Anda di halaman 1dari 87

Sindroma Guillain Barre

(GBS)

Oleh :
ME.Rachman
GBS

Jenis poliradikulopati yang progresif dan akut


dengan gejala kelemahan, parestesia dan
hiporefleksia yang biasanya terjadi setelah
suatu febris atau penyakit viral.
GBS

Gambaran lebih lengkap dengan kelumpuhan motorik yang


progresif serta berjalan ascenden disertai dengan cairan
serebrospinal dengan protein yang meninggi dan sel yang
normal disertai dengan disosiasi sitoalbuminik.

Hal ini yang membedakan AIDP dengan penyakit motorneuron


lainnya seperti polio dan neuropati.
GBS

 Pada kasus yang berat, kelemahan otot dapat berlanjut menjadi


suatu kegagalan pernafasan.

 Kelumpuhan maksimal dapat terjadi sekitar 2 minggu


setelah onset, namun tidak tertutup kemungkinan
kelumpuhan yang terjadi bisa lebih cepat.
Pendahuluan

 Insidensi penyakit ini sekitar 0.6-2.4 kasus per 100.000


penduduk pertahun di usa.

 Risiko terjadinya penyakit ini sama di seluruh dunia dan di


semua musim dan diantara semua ras bangsa.

 Ratio pria dibandingkan wanita adalah 1.5:1 serta ratio umur


rata-rata muncul gbs sekitar 40 tahun keatas.
PATOFISIOLOGI GBS

• Menunjukkan adanya konduksi serabut saraf


yang hilang atau melambat.
• Gangguan pada konduksi saraf terjadi karena
demielinisasi pada sel akson saraf.
• Saraf perifer dan radiks saraf merupakan
tempat utama terjadinya demielinisasi dan
saraf kranialis juga dapat terkena.
PATOFISIOLOGI GBS

• SGB dianggap terjadi karena respons autoimun


yang dicetuskan oleh suatu penyakit sebelumnya
atau beberapa kondisi medis lainnya  menyerang
sarung mielin yang mengelilingi akson dari banyak
saraf perifer bahkan aksonpun ikut terserang.

• Oleh karenanya transmisi yang dikirimkan melalui


akson, tidak dapat terkirim dengan efisien.
PATOFISIOLOGI GBS

• SGB yang didahului dengan infeksi gastrointestinal,


respiratorik yang muncul sekitar 1-3 minggu sebelum
dimulainya kelumpuhan, Chlamydia, Campilobacter
jejuni, mycoplasma, pneumonia,cytomegalovirus,
EBV,HIV, herpes zooster, mumps, mononucleosis,
virus atau bakteri.
Kriteria diagnosis SGB yang tipikal

Ciri-ciri yang diperlukan untuk diagnosis:


• Kelemahan yang progresif pada kedua lengan dan tungkai.
• A refleksia.

Ciri-ciri yang secara kuat menunjang diagnosis


• Progresivitas gejala dalam beberapa hari sampai minggu
• Gejala relatif simetris
• Gangguan sensoris hanya sedikit
• Terlibatnya saraf kranial, terutama kelemahan bilateral dan otot muka.
• Penyembuhan yang dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti.
• Disfungsi otonom
• Tidak ada febris saat onset
• Konsentrasi tinggi protein dalam LCS dengan sel <10/mm3
• Kelainan elektrodiagnostik yang khas
Perjalanan penyakit

• Kelumpuhan: penyakit ini biasanya  Parestesia: dimulai dari ujung kaki


mempunyai suatu pattern ascenden meluas keatas, terkadang sekuele dalam
dengan kelumpuhan yang progresif, yang bidang otonomik atau disfungsi saraf
dimulai dari ekstremitas bawah, disertai motorik.
dengan arefleksia.  Nyeri: seringkali pada pinggang bawah,

• Kelemahan hampir selalu simetris dan pantat, paha dan pundak. Saraf kranial:
harus dipertimbangkan diagnosis lain bila gangguan saraf kranial bisa ditemukan
ditemukan kelumpuhan yan asimetris. 45-75% kasus dan bisa terjadi kelemahan
• Kelumpuhan maksimal terjadi sekitar 2 muka, disfasia atau disatria. Dapat pula
minggu setelah permulaan timbulnya ditemukan varian Miller-Fischer dengan
gejala dan biasanya berhenti progresif ophtalmoplegia dan ataksia.
setelah 5 minggu.
Pemeriksaan fisik

• Tanda vital  Disrefleksia:biasanya menurun atau

• Disfungsi otonom menghilang, bila normal pikirkan

• Gangguan saraf kranial kemungkinan yang lain.


 Gejala lainnya: hipotonia, gangguan
• Papil: tampak papil edema karena
peningkatan tekanan cerebrospinal sensorik, kelumpuhan desecenden

sehingga dapat menunjukkan tanda pada varian bulber seperti disfagia,

dari pseudotumor cerebri disartri dan mengeluarkan air liur.


 Paralisis otot pernafasan bisa terjadi

pada 25% kasus SGB.


Pemeriksaan Penunjang

• Laboratorium :  MRI:
elektrolit, tes kehamilan, pungsi
lumbosacral dengan kontras
lumbal, pemeriksaan antibodi
terhadap GD1a dan GD 1b GQ1b gadolinium, pada 95% pasien
dan GM1. Jika pada pasien GBS kadang kadang dapat
sudah memiliki antibodi ini, maka menunjukkan enhacement
prognosisnya lebih buruk. pada radiks kauda equina
dapat terjadi rata-rata 13 hari
• Forced Vital Capacity: setelah timbulnya gejala.
Indikasi perawatan ICU apabila FVC
kurang dari 20 mL/kg
TERAPI
• Saat ini ditujukan kepada 1. Plasmafaresis
imunomodulasi. Menurut ( Plasma Exchange
petunjuk guideline American Therapy).
Academy of Neurology
(AAN), pengobatan GBS 2. Imunoglobulin intravena
dimulai secara dini dalam ( IVIg 7s) terbukti efektif.
waktu 2-4 minggu setelah
gejala pertama timbul dapat 3. Metilprednisolon, saat ini
mempercepat waktu masih kontroversial, karena
penyembuhan. beberapa kepustakaan
mengatakan tidak berguna.
TERAPI
1. Plasmafaresis ( Plasma Exchange 2. Imunoglobulin intravena ( IVIg
Therapy). 7s)
 untuk memperbaiki aspek klinis dan
• pemberian plasmafaresis diberikan imunologis GBS, mengurangi produksi
sesegera mungkin, tetapi jangan diberikan autoantibodi, meningkatkan kelarutan dan
apabila onsetnya lebih dari 3 minggu penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir
antibodi yang bersirkulasi melalui antibodi anti
terkecuali masih terdapat progresivitas idiopatik serta men-down-regulate sitokinin
dari penyakitnya. pro inflamatoir termasuk interferon gamma
( INF-gamma). Selain itu memblok kaskade
• Plasma diganti dalam 4-5 x yang komplemen dan mempromosikan terjadinya
dilakukan dalamm jangka waktu 7-10 hari remielinisasi.
 Dosis dewasa 0.4 g/kg/hari selama 5 hari
seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb
(total 2 g selama 5 hari) atau cara lain dengan
serta dipakai suatu alat dengan pengaliran pemberian 2g/kg IVIg diberikan sekaligus
yang terus menerus ( continuos flow sebagai dosis tunggal.
 Pemberian IVIg lebih mudah daripada PE dan
machine) dan cairan pengganti plasma
harga lebih mahal jika dibandingkan dengan
yang dipakai adalah albumin 5%. PE.
DD

 Botulisme, Berbagai tipe GBS :


 Sindrom kauda equina,
Muller Fisher
polineuritis,
 hiperkalemia, hipokalemia, AIDP
hipofosfatemia, CIDP
 miastenia gravis, CRPN
 polimiositis, AMAN
 infeksi medulla spinalis,
AMSAN
 trauma medulla spinalis,
 CIDP
Duchene Muscular
Dystrophy

Oleh :
ME.Rachman
Dystrophy Musculorum Progressiva

• Kelompok penyakit otot skeletal yang bersifat


degenaratif herediter progresif.
• Miopati : kelainan berupa berkurangnya
serabut otot (muscle fiber), ditandai adanya
kelumpuhan dan atrofi yang bersifat simetris
terutama mengenai otot proksimal (otot bahu
dan panggul).
Distrofi Muskularis Murni
• X-linked Muscularis  Autosomal dominant
Dystrophy DD:
muscular dystrophy
– Severe ( Duchene)  Polymyositis
 Fascioscapulohumera
– Benign ( Becker) l  Dermatomyositis
– Benign with early contractures  Scapuloperoneal  Becher
( Emery-Dreifuss)  Late onset proximal
– Scapuloperoneal ( rare)  Distal - Miopati infeksi
 Ocular
• Autosomal recessive  Oculopharyngeal
muscular dystrophy
– Lim girdle ( usually
scapulohumeral, rarely
pelvifemoral)
– Childhood type, resembling
Duchenne
– Congenital muscular dystrophy
Duchene Muscular Dystrophy
Clinical Features :
• This is the most frequent  They appear tobe less
and best known of the usually recognized by
active than usual and
muscular dystrophies. the third year of life and
are prone to falls.
• It begins in early childhood almost always before  Increasing difficulty in
and runs a relatively rapid, the sixth year. walking, running, and
progressive Nearly half of the climbing stairs,
• course. The incidence rate is patients show evidence swayback, and
in the range of 13 to 33 per of disease before waddling gait become
100,000 yearly or about one beginning to walk. Many ever more obvious as
in 3300 live male births in of them are slightly time passes.
every part of the world. backward in other ways  The iliopsoas, quadriceps,
• Predominantly in males (psychomotor and gluteal muscles are
retardation), and the involved initially; then
muscle weakness may at the pretibial muscles
first be overlooked. weaken (foot drop and
toe walking).
Duchenne Muscular Dystrophy
(DMD)

Clinical Features:
• Progressive muscle weakness.
• Mainly in a wheelchair by early teens.
• Respiratory muscles eventually involved.
• Death usually in late teens, early twenties.

Inheritance:
• X linked recessive condition, hence males affected and females are carriers (see
pedigree on next slide).
Duchenne muscular dystrophy
(a) Affected boys stand up by bracing their arms against their legs (Gower’s manoeuvre) because their proximal
muscles are weak.
(b) and (c) Muscle histology (Gomori trichrome stain). Normal muscle (b) shows a regular architecture of cells
with dystrophin (brown stain) on all the outer membranes. (c) Shows muscle from a 10-year-old affected boy.
Note the disorganisation, invasion by fibrous tissue and complete absence of dystrophin.
Histology photos courtesy of Dr Richard Charlton, Newcastle upon Tyne.

Fig. 1.4 ©Scion Publishing Ltd


Histology photos courtesy of Dr Richard Charlton.
Gowers Signs
Duchene Muscular Dystrophy

Diagnosa : Penatalaksanaan :
1. Anamnesa  vitamin E, asam amino,

2. Pemeriksaan neurologis penicilamin, prednison.


Pemakaian prednison dapat
3. Pemeriksaan penunjang,
mengurangi progresivitas dari
terutama EMG.
penyakit tetapi terkadang tidak
dapat ditoleransi.
 Kinin dapat mengurangi
miotonia tetapi menghambat
perjalanan penyakit tersebut.
 Procain dan fenitoin juga dapat
mengurangi miotonia tetapi
berbahaya jika ada konduksi
jantung.
Becker Muscular Dystrophy
Clinical Features :
 It causes weakness and hypertrophy
• This well-characterized dystrophy
is closely related to the inthe same muscles as the Duchenne
Duchenne type. dystrophy, but the onset is much later
(mean age, 12 years; range, 5 to 45
• In 1955, Becker and Keiner
years).
proposed that the latter be
 Mentation is usually
separated as a distinct entity,
now called Becker muscular  normal. Cardiac involvement is also
dystrophy. less frequent than in Duchenne
• Its incidence is difficult to  dystrophy but there are cases that
ascertain, probably 3 to 6 per present with a cardiomyopathy.
100,000 male births.  Kuhn and associates have reported a
• Like the Duchenne form, it is an genealogy in which early myocardial
X-linked disorder, practically disease
limited to males and transmitted  and cramping myalgia were prominent
by females features.
SINDROM TEROWONGAN KARPAL
(CARPAL TUNNEL SYNDROME)

M.E. Rachman
Department Neuro-Fisiologi
FK-UMI
2016
PENDAHULUAN

• Carpal Tunnel Syndrome


• kumpulan gejala &
tanda yang terjadi
MOERSCH
penekanan n.medianus
(1938) didlm terowongan
karpal pd pergelangan
tangan,  di bawah
fleksor retinakulum
Insidensi
• STK  neuropati tekanan  umur 30-60
tahun
• Rasio antara perempuan : laki-laki = 2:1.
• Prevalensi meningkat dilaporkan pada orang-
orang yang melakukan pekerjaan secara
berulang-ulang pada pergelangan tangan
untuk jangka waktu yang lama
ANATOMI
PATOGENESIS CTS

• Faktor mekanik dan vaskuler


• Kronis penebalan flexor retinakulum 
penekanan n.medianus tek. Intrafasikuler
 aliran vena lambat (nutrisi terganggu)
anoksia  endotel rusakkebocoran
protein sehingga terjadi edema epineural.
• Bila keadaan berlanjut fibrosis epineural
dan merusak serabut saraf.
ETIOLOGI
• Peningkatan tekanan pd n.
medianus dlm terowongan
karpal .
• Terjadi penebalan fleksor
retinakulum (ini yang sering)
 seperti pada RA
• Neuropati DM
Hipersensitivitas n.
Medianus di terowongan.
• Penggunaan pergelangan
tangan yg berulang dan
berat.
DIAGNOSIS
• Rasa nyeri ditangan, kebas, kesemutan,
seperti tersengat listrik pada jari 1,2,3,
an 4  pagi hari atau terutama malam
hari
Pemeriksaan dan Tes Provokasi

• Tanda mengibas tangan (Flick sign)


• Atrofi otot thenar (Thenar wasting)
• Tanda dari Luthy (Luthy sign) Tanda Botol
(Bottle sign)
• TES PHALEN
• TINNEL’S SIGN
• Pemeriksaan Keringat pd distribusi
n.Medianus.
TES PHALEN
• Pendenta diminta fleksi
palmar secara maksimal
selama 30-60 detik. Bila
dalam 60 detik timbul
rasa kebas, semutan
(seperti kena strom)
pada daerah distribusi
n.medianus: tes
dinyatakan positif
TINNEL’S SIGN
• Dengan mengetok langsung
n.medianus pada fleksor
retinakulum dilipat
pergelangan tangan, tepat
lateral tendo palmaris
longus, sedikit dorsofleksi,
 rasa seperti kena strom /
nyeri pada daerah distribusi
n.medianus, distal
pergelangan, tes dinyatakan
positif
Pemeriksaan Penunjang

• EMNG
• Foto Polos
Diagnosis Banding
• Gangguan n.medianus ditempat yang lebih
proksimal dari terowongan karpal misalnya :
thoracic outlet syndrome, radikulopati
cervical
• Parestesi pd tangan dpt terjadi pada
gangguan saraf pusat ataupun saraf tepi.
(Multiple Sklerosis dan neuropati lainnya).
Terapi
• Istirahatkan pergelangan lengan dari gerakan
berlebihan dan berat.
• Pemasangan bidai
• Obat : NSAID, Kortikosteroid
• Injeksi Kortikosteroid
• Rehabilitasi Medik
• Pembedahan
PEMBEDAHAN
Tindakan operatif dilakukan bila :
• Keluhan yang sangat mengganggu penderita.
• atrofi otot-otot thenar.
• pemeriksaan EMG yang jelek ( CTS berat).
• terapi konservatif tanpa ada perbaikan.
• CTS akut dengan gejala yang berat.
 
PENCEGAHAN
• Hal-hal yang dapat mencegah CTS:
– Turunkan berat badan bila overweight.
– Obati penyakit-penyakit yang menyebabkan CTS.
– Jangan mengistirahatkan pergelangan tangan pada permukaan keras
pada waktu lama.
– sambil istirahat sesering mungkin: ganti-gantilah tangan pada waktu
melakukan pekerjaan.
– Perhatikan posisi tangan: bila sering menggunakan keyboard (atur
tinggi dan kursi kita sehingga lengan atas kira-kira sama tinggi dengan
keyboard)
– Pertahankan tangan tetap hangat. Terdapat kecenderungan terjadi
nyeri dan kekakuan pada tangan, bila kita kerja pada lingkungan yang
dingin
PROGNOSIS
• Pada kasus-kasus yang ringan umumnya dengan
terapi konservatif, prognosis baik.
• Prognosis operasi juga baik.
• Hasil yang paling cepat dirasakan
menghilangnya rasa nyeri, lalu diikuti
perbaikkan sensibilitas, selanjutnya perbaikan
motorik dan otot-otot yang atrofi mulai
membesar lagi.
• Proses ini ada yang berlangsung sampai 1 bulan
PERONEAL PALSY

M.E. Rachman
Department Neuro-Fisiologi
FK-UMI
2015
Perineal Palsy ?
• A peroneal nerve injury (also called foot drop
or drop foot), is a peripheral nerve injury that
affects a patient’s ability to lift the foot at the
ankle.
Anatomi ?
• A peroneal
nerve injury
(also called
foot drop or
drop foot),
is a
peripheral
nerve injury
that affects
a patient’s
ability to lift
the foot at
the ankle.
Topis
patomekanisme
Etiologi ?
• Foot drop injury can be caused by an injury to
the spinal cord (L5) or from other underlying
diseases, such as
amyotrophic lateral sclerosis (ALS),
multiple sclerosis (MS), or Parkinson's disease.
• Sometimes, drop foot is a complication from
hip replacement surgery, or other injuries (e.g.,
knee or joint dislocation or fracture, herniated
disc).
Gambaran Klinis
• Inability to point toes toward the body (dorsi
flexion)
• Pain
• Weakness
• Numbness (on the shin or top of the foot)
• Loss of function of foot
• High-stepping walk (called steppage gait or
footdrop gait)
Diagnosis of peroneal nerve injury (foot drop)

Diagnosis will include:


• A comprehensive clinical exam, including
neurological exams
• Complete medical history
• Electrical testing
• Imaging studies, such as X-rays or high-
resolution 3-T MRI (magnetic resonance
imaging)
TERAPI
• Obat : NSAID, Kortikosteroid
• Rehabilitasi Medik
• Pembedahan
Surgery for peroneal nerve injury

Surgical treatment for drop foot depends on


the cause of the injury. A physician may
recommend decompression surgery, nerve
sutures, nerve grafting, or nerve transfer or
tendon transfer.
SINDROM TEROWONGAN TARSAL
(TARSAL TUNNEL SYNDROME)
TARSAL TUNNEL SYNDROME (TTS)

• Tarsal tunnel Etiologi :


syndrome is pain • Synovitis ,
along the course • RA,
of the posterior • fibrosis,
tibial nerve, • ganglionic cysts,
usually resulting • fracture,
from nerve • ankle venous stasis edema
compression • Patients with hypothyroidism may
within the tarsal develop tarsal tunnel–like
symptoms as a result of perineural
tunnel. mucin deposition.
Symptoms and Signs
• Pain (occasionally burning
and tingling) is usually
retromalleolar and
sometimes in the plantar
medial heel and may extend
along the plantar surface as
far as the toes.
Diagnosis
--> Examination and electrodiagnostic testing.

Tinel Sign
Treatment
1. Analgetic,
2. Foot inversion with
braces or orthoses,
3. corticosteroid
injections,
4. surgery, or a
combination.
COMPLETE SPINAL
TRANSECTION

M.Erwin R
Jumraini Tammasse
DEFINISI
Cedera medula spinalis didefinisikan sebagai
kerusakan pada medula spinalis baik secara
parsial atau komplit yang berpengaruh
terhadap 3 fungsi utama medula spinalis yaitu
motorik, sensorik otonom dan aktivitas
refleks.
ETIOLOGI
Primer
Traumatik :
- Dislokasi vertebra
- Fraktur vertebra
- Luka tembak
Non traumatik :
- Infeksi
- Tumor atau keganasan
Sekunder
Cedera sekunder diakibatkan oleh cedera vaskular medula
spinalis menyebabkan pecahnya arteri, trombosis, atau
hipoperfusi karena syok.
Patofisiologi
• Trauma mekanis traksi & kompresi. Kompresi langsung
terhadap saraf –saraf oleh fragmen tulang, diskus, dan
ligamen merusak kedua sistem saraf (saraf sentral & perifer)
• Kerusakan pembuluh darah  iskemi.
• Robeknya axon dan membran sel neuron
• Perdarahan mikro terjadi pada substansia grisea sentral
meluas dalam beberapa jam.
• Edema masif terjadi dalam beberapa menit. Med.spinalis
setinggi lesi akan mengisi seluruh rongga kanal spinalis
mengakibatkan iskemi sekunder.
• Hilangnya autoregulasi dan spinal syok menyebabkan
hipotensi sistemik dan memperburuk iskemi.
Patofisiologi
Cedera sekunder : akibat iskemi, kandungan toksik
metabolikIschemia, dan perubahan elektrolit.
Spinal syok: akibat hipoperfusi pada substansia grisea meluas
ke substansia alba dan mengubah proses aksi potensial
sepanjang akson.
Pelepasan glutamat yang besar  mengakibatkan stimulasi
berlebihan pada neuron dan memproduksi radikal bebas
sehingga membunuh neuron sehat. Mekanisme eksitotoksik
membunuh neuron dan oligodendrosit, dan menyebabkan
demielinisasi. Reseptor AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-4-isoxazole propionic acid) glutamate berperan besar
dalam kerusakan oligodendrosit.
Dapat berkembang menjadi siringomielia.
Gejala klinis
Pada fase akut, gejala klinis klasik dari transeksi komplit
medulla spinalis

Cervical atas yaitu :


– Insufisiensi respiratorik
– Tetraplegi dengan arefleksia
– Anestesi di bawah segmen yang terganggu
– Shock neurogenik (hipotermi dan hipotensi tanpa disertai takikardi)
– Tonus sphincter rektal & kandung kemih menghilang
– Retensi urin & retensi alvi sehingga terjadi distensi abdomen, ileus,
terhambatnya pengosongan lambung (spinal shock)
– Sindroma Horner (ptosis ipsilateral, miosis, anhidrosis)
Gejala klinis

Cidera pada segmen cervical bagian bawah:


– Gejala yang sama dengan di atas tanpa terlibatnya otot
pernafasan
Cidera pada segmen thoracal atas :
– Paraparesis
– Gangguan SSO
Gangguan setinggi segemen thoracal bawah atas
lumbosacral:
– Retensi urin & retensi alvi
– Tidak disertai hipotensi
PEMERIKSAAN KLINIK
Cedera komplit medula spinalis
 Hilangnya fungsi sensoris atau motorik bilateral
Syok hemoragik kadang sulit didiagnosis karena
gejala klinis syok ini dapat diakibatkan karena
disfungsi otonom.
Pada cedera spinalis akut, dapat terjadi syok spinal,
hemoragik, atau keduanya.
Pada disfungsi otonom tidak didapatkan takikardi
dan vasokonstriksi periferal.
Pemeriksaan klinis untuk membedakan syok
hemoragik dan neurogenik:
Syok neurogenik hanya terjadi pada cedera spinalis
diatas Thorakal 6. Hipotensi dan syok pada cedera
spinalis akut pada atau dibawah thorakal 6
disebabkan oleh syok hemoragik.
Hipotensi dengan fraktur tulang vertebra tanpa
adanya defisit neurologis merupakan syok
hemoragik.

Timbul hipotensi yang hebat, yang mana bila tidak


segera ditangani dapat menurunkan aliran darah ke
tempat terjadinya cedera, yang kemudian memicu
timbulnya kerusakan sekunder.
Refleks tendon harus dievaluasi pada daerah
lengan dan kaki, dimana hilangnya refleks
pada tempat tersebut dapat membantu
mengetahui dimana level cedera-nya.
Hilangnya refleks kontraksi abdominal lokasi
cedera diantara daerah T 9 – T 11. Hilangnya
refleks kremaster menunjukkan lokasi cedera
pada daerah T 12 – L 1.
American Spinal Injury Association (ASIA)

A : Komplit. Tidak ada fungsi motorik dan sensorik pada


segmen S 4 – 5
B : Inkomplit. Sensorik masih ada, namun fungsi motorik
terganggu sampai segmen S 4 – 5
C : Inkomplit. Fungsi motorik masih terpelihara dibawah level
neurologik dan kekuatan yang masih dapat dimliki oleh otot
di bawah level neurologik kebanyakan < 3
D : Inkomplit. Fungsi motorik masih terpelihara dibawah level
neurologik kekuatan yang masih dapat dimiliki oleh otot di
bawah level neurologik kebanyakan > 3
E : Normal. Fungsi sensorik maupun motorik normal
Derajat disfungsi pernapasan berhubungan dengan
tinggi cedera spinalis:
Lesi tinggi (C1 atau C2), kapasitas vital hanya 5 -10 %
dari normal, reflek batuk (-)
Lesi C3 – C6, kapasitas vital 20 % dari normal, reflek
batuk lemah dan inefektif.
Lesi T2 – T4 , kapasitas vital 30 – 50 % dari normal,
batuk lemah.
Cedera spinalis dibawah, fungsi respirasi baik.
Cedera T11, disfungsi respirasi spinal minimal.
Kapasitas vital normal, reflek batuk kuat
EVALUASI RADIOLOGI

CT Scan
Mielografi
MRI
PENATALAKSANAAN
Pre Rumah sakit
Imobilisasi tulang belakang dengan spine
board, collar cervical  Sampai fraktur dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan rontgen.
Tujuan yang diharapkan adalah menjaga
kelangsungan hidup.
Airway, Breathing dan Circulation
A,B,C
Manajemen di Rumah Sakit
Aspirasi harus dicegah  jaw thrust dan bila
perlu juga dilakukan intubasi.
Cedera medula spinalis yang tinggi (mid
cervical)

Cek fungsi diafragma (phrenik: C 3 – 5).


Kapasitas vital harus dimonitoring.
A. Menghindari timbulnya kerusakan sekunder

Kerusakan neuron pada cedera medula spinalis


Primer (akibat langsung oleh trauma)  ireversibel
Sekunder (akibat hipoksia, hipoperfusi, peroksidasi
lemak dan peradangan).
Tujuan penanganan menghindari kerusakan
sekunder dengan steroid methylprednisolone pada
waktu 8 jam pertama setelah cedera memberi
perbaikan fungsi motorik dan sensorik.
Metilprednisolone dosis 30mg/kg bolus IV dalam 15
menit pertama, diikuti infus 5,4 mg/kg/jam untuk 23
jam berikutnya, dimulai 45 menit setelah pemberian
bolus.
B. Spinal shock
Timbul akibat disfungsi otonom.
Tercapainya normotensi didapat dengan
penggantian cairan.
Kurangnya perfusi ke organ vital seperti ginjal,
dapat menimbulkan gagal ginjal (urin < 30
ml/jam)
– α-Agonist (Phenylephrine)  meningkatkan
resistensi perifer vaskular.
– Dopamine dengan dosis 2 – 5 µg/kg/menit.
C. Acute Respiratory Failure
Penanganannya hanya bersifat suportif
dengan pemberian oksigen kadar tinggi.
Indikasi intubasi pada cedera spinal adalah
gagal nafas akut, penurunan kesadaran (GCS
<9), peningkatan frekuensi napas dengan
hipoksia, PCO2 lebih dari 50, dan kapasitas
vital kurang dari 10 ml/kg.
E. Penggantian cairan dan nutrisi

Intake cairan pada cedera medula spinalis


merupakan hal yang vital untuk mempertahankan
volume plasma dan menjaga penurunan fungsi ginjal.

Pada pasien dengan fase akut, biasanya ditemukan


hilangnya peristaltik usus. Sehingga pasien akan
membutuhkan cairan parenteral dan jika bising usus
hilang, maka penggunaan parenteral nutrisi
diperlukan.
G. Tindakan Bedah

Tindakan bedah pada kasus cedera medula spinalis harus


mempertimbangkan 2 hal :
– dekompresi
– stabilitas.
Pengembalian kesegarisan (alignment) dari canalis spinalis 
melalui traksi, penyesuaian postural dan manipulasi spinal.
Indikasi pembedahan: tulang atau korpus alienum berada
dalam kanalis spinalis atau jika cedera diikuti dengan defisit
neurologik yang progresif yang terlihat dari adanya epidural
atau subdural hematom.
Penanganan instabilitas tulang belakang : spinal fusion
dengan plate metal, tiang, dan screw kombinasi dengan fusi
pada tulang.
PROGNOSIS
Pasien dengan cedera medula spinalis komplit
kesempatan untuk sembuh adalah kurang dari 5%.
Bila komplit paralisis menetap dalam 72 jam
setelah cedera, angka kesembuhannya adalah 0. 4
Cedera spinal inkomplit memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan dengan tetraplegi disertai
hilangnya sensasi dibawah lesi.5
Jika masih terdapat beberapa fungsi sensoris,
kemungkinan pasien untuk dapat berjalan kembali
adalah 50%.4
Pasien Brown Sequard Syndrome memiliki potensi
kesembuhan paling baik: 75-90% dapat berjalan
normal kembali setelah rehabilitasi. 5
Puasa dan Kesehatan
Moch.Erwin Rachman

Sukran
Bagian Faal Fakultas Kedokteran UMI

Anda mungkin juga menyukai