi depresi pernapasan dengan bronkopneumonia
aspirasi, sehingga PO2 arterial menurun dan PCO2 meningkat. Keadaan demikian
mengakibatkan takikardia yang lebih memperburuk curah jantung lagi. Juga karena
asidosis blood brain barrier mengalami kerusakan dan timbullah edema serebri yang
lebih mengurangi aliran darah keotak. Gambaran klinis yang mencerminkan keadaan
tersebut diatas ialah koma dengan tanda-tanda shock dan hiperpireksia.
Page 11
Page 12
Perdarahan Subdural
Hemorrhagic subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kepala walaupun
traumanya mungkin tidak berarti. Yang sering kali berdarah ialah bridging veins.
Karena tarikan ketika pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdual paling sering
terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian sering terjadi pada
permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian didaerah temporal. Sesuai dengan
distribusi bridging veins. Karena perdarahan subduralsering disebabkan oleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri.setelah 5-7 hari
hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari.
Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Disitu
bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolaritas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecilkecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah
(hingroma).
Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah
mengidap trauma kepala. Masa tanpa keluha dinamakan latent interval dan bisa
berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan adakalanyajuga bisa lebih dari 2
tahun. Namun demikian, latent interval pitu bukannya berarti bahwa si penderita sama
sekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderita
hematoma subdural kebanyakan mengeluhkan tentang sakit kepala atau pening,
Seperti umumnya penderita kontusio serebri juga mengeluh setelah mengidap trauma
kepala, tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya
proses desak ruang intracranial, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi
hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran makin menurun,
organic brain syndrome, hemiparese ringan,hemihipestesia. Adakalanya epilepsy fokal
denmgan adanya tanda-tanda papiledema.(4)
MUHAMMAD HAFIZD LUBIS
STASE NEUROLOGI DI RSUD RANTAU PRAPAT
Page 13
Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa
perdarahan kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat dilobus temporalis dan
frontaslis.kebanyakan dari perdarahan intralobus temporalis justru ditemukan pada sisi
dampak.
Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya
akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitas. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologic sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
Perdarahan Epidural
Gejala-gejala yang timbul akibat perdarahan epidural menyusun sndrom kompresi
serebral traumatic akut. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang menurun
secara progresif. Pupil pada sisi perdarahan pertama0tama sempit, tetapi kemudian
menjadi lebar dan tidak bereaksi terhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi
tentorial sudah menjadi kenyataan.
Gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan tahap-tahap disfungsi
rostrokaudal batang otak. Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai
hemiparesis atau serangan epilepsy fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan
keadaan.
Hematom Epidural
Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan duramater yang
disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga terjadi kompresi otak. Sering
terjadi pada daerah temporal.
Gejala klinis :
Ditemukan adanya lusid interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien
tidak pingsan/ pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan
sendirinya,tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri kepala ,
pusing, kesadaran menurun hingga koma.
Subdural Hematoma
Page 14
Defenisi : Perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid akibat
trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak yang berjalan menuju
sinus venosus didalam duramater.
Gejala-gejala akut seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau
merupakan perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan
ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi oleh
kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya sehingga
menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-gejala menyerupai tumor
serebri/ proses intrakranial yang meninggi.
Gejala klinis :
Subarachnoid Hematoma
Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma kapitis yang
sering disebabkan oleh kontusio serebri.
Gejala klinis :
Intraserebral Hematoma
Page 15
Hematom Intrakranial
Terjadinya hematom epidural, seperti jugaa peristiwa fraktur tulang kepala, tidak
berkaitan dengan pergerakan kepala atau beban akselerasi. Distrupsi vaskuler duramater
atau pembuluh-pembuluh darah tulang disini timbul oleh karena adanya fraktur tulang
atau deformasi tengkorak yang diakibatkan oleh suatu benturan.
Hematom subdural akut secara klinis dibagi menjadi tiga kelompok, dua kelompok
pertama berhubungan dengan kontusi dan laserasi, baik akibat dari beban benturan atau
beban akselerasi yang kadang juga disebut sebagai hematom subdural komplikata dan
kelompok ketiga yang merupakan cedera primer akibat distrupsi pembuluh-pembuluh
darah dipermukaan khususnya vena-vena yang disebabkan oleh beban guncangan
semata-mata buka beban benturan.
Hematom intraserebral traumatika yang besar jarang dijumpai. Mengingat bahwa
keadaan ini kerap berkaitan dengan kontusi kortikal yang luas, maka kebanyakan tampak
sebagai sesuatu kontusi yang melibatkan distrupsi pembuluh darah yang lebih luas dan
dalam.(1)
Page 16
: GCS 14-15
: GCS 9-13
: GCS 8
Page 17
Penanganan mencakup anamneses yang berkaitan dengan jenis dan waktu kecelakaan,
riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia (retrograde atau
antegrade) serta keluhan-keluhan lain yang berkaitan dengan peninggian tekanan
intracranial seperti : nyeri kepala, pusing dan muntah. Amnesia retrograde cenderung
merupakan tertanda ada tidaknya trauma pada kepala, sedangkan amnesia antegrade
(pasca trauma) lebih berkonotasi akan berat ringannya konkusi cedera kepala yang
terjadi. Pemeriksaan fisik disini ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan
sistemik lainnya, serta mendeteksi deficit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan
pemeriksaan radiologis berupa foto kepala dimaksudkan untuk mengetahui adanya:
fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus alinenum
dan lainnya. Sedangkan foto cervical atau tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan
indikasi. Pemeriksaan CT Scan memang secara ideal perlu dilakukan bagi semua kasus
cedera kepala.
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Amnesia antegrade/pascatraumatika
Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat
Intoksikasi alcohol atau obat-obatan
Adanya fraktur tulang tengkorak
Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (otorre/rinorre)
Cedera bertat bagian tubuh lain
Indikasi social (tidak ada keluarga/pendamping dirumah).
Penderita cedera kepala yang tidak mempunyai atau memenuhi criteria rawat diatas,
setelah beberapa saat menjalani pemantauan dirumah sakit diperkenankan untuk berobat
jalan dengan catatan bila ada gejala-gejala seperti yang tercantum dibawah ini segera
kembali ke rumah sakit :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Page 18
Page 19
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita tidak memiiki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi
darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera
disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga
leher di indikasikan jika:
Page 20
4. Lesi massa intra-aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat dari
arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.
Terapi Operasi/Pembedahan Pada Cedera Kepala
Prinsip pertimbangan pemilihan obat anestesi didasari oleh pemakaian obat yang tidak
meningkatkan tekanan intracranial. Semua obat anestesi inhalasi volantil seperti halotan,
enflurane dan isoflurane dapat meningkatkan aliran darah serebral, sehingga umumnya
dipergunakan dalam kadar yang rendah.
Kasus-kasus dengan lesi massa intracranial yang mempunyai indikasi operasi,
berkaitan dengan predileksi lokasi khususnya dilobus frontal bagian inferior dan lobus
temporal, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan kraniotomi adalah
terbentuknya tanda tanya mulai dari depan telinga (tragus) pada arkus zygomaticus,
melengkung ke posterior diatas telinga menuju ke garis tengah dan berakhir dianterior
dibelakang garis batas rambut. Bila ada penurunan kesadaran/perburukan klinis yang
progresif, perlu segera dilakukan operasi dekompresi berupa kraniektomi untuk
mengurangi tekanan batang otak dan prevalensi terjadinya herniasi tentorial.
Tindakan operasi pada cedera kepala agak berbeda dengan cedera kepala yang tertutup.
Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah debridement jaringan otak yang
nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alineum, menghentikan perdarahan,
evakuasi hematom dan penutupan duramater serta kulit yang kedap air (1).
Terapi Medikamentosa
Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
Pemberian analgetika seperti Metampiron, ketorolac.
Pemberian Obat-obat Nootropik seperti Piritinol (mengaktivasi metabolisme otak
dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel), Piracetam (merupakan
senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak), Citicholine
sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk
sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak.
Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa
40 % atau gliserol 10 %.
MUHAMMAD HAFIZD LUBIS
STASE NEUROLOGI DI RSUD RANTAU PRAPAT
Page 21
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ilmu Bedah Saraf SATYANEGARA Edisi IV. Editor : L. Djoko Listiono,
DSBS. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta:1998, Halaman 216 219.
2. dr. George Dewanto Sp.S dkk, Buku PANDUAN PRAKTIS DIAGNOSIS & TATA
LAKSANA PENYAKIT SARAF Edisi 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, tahun
2009; Halaman 12 18.
3. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004.
4. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta,
2004.
5. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi 2, Jakarta, 2000.
6. Gilroy, J. dan Meyer, J.S. Trauma Cedera Otak dan Sumsum tulang belakang. Di J.
Gilroy dan Meyer; Medical Neurology. The MacMillian Co. Toronto.Ontario.1969
Page 22