Anda di halaman 1dari 38

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


BLOK NEUROPSIKIATRI Makassar, 21 Juni 2019

LAPORAN TUTORIAL MODUL 1


BLOK NEUROPSIKIATRI
“SKENARIO 1”

Dosen Pembimbing :
dr. Dahlia, M.kes
Disusun Oleh :
Kelompok 6

REZZITA ASTIANI (11020160068)


NURMALA SINTA A (11020160145)
AINUNNISA MUHAMMAD (11020170003)
DEDY KURNIAWAN (11020170008)
RESITA AULIA BUDIMAN (11020170018)
WARDAYANI (11020170072)
PUTRI SASKIA AULYAH NR (11020170093)
TRI DINI HARIANTI (11020170116)
NOVIA DAMAYANTI KAPRAWI (11020170111)
KARISMAN (11020170129)
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini,


karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan
guna memacu kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.

Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini, terutama
kepada:

1. dr. Dahlia M.Kes ,selaku tutor


2. Teman-teman yang telah mendukung dan turut memberikan motivasi dalam
menyelesaikan laporan tutorial ini.

Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala


kebaikan dan pengorbanan dengan limpahan rahmat dari-Nya. Aamiin yaa Robbal
A’lamiin.

Makassar, 21 Juni 2018

Kelompok 6
 SKENARIO F :
Seorang laki-laiki berusia 50 tahun diantar ke;uarga ke IGD RS
dengan kelemahan tubuh sebelah kiri sejak 2 jam yang lalu. Keluhan terjadi
tiba-tiba saat bagun tidur pagi hari. Kelemahan tubuh pasien pulih sediakala
setelahan1 jam perawatan di unit gawat darurat RS.

 KATA SULIT DAN KALIMAT KUNCI


KATA SULIT:

 Tidak ada

KALIMAT KUNCI :

 Laki-laki 50 tahun
 Keluhan kelemahan tubuh sebelah kiri 2 jam lalu
 Keluhan tiba-tiba saat bangun pagi
 Pulih setelah 1jam perawatan

 PERTANYAAN PENTING
1. Jelaskan klasifikasi dari hemiparesis !
2. Bagaimana patomekanisme dari kelemabahn separuh badan ?
3. Apa penyebab dari kelemahan separuh badan ?
4. Jelaskan faktor resiko yang terkait pada skenario !
5. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai dengan skenario!
6. Jelaskan mengenai diagnoosis banding sesuai dengan skenario!
7. Jelaskan penatalaksanaan awal pada scenario !
8. Jelaskan perspektif islam sesuai dengan skenario!
 PEMBAHASAN
1. Klasifikasi hemiparesis :
A. Hemiparesis tidak disertai peninggian tekanan intracranial :
kelemahan yang terjadi akibat adanya penyumbatan pembuluh darah
seperti:
1) Stroke nonhemorragik thrombotic: Terjadi karena adanya
penggumpalan pembuluh darah ke otak. Dapat dibagi menjadi stroke
pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri karotis) merupakan 70%
kasus stroke non hemoragik trombus dan stroke pembuluh darah kecil
(termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Trombosis pembuluh
darah kecil terjadi ketika aliran darah terhalang, biasanya ini terkait dengan
hipertensi dan merupakan indikator penyakit atherosklerosis.
2) Stroke nonhemorragik embolik: Pada tipe ini embolik tidak
terjadi pada pembuluh darah otak, melainkan di tempat lain seperti di
jantung dan sistem vaskuler sistemik. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi
pada penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel. Penyakit jantung rheumatoid akut
atau menahun yang meninggalkan gangguan pada katup mitralis, fibrilasi
atrium, infark kordis akut dan embolus yang berasal dari vena pulmonalis.
Kelainan pada jantung ini menyebabkan curah jantung berkurang dan
serangan biasanya muncul disaat penderita tengah beraktivitas fisik seperti
berolahraga.
B. Hemiparesis disertai dengan peninggian tekanan intracranial :
kelemahan yang terjadi akibat adanya keganasan atau infeksi

1) Tumor intracranial merupakan lesi ekspansif bersifat jinak atau


ganas membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intracranial) atau
di sum sum tulang belakang (medulla spinalis) .
2) suatu lesi desak ruang berupa suatu penumpukan materi piogenik
yang terjadi akibat invasi dan perkembangan mikroorganisme yang
terlokalisir di dalam atau di antara jaringan otak (intracranial).
Referensi : Buku Panduan Praktis Klinis Bagi dokter di fasilitas pelayanan
kesehatan primer. Edisi I. IDI halaman 244

2. patomekanisme lemah separuh badan


Area korteks motoric

Korteks motoric primer (girus presentralis) merupakan sekumpulan


jaringan kortikal yang terletak di sisi yang berlawangan dengan sulkus
sentralis dari korteks somatosensorik primer (di girus post-sentralis) dan
meluas ke atas dan melewati tepi superomedial hemisfer serebri menuju
permukaan medialnya. Area yang mempresentasikan tenggorokan dan
laring terletak pada ujung inferior korteks motoric primer; di bagian
atasnya, secara berkesinambungan, adalah area yang merepresentasikan
wajah, ekstremitas atas, badan, dan ekstremitas bawah. Struktur ini
merupakan homunculus motoric.

Traktus Kortikospinalis (Traktus Piramidalis)


Traktus ini berasal dari korteks motoric dan berjalan melalui
substantia alba serebri (korona radiate), krus posterius kapsula interna
(serabut terletak sangat berdekatan di sini), bagian sentral pedunkulus
serebri (krus serebri), pons, dan basal medulla (bagian anterior), tempat
traktus terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut pyramid. Pada bagian
ujung bawah medulla, 80 85% serabut pyramidal menyilang ke sisi lain di
dekusasio piramidum. Serabut yang tidak menyilang di sini berjalan
menuruni medulla spinalis di funikulus anterior ipsilateral sebagai traktus
kortikospinalis anterior; serabut ini menyilang lebih ke bawah (biasanya
setingkat segmen yang dipersarafinya) melalui komisura anterior medulla
spinalis. Pada tingkat servikal dan torakal, kemungkinan juga terdapat
beberapa serabut yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron
motoric ipsilateral di kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan
mendapatkan persarafan kortikal bilateral.

Mayoritas serabut traktus piramidalis menyilang di dekusasio


piramidium, kemudia menuruni medulla spinalis di funikulus lateralis
kontralateral sebagai traktus kortikospinalis lateralis. Traktus ini mengecil
pada area potong-lintangnya ketika berjalan turun ke bawah medulla
spinalis, karena beberapa serabutnya berakhir di masing-masing segmen di
sepanjang perjalanannya. Sekitar 90% dari semua serabut traktus
piramidalis berakhir membentuk sinaps dengan interneuron, yang kemudian
menghantarkan impuls motoric ke neuron motor yang besar di kornu
anterius, serta ke neuron motoric yang lebih kecil.

UMN

Pada umumnya kelumpuhan Upper Motoric Neuron (UMN)


melanda sebelah tubuh sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia, atau
hemiparalisis, karena lesinya menduduki kawasan susunan pyramidal sesisi.
Ketiga istilah yang bermakna kelumpuhan sesisi badan itu digunakan secara
bebas, walaupun hemiparesis sesungguhnya berarti kelumpuhan sesisi
badan yang ringan dan hemiplegia atau hemiparalisis berarti kelumpuhan
sesisi badan yang berat.

Kelumpuhan UMN dapat dibagi dalam:

1. Hemiplagia akibat hemilesi di korteks motoric primer


2. Hemiplagia akibat hemilesi di kapsula interna
3. Hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak, yang dapat dirinci
dalam:
a. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon
b. Sindrom hemiplegia alternans di pons
c. Sindrom hemiplegia alternans di medulla oblongata
4. Tetraplegia/kuadriplegia dan paraplegia akibat lesi di medulla spinalis
di atas tingkat konus
Penjelasannya:
1. Hemiplagia akibat hemilesi di korteks motoric primer
Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan
kelumpuhan UMN pada belahan tubuh sisi kontralateral. Keadaan
tersebut dikenal sebagai hemiparalisis atau hemiplegia. Kerusakan yang
menyeluruh, tetapi belum meruntuhkan semua neuron korteks
piramdalis sesisi, menimbulkan kelumpuhan pada belahan tubuh
kontralateral yang ringan sampai sedang. Dalam hal ini digunakan
istilah hemiparesis.
Walaupun belahan tubuh kanan atau kiri yang lumpuh, pada
umumnya terdapat perbedaan derajat kelumpuhan antara lengan dan
tungkai yang terkena. Perbedaan lebih nyata jika hemiplegia disebabkan
oleh lesi vascular di tingkat korteks dan hamper tidak ada perbedaan jika
lesi penyebabnya bersifat vascular di kapsula interna.

2. Hemiplagia akibat hemilesi di kapsula interna


Kawasan kapsula interna dilewati oleh serabut-serabut susunan
ekstrapiramidal. Maka karena itu, kelumpuhan akibat lesi di kapsula
interna hamper selamanya disertai hypertonia yang khas. Tanda-tanda
UMN dapat timbul secara jelas. Hypertonia akibat lesi di kawasan
susunan pyramidal, yang disebut spastisitas, hanya dapat ditemukan
pada sekelompok otot tertentu yang lumpuh saja, sehingga
menimbulkan suatu gerakan abnormal.
3. Hemiplegia alternans akibat hemilesi di batang otak
a. Sindrom hemiplegia alternans di mesensefalon
Hemiplegia alternans dimana nervus okulomotorius
ipsilateral ikut terlibat dikenal sebagai hemiplegia alternans n.
okulomotorius atau sindrom Weber. Adapun manifestasi
kelumpuhan n.III itu ialah (a) paralisis m. rektus internus (medialis),
m. rektus superior, m. rektus inferior m. oblikus inferior dan m.
levator palpebral superior sehingga terdapat: strabismus divergens.
Diplopia jika melihat ke seluruh jurusan dan ptosis; (b) paralisis m.
sfingter pupilae, sehingga terdapat pupil melebar (=midriasis)
b. Sindrom hemiplegia alternans di pons
Hemiplegia alternans di pons disebabkan oleh lesi vascular
unilateral. Selaras dengan pola percabangan arteri-arteri, maka lesi
vascular di pons dapat di bagi dalam: (1) lesi peramedian akibat
penyumbatan salah satu cabang dari rami perforantes medialis a.
basilaris, (2) lesi lateral, yang sesuai dengan kawasan perdarahan
cabang sirkumferens yang pendek, (3) lesi di tegmentum bagian
rostral pons akibat penyumbatan a. serebelli superior, dan (4) lesi
tegmentum bagian kaudal pons, yang sesuai dengan kawasan
perdarahan cabang sirkumferens yang panjang.Hemiplegia
alternans akibat lesi di pons adalah selamanya kelumpuhan UMN
yang melibatkan belahan tubuh sisi kontralateral, yang berada di
bawah tingkat lesi, yang berkombinasi dengan kelumpuhan LMN
pada otot-otot yang disarafi oleh nervus abdusens (n. VI) atau nervus
fasialis (n.VII)
c. Sindrom hemiplegia alternans di medulla oblongata
Kawasan-kawasan vaskularisasi di medulla oblongata sesuai
dengan area lesi-lesi yang mendasari sindrom hemiplegia alternans
di medulla oblongata. Bagian paramedian medulla oblongata
dipendarahi oleh cabang a.vertebralis. bagian lateralnya mendapat
vaskularisasi dari a.serebelli inferior posterior, sedangkan bagian
dorsalnya dipendarahi oleh a. spinalis posterior dan a.serebelli
inferior posterior. Lesi unilateral yang menghasilkan hemiplegia
alternans sudah jelas menduduki kawasan piramis sesisi dan harus
dilintasi oleh radiks nervus hipoglossus, maka dari kelumpuhan itu
kelumpuhan UMN yang terjadi melanda belahan tubuh kontralateral
yang berada di bawah tingkat leher dan diiringi oleh kelumpuhan
LMN pada belahan lidah sisi ipsilateral. Itulah sindrom hemiplegia
alternans nervus hipoglossus atau sindrom medular medial.
LMN

Kelumpuhan LMN timbul akibat kerusakan pada final common path,


motor end plate dan otot. Istilah final common path dari Sherrington itu
mencukup lower motorneuron dan aksonnya. Di bawah ini kelumpuhan LMN
akan diuraikan menurut komponen-komponennya LMN

1. Kelumpuhan LMN akibat lesi di motorneuron2.


2. Kelumpuhan LMN akibat lesi di radiks ventralis3.
3. Kelumpuhan akibat kerusakan pada pleksus brakhialis4.
4. Kelumpuhan akibat lesi di pleksus lumbosacral5.
5. Kelumpuhan akibat lesi di fasikulus6.
6. Kelumpuhan akibat lesi di saraf perifer

Referensi :Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi : anatomi, fisiologi, tanda,


gejala, Jakarta : EGC. 2010Mahardjono, Mahar & Priguna Shidarta. 2003.
Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : EGC . Hal 20-273.
3. Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu
infark serebral atau perdarahan. Hemiparase yang terjadi
memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi sepanjang traktus
piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah,
kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi, ataupun penekanan langsung
dan tidak langsung oleh massa hematoma, abses, dan tumor. Hal tersebut
selanjutnya akan mengakibatkan adanya gangguan pada traktus
kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas
dan bawah.

Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor,


infark, atau cedera traumatic, menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi
kontralateral. Hemiparesis yang terlihat pada wajah dan tangan (kelemahan
brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di daerah lain karena
bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas.2
Lesi setingkat pedunkulus serebri, seperti proses vaskular,
perdarahan, atau tumor, menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral
yang dapat disertai oleh kelumpuhan nervus okulomotorius ipsilateral. Lesi
pons yang melibatkan traktus piramidalis (tumor, iskemia batang otak,
perdarahan) menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin
bilateral. Lesi pada pyramid medulla (biasanya akibat tumor) dapat
merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena
serabut-serabut nonpiramidal terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini.
Akibatnya, dapat terjadi hemiparesis flasid kontralateral. Kelemahan tidak
bersifat total (paresis, bukan plegia), karena jaras desendens lain tidak
terganggu.
4. Faktor resiko dari hemiparese yaitu :
Yang tidak dapat dimodifikasi

 Usia: Insiden serangan akan meningkat secara eksponensial menjadi


dua hinggá tiga kali lipat setiap dekade diatas usia 50 tahun
 Jenis kelamin: Pria lebih sering terkena serangan
 Genetik: Riwayat pada orang tua (baik ayah maupun ibu) akan
meningkatkan resiko.

Yang dapat dimodifikasi

 Riwayat Penyakit : Kardiovaskuler, Dislipidemia, Obesitas, Diabetes


Mellitus, Hipertensi
 Kebiasaan Hidup : Merokok, Konsumsi garam tinggi, Kurang
beraktivitas, alkohol, penyalahgunaan obat.

Referensi :

Kabi, G.Y., Tumewah, R. and Kembuan, M.A., 2015. Gambaran Faktor


Risiko Pada Penderita Stroke Iskemik Yang Dirawat Inap Neurologi RSUP
PROF. DR. RD Kandou Manado Periode Juli 2012-Juni 2013. e-CliniC, 3(1).
5. Langkah- Langkah diagnosis :
I. Anamnesis
 Keluhan utama :
- Kelemahan tubuh sebelah kiri
 Sejak kapan ?
- Sejak 2 hari yang lalu
- Apakah terjadi secara mendadak saat istirahat atau bangun tidur?
- Onset : -jam atau hari -> stroke non hemoragik
-menit atau jam -> stroke hemoragik
 Letak kelemahan (kanan/kiri)
- tungkai : adakah kesulitan ketika hendak berdiri dari duduk ?
- lengan : adakah kesulitan menulis?
 Keluhan Penyerta
- Nyeri kepala : tidak ada (Non hemoragik), ada (hemoragik)
- Mual-muntah : biasanya tidak ada kecuali lesi di batang
otak
- Kesadaran : hilang
- Gang. Bicara : sulit diajak komunikasi
- Gangg. Mata : kelihatan mengantuk
 Riwayat penyakit
- Tidak diketahui
 Riwayat dalam keluarga
- Tidak diketahui
II. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : wajah mencong/ tidak, cara berjalan, kesimetrisan tubuh
 Palpasi
1) Motorik :
- Pemeriksaan ketangkasan gerakan
- Penilainan tonus otot
2) Sensorik
- Penilaian kepekaan alat indra
3) Gerakan Refleks
- Fisiologis : KPR,APR
- Patologis : Refleks gordon

III. Pemeriksaan Penunjang


 Lab
- Darah rutin
- Urine rutin
- LCS (liquor serebrospinal)
 Foto
- CT-scan
- MRI
- TCD (transkranial doppler)
- EEG (elektroencephalogram)
- EMG (elektromiogram)

Referensei :

Patofisiologi Price- Wilson Buku Ajar Diagnostik Fisik Swartz

6. Penatalaksanaan awal yang diberikan segera kepada pasien agar


tidak menyebabkan penurunan fungsi neurologis yang lebih lanjut.
Beberapa diantaranya:
a) Memastikan Airway Breathing Circulation tidak mengalami hambatan
karena kelumpuhan yang dialami.
b) Memeriksa keseimbangan cairan tubuh agar perdarahan tidak
mengganggu fungsi organ penting lainnya.
c) Menyingkirkan kemungkinan koagulopati agar fungsi thrombin dan
faktor pembeku darah lainnya normal.
d) Mengendalikan hipertensi terutama pada perdarahan intraserebri agar
edema tidak semakin parah.
e) Pertimbangakan kosultasi bedah saraf jika kondisi darurat seperti
perdarahan yang massif.
f) Memberikan manitol 20% (1 kg/kgBB, IV dalam 20-30 menit) dengan
tanda – tanda peningkatan intrakraniala dan koma.

Referensi:
Sudoyo, Ari dkk. Stroke dan Penatalaksanaanya oleh Internis. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Kedua. UI Press 2007.

7. DEFINISI
Trombosis vena sinus serebral (CSVT) adalah bentuk langka
tromboemboli vena (VTE). CSVT mewakili hampir 0,5% -3% dari semua jenis
stroke, yang mempengaruhi orang yang lebih muda, dengan perkiraan insiden
untuk orang dewasa 3-4 per juta, dan untuk anak-anak 7 per juta.

EPIDEMIOLOGI

Dalam seri otopsi diperkirakan bahwa kejadian CVT berkisar 3 hingga


4 kasus per juta penduduk dewasa dan 7 kasus per juta pada anak-anak dan
neonatus, sedangkan dalam seri klinis insidennya 10 kali lebih tinggi. Saat ini,
TVC sangat umum pada wanita dari 20 hingga 35 tahun, terkait dengan
kehamilan atau masa nifas dan penggunaan kontrasepsi oral8,9. Ini merupakan
0,5% dari semua kejadian pembuluh darah otak di seluruh dunia10-13.
Penelitian internasional mengenai thrombosis vena toraks (ISCVT,
porsussiglaseninglés) telah memberikan informasi penting terkait perbedaan
etiologi pada populasi yang berbeda. Penelitian ini melibatkan 624 pasien dari
21 negara. Itu menonjol sebagai perbedaan penting bahwa dari kasus-kasus
yang termasuk di Meksiko, 58% adalah sekunder untuk kehamilan atau masa
nifas, berbeda dengan 8% dari kasus yang termasuk di negara lain14,15. Hal
tersebut di atas mencontohkan etiologi yang berbeda dari TVCountries dengan
kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Lanska dan Kryscio melakukan, pada
tahun 1998, berdasarkan National Discharge Survey, sensus peristiwa
serebrovaskular dalam sampel 280.000 kelahiran, menemukan bahwa selama
periode penelitian (1979-1991) 32 peristiwa TVC terjadi: 7 sebelum pengiriman
( 22,6%), 9 selama masa nifas (29%) dan sisanya 16 (48,4%) waktu presentasi
tidak ditentukan. Ketika wanita paruh baya (25 hingga 34 tahun) dibandingkan
dengan wanita yang lebih muda (15 hingga 24 tahun), wanita paruh baya
memiliki risiko 3,7 kali lebih tinggi terkena CVT16. Dalam studi tambahan,
penulis yang sama ini menemukan 1.408.015 kelahiran

PATOGENESIS
Temuan klinis CSVT dapat menjadi produk dari dua mekanisme utama:
1. Oklusi di vena serebral
Oklusi ini dapat menyebabkan sumbatan aliran keluar dan kongesti vena,
meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler dan kemudian menghasilkan edema,
tetapi ini tidak selalu berarti infark vena fokal. Analisis histologis
mengungkapkan pembuluh darah melebar dan membesar, edema dan kerusakan
saraf iskemik, perdarahan petekie yang dapat menyatu dan berubah menjadi
hematoma. Dua jenis edema dapat berkembang, edema sitotoksik dan
vasogenik, resonansi magnetik (MR) dapat membedakan jenis edema yang ada
selama acara CSVT.

2. Penyumbatan pada sinus vena

Berasal dari fenomena ini, hipertensi intrakranial (ICH) adalah karakteristik


utama. Biasanya, CSF mengalir ke SSS melalui granulasi Pacchioni atau
arachnoid. Ketika trombosis terjadi, tekanan vena meningkat karena penundaan
pengosongan vena, mengubah penyerapan CSF, dan dengan demikian
meningkatkan tekanan intrakranial.

Kecukupan drainase darah kolateral akan menentukan gejalanya. Ketika


jaminan cukup, gejala terkait dengan ICH; ketika tidak mencukupi, kongesti
vena menyebabkan iskemia dan infark. [5] Dalam kasus pasien yang lebih muda,
spektrum CSVT dapat berkisar dari kongesti vena yang terdeteksi atau tidak
pada neuroimaging, hingga cedera iskemik kortikal atau subkortikal parenkim,
yang lebih jarang diamati adalah perdarahan sub-araknoid dan subdural yang
berhubungan dengan CSVT.

Studi Internasional tentang Vena Serebral dan Dural Sinus Thrombosis


(ISCVT) menentukan frekuensi situs SCVT sebagai berikut: Sinus transversal
86%, sinus sagital superior 62%, sinus lurus 18%, v. Kortikal 17%, v. Jugularis
12%, vena Galen dan vena otak internal 11%.

GEJALA
Menurut Busser3, empat pola klinis di TVC telah diidentifikasi:
1. Sindrom fokus: adanya tanda-tanda fokus yang berhubungan dengan sakit
kepala, kejang atau perubahan kondisi mental.
2. Terisolasi: concefalea, mual, muntah dan papilledema.
3. Encephalopathies suudaudaeffuse: conalteracióndelestado mental.
4. Sindrom sinus kavernosa: ophthalmoplegia yang menyakitkan, kemosis dan
proptosis.

PENYEBAB DANFAKTOR RESIKO


CSVT adalah kondisi multifaktorial dengan penyebab spesifik terkait jenis
kelamin. Seperti dalam proses trombotik apa pun, faktor risiko dikaitkan dengan
triad klasik Virchow thrombogenesis: hiperkoagulabilitas, kerusakan dinding
pembuluh, dan stasis darah. Ini mungkin terkait dengan faktor risiko yang
diturunkan dan didapat; Namun, kategorisasi ini cukup artifisial, karena memiliki
efek aditif dan CSVT bersifat multifaktorial. Sejauh ini, di negara maju, faktor yang
paling sering dikaitkan adalah trombofilia kongenital. Faktor-faktor risiko
prothrombotik yang diwariskan termasuk homocysteinemia, mutasi homozygous
faktor V Leiden, gen prothrombin G20210A dan mutasi Methylene-Tetra-Hydro-
Folate-Reductase 677TT, kekurangan protein C dan S dan anti-trombin III, dan
antibodi anti-kardiolipin atau antibodi anti-fosfolipid positif.
MANIFESTASI KLINIS
Data klinis CSVT sangat bervariasi, dan variabilitas seperti itu tergantung
pada faktor-faktor yang berbeda, seperti lokasi dan perluasan trombosis, tingkat
oklusi vena, usia pasien, dan sifat penyakit yang mendasarinya atau penyebab
predisposisi. Meskipun beberapa perbedaan telah diidentifikasi antara laki-laki dan
perempuan dalam presentasi klinis CSVT, perbedaan ini kecil, dan diagnosis
diagnostik dan strategi pengobatan hampir sama pada kedua kelompok.

Pada 30% kasus CSVT, gejala ini muncul secara akut dan gejalanya muncul dalam
waktu kurang dari 48 jam. Dalam hingga 50% kasus, itu muncul dalam mode sub-
akut dan gejala muncul antara 48 jam dan 30 hari. Bentuk kronis sesuai dengan
20% kasus, dan gejalanya berkembang selama periode lebih dari 30 hari dan hingga
6 bulan,
Temuan klinis pada CSVT biasanya disebabkan oleh gangguan drainase vena, ICH,
cedera otak fokal dari iskemia vena / infark atau perdarahan, atau campurannya;
namun, tidak harus bersama saat presentasi. Bousser et al. menggambarkan 4 pola
klinis untuk CSVT,

DIAGNOSIS
CT-scan
Karena penggunaannya yang luas sebagai tes neuroimaging awal pada
pasien yang datang dengan gejala neurologis onset baru, studi pertama yang harus
dilakukan di unit gawat darurat adalah CT scan otak, dengan atau tanpa kontras.
CT-scan akan membantu kita membedakan banyak kondisi yang dapat menirunya.
Di dekat dengan 40% kasus divisualisasikan pada CT-scan area
hiperdensitas umum atau lokal, indikasi infark hemoragik, merupakan temuan yang
paling umum. Transformasi hemoragik pada area infark kadang-kadang dapat
menghasilkan perdarahan intrakranial, seperti yang sub-arachnoid. Mekanisme
perkembangan SAH (perdarahan sub-arachnoid) yang tepat pada pasien dengan
CSVT masih belum diketahui; berbagai penjelasan patofisiologis telah diajukan:
1. Trombosis vena serebral menyebabkan respons inflamasi lokal yang
meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga memungkinkan ekstravasasi
darah ke ruang sub-araknoid;
2. Infark hemoragik parenkim vena merupakan komplikasi potensial dari CSVT
dan dapat pecah dalam kasus-kasus tertentu ke dalam ruang sub-arachnoid;
3. Perpanjangan trombosis sinus dural ke dalam vena superfisialis menyebabkan
hipertensi vena terlokalisasi dengan dilatasi vena kortikal berdinding tipis
yang rapuh, yang akhirnya pecah ke ruang sub-arachnoid.

CT yang tidak ditingkatkan akan menjadi normal pada sebagian besar pasien
dengan pemeriksaan neurologis normal, tetapi seringkali tidak normal pada pasien
yang menunjukkan tanda-tanda neurologis. Pemindaian non-kontras-CT memiliki
sensibilitas rendah (25-56%), tetapi kemunculan tanda-tanda langsung sangat
spesifik. Untuk mendiagnosis CSVT, kami dapat membantu mengarahkan
(visualisasi trombus pada orang yang terkena dampak). pembuluh darah) dan tidak
langsung (kerusakan parenkim otak akibat iskemia atau perubahan vaskular yang
berkaitan dengan gangguan aliran keluar vena) tanda-tanda neuroradiologis.

Magnetic resonance (MRI)


Pencitraan sistem vena serebral dengan visualisasi langsung trombus di
dalam pembuluh darah, merupakan temuan utama pada MRI, dapat dilihat seperti
tidak adanya aliran yang batal dan adanya perubahan intensitas sinyal pada sinus.
MRI akan bervariasi tergantung pada usia trombus. Pada tahap akut dan sub-akut,
karakteristik sinyal berubah sesuai dengan adanya produk penguraian darah. Urutan
pencitraan T2 mungkin merupakan bantuan diagnostik penting dalam trombosis
tahap akut, ketika intensitas sinyal pada gambar T1 dan T2 mungkin lebih halus.
Kehadiran produk penguraian darah paramagnetik (mis., Deoxyhemoglobin dan
methemoglobin) menghasilkan artefak berbunga di segmen trombosis. MRI bahkan
bisa normal hingga 30% pasien. Kehadiran edema thalamik sangat menunjukkan
oklusi vena dalam; ini adalah temuan yang mengkhawatirkan, karena pasien dapat
memburuk dengan cepat hingga koma. Perdarahan parenkim dapat dilihat hingga
30% dari kasus CSVT. Pada pasien dengan trombosis SSS, biasanya adalah
ditemukannya zona pendarahan lobar yang berbentuk nyala dan tidak beraturan di
lobus frontal dan parietal parasagital. Ini harus mendorong evaluasi pencitraan
tambahan dengan MRV atau CTV. Trombosis sinus transversal dapat dilihat
sebagai lesi perdarahan pada lobus temporal atau oksipital. MRI dengan urutan T2
sensitif dalam penggambaran zona perdarahan parenkim. MRV dan CTV memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang setara untuk mendemonstrasikan segmen
thrombosed.

CT dan MR venografi
Karena detail vaskular dan interpretasi yang mudah, CTV dapat
memberikan diagnosis CSVT yang cepat dan andal. CTV telah terbukti menjadi
metode yang dapat diandalkan untuk menyelidiki struktur pembuluh darah otak,
dengan sensitivitas yang dilaporkan sebesar 95% dengan gambar multiplanar
reformatted (MPR) bila dibandingkan dengan digital subtraction angiography
(DSA) sebagai standar emas.
Beberapa kelemahan dari CTV konvensional adalah pengeditan yang
memakan waktu dan tergantung pada operator yang diperlukan untuk
menghilangkan tulang yang diproyeksikan untuk tampilan angiografi pembuluh
intrakranial, paparan radiasi, dan masalah yang terkait dengan penggunaan kontras
dalam pengaturan fungsi ginjal yang buruk, atau pada pasien dengan alergi bahan
kontras, karena masalah ini, MRV lebih disukai daripada CTV. CTV jauh lebih
berguna dalam situasi sub-akut atau kronis karena kepadatan yang bervariasi pada
sinus trombosis. Seperti yang disebutkan sebelumnya, tulang kortikal padat yang
berdekatan dengan sinus dural membuat artefak tulang rawan mengganggu
visualisasi sinus dural yang meningkat.
Ultrasonografi
Intravascular ultrasound (IVUS) adalah alat diagnostik penting dalam
banyak intervensi; penerapannya dalam pengelolaan penyakit pada sistem vena
serebral tetap merupakan wilayah yang belum dijelajahi. Dalam presentasi kasus
baru-baru ini, Mokim et al. menggunakan IVUS pada 3 pasien, di mana digital
subtraction angiography gagal membedakan trombosis dari stenosis parietal
struktural. Telah dilaporkan bahwa MRV memiliki batasan yang jelas; perbedaan
antara trombosis dan kesenjangan aliran sederhana menggunakan MRV mungkin,
oleh karena itu, sulit. Keterbatasan utama dari laporan itu jelas adalah jumlah kasus
yang kecil. Namun, pengalaman itu, selain yang lain dalam literatur, menunjukkan
bahwa IVUS dapat memiliki penggunaan yang diperluas di masa depan,
berpartisipasi dalam diagnosis yang lebih baik dari patologi intravaskular otak dan
membantu dalam pemantauan perawatan intravaskular menggunakan aktivator
plasminogen jaringan (tPA), angioplasti, atau aplikasi stent. Masalah utama yang
harus dipecahkan oleh teknologi ultrasound untuk menjadi berguna dalam CSVT
adalah untuk membuat perubahan yang relevan secara hemodinamik, yang sangat
bisa berubah karena variabilitas anatomi sistem vena serebral, dan juga kecepatan
aliran darah vena yang normal seringkali tidak mengecualikan diagnosis CSVT.
Ultrasound transfontanellar dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien anak
dengan fontanel anterior atau posterior terbuka.
Pengobatan
Strategi pengobatan ditujukan untuk mengendalikan atau menyelesaikan
patologi yang mendasarinya, mengendalikan ICH dan pengobatan kejang atau
defisit fokal yang disebabkan oleh edema otak atau infark. [93] Anti-koagulasi
digunakan hampir secara universal dan dalam kasus-kasus tertentu, teknik
endovaskular dan bedah telah digunakan untuk menghilangkan bekuan darah.
Teknik bedah selanjutnya digunakan untuk mengobati gejala sisa CSVT seperti
hidrosefalus, ICH, stroke hemoragik, dan lainnya.

Manajemen medis
Langkah-langkah umum :
Langkah-langkah umum seperti kecenderungan headboard yang tepat,
oksigenasi yang memadai, dan perlindungan jalan napas karena risiko
bronchoaspiration direkomendasikan. Kejang dapat ditemukan pada lebih dari 30%
pasien CSVT. Pedoman CSVT saat ini menyatakan bahwa karena kejang
meningkatkan risiko kerusakan anoksik, pengobatan anti-kejang bahkan setelah
kejang tunggal adalah masuk akal. Pasien yang awalnya mengalami kejang,
perdarahan, data target atau trombosis di vena kortikal adalah kandidat untuk obat
anti-kejang. Ferro et al. menemukan bahwa pasien CSVT dengan lesi supratentorial
memiliki risiko lebih tinggi untuk kejang presentasi dan kejang awal, sedangkan
pasien dengan kejang memiliki risiko lebih tinggi kejang berulang dalam 2 minggu,
mendukung resep obat anti-epilepsi pada pasien CSVT akut dengan lesi
supratentorial yang memiliki hadir dengan kejang.

ICH adalah komplikasi yang dapat diatasi atau diobati secara dini untuk
menyerang kejadian trombotik (anti-koagulasi atau trombolisis), dan dengan
mengubah prosedur invasif seperti pengangkatan CSF dengan pungsi lumbal,
hingga mencapai tekanan penutupan normal. Sayangnya, seperti yang terjadi pada
profilaksis kejang, tidak ada percobaan acak yang tersedia untuk mengklarifikasi
pengobatan yang optimal. Dalam kasus faktor penyebab septik, direkomendasikan
penggunaan antibiotik yang tepat dan drainase dari fokus infeksi. Penggunaan
steroid tidak dianjurkan, karena dapat menghasilkan hiperkoagulabilitas lebih
lanjut dan berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Antikoagulasi
Heparin telah digunakan untuk mengobati CSVT sejak 1941. Penggunaan
heparin dan antikoagulan oral (OA) pada dasarnya didasarkan pada alasan
membalikkan proses trombotik kausal dan mencegah komplikasi. Karena adanya
unsur hemoragik pada 40% CSVT, pemberian pengobatan antikoagulan masih
kontroversial.

Manajemen Endovaskular dan Bedah


Trombolisis
Agen trombolitik, diterapkan secara lokal dengan akses jugular atau
femoralis endovaskular, telah digunakan sejak tahun 1971. Trombolisis
endovaskular biasanya digunakan untuk kasus yang parah, tetapi tidak ada uji coba
secara acak yang dilakukan. Tampaknya trombolisis endovaskular dan kraniektomi
dekompresi semakin banyak digunakan. Dalam studi ISCVT, 2% pasien menerima
trombolisis dan 1% pasien menerima kraniektomi dekompresi; dalam survei
internasional yang disebutkan di atas, 43% dokter telah menggunakan terapi baik
selama 5 tahun terakhir. Dalam dua seri terbesar di mana agen fibrinolitik
digunakan, aliran darah dipulihkan dalam sebagian besar kasus (71,4%).
Tampaknya pengobatan fibrinolytic lokal mengembalikan aliran darah lebih cepat
dan efisien daripada heparin, tetapi membawa risiko perdarahan. Saat ini, belum
ada indikasi yang jelas untuk penggunaan agen trombolitik lokal atau sistemik
karena kurangnya penelitian konklusif yang mendukungnya. Teknik mekanik
(yaitu, mengekstraksi bekuan dengan gelombang) mengurangi dosis trombolitik
yang diperlukan dan, oleh karena itu, mengurangi risiko perdarahan intrakranial.
Trombolisis adalah pilihan untuk memberikan rekanalisasi yang cepat. Trombolisis
lokal melibatkan pengangkatan trombus dan dapat mengembalikan paten dari sinus
yang terlibat. Trombolisis intra-sinus lokal dapat menjadi pengobatan yang efektif
dan relatif aman untuk pasien yang mengalami kemunduran akut yang belum
menanggapi terapi antikoagulan konvensional. Trombolisis lokal adalah modalitas
pengobatan yang aman dan efektif untuk pasien yang menderita CSVT progresif.
Secara umum, terapi trombolitik digunakan jika perburukan klinis berlanjut
meskipun ada antikoagulasi atau jika pasien menderita ICH yang berevolusi
meskipun ada pendekatan manajemen lainnya.

Craniectomy dekompresi (DC)


Pada pasien dengan ICH yang memiliki respon minimal atau tidak sama
sekali terhadap pengobatan awal, harus dipertimbangkan DC. Alasannya adalah
untuk menyediakan ruang baru bagi otak untuk mengurangi tekanan. Coutinho dkk.
dan Théaudin et al., dalam kasus dengan CSVT dan evolusi yang tidak
menguntungkan, menunjukkan bahwa DC menyelamatkan hidup pasien, dan juga
meningkatkan prognosis fungsional bahkan pada pasien dengan dilatasi pupil
bilateral. Dalam sebuah penelitian retrospektif baru-baru ini, di antara 34 pasien
(seri terbesar saat ini) yang menjalani kraniektomi dekompresi, 26 (76,4%)
mencapai hasil yang menguntungkan (GOS ≥ 4). Dalam kohort ISCVT, DC
digunakan hanya pada 9 pasien (1,4% kasus), dan pada kohort RENEMEVASC,
DC dilakukan pada 2 (3%) pasien. Ini mencerminkan betapa sedikitnya ukuran ini
digunakan dalam praktik sehari-hari. Trombektomi bedah diperlukan tidak biasa,
tetapi dapat dipertimbangkan jika terjadi kerusakan neurologis atau visual yang
parah meskipun terapi medis maksimal.
Referensi :

1. Cerebral sinus venous thrombosis. Hernando Raphael Alvis-Miranda,


Sandra Milena Castellar-Leones, Gabriel Alcala-Cerra,1 and Luis Rafael
Moscote-Salazar2
2. Trombosis venosa cerebral: aspectos actuales del diagnóstico y tratamiento
G. Guenthera,∗ y A. Arauzb a Departamento de Medicina Interna-
Neurología, Hospital Ángeles del Pedregal (GG), México DF, México b
Clínica de Enfermedad Vascular Cerebral, Instituto Nacional de
Neurología y Neurocirugía Manuel Velasco Suárez (AA), México DF,
México.

DEFENISI
Transient ischemic attack (TIA) atau serangan iskemik transien adalah
gangguan sementara dalam fungsi otak akibat penyumbatan aliran darah ke otak
yang sementara.

EPIDEMIOLOGI

Antara 200.000 dan 500.000 TIA didiagnosis setiap tahun di


Amerika Serikat. Gawat darurat (ED) mendapatkan TIA terjadi pada tingkat
perkiraan 1,1 per 1.000 penduduk AS, dan TIA didiagnosis pada 0,3% dari
kunjungan ED. TIA membawa risiko jangka pendek yang sangat tinggi
terhadap stroke, dan sekitar 15% dari stroke didiagnosa didahului oleh TIA.
Secara internasional, kemungkinan TIA adalah sekitar 0,42 per 1000
penduduk di negara-negara maju. TIA terjadi pada sekitar 150.000 pasien
per tahun di Inggris. Insiden TIA meningkat dengan usia, dari 1-3 kasus per
100.000 pada mereka yang lebih muda dari umur 35 tahun untuk sebanyak
1.500 kasus per 100.000 pada mereka yang lebih tua dari umur 85 tahun.
Kurang dari 3% dari semua infark serebral besar terjadi pada anak-anak.
Stroke pediatrik sering dapat memiliki etiologi yang cukup berbeda dari
stroke dewasa dan cenderung terjadi dengan frekuensi yang lebih sedikit.
Insiden TIA pada pria (101 kasus per 100.000 penduduk) secara signifikan
lebih tinggi dibanding perempuan (70 per 100.000).

ETIOLOGI

Etiologi serangan iskemik transien (Transient Ischemic Attack,


TIA) tersering adalah akibat tromboemboli dari atheroma pembuluh darah
leher. Penyebab lain adalah lipohialinosis pembuluh darah kecil intrakranial
dan emboli kardiogenik. Etiologi yang lebih jarang adalah vaskulitis atau
kelainan hematologis.

Penyakit aterosklerosis arteri karotid di luar rongga tengkorak telah


lama diakui sebagai sumber emboli yang paling utama yang melakukan
perjalanan ke otak dan meyebabkan stroke. TIA adalah gejal awal penyakit
aterosklerosis. Pasien yang memiliki TIA hemisfer yang berkaitan dengan
penyakit arteri karotis interna memiliki risiko yang tinggi untuk terjadi
stroke pada beberapa hari pertama setelah menglami TIA. Risiko awal
stroke tidak terpengaruh oleh tingkat stenosis arteri karotis interna.
PATOFISIOLOGI

TIA ditandai dengan penurunan sementara atau penghentian aliran


darah otak dalam distribusi neurovaskular tertentu sebagai akibat dari
sebagian atau total oklusi, biasanya dari tromboemboli akut atau stenosis
dari pembuluh darah. Manifestasi klinis akan bervariasi, tergantung pada
pembuluh darah dan wilayah otak yang terlibat.

Hipoksia, karena aliran darah terganggu, memiliki efek berbahaya


pada struktur organ dan fungsi. Hal ini terutama terjadi pada stroke (iskemia
serebral) dan infark jantung (iskemia miokard). Hipoksia juga memainkan
peran penting dalam mengatur pertumbuhan tumor dan metastasis.
Kebutuhan energi yang tinggi dibandingkan dengan penghasilan energi
yang rendah membuat otak sangat rentan terhadap kondisi hipoksia.
Meskipun hanya merupakan fraksi total berat badan yang kecil (2%), itu
menyumbang persentase proporsional besar konsumsi O2 (sekitar 20%).
Dalam kondisi fisiologis, kebutuhan ditingkatkan untuk O2 cepat
dan memadai diimbangi dengan peningkatan aliran darah otak. Namun,
pada anak-anak yang menderita peristiwa asphyxial atau pada orang dewasa
yang mengalami stroke, hipoksemia dan iskemia masing-masing
mengakibatkan cedera otak. Semakin lama durasi hipoksia / iskemia, lebih
8 besar dan lebih meredakan area otak yang terpengaruh. Daerah yang
paling rentan tampaknya batang otak, hipokampus dan korteks serebral.

Cedera berlangsung dan akhirnya menjadi ireversibel kecuali


oksigenasi dipulihkan. Kematian sel akut terjadi terutama melalui nekrosis
tetapi hipoksia juga menyebabkan apoptosis tertunda. Selain proses
merusak dijelaskan sebelumnya, pelepasan glutamat besar dari neuron
presinaptik lebih meningkatkan Ca2+ masuknya dan runtuhnya bencana
dalam sel postsinaptik.

Harus dicatat bahwa, bahkan jika itu adalah satu-satunya cara untuk
menyelamatkan jaringan, reperfusi juga menginduksi kematian sel,
terutama melalui reaktif produksi spesies oksigen dan infiltrasi sel
inflamasi. Jika penurunan pO2 tidak terlalu parah, sel menekan beberapa
fungsi mereka, yaitu, sintesis protein dan spontan aktivitas listrik, dalam
proses yang disebut "penumbra" yang ditandai dengan reversibilitas,
asalkan pasokan O2 dilanjutkan.
GEJALA KLINIS

Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara mendadak; gejala
sepeti sinkop, bingung, dan pusing tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. TIA
umumnya berlangsung selama beberapa menit saja, jarang berjam-jam. Daerah
arteri yang terkena akan menentukan gejala yang terjadi :

 Karotis (paling sering)

1. Hemiparesis
2. Hilangnya sensasi hemisensorik
3. Disfasia
4. Kebutaan monocular (amaurosis fugax) yang disebabkan oleh iskemia
retina

 Vertebrobasillar

1. Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternative


2. Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut)
3. Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia – setidaknya dua dari tiga gejala ini
terjadi secara bersamaan.

Beberapa gejala tidak menunjukkan lokasi daerah arteri spesifik yang


akurat, seperti hemianopia atai disartria saja, walaupun umumnya oleh kelainan ini
disebabkan kelainan vertebrobasillar.
Tanda-tanda neurologis biasanya tidak ada saat pasien diperiksa oleh
dokter, tetapi emboli kolesterol dapat terlihat melalui funduskopi pada pasien
amaurosis fugax. Dapat pula terdengar bruit karotis dan mempunyai hubungan
tertentu bila terdapat pada lesi TI. Murmur dan aritmia jantung menunjukkan
kemungkinan penyebab emboli kardiak. Penyebab TIA vertrobrobasilar yang
jarang adalah ‘subclavian steal syndrome’. Pada sindrom ini terjadi stenosis pada
bagian proksimal arteri subklavia (kadang dengan bruit pada leher bawah dan
penurunan tekanan darah dan volume nadi lengan ipsilateral) yang dapat
meyebabkan aliran retrograde arteri vertebralis ke bawah saat lengan digerakkan.

TIA arteri karotis mengenai korteks dan menimbulkan iskemia pada mata
atau otak ipsilateral, menyebabkan mengaburnya penglihatan, atau kelemahan atau
gangguan sensoris kontralateral. TIA vertebrobasilar mengenai batang otak dan
menimbulkan pening, ataksia, vertigo, disartria, diplopia, serta kelemahan
unilateral atau bilateral serta baal pada ekstremitas.

TIA biasanya berlangsung selama 2 sampai 30 menit dan jarang terjadi lebih
dari 1 sampai 2 jam. Secara dasarnya, TIA tidak berlaku lebih dari 24 jam. TIA
tidak menyebabkan kerusakan permanen, karena darah disuplai ke daerah
penyumbatan dengan cepat. Namun, 10 TIA cenderung berulang. Penderita
berkemungkinan mengalami beberapa serangan dalam 1 hari atau hanya 2 atau 3
dalam beberapa tahun.

Penderita yang memiliki gejala sementara atau mendadak yang mirip


dengan gejala stroke harus segera ke dokter. Gejala seperti itu boleh mendorong
kepada TIA. Namun, gangguan lain termasuk kejang, tumor otak, sakit kepala
migrain, dan rendah kadar gula dalam darah dan gejala lain yang sama, perlu
dilakukan evaluasi lanjut.

DIAGNOSA

TIA dikenali berdasarkan riwayat penyakit. Pemeriksaan penunjang


ditujukan untuk mendeteksi penyebabkan sehingga dapat mencegah rekurensi yang
lebih serius seperti stroke dengan melakukan pemeriksaan darah rutin, LED,
glukosa darah dan kolesterol, serologi sifilis dan EKG. Dari hasil pemeriksaan
dasar dan kondisi pasien, mungkin diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti
rontgen toraks dan ekokardiogram jika diduga terdapat emboli kardiogenik, CT
scan kranial mendeteksi penyakit serebrovaskular yang telah ada sebelumnya, dan
menyingkarkan kemungkinan lesi structural seperti tumor yang menunjukkan
gejala seperti TI, USG karotis atau angiografi untuk mendeteksi stenosis karotis
pada pasien TIA dengan lokasi lesi karotis (Gambar 11.5), kultur darah jika terdapat
dugaan endokarditis infektif.

Beberapa prosedur untuk menentukan apakah arteri ke otak berlaku


penyumbatan, arteri yang mana yang berlaku penyumbatan, dan sejauh mana
penyumbatan tersebut terjadi. Prosedur ini termasuk mendengarkan suara yang
dibuat oleh aliran turbulen darah (bruits) dengan stetoskop di arteri karotis interna
(di leher), USG color doppler dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis, dan
kadang-kadang magnetik resonance angiography dan angiografi serebral. Prosedur
pencitraan, seperti computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging
(MRI), tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi TIA karena TIA tidak seperti
stroke, biasanya tidak menyebabkan kerusakan otak. Jenis MRI yang khusus
disebut MRI difusi dapat mengidentifikasi daerah abnormal jaringan otak yang
disfungsi sementara tetapi tidak mati. (yaitu, yang tidak mengakibatkan stroke).

DIAGNOSA BANDING

Diagnosis bandingan dirangkum pada Tabel 11.2.


PENATALAKSANAAN

 Obat antiplatelet (aspirin 75 mg per hari)


o Kontraindikasi pada pasien ulkus peptikum aktif.
o Clopidogrel merupakan obat antiplatelet pilihan untuk pasien yang
tidak dapat mentoleransi aspirin.
 Antikoagulan (warfarin)
o Jika diketahui sumber emboli dari jantung (kardiogenik), meliputi
fibrilasi atrium nonreumatik.
 Endarterektomi karotis
o Setelah terjadi TIA atau stroke minor, mungkin diperlukan
intervensi bedah untuk membersihkan ateroma pada arteri karotis
berat yang simtomatik (stenosis lebih dari 70%).

Aspirin menurunkan risiko stroke atau infark miokard atau kematian


vaskular pada pasien TIA sebesar 25%. Aspirin dengan dosis 75-300 mg/hari
(dengan atau tanpa dipiridamol) sama efektifnya atau lebih efektif daripada obat
lain atau kombinasi obat lain. Klopidogrel bisa digunakan bagi mereka yang
intoleran terhadap aspirin. Tanpa adanya faktor risiko kardioemboli (fibrilasi
atrium, penyakit katup jantung, katup jantung, katup buatan, infark miokard dalam
3 bulan terakhir) tidak terdapat data konklusif yang mendukung penggunaan
antikoagulan oral. Akan tetapi, pada mereka yang memenuhi kriteria tersebut,
Migren disertai aura Epilepsi parsial Tumor intracranial, malformasi vaskuler, atau
hematoma subdural kronik. Skelarosis multiple Gangguan vestibuler Lesi saraf
perifer atau radiks saraf (misalnya palsi nervus kranialis) Hipoglikemia
Hiperventilasi dan proses psikogenik lainnya 12 dan bila perdarahan telah
disingkirkan dengan melakukan pencitraan, terdapat indikasi pemberian
antikoagulan penuh selama 2 bulan pascastroke (Royal College of Physicians,
Royal Clinical Guidelines for Stroke, 2000).

Indikasi endarterektomi karotis pada pasien TIA tergantung pada banyak


faktor, di antaranya tingkat berat stenosis dan morbiditas serta mortalitas
pembedaan di tempat pusat pelayanan tersebut. Pada tempat dengan tingkat
morbiditas serta mortalitas pembedahan terbukti bermanfaat bagi pasien dengan
stenosis sebesar >70% dan riwayat TIA.

PENCEGAHAN

Pentingnya identifikasi TIA untuk pencegahan stroke, dengan cara


memodifikasi faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, alkohol, merokok, obesiti,
sindrom metabolik, aktivitas fisik, kolesterol, diet dan obat-obatan.

Mengobati penyakit jantung yang telah ada (aritmia, penyakit katup


jantung, penyakit jantung koroner, dan gagal jantung). Memperbaiki kontrol
diabetes, mengurangi asupan alkohol berlebihan sangat dianjurkan, walaupun efek
dari masing-masing kegiatan tersebut dalam menurunkan risiko stroke masih belum
jelas. Konsumsi alkohol ringan sampai sedang menurunkan risiko penyakit jantung
koroner, dan mungkin memilik efek protektif ringan pada risiko stroke.

PROGNOSIS

Risiko stroke dalam lima tahun pertama setelah TIA adalah 7% per tahun,
sedangkan risiko terbesar adalah pada tahun pertama. Bersamaan dengan
peningkatan risiko infark miokard setelah TIA, maka risiko gabungan stroke, infark
miokard atau penyakit vaskular berat lainnya adalah 9% per tahun. Hingga 15%
pasien dengan stroke pertama kali memiliki riwayat TIA. Risiko stroke atau infark
miokard setelah kejadian TIA kira-kira 5% dalam waktu 1 bulan, 12% dalam tahun
pertama, dan 25% dalam 5 tahun.

Risiko awal stroke setelah mengalami TIA adalah sekitar 4% pada 2 hari,
8% pada 30 hari, dan 9% pada 90 hari. Ketika pasien dengan TIA diikuti secara
prospektif, namun, angka kejadian stroke setinggi 11% pada 7 hari. Probabilitas
stroke pada 5 tahun setelah TIA dilaporkan 24-29%. Selain itu, pasien dengan TIA
atau stroke memiliki risiko penyakit arteri coroner.
Referensi:

https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar_-Transient-Ischemic-Attack.pdf

8. Prespektif islam :

“Allah berfirman: "Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami
dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan
bahaya itu dari padanya dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah
dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah
menimpanya. Begitulah orangorang yang melampaui batas itu memandang baik
apa yang selalu mereka kerjakan. ~ (QS Yunus [10]: 12). “
Walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit di Al-Qur’an dan hadits, gaya
hidup yang diajarkan disana dapat menurunkan secara drastis kemungkinan
seseorang mendapatkan penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung,
penggumpalan darah, atherosklerosis, maupun arteriosklerosis dengan cara
meningkatkan aktivitas spiritual, makan tidak berlebihan (cukup), kegiatan fisik
yang cukup, mengurangi marah dan dengki, menghindari sifat rakus, dan tidak
memakan makanan dan minuman yang diharamkan.

Muslim melakukan shalat wajib 5x sehari, terdiri dari gerakan berdiri,


sujud, dan duduk. Ketika melakukan shalat, Allah menyuruh kita untuk tidak
melakukannya dengan bermalas-malasan. Orang yang melakukan shalat secara
bermalas-malasan tidak akan mendapatkan keuntungan apapun baik dari sisi
spiritual maupun fisik untuk kesehatannya. Jumlah sujud bervariasi dari waktu
sahalat satu dengan yang lain sehingga jumlah gerakan fisik pun menjadi turut
berbeda. Terdapat peningkatan jumlah sujud dari pagi-malam sesuai dengan
aktivitas yang dilakukan manusia. Ketika siang-sore seseorang biasanya makan
dengan porsi lebih banyak, dengan melakukan aktivitas yang cukup pada saat
tersebut dapat membantu mempercepat pencernaan makanan dan dalam jangka
panjang dapat mengurangi peluang terbentuknya trombus. Rasulullah SAW
menasehati kita untuk tidak segera tidur dan melakukan aktivitas yang berlebihan
setelah makan.

Gerakan ketika shalat juga dapat mencegah terjadinya pembentukan


thrombosis. Gerakan berdiri dan duduk yang dilakukan berulang-ulang sepanjang
hari dapat mengaktifkan muscle pump (otot rangka yang membantu memberikan
tekanan ke pembuluh darah untuk mengembalikan darah ke jantung) di bagian kaki
(seperti gastrocnemius dan soleus) yang mampu meningkatkan venous return
(kembalinya darah dari vena ke jantung) ketika berdiri dan memindahkan darah dari
vena perifer (tepi) ke vena sentral sehingga dapat mencegah terjadinya edema
(pembengkakan) dan pembentukan trombus.
Selain itu Rasulullah SAW juga menyarankan kepada kita untuk
mengkonsumsi makanan-makanan seperti ikan yang rendah lemak dan dapat
membantu menurunkan kadar kolesterol, dan juga biji-bijian yang memiliki serat
yang tinggi.

Kolesterol yang tinggi dapat memicu timbulnya kerusakan pada pembuluh darah,
seperti penyakit jantung koroner akibat atherosklerosis.

Allah melarang kita untuk memakan daging babi dan alkohol. Dengan
mengkonsumsi daging babi, seseorang beresiko terkena penyakit seperti trichinella
dan taeniasis, selain itu kandungan lemak dan kalorinya juga tinggi. Walaupun
Allah mengakui adanya manfaat dari alkohol, tapi Allah menyatakan bahwa
mudharat/keburukannya lebih banyak daripada manfaatnya jika dikonsumsi.
Alkohol dapat mengakibatkan efek buruk pada banyak organ, seperti liver, usus,
lambung, pankreas, jantung, dan otak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Panduan Praktis Klinis Bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan


primer. Edisi I. IDI halaman 244
2. Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi : anatomi, fisiologi, tanda, gejala,
Jakarta : EGC. 2010Mahardjono, Mahar & Priguna Shidarta. 2003.
Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : EGC . Hal 20-273.
3. Patofisiologi, Elizabeth J. Corwin).
4. Kabi, G.Y., Tumewah, R. and Kembuan, M.A., 2015. Gambaran Faktor
Risiko Pada Penderita Stroke Iskemik Yang Dirawat Inap Neurologi RSUP
PROF. DR. RD Kandou Manado Periode Juli 2012-Juni 2013. e-CliniC,
3(1).
5. Patofisiologi Price- Wilson Buku Ajar Diagnostik Fisik Swartz
6. Sudoyo, Ari dkk. Stroke dan Penatalaksanaanya oleh Internis. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Kedua. UI Press 2007.
7. - Cerebral sinus venous thrombosis. Hernando Raphael Alvis-Miranda,
Sandra Milena Castellar-Leones, Gabriel Alcala-Cerra,1 and Luis Rafael
Moscote-Salazar2

- Trombosis venosa cerebral: aspectos actuales del diagnóstico y


tratamiento G. Guenthera,∗ y A. Arauzb a Departamento de Medicina
Interna-Neurología, Hospital Ángeles del Pedregal (GG), México DF,
México b Clínica de Enfermedad Vascular Cerebral, Instituto Nacional de

- https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar_-Transient-Ischemic-Attack.pdf
8. (QS Yunus [10]: 12).

Anda mungkin juga menyukai