REFERAT
Disusun Oleh :
MUJI RAHAYU M. A. T
N 111 16 031
Pembimbing:
dr. Santy Kusumawaty, Sp.M, M.Kes
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pergerakan okular diatur oleh enam otot ekstraokuler. Nervus cranial yang
mempersyarafinya adalah nervus III (okulomotorius), nervus IV (troklearis) dan
nervus VI (abdusens). Pergerakan bola mata bersifat konjugat yaitu keduanya menuju
arah yang sama dan pada saat yang bersamaan. Gerakan kojugat horizontal
melibatkan pergerakan simultan pada kedua mata dengan arah berlawanan dari garis
tengah; satu mata bergerak ke medial, sedangkan mata lainnya bergerak ke arah
lateral. Dengan demikian gerakan konjugat bergantung pada ketepatan koordinasi
persarafan kedua mata dan pada nuklei otot yang menpersarafi gerakan mata pada
kedua sisi. Hubungan saraf sentral yang kompleks juga mempengaruhi terjadinya
gerakan tersebut. Saraf yang mempersarafi otot-otot mata juga berperan pada
beberapa refleks yaitu akomodasi, konvergensi, dan refleks cahaya pupil.1
Kelainan yang ditimbulkan pada parese nervus III ini berupa ptosis,
strabismus, diplopia, nistagmus, penurunan akomodasi, penurunan reflek cahaya yang
bisa disebabkan oleh kongenital, trauma, aneurisma, diabetes dan hipertensi serta
neoplasma.2
Diagnosis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan oftalmologi dan
pemeriksaan penunjang. Tatalaksana untuk pasien ini bisa dilakukan dengan terapi
medikamentosa atau dengan terapi bedah.3,4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar. 2 Arah gerakan otot mata
Inti Edinger-Westphal (motorik visera) terletak di otak tengah,
punggung ke bagian anterior dari nukleus oculomotor. Akar motorik visceral
preganglionik meninggalkan nukleus dan jalur secara ventral melalui otak
tengah dengan akson motorik somatik. Akson parasimpatis dan somatik
bersama-sama membentuk CN III. Akson parasimpatis terletak di permukaan
superomedial saraf. Oleh karena itu, ketika saraf ditekan pada aspek
superomedialnya, akson parasimpatis adalah yang pertama kehilangan
fungsinya. Akson parasimpatik bercabang dari saraf ke otot oblique inferior dan
berakhir di ganglion siliaris dekat puncak orbita.5
Akson postganglionik meninggalkan ganglion siliaris sebagai 6 sampai
10 saraf siliaris pendek untuk masuk mata pada aspek posterior dekat asal saraf
optik. Saraf berjalan ke depan, antara koroid dan sclera, untuk berakhir di otot
konstriktor pupillae dan otot siliaris. Serat motor visceral mengontrol nada otot
target mereka; Oleh karena itu, mereka mengontrol ukuran pupil dan bentuk
lensa.5
2.2 Definisi
Palsy N III merupakan suatu kelainan yang melibatkan N III cranial yang
berperan terhadap otot-otot penggerak bola mata. Kelumpuhan saraf
5
okulomotor (kranial ketiga) terjadi ketika ada lesi yang melibatkan jalur saraf
yang berasal dari nukleus oculomotor yang terletak di otak tengah ke cabang-
cabang distalnya yang mempersarafi berbagai otot ekstrinsik mata, termasuk
levator palpebrae superioris, rektus superior, rektus medial, inferior rektus, dan
oblique inferior. Selain itu, saraf okulomotor menyuplai serabut saraf
parasimpatik ke pupilla sphincter dari iris dan otot siliaris, melalui nukleus
Edinger-Westphal dan cabangnya ke ganglion silia dan saraf siliaris pendek.
Oleh karena itu, saraf okulomotor bertanggung jawab untuk gerakan mata. ke
atas, ke bawah dan medial; mengangkat kelopak atas; konvergensi mata;
penyempitan pupil; dan akomodasi mata.6
2.3 Etiologi
Dari 5 serial penelitian utama yang telah dipublikasikan, penyebab asal
dari parese N. III ini tidak paralel.7
6
tanda pentingadanya herniasi lobus temporalis medialis mellui hiatus tentorium
yang cepat. Kelumpuhan nervus ketiga perifer bilateral daoat terjadi sekunder
akibat lesi interpendikuler lainnya, seperti aneurisma arteri basilaris.8
Saraf kranial III adalah yang paling sering terkena saraf otot okular. Lesi
yang tidak lengkap lebih sering terjadi. 60–70% lesi diisolasi, sisanya dikaitkan
dengan lesi CN IV dan / atau VI.
Metabo lik: Diabetes: sering menyakitkan.
Racun: Botulism
Vaskular:
o Aneurisma: sering menyakitkan dan melibatkan pupil.
o Infark batang otak dapat menyebabkan lesi nuklir dan fasciculus.
Peradangan:
o AIDP (jarang)
o Meningitis - dengan keterlibatan saraf kranial lainnya
o Sipilis
o Tuberkulosis
Kompresi:
o Herniasi lobus temporal
o Prosedur bedah saraf
o Kondisi patologis di sinus kavernosa
Tumor:
o Dasar metastasis tengkorak
o Karsinomatosis leptomeningeal
o Multiple myeloma
o Neuroma
Trauma:
o Trauma tengkorak dengan atau tanpa fraktur
o Aneurisma traumatic
7
Dalam trauma gangguan gerakan orbital karena pembengkakan
umum mungkin terjadi.9
Parese nervus III kongenital relatif jarang dan dianggap sekunder akibat
perkembangan yang tidak normal, gangguan intrauterin atau trauma lahir.
Dapat terjadi unilateral dan terisolasi. Beberapa derajat dari ptosis dan
ophthalmoplegia kebayakan dari mereka adalah permanen. Sedangkan
Acquired nerve III palsiy lebih umum dan dapat dilokalisasi terhadap spesifik
area dengan tanda-tanda yang menyertainya dan sifat tertentu dari palsy.10
2.4 Patofisiologi
Lesi N III total akan menyebabkan ptosis, gangguan dalam membuka
mata dan gangguan adduksi, elevesi, depresi dan ekstorsi bola mata. Gangguan
pergerakan bola mata ini merupakan akibat dari kelemahan otot-otot rektus
superior, inferior, dan media, serta otot obliqus inferior. Ketika kelopak mata
terangkat, mata akan terlihat berdeviasi keluar dan sedikit ke bawah, karena
otot rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior
yang disarafi oleh N VI dan IV. Selain itu juga ditemukan dilatasi pupil yang
tidak bereaksi terhadap cahaya, dan paralysis dari akomodasi, hal ini berkaitan
dengan serat parasimpatis dari N III. Lesi kompresi pada saraf, umumnya
menyebabkan dilatasi pupil sebagai manifestasi awal. Setelah timbul lesi, dapat
terjadi penyimpangan dari regenerasi serat N III, dimana regenerasi akson
mungkin masuk ke ranting untuk otot yang bukan asalnya, sehingga timbul
gerakan yang tidak diharapkan (regenerasi aberrant). Keadaan ini ditandai
dengan pupil yang miosis pada gerakan adduksi atau retraksi dari kelopak mata
saat melihat ke atas dan ke bawah.4
Pada penelitian ini parese nervus kranialis III menempati urutan ke 2
sebanyak 10% dan banyak diantaranya adalah bersifat parsial dan sparing pupil.
8
Parese demikian paling sering disebabkan oleh lesi mikrovaskuler akibat
diabetes melitus, hipertensi, 1,2,4 hiperlipidemia dan aterosklerosis.
Penyebab parese nervus III parsial pada penelitian ini adalah 66,6%
karena lesi mikrovaskuler dan 33,3% karena trauma. Penyebab parese nervus
III sparing pupil 100% adalah mikrovaskuler dan penyebab parese nervus III
total adalah 63,3% karena trauma dan 27,3% karena lesi mikrovaskuler. Parese
nervus III jarang terjadi pada 9 anak. Pada penelitian ini hanya ada 1 kasus
parese nervus III parsial bilateral yang terjadi pada anak berusia 6 tahun akibat
trauma.11
11
Klasifikasi dan Differential Diagnosa pada kelumpuhan Nervuas III
berdasarkan gambaran klinis12:
12
Perdarahan otak tengah yang
diduga terjadi pada pria berusia
32 tahun dengan saraf kranial III
sebelah kanan akut.
A, Gambar T2 berbobot aksial
menunjukkan area intensitas
rendah 5-mm pada aspek medial
dari batang otak kanan pada
munculnya saraf kranial kiri III,
konsisten dengan malformasi
vaskular kriptik pial atau
hemangioma. Angiography
negatif untuk aneurisma.
B. Sebuah gambar T1-potongan
sagital menunjukkan area kecil
intensitas rendah (panah) pada
munculnya saraf kranial III,
disebabkan deposisi
Gambar 4. Gambaran MRI pasien parese N. III
hemosiderin.
CT scan
CT scan lebih sensitive dari pada MRI untuk menilai adanya
perdarahan subarahnoid, kalsifikasi, dan dapat mendeteksi tumor serta
aneurisma yang besar.
Wanita berusia 7.65 tahun dengan paralisis nervus kanan ketiga yang lengkap dan
meninggalkan kelemahan wajah sentral.
A, CT menunjukkan lesi pembatas kontras yang dibatasi dengan baik di talamus
memanjang ke daerah pretcctal otak tengah kanan.
B, urutan SE SE-urutan Sagittal (TR / TE = 0,8 detik / 17 msec) menunjukkan lesi otak
tengah dengan beberapa area belang-belang dari sinyal hyperintense dikelilingi oleh
rim sinyal hipointense (panah).12
C, Aksial, sekuen SE berbobot T2 (TR / TE = 2,5 detik / 70 msec) pada tingkat yang
Lumbal pungsi
Tujuan utama lumbal pungsi adalah menilai darah pada cairan
serebrospinal, reaksi inflamasi, infiltrasi neoplasma atau infeksi. Darah
dari cairan spinal dengan kelumpuhan nervus biasanya berasal dari
13
rupture arteri komunikan superior akibat adanya aneurisma berry. Reaksi
inflamasi meningen mungkin bisa terjadi idiopatik atau di diagnosis
berdasarkan kultur bakteri, jamur, pemeriksaan serologi atau antigen
spesifik (PCR).
Serebral angiografi
Angiografi serebral merupaka tes defenitif untuk menilai anuerisma
berry pada semua lokasi intracranial. Angiografi di indikasikan pada
pasien dengan kelumpuhan nervus tiga dan dilatasi pupil. Indikasi pada
pasien kurang dari 55 tahun terutama tanpa riwayat diabetes, hipertensi
atau keduanya.8
14
Pada penyakit ini ditemukan keluhan diplopia dan ophthalmoplegia,
retraksi palpebra, lid lag (von Graefe’s sign), dan atau ptosis yang dapat
bersifat bilateral ataupun unilateral. Temuan klinis lain yang dapat
membantu diagnosis adalah peningkatan tekanan intra okuler (TIO) ketika
pasien melihat ke atas.
5. Internuklear ophthalmoplegia
Kelainan ini disebabkan oleh lesi pada fasikulus longitudinal medial,
akibatnya defisit adduksi ipsilateral dengan nistagmus horizontal. Pada
pupil dan palpebra tidak ditemukan kelainan.
7. Ocular neuromyotonia
Kelainan ini terdiri dari spasme nervus okulomotor, trochlear dan
abdusen yang bersifat episodik. Kelainan dapat bersifat unilateral atau
bilateral.
2.8 Penatalaksanaan
a. Non-Bedah
Pilihan non-bedah biasanya diindikasikan sebagai tindakan jangka
pendek pada fase akut kelumpuhan yang didapat, yang dapat berlangsung
selama 6 bulan. Ini juga diindikasikan sebagai alternatif untuk operasi
ketika kontraindikasi.15
Oklusi satu mata dengan patch, lensa kontak buram atau lensa
kacamata kabur membantu dalam kasus diplopia yang menyedihkan.
Kelumpuhan saraf ketiga dengan keterlibatan levator palpebra, ptosis itu
sendiri bertindak sebagai patch alami untuk menghilangkan diplopia.15
Prisma dapat digunakan dalam kasus-kasus tertentu di mana operasi
merupakan kontraindikasi dan dalam kasus-kasus dengan paralisis parsial
dari saraf ketiga dengan fungsi sisa rectus medial (MR). Namun, bahkan
dalam kasus ini, terapi prisma memiliki peran terbatas sebagai
menyelaraskan sumbu visual dengan prisma bisa sulit dalam pandangan
sifat diplopia multiplanar. 15
Penggunaan toksin botulinum adalah pilihan non-bedah lainnya
pada fase akut paresis saraf ketiga parsial. Ini, terutama berguna dalam
kasus keterlibatan otot MR yang terisolasi. 15
Untuk anak-anak yang rentan terhadap ambliopia, koreksi
kesalahan bias yang tepat dan terapi oklusi dengan tindak lanjut dalam
waktu dekat disarankan. Ini harus diikuti oleh operasi dini setelah kondisi
progresif. 15
Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup
untuk merangsang mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium
terapi ambliopia, yaitu:
16
Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus
menerus. Bila ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu
muda maka diterapkan penutupan paruh waktu. Terapi oklusi
dilanjtukan selama ketajaman penglihatan membaik (kadang-
kadang sampai setahun). Penutupan sebaiknya tidak terus-
menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan.
Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang
dilanjutkan setelah fase perbaikan untuk mempertahankan
penglihatan terbaik melewati usia dimana ambliopianya
kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun).
Pada umumnya, pasien dengan gangguan N.III ini, terasa nyeri pada
bagian mata yang mengalami gangguan nervus ini. Maka, pengobatan
yang diberikan adalah bertujuan untuk mengurangkan rasa nyeri dan
diplopia. Pengobatan dengan NSAIDs (Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs) merupakan pilihan yang utama untuk mengurangi rasa nyeri pada
mata pasien ini. Untuk pasien yang mempunyai gejala diplopia yang
hebat, disarankan menutupi mata tersebut untuk sementara waktu jika
pasien ini mempunyai gejala diplopia yang ringan, disarankan
menggunakan prisma vertikal atau horizontal untuk mengembalikan
posisi mata. Selain itu juga, pembedahan juga dapat dilakukan yaitu
pembedahan pengangkatan palpebra jika adanya ptosis yang persisten
sehingga mengganggu penglihatan pasien. Dianjurkan untuk pasien
yang mempunyai ptosis dan mempunyai penglihatan diplopia untuk tidak
naik tempat-tempat yang tinggi misalnya gunung, memandu kendaraan,
atau mengoperasikan mesin-mesin yang berat demi keselamatan dan
kesejahteraan pasien.
o Terapi bedah
17
Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia
dalam lapangan pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh
ataupun dekat. Terapi bedah dapat ditunda selambat-lambatnya
sampai satu tahun dengan maksud memberi kesempatan untuk
pemulihan dengan sendirinya. Terapi bedah biasanya dilakukan bila
penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot
ekstraokular pulih, selambat-lambatnya sampai 6 bulan. Prosedur
yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual, tindakan
ini merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat
dengan suatu tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari
mata, diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit
kembali ke mata, biasanya di tempat insersi semula. Resesi adalah
tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata, dibebaskan dari
perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut
dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya
semula. 2
o Terapi untuk ptosis
Pada ptosis kongenital yang menghalangi penglihatan mata,
terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah
perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan
visual dapat di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada
usia prasekolah, saat jaringannya masih berkembang sangat baik.
Tindakan operasi yang dilakukan berupa bedah retraksi dari kelopak
mata atas, yang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin saat
ditemukan adanya resiko berkembangnya gangguan penglihatan
akibat ptosis. Resiko dari keratopati terpapar harus di jelaskan kepada
pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun lagi jika
masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan
kepada pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi
18
sampai permukaan ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak
mata yang baru.2
Gambar 6. Pilihan bedah dalam pengelolaan kelumpuhan saraf okulomotor. Diagram alur
meringkas opsi bedah untuk palsy saraf okulomotor yang tidak dibahas dalam artikel ini.
2.9 Prognosis
Tergantung pada perawatan patologi yang mendasarinya. Jika lesi adalah
etiologi vaskular, resolusi biasanya terjadi dalam waktu 4-6 bulan.9
BAB III
LAPORAN KASUS
19
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. L
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Pekerjaan : IRT
Alamat : Ds. Lapa Kaluku
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Kelopak mata kiri tidak bisa diangkat
21
jernih jernih
Iris Kripti (-) sinekia Kripti (-) sinekia
anterior (-) sinekia anterior (-) sinekia
posterior (-) posterior (-)
Pupil Bulat (+) Bulat (+)
Reflek cahaya langsung Reflek cahaya langsung
(+) (+)
Reflex cahaya tidak Reflex cahaya tidak
langsung (+) langsung (+)
9. Lensa Jernih Jernih
10.Mekanisme muscular
B.PALPASI
- Tensi Okular Normal Normal
- Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
- Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
- Glandula Pre aurikuler Normal Normal
C. Tonometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
D. Tes Buta Warna Normal Normal
E. Oftalmoskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
F. Slit Lamp Tidak dilakukan Tidak dilakuakan
22
V. RESUME
23
Diagnosis : Parese Nervus III
Diagnosis Banding :
1. Myastenia gravis
2. Orbital inflammatory syndromes
VII. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa :
Citicoline tab 2×500 mg
Neurodex 2×tab
VIII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad funtionam : malam
- Quo ad sanationam : malam
IX. DISKUSI
Pasien ini didiagnosa dengan Parese N. III, berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis di dapatkan
ketidakmampuan untuk mengangkat kelopak mata sebelah kiri..
Pada pemeriksaan inspeksi Os di dapatkan pada palpebra superior pasien
diminta membuka mata namun pasien tidak mampu membuka palpebra superior, dan
pada pemeriksaan dengan pen light didapat kan pada OS reflex cahaya
langsung (-) maupun pada pemeriksaan reflex langsung (-). Selajutnya
dilakukan pemeriksaan dengan pasien diminta mengikuti telunjuk
pemeriksa, adapun hasilnya pasien tidak mampu menggerakan bola mata
pada semua sisi kecuali pada arah jam 3, 4 dan 5.
Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk pada parese N. III.
Tujuan pengobatan medikamentosa adalah menghilangkan rasa nyeri pada pasien jika
terdapat keluhan. Terapi kausatif dilakukantergantung penyebab dari parese.
24
Adapun tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam
lapangan pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Fuller G., 2004. Cranial nerves III, IV, VI: Eye movements, In Neurologic
Examination Made Easy, 3rd Edition, Churchill Livingstone: London.
2. Victor M, Ropper AH, 2007. Disorders of Ocular Movement and Pupillary
Function, In: Adam’s and Victor’s Manual of Neurology, 7 th Edition, McGraw
Hill: United States of America.
3. Lumbantoding SH, 2007. Saraf Otak, In: Neurologik Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta.
4. Mardjono M, Priguna S, 2012. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
5. Pauwels LW, Stewart P.A. 2010. Oculomotor Nerve, In Cranial Nerves
Function and Dysfungsion. PMPH-USA.
6. Taw LB. Taw MB. 2015. Oculomotor Nerve Palsy : An Integrative East-West
Approach. Diunduh di URL:
https://cewm.med.ucla.edu/wp-content/uploads/MTawOculomotorNervePalsy
2016.pdf
7. Japardi Iskandar. 2002. Nervus III (N. Oculomotorius). Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara. Medan.
8. Eva PR. Whitcher J. 2014. Neuro-Oftalmologi, In Oftalmologi Umum Edisi 7.
9. Feldman EL. Grisold W. 2005. Oculomotor Nerve, In Atlas of
Neuromuscular Diseases. Springer-Verlag-Wien. Austria.
10. Chuigh JP. Jain P.2012. Third Nerve Palsy: An Overview. Diunduh di URL :
http://medind.nic.in/iaa/t12/i5/iaat12i5p621.pdf
11. Faisal MA. Hartono. 2007. Diplopia binokuler Akibat Parese N III, IV dan VI
di RS Mata DR> YAP Yogyakarta. Diunduh dari URL :
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi26.pdf.
12. Kwan ES. Laucella M. 2000. A Cliniconeuroradiologic Approach to Third
Cranial nerve Palsies. Diunduh daru URL :
https://pdfs.semanticscholar.org/f630/d3af5aee968c923fb410dab27f0a4fc3e1
82.pdf
26
13. James Goodwin MD, 2016. Oculomotor Nerve Palsy. Diunduh dari URL:
http: www.emedicine.com/oph/topic183.html..
14. Blake PY. Mark AS. 2005. MR of Oculomotor Nerve Palsy. Diunduh dari
URL : https://pdfs. semanticscholar. org/.pdf
15. Singh A. Bahuguna C. 2016. Surgical Managemenof Third Nerve Palsy.
Diunduh dari URL: https://www.researchgate.net/ publication/
Surgical_management_of_third_nerve_palsy
0 -2
27