Anda di halaman 1dari 16

PENDAHULUAN

Hemoptisis merupakan gejala umum yang sering dijumpai dalam praktek sehari-hari
dan membutuhkan penelusuran penyebab lebih lanjut. Hemoptisis dapat disebabkan
oleh berbagai macam penyakit yang mendasarinya. Pada banyak kasus, hemoptisis
dapat sembuh sendiri, hanya kurang dari 5% hemoptisis yang merupakan kejadian
berat atau mengancam jiwa. Hemoptisis menyebabkan pasien dan keluarga panik
walaupun jumlahnya minimal atau berupa bercak. Hasil luaran hemoptisis umumnya
baik, tergantung modalitas terapi dan diagnosis yang dimiliki. Volume hemoptisis
yang dikeluarkan harus dimonitor karena menentukan langkah tatalaksana yang
diberikan ke pasien.1

Hemoptisis dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit. Penyebab terbanyak


adalah bronkiektasis, tuberkulosis paru, tumor paru dan mikosis paru.1 Selain
penyakit paru, etiologi penyebab hemoptisis juga dapat disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular seperti valvular heart disease, endocarditis, emboli paru dan penyakit
jantung kongenital. Mitral stenosis merupakan penyebab tersering kelainan jantung
yang dapat memberikan gejala hempotisis.1,2 Sebagian besar penyebab hemoptisis
berasal dari arteri bronkial (90%) dan arteri pulmoner (5%). Penelusuran penyebab
hemoptisis dan lokasi perdarahan harus dilakukan secara simultan dengan tindakan
untuk menghentikan perdarahan. Hemoptisis harus dibedakan dengan muntah darah,
yaitu perdarahan yang bersaral dari saluran pencernaan.1

DEFINISI HEMOPTISIS

Hemoptisis didefinisikan sebagai ekspektorasi darah yang berasal dari saluran napas
bagian bawah meliputi parenkim paru atau struktur trakeobronkial akibat perdarahan
vaskularisasi pulmoner dan bronkial. Hemoptisis memiliki variasi berupa hanya
berupa bercak di dahak sampai perdarahan masif yang dapat menyebabkan kematian
akibat asfiksia.1,2 Hemoptisis masif merupakan kondisi yang memerlukan perhatian
khusus karena dapat mengancam jiwa. Fokus hemoptisis masif adalah ekspektorasi
darah dengan volume 200 ml – 1000 ml dalam 24 jam atau lebih dengan jumlah lebih
dari 600 ml sebagai kriteria yang paling sering digunakan.1 Tekanan pada paru yang
kecil menyebabkan perdarahan yang berasal dari paru menjadi lebih sedikit
dibandingkan dengan perdarahan bronkial yang vaskularisasinya berasal dari tekanan
sistemik, sehingga cenderung lebih masif. Hipoksemia berat dilaporkan dapat terjadi
apabila terdapat 400 ml darah di ruang alveolar.1,2

Kriteria batuk darah masif RSUP Persahabatan adalah sebagai berikut :

1. Batuk darah ≥600 ml per 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak
berhenti
2. Batuk darah ≥ 250 ml tetapi < 600 ml per 24 jam, kadar Hb < 10 gr%
sedangkan batuk darah masih berlangsung
3. Batuk darah ≥ 250 ml tetapi < 600 ml per 24 jam, kadar Hb >10 gr% dan
dalam pengamatan 48 jam belum berhenti.

ETIOLOGI HEMOPTISIS

Penyebab utama hemoptisis adalah tuberkulosis paru, bronkiektasis, mikosis paru dan
kanker paru. Penelitian Depari dkk. di RSUP Persahabatan dari 50 orang yang
mengalami hemoptisis, diagnosis tersering penyebab hemoptisis adalah tuberculosis
paru (52%), bekas TB (34%), bronkiektasis (6%), pneumonia (4%), abses paru (2%)
dan tumor paru (2%). Selain penyebab kelainan di paru, hemoptisis juga dapat
disebabkan oleh penyakit lain seperti kelainan vaskular, kelainan hematologi dan
penyakit jantung seperti yang diperlihatkan pada table 1. Mitral stenosis merupakan
penyakit katup jantung yang paling sering menyebabkan hemoptisis. Selain itu,
penyebab lain adalah peningkatan tekanan vena pulmoner seperti mitral regurgitasi
atau kongestif kardiomiopati berat dapat menimbulkan hemoptisis dengan gambaran
foto radiologi edema paru. Penyebab jarang adalah hemoptisis yang berasal dari
hipertensi vena sistemik pada gagal jantung biventricular berat yang disertai
hipertensi dan dilatasi vena azygos.(1, 2)

Tabel 1. Penyebab hemoptisis(3)


PENYEBAB HEMOPTISIS
Penyakit saluran napas Kelainan hematologi
Bronkhitis (akut atau kronik) Koagulopati (sirosis atau terapi warfarin)
Bronkiektasis Disseminated intravascular coagulation
Neoplasma (primer atau metastasis) Disfungsi platelet
Trauma Trombositopenia
Benda asing Penyakit jantung
Parenkim paru Penyakit jantung kongenital (terutama
Tuberkulosis pada anak)
Pneumonia, abses paru Penyakit katup jantung
Infeksi jamur Endocarditis
Neoplasma Lain-lain
Penyakit vaskular Kokain
Emboli paru Cedera setelah tindakan operasi
Malformasi arterivena Fistel trakea-arteri
Aneurisma aorta SLE
Hipertensi pulmoner
Vaskulitis (Wegener’s granulomatosa,
systemic lupus erythematous (SLE),
Goodpasture syndrome)

VASKULARISASI PARU

Paru termasuk organ yang unik karena mendapat asupan darah dari dua vaskularisasi.
Hemoptisis dapat terjadi dari vaskularisasi pulmoner ataupun bronkial sehingga
penting untuk mengetahui anatomi kedua vaskularisasi ini. Sirkulasi darah paru
berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi pulmoner dan sirkulasi bronkial dengan
banyak anastomosis yang menghubungkan kedua sistem tersebut. Sumber perdarahan
hemoptisis masif umumnya berasal dari sirkulasi bronkial (90%). Sekitar 5% kasus
disebabkan abnormalitas pada sirkulasi pulmoner dan 5% dari pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah yang langsung berhubungan dengan aorta.(4)
Sirkulasi pulmoner memegang peranan dalam hal pertukaran gas. Setelah keluar dari
ventrikel kanan, arteri pulmonalis bercabang menjadi arteri pulmonalis kiri dan
kanan. Sirkulasi pulmoner memiliki tekanan yang rendah sekitar 12 cm H2O pada
arteri pulmonalis yang berada di paru bagian atas dan 36 cm H2O pada arteri
pulmonalis yang berada di paru bagian bawah. Arteri pulmonalis berjalan di
sepanjang bronkus dan hanya memberikan suplai darah ke bronkiolus terminalis
kemudian berlanjut dan memberikan suplai darah ke alveolus.(5)

Gambar 1. Sirkulasi pulmoner dan bronkial


Dikutip dari (6)

Trakea, bronkus utama, bronkiolus dan pleura visceral diperdarahi oleh arteri
bronkialis. Pengukuran tekanan sirkulasi bronkial mengidentifikasi aliran sebesar
0,5%-1,5% dari cardiac output dan sebagian besar di saluran napas besar. Arteri
bronkialis berasal dari aorta descending setingkat vertebra torakalis 5 dan 6 dengan
berbagai variasi anatomis. Sirkulasi ini berfungsi memberikan nutrisi pada paru dan
saluran napas. Setelah terdapat cedera pada paru maka pembuluh darah baru
terbentuk dengan bantuan sirkulasi bronkial.(5) Caldwell dkk melaporkan terdapat 4
tipe klasik arteri bronkial yaitu :
1. Tipe 1: terdapat 2 arteri bronkial pada sisi kiri dan 1 di sisi kanan sebagai
intercostobronchial trunk/ ICBT (40%).
2. Tipe 2: terdapat 1 arteri bronkial pada sisi kiri dan 1 ICBT di sisi kanan
(21.3%).
3. Tipe 3: terdapat 2 arteri bronkial pada sisi kiri dan 2 di sisi kanan (1 ICBT dan
1 arteri bronkial) (20.6%).
4. Tipe 4: terdapat 1 arteri bronkial pada sisi kiri dan 2 di kanan (9.7%).

Gambar 2. Tipe arteri bronkial


Dikutip dari (7)

HEMOPTISIS PADA PENYAKIT JANTUNG


Hemoptisis dapat terjadi pada penyakit kardiovaskular. Terdapat beberapa penyakit
kardiovaskular yang dapat menyebabkan hemoptisis, dengan gejala yang serupa
dengan perdarahan yang berasal dari paru.

Mitral stenosis
Hemoptisis muncul pada 43% pasien dengan mitral stenosis, dengan kejadian
hemoptisis masif sangat jarang terjadi. Sebuah tinjauan pustaka melaporkan 14 pasien
dengan komplikasi hemoptisis masif dan 1 pasien meninggal akibat komplikasi ini.
Rata-rata waktu antara hemoptisis pertama sampai menimbulkan perdarahan
pulmoner yang masif berkisar antara 4 minggu sampai 3 tahun. Data dari penelitian
ini juga memperlihatkan terdapatnya hipertensi arteri pulmoner yang berat dan
peningkatan tekanan pulmoner. Dikarenakan kasus hemoptisis pada mitral stenosis
merukapan kasus yang jarang, maka gejala ini dapat menunjukkan suatu
perkembangan penyakit kearah yang lebih lanjut. Bronkoskopi emergensi diperlukan
untuk menyingkirkan bekuan darah yang dapat menyumbat di struktur trakeobronkial
dan menentukan lokasi perdarahan di saluran napas. (8, 9)

Terdapat banyak teori mekanisme terjadinya hemoptisis pada mitral stenosis.


Oppenheimer dan Schwarz melaporkan terjadinya diapedesis pada sel darah merah ke
alveoli pulmoner menjadi penyebab primernya. Brenner melaporkan terjadinya
rupture pada pembuluh darah yang nekrotik pada proses reumatik akut menjadi salah
satu penyebab hemoptisis. Fergusson dkk melaporkan obstruksi katup mitral dan
kongesti vena pulmoner menimbulkan pirau darah dari vena pulmoner ke vena
bronkial yang dapat menimbulkan rupture, menyebabkan hemoptisis massif karena
terjadi peningkatan tekanan pulmoner.

Terdapat 5 tipe hemoptisis yang dapat terjadi akibat mitral stenosis yaitu pulmonary
apoplexy, yang dicetuskan oleh latihan fisis dan kehamilan, Sputum yang
mengandung darah yang berasosiasi dengan serangan sesak napas akibat peningkatan
tekanan pulmoner, Sputum merah muda yang berasosiasi dengan edema paru, sputum
blood streak yang berhubungan dengan bronchitis, dan hemoptisis yang terang akibat
infark paru. Apabila telah terjadi hipertensi pulmonal maka akan terlihat gambaran
pembesaran ventrikel kanan serta segmen arteri pulmonal yang menonjol.(8, 9)

Sindrom eisenmenger
Sindroma Eisenmenger merupakan kondisi obstruksi vaskular paru yang berat akibat
pirau kiri ke kanan yang kronis melalui defek jantung kongenital. Defek jantung
kongenital yang dapat mendasari sindroma ini antara lain duktus arteriosus paten,
defek septum atrial, dan defek septum ventrikular. Peningkatan resistensi vaskular
paru menyebabkan perubahan arah aliran pirau yang secara sistemik menyebabkan
pasien menjadi biru. Selama empat dekade, klinisi mendapatkan frekuensi terjadinya
hemoptisis cukup tinggi pada pasien eisenmenger. Deskripsi klasik Wood pada 127
pasien mengalami hemoptisis pada usia 40 tahun.(10, 11) Sindrom ini merupakan
suatu konsep patofisiologi terjadinya defek jantung kongenital yang berbeda-beda dan
memiliki hubungan dengan peningkatan tekanan arteri pulmoner dan resistensi
vaskular pulmoner.(12)

Hemoptisis pada sindrom ini tidak dapat memberikan prediksi prognosis dan
manajemen hemoptisis pada pasien juga masih konservatif. Wood melaporkan
hemoptisis merupakan penyebab kematian sebesar 29% dari 42 pasien. Daliento dkk
melaporkan 11,4% kasus fatal disebabkan oleh hemoptisis. Mekanisme hemoptisis
pada pasien Eisenmenger dapat terjadi baik akibat ruptur pembuluh darah paru
maupun terjadinya infark pulmonal sekunder akibat thrombus. Pada sindrom
eisenmenger dilaporkan terdapat hipertropi pada arteri bronkial yang mungkin
memilki hubungan dengan terjadinya hemoptisis. Dua kondisi patologis terkait
sindrom ini yaitu hemoptisis dan thrombus menimbulkan dilema para klinisi.
Walaupun penggunaan antikoagulan pada kasus ini rasional dalam mengatasi dan
mengobati thrombus, akan tetapi penggunaannya pada hemoptisis masih harus
dibuktikan aman karena kurangnya data mengenai hal ini.
Emboli paru
Emboli paru merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak penyakit kardiovaskular
setelah infark miokard dan stroke cardiovascular. Patofisiologi emboli paru meliputi
empat faktor yaitu besarnya sumbatan vaskular dan ukuran dari emboli, kondisi
kardiovaskular pasien yang sudah ada, vasokonstriksi kimia akibat pelepasan
serotonin dan thromboxane dari platelet yang melekat di thrombus dan reflex
vasokonstriksi yang muncul sebagai konsekuensi dilatasi arteri pulmoner.(13) Pasien
dengan emboli paru biasanya datang dengan gejala yang nonspesifik, dimana gejala
yang tersering adalah sesak napas, diikuti dengan nyeri dada pleuritik, nyeri dada
substernal, batuk, hemoptisis, serta sinkop. Tanda klinis yang ditemui tersering adalah
takipnea >20x/menit, selanjutnya takikardia >100x/menit, tanda-tanda trombosis vena
dalam, demam >38.5o C, serta sianosis. Diagnosis emboli paru dapat diarahkan
berdasarkan Wells score maupun revised Geneva score (14)

Hemoptisis dapat terjadi pada kasus emboli paru. Sebesar 2% pasien dengan emboli
paru memiliki gejala hemoptisis. Hemoptisis pada emboli paru adalah akibat adanya
nekrosis dan infark dari parenkim paru. Selain itu pada pasien dengan hipertensi
tromboemboli kronik terjadi kompensasi berupa dilatasi dan neovaskularisasi arteri
bronkial, sehingga menimbulkan lesi bronchial dieulafoy dan dapat terjadi hemoptisis
masif.(15, 16) Lesi Dieulafoy merupakan suatu lesi dengan karakteristik dysplasia
pada submukosa dari arteri dan sebagian besar berhubungan dengan gangguan
gastrointestinal. Beberapa kasus melaporkan lesi yang sama di dinding bronkus. Lesi
ini dapat diamati dengan menggunakan bronkoskopi sebagai lesi nodular kecil yang
ditutupi oleh lapisan putih dengan mukosa yang relative normal. Lesi culprit sebagian
besar tampak pada hemoptisis akibat dieulafoy sehingga lesi ini harus
dipertimbangkan pada kasus hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya.(15)

Endokarditis infektif
Hemoptisis masif merupakan gejala yang jarang pada endocarditis infektif. Ketika
terjadi hemoptisis maka sering disebabkan oleh infark parenkim paru akibat emboli
paru septikemia yang terlepas atau ruptur aneurisma mikotik dari arteri pulmoner.
Kondisi ini memiliki hubungan dengan endocarditis katup trikuspid. Terdapat laporan
mengenai hemoptisis yang fatal di paru yang berasal dari aneurisma mikotik arteri
subklavian. Endokarditis menyebabkan terjadinya emboli paru septicemia yang
berasal dari terlepasnya vegetasi emboli sehingga terjadi nekrosis dan kavitas di paru
dengan formasi abses.(17, 18)

Tabel 2. Skor wells dan Geneva revisi untuk emboli paru

Dikutip dari (14)


Infeksi paru merupakan penyakit yang sering terjadi pada pasien endocarditis katup
tricuspid. Murmur jantung hilang secara total. Ketika pasien dengan endocarditis dan
infeksi pulmoner sekunder dari emboli paru septicemia menimbulkan gejala
hemoptisis walaupun derajat ringan, sangat penting untuk melakukan bronkoskopi
dengan tujuan melihat lokasi perdarahan. Istirahat total dibutuhkan, jika terjadi
hemoptisis masif mungkin dibutuhkan intubasi emergensi dan transfuse darah.
Torakotomi di indikasikan jika patensi saluran napas tidak dapat dipertahankan akibat
perdarahan aktif yang terus menerus.(18)

Gambar 3. Lesi nodular bronchial dieulafoy pada pemeriksaan bronkoskopi


Dikutip dari (16)

Manajemen hemoptisis
Modalitas diagnostik yang digunakan untuk mengetahui penyebab perdarahan dan
identifikasi sumber perdarahan adalah radiografi konvensional, bronkoskopi dan CT
(Computed Tomography) scan. Foto toraks dapat mengidentifikasi lokasi perdarahan
pada 33-82% kasus hemoptisis masif dan mengetahui penyebab dasar pada 35%
kasus. Computed Tomography lebih superior dibandingkan foto toraks dalam
menentukan lokasi perdarahan dengan ketepatan 70-88.5% dan lebih efisien
dibandingkan bronkoskopi dalam menentukan penyebab perdarahan karena dapat
menunjukkan kemungkinan penyebab hemoptisis ekstrapulmoner.

Sampai 20 tahun yang lalu, pembedahan merupakan terapi yang menjadi pilhan untuk
mengatasi hemoptisis ketika lokasi perdarahan sudah diketahui. Bagaimanapun juga,
pembedahan yang dilakukan selama kondisi akut memiliki komplikasi yang tinggi
dengan angka mortalitas 7% sampai 18% yang dapat meningkat sampai 40% dalam
kondisi emergensi. Tidak semua pasien dapat menjalani operasi, misalnya dengan
kondisi komorbid cardiovascular dan penyakit respirasi yang menyertai. Pada masa
sekarang, pembedahan hanya dilakukan pada beberapa kasus saja seperti trauma dan
rupture arteri pulmoner iatrogenic.(19)

Embolisasi arteri bronkial merupakan kateterisasi arteri bronkial selektif dan


angiografi yang diikuti dengan embolisasi pembuluh darah abnormal untuk
menghentikan perdarahan. Embolisasi arteri bronkial pertama kali diperkenalkan oleh
Remy pada tahun 1974 dalam tata laksana hemoptisis akut berat. Indikasi tindakan ini
termasuk gagal penatalaksanaan konservatif, hemoptisis berulang dan risiko tinggi
untuk dilakukan tindakan bedah. Embolisasi arteri bronkial juga merupakan tindakan
alternatif yang dilakukan untuk menstabilkan kondisi pasiensebelum tindakan bedah
atau terapi medikamentosa atau dapat menjadi terapi definitif pada pasien yang
menolak pembedahan atau pasien yang bukan kandidat bedah (fungsi paru yang
buruk, penyakit paru bilateral, komorbid).(19)

Penatalaksanaan hemoptisis yang mengancam jiwa adalah mempertahankan saluran


napas dan menjaga kondisi hemodinamik tubuh. Semua pasien harus diberikan
oksigen untuk menjaga saturasi oxihemoglobin yang adekuat. Pasien dengan jumlah
hemoptisis yang ringan sampai sedang biasanya tidak membutuhkan intubasi, akan
tetapi pada kondisi masif intubasi diperlukan untuk memberikan oksigen dan ventilasi
yang adekuat, serta memfasilitasi intervensi diagnostic dan terapeutik. Penting untuk
mengetahui lokasi perdarahan dengan menggunakan bronkoskopi, walaupun
kemampuan diagnostic bronkoskopi masih rendah pada kasus selain karsinoma
endobronkial, prosedur ini masih merupakan suatu komponen penting dalam
manajemen hemoptisis masif pada pasien yang tidak stabil.(2)

Pengontrolan terhadap perdarahan juga harus diberikan kepada pasien. Obat penekan
batuk direkomendasikan untuk diberikan ke pasien walaupun belum ada data
prospektif mengenai efikasi pemakaian obat penekan batuk terhadap hasil luaran
pasien. Hal lain yang harus dipertimbangkan jika memilih obat penekan batuk adalah
timbulnya bekuan darah di saluran napas yang dapat menjadi sumber obstruksi ke
pasien dan menyebabkan ateletaksis. Perdarahan akut di saluran napas dapat diatasi
juga dengan melakukan tamponade endobronkial dengan menggunakan balon yang
biasa disebut bronchial blockers.(20, 21)

Hemoptisis yang disebabkan oleh emboli paru harus diberikan antikoagulan. Tidak
ada data yang melaporkan perburukan hemoptisis akibat pemakaian heparin atau
trombolitik lain. Hemoptisis yang disebabkan oleh emboli septicemia dapat diberikan
antibiotic dan dilaporkan cukup berhasil mengatasi keluhan pasien. Pada kasus
robeknya pembuluh darah misalnya pada aneurisma aorta, arteriosvenous
malformation (AVM), rupture arteri pulmoner dan pada kasus kegagalan setelah
prosedur embolisasi arteri bronkial maka bedah merupakan terapi utama pada pasien
terutama yang mengalami hemoptisis masif. Hemoptisis masif yang disebabkan oleh
mitral stenosis memberikan prognosis yang buruk sehingga membutuhkan
commisurotomy atau valve replacement.(1, 2).
Sumber
perdarahan
tidak diketahui

Gambar 4. Algoritme tatalaksana hemoptisis


Dikutip dari (22)
KESIMPULAN

1. Hemoptisis merupakan kondisi klinis yang dapat terjadi oleh berbagai macam
penyebab.
2. Hemoptisis terjadi karena perdarahan dari sirkulasi bronkial ataupun sirkulasi
pulmoner.
3. Penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan hemoptisis antara lain mitral
stenosis, sindrom eisenmenger, endocarditis infektif dan emboli paru
4. Tatalaksana hemoptisis yang terpenting adalah patensi saluran napas dan menjaga
hemodinamik pasien. Pilihan terapi pada pasien meliputi konservatif,
bronkoskopi, embolisasi arteri bronkial dan pembedahan.
1. I B. Surgical management of massife hemoptysis.
2. Scarlat A, Bodner G, Liron M. Massive haemoptysis as the presenting symptom in
mitral stenosis. Thorax. 1986;41(5):413-4.
3. Zimmerman LJ SR. massive hemoptysis. In: P pJD, editor. critical care medicine :
principles of diagnosis and management in the adult2014.
4. <download (2).pdf>.
5. baptiste EJ. management of hemoptysis in the emergency department. hospital
physician. 2005.
6. K a. anatomy of the lungs.
7. JE S. Respiratory system. JE S, editor2004.
8. P. Serrano Gotarredona SNH, E. Merchante García, J. A. Manzanares Vargas, B.
Sobrino Guijarro; Seville/ES. Systemic arterial supply to the lung. 2009.
9. Leung WH, Lau CP, Wong CK, Cheng CH. Fatal massive pulmonary hemorrhage
complicating mitral stenosis. Clinical cardiology. 1990;13(2):136-8.
10. Liang JJ, Bishu KG, Anavekar NS. 42-Year-Old Man With Hemoptysis, Dyspnea, and
Orthopnea. Mayo Clinic Proceedings. 2012;87(5):497-500.
11. Annette Schophuus Jensen MKI, MD;, Niels G. Vejlstrup M, PhD; Lars Sondergaard,
MD, MDSc. Pulmonary Artery Thrombosis and Hemoptysis in
Eisenmenger Syndrome

circulation. 2007.
12. Broberg C, Ujita M, Babu-Narayan S, Rubens M, Prasad SK, Gibbs JS, et al. Massive
pulmonary artery thrombosis with haemoptysis in adults with Eisenmenger's syndrome: a
clinical dilemma. Heart (British Cardiac Society). 2004;90(11):e63.
13. Daliento L, Somerville J, Presbitero P, Menti L, Brach-Prever S, Rizzoli G, et al.
Eisenmenger syndrome. Factors relating to deterioration and death. European heart journal.
1998;19(12):1845-55.
14. Kostadima E, Zakynthinos E. Pulmonary embolism: pathophysiology, diagnosis,
treatment. Hellenic journal of cardiology : HJC = Hellenike kardiologike epitheorese.
2007;48(2):94-107.
15. El Wahsh RA, Agha MA. Clinical probability of pulmonary embolism: Comparison of
different scoring systems. Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis.
2012;61(4):419-24.
16. Cooper R BJ, Rujubali F, Meyer TJ, Lande L. . Massive hemoptysis from a bronchial
Dieulafoy lesion: A Case Report. PulmCCM Journal. 2015;Edition 1.
17. Fang Y, Wu Q, Wang B. Dieulafoy’s disease of the bronchus: report of a case and
review of the literature. Journal of Cardiothoracic Surgery. 2014;9.
18. Cosmo LY, Risi G, Nelson S, Subramanian P, Martin D, Haponik EF. Fatal hemoptysis in
acute bacterial endocarditis. The American review of respiratory disease. 1988;137(5):1223-
6.
19. Webb DW, Thadepalli H. Hemoptysis in patients with septic pulmonary infarcts from
tricuspid endocarditis. Chest. 1979;76(1):99-100.
20. Sindhu M WK, Burdicis TR, Shaw D. . Bronchial artery embolization for

hemoptysis. Semin Intervent Radiol. 2008.


21. JH C. Which device should be considered the best for lung

isolation: Double-lumen endotracheal tube versus bronchial

blockers. Curr Opin Anaesthesiol .2007:20:7.


22. Murakawa T IN, Fukami T, et al. Application of lobe-selective

bronchial blockade against airway bleeding. Asian Cardiovasc

Thorac Ann. 2010;18:485.


23. Sakr L, Dutau H. Massive hemoptysis: an update on the role of bronchoscopy in
diagnosis and management. Respiration; international review of thoracic diseases.
2010;80(1):38-58.

Anda mungkin juga menyukai