Anda di halaman 1dari 40

Case Report Session

EPILEPSI DAN GIZI BURUK

Oleh:

Muhammad Ihsan Fachruddin 1740312411

Else Gempita Sari 1740312062

Anisa Haney 1740312224

Preseptor:

dr. Liza Fitria, Sp.A, M. Biomed

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering terjadi pada

usia dini dibandingkan usia selanjutnya. Penyakit epilepsi adalah gangguan kronik

yang tidak hanya ditandai oleh berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi

medis dan psikososial. Insiden penyakit epilepsy berdasarkan beberapa penelitian

yaitu terdapat 20-70 per 100.000 per tahun dan prevalens sewaktu 4-10 per 1000

pada populasi umum. Insiden epilepsi berubah-ubah menurut umur, insidens

tertinggi pada usia anak-anak usia dini. 1

Epilepsi memiiki prognosis yang sangat bergatung pada jenis epilepsy,

tidak terdapatnya kelainan neurologis dan onset. Untuk itu diperlukan diagnosis

serta tatalaksana yang tepat untuk prognosis yang baik pada penyakit epilepsy.1

Gizi merupakan salah satu faktor penentu utama kualitas sumber daya

manusia. Status gizi anak dinilai menurut 3 indeks, yaitu Berat Badan menurut

Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi

Badan (BB/TB). Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun

2016, yang dikatakan dengan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) yaitu <-3,0SD yang merupakan

padanan istilah severely underweight.2

Sepertiga dari jumlah kematian anak di dunia dikarenakan kekurangan

gizi (Kemenkes, 2015a). Usia anak dibawah lima tahun merupakan tahapan

perkembangan anak yang rentan terhadap penyakit, termasuk penyakit yang

disebabkan kekurangan atau kelebihan asupan nutrisi (Kemenkes, 2015b).


Menurut UU RI No. 36 Tahun 2009, salah satu indikator yang digunakan untuk

menilai derajat kesehatan masyarakat adalah angka status gizi. Status gizi balita

diukur dengan prevalensi angka stunting (tinggi badan menurut umur),

underweight (berat badan menurut umur) dan wasting (berat badan menurut tinggi

badan) (Dewan Ketahanan Pangan, 2015). 3

1.2 Batasan Masalah

Case Report Session ini membahas mengenai definisi, etiologi, patogenesis,

gejala klinis, diagnosis, dan tatalaksana epilepsi dan gizi buruk pada anak.

1.3 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan Case Report Session ini yaitu diharapkan penulis dan pembaca

dapat mengetahui definisi, penyebab, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, dan

tatalaksana epilepsi dan gizi buruk pada anak

1.4 Metode penulisan

Metode penulisan dari Case Report Session ini adalah dengan tinjauan pustaka
yang merujuk berbagai literature.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epilepsi

2.1.1 Definisi

Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh

berulangnya kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial.1

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf

anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar,

gangguan tumbuh kembang, dan menentukan kualitas hidup anak.2

Epilepsi merupakan serangan kejang paroksismal berulang dua kali atau

lebih tanpa penyebab yang jelas dengan interval serangan lebih dari 24 jam, akibat

lepas muatan listrik berlebihan di neuron otak.2

2.2 Epidemiologi

Penelitian insidens dan prevalensi epilepsi telah dilaporkan dari berbagai

negara. Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20-70 per 100.000

penduduk per tahun dan prevalens sewaktu 4-10 per 1000 pada populasi umum.

Insidens epilepsi berubah-ubah menurut umur, insidens tertinggi pada usia anak-

anak dini, menurun pada usia dewasa dini dan naik kembali pada usia tua.1

Perkiraan insidens atau pervalens epilepsi pada anak di berbagai negara sangat

bervariasi sekitar 4-8 per 1000 populasi.3

Di Indonesia sedikitnya terdapat 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan

pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%

terjadi pada anak-anak.4

2.3 Etiologi
Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh inaktivitas

sinaps inhibisi, atau oleh stimulasi berlebihan pada sinaps eksitasi; atau oleh

perubahan pada keseimbangan neurotransmitter palsu yang memblokade aksi

neurotransmitter alamiah. Turunnya ambang kejang mungkin diakibatkan oleh

perubahan konsenterasi ion dalam cairan tubuh. Depolarisasi mungkin merupakan

refleksi dari kegagalan pompa ion, yang dapat disebabkan karena kurangnya

pasokan energi pada keadaan hipoglikemia, anoksia atau gangguan metabolik

lainnya.1

Bangkitan epilepsi akan berakhir bila inhibisi meningkat dan menjadi lebih

unggul. Telah diketahui bahwa sel glia ikut berpartisipasi dalam menyangga

konsenterasi ion ekstraseluler.1

Berdasarkan faktor etiologi, sindrom epilepsi dapat dibagi menjadi 2

kelompok, yaitu:

1. Epilepsi idiopatik (penyebab tidak diketahui)

2. Epilepsi simtomatik (penyebabnya diketahui, misalnya tumor otak,

pasca trauma otak, pasca ensefalitis)

Pada sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya

pasien tidak menunjukkan manifestasi cacat otak. Pada epilepsi idiopatik,

pengaruh faktor genetik lebih besar. Sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh

abnormalitas konstitusional dari fisiologi serebral yang disebabkan oleh interaksi

beberapa faktor genetik. Gangguan fisiologis ini melibatkan stabilitas sistem

talamik-intralaminar dari substansia kelabu basal dan mencakup reticular

activating system dalam sinkronisasi lepas muatan. Sebagai akibatnya dapat


terjadi gangguan kesadaran yang berlangsung singkat atau lebih lama dan disertai

kontraksi otot tonik-klonik.1

Epilepsi simtomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai

kelainan intrakranial atau ekstrakranial. Penyebab intrakranial misalnya anomali

kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak,

jaringan parut. Penyebab dapat juga ekstrakranial yang akan berlanjut

mengganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung, gangguan pernafasan,

gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan

keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi.1

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi kejang terdapat pada tabel berikut:

Kejang parsial Parsial sederhana


Parsial kompleks Dengan gangguan kesadaran sejak
onset
Onset parsial sederhana diikuti
penurunan kesadaran
Kejang parsial menjadi Parsial sederhana menjadi tonik-
tonik-klonik umum secara klonik umum
sekunder
Parsial kompleks menjadi tonik-
klonik umum
Kejang umum Absens
Mioklonik
Klonik
Tonik
Tonik-klonik
Atonik atau astatik
Tidak dapat
diklasifikasi

Perbedaan antara kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks

adalah apakah pasien tetap sadar atau terjadi perubahan kesadaran. Kesadaran

didefinisikan sebagai respons atau kewaspadaan pasien terhadap stimulus


eksternal. Respons adalah kesanggupan pasien untuk mengikuti perintah

sederhana sedangkan kewaspadaan adalah kesanggupan pasien untuk ditanya

mengenai suatu keadaan dan ingat tidaknya pasien terhadap kejadian tersebut bila

ditanya setelah kejadian.1

2.5 Patofisiologi

Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut

terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion

kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan

konsenterasi ion kalium yang tinggi dan konsenterasi ion natrium yang rendah di

dalam sel dalam keadaan normal. Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-

permeabel berubah, membiarkan ion natrium dan kalium berdifusi melalui

membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang

menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel, dan menjadi stimulus

yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson.1

Setiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya

melalui sinaps eksitasi atau inhibisi. Pada keadaan normal didapatkan

keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini

dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi adalah

meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi

mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA

mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan

perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dan eksitasi lebih unggul dan dapat

menimbulkan bangkitan epilepsi. Fosfat piridoksal penting untuk sintesis GABA,


defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada

bayi.1

Pada bayi dan anak, bukan saja maturasi anatomik dari sistem saraf

mempunyai peranan, tetapi juga variasi antara keseimbangan sistem inhibisi dan

eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan ambang kejang.

2.6 Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesis, yang pertama dilakukan adalah mengajukan pertanyaan-

pertanyaan dengan maksud mendapat gambaran yang setepat-tepatnya tentang

sawan yang yang terjasi. Usaha untuk mendapatkan gambaran bangkitan kejang

yang diuraikan berikut ini berdasarkan klasifikasi jenis bangkitan epilepsi

Internasional 1981. 8

KLASIFIKASI BANGKITAN ATAU SERANGAN KEJANG 6, 8, 10

(International League Againts Epilepsi, 1981)

1. Kejang Parsial

Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal pada satu bagian

tubuh dan biasanya disertai dengan aura. Kejang parsial timbul akibat

abnormalitas aktivitas elektrik otak yang terjadi pada salah satu hemisfer

otak atau salah satu bagian dari hemisfer otak.

o Kejang parsial sederhana tidak disertai penurunan kesadaran

o Kejang parsial kompleks disertai dengan penurunan kesadaran

2. Kejang Umum

Kejang umum timbul akibat abnormalitas aktivitas elektrik neuron yang

terjadi pada seluruh hemisfer otak secara simultan


 Absens

Ciri khas serangan absens adalah durasi singkat, onset dan terminasi

mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik

pada mata, dagu dan bibir.

 Mioklonik

Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat

umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satau atau lebih

ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.

 Klonik

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang

kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.

 Tonik

Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap

dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke

satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat

kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka

atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, pupil dilatasi.

 Tonik Klonik

Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian

diikuti oleh gerakan klonik.


 Atonik

Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala

jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga

pasien terjatuh.

3. Kejang Tidak Dapat Diklasifikasi

Sebagian besar serangan yang terjadi pada bayi baru lahir termasuk

golongan ini.

a. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasanya. 8

b. Pemeriksaan Laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium,magnesium, natrium, bilirubin, ureum

dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang adalah keadaaan

hipoglikemia, hipomagnesemia, hipo atau hipernatremia, hiperbilirubinemia,

uremia. Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula

disertai kejang. 8

c. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto rontgen kepala sapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada

tengkorak. Kalsifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis,

meningioma. Sken tomografik olahan komputer dapat lebih jelas

menunjukkan kelainan-kelainan pada tengkorak dan dalam rongga

intrakranium. 8
d. Pemeriksaan Penunjang 5

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis epilepsi adalah: 8

1. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrobrospinalis pada penderita epilepsi umumnya

normal. Pungsi lumbal dilakukan pada penderita yang dicurigai

meningitis.

2. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi.

EEG dapat mengkonfirmasi aktivitas epilepsi bahkan dapat menunjang

diagnosis klinis dengan baik, tetapi tidak dapat menegakkan diagnosis

secara pasti. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukan kemungkinan

adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada

EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetika atau

metabolik.

Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat

tercermin dalam rekaman EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak

yang nyata-nyata menderita kelainan otak. Kira-kira 10% pasien epilepsi

mempunyai EEG yang normal.

Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila :

 Asimetris irama dan voltage gelombang pada daerah yang sama dikedua

hemisfer otak

 Irama gelombang tidak teratur


 Irama gelombang lebih lambat dibandingkan seharusnya

 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak yang normal,

seperti gelombang tajam paku (spike), paku-ombak, paku majemuk.

Pemeriksaan EEG berfungsi dalam mengklisifikasikan tipe kejang

dan menentukan terapi yang tepat. EEG harus diulangi apabila kejang

sering dan berat walaupun sedang dalam pengobatan, apabila terjadi

perubahan pola kejang yang berarti atau apabila timbul defisit neurologi

yang progresif.

3. Pencitraan

Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos

kepala, angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos kepala dilihat

adanya tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, asimetris tengkorak,

perkapuran abnormal tetapi pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan.

Angiogarafi dilakukan pada pasien yang akan dioperasi karena adanya

fokus epilepsi berupa tumor.

CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya malformasi

otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara lain kesulitan dalam

mengontrol kejang, ditemukannya kelainan neurologis yang progresif

dalam pemeriksaan fisik, perburukan dalam hasil EEG, curiga terhadap

peningkatan tekanan intrakranial dan pada kasus-kasus dimana

dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

2.7 Tatalaksana

Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang

mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama
kejang berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana

kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah

terjadinya status epileptikus.

Penghentian kejang:

0 - 5 menit:

- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik

- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan

oksigen

- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum

dan neurologi secara cepat

- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi

5 – 10 menit:

- Pemasangan akses intarvena

- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit

- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam

rektal 0,5 mg/KgBB (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg

= 10 mg). Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu –

dua kali setelah 5 – 10 menit.

- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/KgBB.

10 – 15 menit:

- Cenderung menjadi status konvulsivus

- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%


- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai

maksimum dosis 30 mg/KgBB.

30 menit:

- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10

mg/kg dengan interval 10 – 15 menit.

- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,

elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi

tanda-tanda depresi pernafasan.

- Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit

perawatan intensif.

Penanganan kejang bisa dilihat pada algoritma penanganan kejang

sebagai berikut:
2.2 Gizi Buruk

2.2.1 Definisi

Pengertian gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat

Badan menurut Umur (BB/U) yaitu <-3,0SD yang merupakan padanan istilah

severely underweight.1

2.2.2 Klasifikasi

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Marasmus

Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering

ditemukan pada balita. Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak

sangat kurus, wajah seperti orang tua, cengeng dan rewel meskipun setelah

makan, kulit keriput yang disebabkan oleh berkurangnya lemak di bawah

kulit, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas,

pantat kendur dan keriput (baggy pant).6

b. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat

disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan

protein yang inadekuat.5 Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak

sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh,

pertumbuhan terganggu, perubahan status mental, gejala gastrointestinal,

rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa

rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, kulit penderita biasanya

kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan


lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi dan persikan kulit, pembesaran hati

serta anemia ringan. Gangguan metabolik dan perubahan sel dapat

menyebabkan perlemakan hati dan edema.

c. Marasmiks-Kwashiorkor

Tipe marasmik-kwashiorkor merupakan gabungan beberapa gejala klinik

kwashiorkor dan marasmus dengan Berat Badan menurut umur (BB/U)

<60% baku median WHO-NCHS yang disertai oedema yang tidak

mencolok.6

2.3 Patofisiologi Gizi Buruk

Ketika asupan masuk anak tidak mencukupi, tubuh melakukan mekanisme

adaptasi dengan menghasilkan energi dari cadangan lemak, selanjutnya jika

cadangan lemak tidak mencukupi makan protein dari otot, kulit, saluran cerna

akan dipecah untuk menghasilkan energi. Energi dihasilkan dengan mengurangi

aktivitas fisik dan pertumbuhan, laju metabolisme basal, dan mengurangi respon

imun dan inflamasi yang berakibat pada7 :

a. Produksi glukosa oleh hati akan berkurang sehingga anak akan lebih

rentan untuk mengalami hipoglikemi. Selain itu produksi albumin,

transferin dan protein – protein transport lainnya oleh hati juga akan

berkurang. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan hati

untuk menanggulangi diet tinggi protein dan untuk mengeksresikan

toksin

b. Produksi panas berkurang, sehingga anak lebih rentan terkena

hipotermia
c. Kemampuan ginjal untuk mengeksresikan kelebihan cairan dan

natrium berkurang sehingga terjadi akumulasi cairan di sirkulasi dan

meningkatkan resiko kelebihan cairan

d. Jantung menjadi lebih kecil dan lemah, menyebabkan penurunan

output, kelebihan cairan yang menyebabkan gagal jantung

e. Berkurangnya aktivitas pompa natrium-kalium sehingga

menyebabkan kelebihan kadar natrium, retensi cairan dan edema

f. Kalium bocor keluar sel dan diekresikan ke urin menyebabkan

ketidakseimbangan elektrolit, retensi cairan, edema dan anoreksia

g. Hilangnya kadar protein otot, kalium, magnesium, seng, copper

h. Produksi asam dan enzim lambung berkurang. Motilitas berkurang

sehingga kolonisasi kuman meningkatdi lambung dan usus halus,

sehingga menyebabkan kerusakan mukosa dan menyebabkan

dekonjugasi garam empedu sehingga proses pencernaan dan absorbsi

terganggu

i. Replikasi dan perbaikan sel berkurang sehingga meningkatkan resiko

tranlokasi bakteri melalui mukosa lambung

j. Fungsi imun terganggu, terutama fungsi sel yang yang berhubungan

dengan imunitas. Respon terhadap infeksi menghilang bahkab pada

sakit parah, sehingga sulit mendiagnosa infeksi.


Gambar 2.1 Patofisiologi gizi buruk8

2.4 Kriteria Diagnosis


Dalam kriteria diagnostik gizi buruk diperlukan pemeriksaan antropometri.

Antropometri yang sering dipakai adalah berat badan, panjang/tinggi badan,

lingkar kepala, dan lingkar lengan atas. Diagnosis ditegakkan dengan adanya data

antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat badan menurut umur),

TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas menurut umur),

BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), dan LLA/TB (lingkar lengan atas

menurut tinggi badan).9


2.4.1 Antropometri

Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk

ringan dan sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan pengukuran-

pengukuran fisik anak (berat, tinggi, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan

angka standar (anak normal). Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa

digunakan, yaitu berat dibandingkan dengan umur anak, tinggi dibandingkan

dengan umur anak, dan berat dibandingkan dengan tinggi/panjang anak.

Parameter tersebut lalu dibandingkan dengan tabel standar yang ada.10

Tabel 2.1 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,TB/U, BB/TB


menggunakan standar baku antropometeri WHO-NCHS11

Indeks yang Batas


Nomor Sebutan Status Gizi
Dipakai Pengelompokan

1 BB/U < -3 SD Gizi buruk

- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang

- 2 s/d +2 SD Gizi baik

> +2 SD Gizi lebih

2 TB/U < -3 SD Sangat pendek

- 3 s/d <-2 SD Pendek

- 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Tinggi

3 BB/TB < -3 SD Sangat kurus

- 3 s/d <-2 SD Kurus

- 2 s/d +2 SD Normal

> +2 SD Gemuk
Tabel 2.2 Interpretasi status gizi berdasarkan tiga indeks antropometri
(BB/U,TB/U, BB/TB) menggunakan standar baku antropometeri WHO-NCHS11
Indeks yang Digunakan
Nomor Interpretasi
BB/U TB/U BB/TB

1 Rendah Rendah Normal Normal, dulu kurang gizi

Rendah Tinggi Rendah Sekarang kurang ++

Rendah Normal Rendah Sekarang kurang +

2 Normal Normal Normal Normal

Normal Tinggi Rendah Sekarang kurang

Normal Rendah Tinggi Sekarang lebih, dulu kurang

3 Tinggi Tinggi Normal Tinggi, normal

Tinggi Rendah Tinggi Obese

Tinggi Normal Tinggi Sekarang lebih, belum obesitas

Keterangan: untuk ketiga indeks (BB/U,TB/U, BB/TB)

Rendah bila< -2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

Normal bila -2 s/d +2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

Tinggi bila > + 2 SD Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

2.4.2 Z-score
Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan

mengurangi nilai individual subjek (NIS) dengan nilai median baku rujukan

(NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan nilai simpang

baku rujukan (NSBR) atau dengan menggunakan rumus:11

Z-score = (NIS-NMBR) / NSBR

Berdasarkan rujukan WHO-NCHS, status gizi dikategorikan sesuai dengan

tabel 1 diatas serta diinterpretasikan dengan menggunakan gabungan tiga indeks

antropometri seperti pada tabel 2.2


2.4.3 Kurva pertumbuhan CDC

Center for disease control and prevention (CDC) merekomendasikan

penggunaan kurva pertumbuhan WHO untuk semua dari lahir hingga usia

2 tahun, sementara kurva pertumbuhan CDC digunakan untuk usia 2

hingga 20 tahun. Body mass index (BMI) dihitung pada usia 2 sampai 20

tahun12

Tabel 2.3 Interpretasi status gizi berdasarkan indeks antropometri (BB/U,TB/U,


BB/TB) menggunakan standar baku antropometeri CDC12
Indikator antropometri Presentil Keterangan
BMI ≥95th Overweight
BB/TB ≥95th Overweight
BMI 85th - 95th Resiko overweight
BMI ≤5th Underweight
BB/TB ≤5th Underweight
TB/U ≤5th Short Stature

2.5 Faktor Risiko pada Anak Gizi Buruk

2.5.1 Campak

Anak-anak gizi buruk sangat berisiko tinggi menghadapi komplikasi medis

dan kematian karena serangan campak. Penyakit ini bisa memperburuk defisiensi

vitamin A. Morbiditas dan mortalitas campak pada populasi gizi buruk mudah

dicegah dengan memberi vaksinasi pada anak berusia 6 bulan sampai 14 tahun.

Suplemen vitamin A juga diperlukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun

karena meminimalkan komplikasi campak seperti kebutaan, pneumonia dan

diare.13

2.5.2 Diare

Menyediakan air bersih dan sanitasi yang baik, serta edukasi masyarakat

tentang keamanan pangan di rumah tangga merupakan langkah penting untuk


mengurangi terjadinya penyakit diare. Tindakan yang paling penting dalam

tatalaksana penyakit diare pada anak balita adalah memastikan ibu terus menyusui

anaknya, selama dan setelah diare. Suplemen zinc diberikan selama 10-14 hari

untuk anak-anak dengan diare akut (20 mg sehari dan 10 mg untuk bayi di bawah

6 bulan) dapat mengurangi tingkat keparahan diare dan mencegah kejadian lebih

lanjut dalam 2-3 bulan ke depan.14

2.5.3. Tuberkulosis

Meski bukan penyebab utama kematian pada fase darurat, tuberkulosis

sering muncul sebagai masalah kritis begitu penyakit campak dan diare cukup

memadai untuk dikendalikan. Tuberkulosis, yang seringkali terjadi bersamaan

dengan HIV / AIDS, sering terjadi pada populasi orang dengan kekurangan gizi. 15

Disfungsi sistem kekebalan tubuh dapat meningkatkan kerentanan terhadap

infeksi tuberkulosis. Temuan kasus TB dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan

mikroskopik sputum. Pengobatan yang tepat untuk pasien TB yaitu sesuai dengan

persyaratan pada sistem directly observed tuberculosis short course (DOTS).16

2.5.4 Xeroftalmia

Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada tipe

marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini, vitamin A serum sangat rendah

sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu, setiap anak dengan

malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral maupun oral,

ditambah dengan diet makanan yang mengandung vitamin A.17

2.5.5 Noma

Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe

marasmus-kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan


pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus

pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan

tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan tercium dari jarak beberapa

meter. Noma dapat sembuh tetapi menimbulkan bekas luka yang tidak dapat

hilang seperti lenyapnya hidung atau tidak dapat menutupnya mata yang

disebabkan oleh proses fibrosis.18

2.6 Tatalaksana
Anak yang terdeteksi memiliki gizi buruk harus dilakukan pemeriksaan
klinis secara keseluruhan terlebih dahulu untuk mengonfirmasi adanya
kemungkinan komplikasi. Selain itu, nafsu makan anak juga perlu diidentifikasi.
Jika anak memiliki nafsu makan serta keadaan umum yang baik, maka anak dapat
dirawat jalan. Sedangkan jika telah terdapat komplikasi, edema berat atau nafsu
makan yang buruk, maka anak akan dirawat inap. Anak harus dipisahkan dari
pasien infeksi dan ditempatkan diruangan yang hangat (25-30oC).22,23

Tabel 2.4 Fase tatalaksana gizi buruk24

No Stabilisasi Rehabilitasi

Hari 1-2 Hari 3-7 Minggu 2-6

1. Pencegahan atau
tatalaksana hipoglikemia

2. Pencegahan atau
tatalaksana hipotermia

3. Tatalaksana atau
pencegahan dehidrasi

4. Memperbaiki gangguan
keseimbangan elektrolit

5. Mengobati infeksi

6. Koreksi defisiensi non zat besi Dengan zat besi


mikronutrien

7. Mulai memberikan
makanan dengan perlahan
8. Memberikan makanan
untuk tumbuh kejar

9. Memberikan stimulasi
untuk tumbuh kembang

10. Mempersiapkan untuk


tindak lanjut di rumah

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa penatalaksanaan gizi buruk

dilakukan melalui dua fase yaitu fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.24,25

2.6.1 Fase stabilisasi

Fase stabilisasi berlangsung selama 7 hari dengan tujuan untuk memperbaiki

fungsi seluler, fungsi cairan, ketidakseimbangan elektrolit, homeostasis serta

mencegah infeksi. Pada fase ini dillakukan pencegahan atau tatalaksana terhadap

hipoglikemia, hipotermia dan dehidrasi. Selain itu, juga dilakukan koreksi

terhadap gangguan keseimbangan elektrolit, mengobati infeksi, koreksi defisiensi

mikronutrien, serta memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang.24

2.6.2 Fase Rehabilitasi

Fase rehabilitasi adalah suatu terapi gizi buruk yang bertujuan untuk

mengembalikan jaringan yang hilang atau catch-up growth. Fase ini ditandai

dengan kembalinya nafsu makan, tidak ada hipoglikemi serta edema berkurang

atau menghilang. Fase ini penting karena akan terjadi perbaikan sistem metabolik

sehingga dapat terjadi peningkatan berat badan.29,30 Peningkatan berat badan harus

dilakukan secara bertahap karena peningkatan berat badan yang terlalu cepat

berpotensi terjadi “refeeding syndrome”.


BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : MR
Umur /TTL : 3 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jambu Air, Agam
Tanggal Pemeriksaan : 10 Desember 2018

3.2 ANAMNESIS
Pasien laki-laki usia 3 tahun 9 bulan dirawat di Bangsal Anak RSUD Dr
Achmad Mochtar pada tanggal 7 Desember 2018 dengan Keluhan Utama :
kejang ± 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Kejang ± 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit, frekuensi 3 kali, kejang


berlangsung selama < 15 menit, masing-masing kejang lamanya kurang
lebih 3 menit, selang waktu kejang 20 menit. Setelah kejang pasien sadar.
Kejang dengan tangan dan tungkai kelonjotan seluruh tubuh. Saat kejang
mata melotot ke atas, mulut tidak berbusa dan lidah tidak tergigit.
 Riwayat diare 6 kali sehari sejak 2 hari yang lalu.
 Riwayat batuk berdahak sejak 3 hari yang lalu tapi sukar dikeluarkan.
 Riwayat demam ada sejak 1 hari yang lalu, tidak menggigil.
 Sesak nafas ada sejak 2 hari yang lalu.
 Mual muntah tidak ada.
 BAK frekuensi dan warna normal.
 Riwayat kejang sebelumnya ada. Kejang pertama pada usia 1 hari setelah
lahir dan dirawat selama 30 hari, tidak disertai demam. Pola kejang berupa
mata bergerak ke atas, tidak ada respon. Kejang berlangsung selama 3
menit.
 Setelah itu, ibu pasien mengatakan anak kejang hampir setiap hari dengan
frekuensi 2-3x dalam sehari dan berhenti setiap diberi obat. Tetapi anak
tidak kejang lagi sejak satu tahun terakhir.
 Pasien merupakan rujukan dari RS Madina tanggal 7 Desember 2018
dengan diagnosis epilepsi putus obat dan anemia dan sudah ditatalaksana
dengan IVFD KaEN 1B 10 tpm makro, sibital 2x20 mg IV, oksigen
1L/menit, Ampisilin 4x200 mg IV, Gentamicin 2x20 mg IV
 Riwayat dermatitis sejak 1 bulan yang lalu, sudah berobat ke dokter
spesialis Kulit dan Kelamin
 Riwayat trauma kepala tidak ada
 Nyeri atau susah menelan tidak ada
 Lemah anggota gerak tidak ada, kaku tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat minum obat anti kejang ada 3 tahun yang lalu, tapi putus obat 1
tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat Persalinan

Lama hamil : 38-39 minggu Ditolong oleh : bidan


Indikasi :-
Cara lahir : spontan
Saat lahir menangis : kuat
Berat lahir : 2900 gram
Kesan : normal
Panjang lahir : lupa

Riwayat Makanan dan Minuman

ASI : 0 – 18 bulan susu formula : 18 bulan- sekarang

biskuit : 6 bulan - sekarang bubur susu : tidak ada

nasi tim : tidak ada

Kesan : kualitas dan kuantitas makan kurang.


Riwayat imunisasi

Imunisasi Dasar/umur Booster/umur


BCG 2 bulan
DPT (1,2,3) 2 bulan, 3 bulan
Hepatitis B 2 bulan
Haemofilus influenza Belum
Campak Belum
Polio 2,3,4 bulan

Kesan : imunnisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat Umur Riwayat gangguan Umur
pertumbuhan dan perkembangan
perkembangan mental
Ketawa 2 bulan Isap jempol
Miring 8 bulan Gigit kuku
Tengkurap 1 tahun Sering mimpi
Duduk - Mengompol
Merangkak Aktif sekali
Berdiri Apatik
Lari Membangkang
Gigi pertama 1 tahun Ketakutan
Bicara Pergaulan jelek
Membaca Kesukaran belajar
Prestasi di sekolah

Kesan : pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai usia


Riwayat keluarga
Ayah Ibu
Nama Krisbiantoro Darmiza
Umur 46 tahun 45 tahun
Pendidikan SMP SD
Pekerjaan Swasta Asisten Rumah Tangga
Penghasilan - -
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita

Saudara kandung Umur Keadaan sekarang


1. Solehate 25 tahun Sehat
2. M. Yamin 18 tahun Sehat
3. Siti Aisyah 13 tahun Sehat
4. M. Taufik 11 tahun Sehat
5. M. Raihan 4 tahun Pasien

Riwayat perumahan dan lingkungan


Rumah tempat tinggal : Semi permanen
Sumber air minum : Sumur
Buang air besar : Di dalam rumah
Pekarangan : Cukup luas
Sampah : Selokan
Kesan : Higienetas dan sanitasi tidak baik

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Tanda Vital :
- Keadaan umum : Tampak sakit berat
- Kesadaran : Sadar
- Frekuensi nadi : 104 x/menit
- Frekuensi nafas : 36 x/menit
- Tekanan Darah : 100/70 mmHg
- Suhu : 37,0 ° C
- Sianosis : Tidak ada
- Edema : Tidak ada
- Anemis : Ada
- Ikterus : Tidak ada
- BB : 8 kg
- TB : 79 cm
- BB/U : -2 SD
- TB/U : < -3 SD
- BB/TB : < -3 SD
- BMI : < -3 SD
Kesan : Gizi buruk
Kulit : Teraba hangat, terdapat plak hiperpigmentasi
Kepala : Bulat, simetris, mikrocephal (berdasarkan grafik Nell haus)
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik
pupil isokor, diameter 2 mm/2 mm, reflek cahaya +/+
Telinga : Tidak ditemukan kelainan

Hidung : Tidak terdapat nafas cuping hidung

Tenggorok : Sulit diperiksa

Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, lidah kotor

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB

Paru
I : Simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis serta dinamis
P : Fremitus tidak bisa dilakukan
Pr : Sonor
A : Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
I : Iktus cordis tidak terlihat
P : Iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Pr : Batas jantung atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V
A : Irama reguler, teratur, bising (-)
Abdomen
I : Tampak datar, distensi tidak ada
A : Bising Usus (+) normal
P : Supel, hepar tidak teraba, Lien tidak teraba
Pr : Timpani
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Alat Kelamin : Desensus testis bilateral, A1 P1 G1
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Reflek Fisiologis +/+, Reflek Patologis -/-

3.4 LABORATORIUM (Pemeriksaan tanggal 6 september 2017)


Darah
Hb : 8,1 g/dL
Ht : 26 %
Leukosit : 12.110/mm3
Trombosit : 196.000/mm3
Eritrosit : 2,9 juta/mm3
Hitung jenis : 0,7 / 0,2 / 61,3 / 34,2 / 3,6
Kesan : anemia sedang, leukositosis

3.5 DIAGNOSIS
Epilepsi + gizi buruk + dermatitis + kandidiasis oral

3.6 PEMERIKSAAN ANJURAN :

- Elektroensefalografi
- CT-SCAN
3.6 PENATALAKSANAAN
1. Terapi Non farmakologis
Makanan cair 6x125 cc = 750 KKal
2. Terapi Farmakologis
Oksigen 1L/menit
IVFD KAEN 1 B 750cc/hr = 10 tpm Makro
Sibital 2x20 mg
Ampisilin 4x200 mg IV
Gentamisin 2x20 mg IV
Nistatin drop 4x0,8 ml

Edukasi tentang:
Obat harus diminum teratur, tidak boleh putus obat
Pentingnya menjaga higiene dan sanitasi lingkungan

Follow up
10 desember 2018
S/ Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Gatal pada kulit tidak ada
Lidah kotor
Sesak nafas tidak ada
Demam tidak ada
Batuk tidak ada
BAB dan BAK normal
O/ KU KES TD ND Nfs T
Sdg sadar 100/60 96x 34x 37,0ºC
Berat badan : 8 kg ; Tinggi Badan : 79 cm
Mata : konjungtiva anemis ada, sclera ikterik tidak ada
Kulit : Teraba hangat, terdapat plak hiperpigmentasi di kedua tungkai,
lipat siku, punggung, badan dan kepala
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Laboratorium (10 Desember 2018) :
Albumin : 2,0 g/DL
Ca AS : 7,8 mg/DL
Total protein : 5,7 g/DL
Kalium : 5,79 mEq/L
Natrium : 148,7 mEq/L
Khlorida : 117,8 mEq/L
Ureum : 7,5 mg/dL
Kreatinin : 0,3 mg/dL
A/ Epilepsi
Gizi buruk
Kandidiasis Oral
Dermatitis
P/ Makanan cair 6x125 cc = 750 KKal
Oksigen 1L/menit
IVFD KAEN 1 B 750cc/hr = 10 tpm Makro
Sibital 2x20 mg
Ampisilin 4x200 mg IV
Gentamisin 2x20 mg IV
Nistatin drop 4x0,8 ml
R/ Konsul ke spesialis kulit

11 Desember 2018
S/ Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Gatal pada kulit tidak ada
Lidah kotor
Sesak nafas tidak ada
Demam tidak ada
Batuk tidak ada
BAB dan BAK normal
O/ KU KES TD ND Nfs T
Sdg sadar 95/60 100x 32x 36,8ºC
Berat badan : 8 kg ; Tinggi Badan : 79 cm
Mata : konjungtiva anemis ada, sclera ikterik tidak ada
Kulit : teraba hangat, terdapat plak hiperpigmentasi di kedua
tungkai, lipat siku, punggung, badan dan kepala (hasil
konsul dari spesialis kulit : diagnosis impetigo)
Leher : tidak ada pembesaran KGB
Cor : irama teratur, bising tidak ada
Pulmo : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Abdomen : supel, hepar lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A/ Epilepsi
Gizi buruk
Kandidiasis Oral
Dermatitis
P/ Makanan cair 6x125 cc = 750 KKal
Oksigen 1L/menit
IVFD KAEN 1 B 750cc/hr = 10 tpm Makro
Sibital 2x20 mg
Ampisilin 4x200 mg IV
Gentamisin 2x20 mg IV
Nistatin drop 4x0,8 ml
BAB 4
DISKUSI

Pada tanggal 6 Desember 2018, pasien laki-laki usia 3 tahun 9 bulan dirawat

di bangsal anak RSUD Dr Achmad Mochtar dengan keluhan utama kejang sejak ±

1 jam SMRS, kemudian pasien sadar dan kejang terulang hingga 3x, kejang

berlangsung <15 menit dengan tangan dan tungkai kelonjotan seluruh tubuh dan

mata melotot ke atas. Sebelumnya pasien demam sejak ± 1 hari SMRS.

Memastikan keadaan kejang pada anamnesis harus dapat dijelaskan dengan

sejelas-jelasnya untuk menyingkirkan gerakan-gerakan yang hanya menyerupai

gerakan kejang. Pada pasien ini terdapat gerakan tangan dan tungkai kelonjotan

seluruh tubuh dan mata tampak melotot ke atas. Gerakan ini merupakan gerakan

yang selalu ada pada saat kejang. Sehingga dapat diklasifikasikan pada tipe kejang

umum tonik-klonik.

Pada pasien ini, faktor etiologi adalah faktor idiopatik, yaitu penyebab tidak

diketahui dan tidak ada riwayat epilepsi pada keluarga. Karena menurut teori, etiologi

epilepsi dibagi menjadi idiopatik dan simptomatik. Dan epilepsi terbanyak disebabkan

oleh faktor idiopatik. Sedangkan faktor simtomatik dapat disebabkan oleh tumor otak,

pascatrauma otak, pascaensefalitis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dan status lokalis secara

sistematis berada dalam batas normal. Hal ini menjelaskan kesesuaian pemeriksaan fisik

pada kasus dengan pemeriksaan fisik pada teori.

Pada pemeriksaan laboratorium di IGD didapatkan pasien mengalami anemia

Status epileptikus dapat disebabkan oleh infeksi, hipoksia, gangguan

glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma kepala dan perdarahan. Pada pasien

ini tidak terdapat mual muntah. Tidak ada penurunan napsu makan. Pasien juga

tidak mengalami trauma atau perdarahan sebelumnya. Namun, pasien


mengeluhkan demam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit

yang mencapai angka 34.950/mm3. Demam dan leukositosis dapat menandakan

adanya suatu infeksi. Pada pasien ini dapat saja dicuriagi adanya infeksi yang

memicu terjadinya status epileptikus pada saat ini.

Cerebral palsy merupakan kumpulan gejala kelainan perkembangan motorik dan

postur tubuh yang disebabkan oleh gangguan perkembangan otak sejak dalam kandungan

atau di masa kanak-kanak. Kelainan tersebut biasanya disertai dengan gangguan sensasi,

persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan masalah musculoskeletal.

Gejala cerebral palsy mulai dapat diamati pada anak-anak di bawah umur 3 tahun. Pasien

mengalami keterlambatan motorik. Saat ini pasien berumur 3 tahun 1 bulan masih belum

bisa berjalan dan berbicara. Pasien tidak bisa melakukan komunikasi dua arah. Pada mata

pasien tampak seperti adanya strabismus konvergen, dimana tanda-tanda tersebut

merupakan tanda yang menunjukkan kejadian cerebral palsy. Pada usia 1 tahun, pasien

sudah didiagnosis dengan cerebral palsy.

Terapi yang diberikan kepada pasien ini adalah Terapi yang diberikan pada

pasien ini adalah IVFD KA EN 1B 105 cc/Kg/hari, ini digunakan untuk cairan

maintenance. Pemberian paracetamol juga diperlukan untuk menghilangkan

keluhan simptomatisnya yaitu demam dengan dosis 3x100 mg IV, dosis

paracetamol pada anak ialah 10-15cc/kgBB. Terapi etiologik berupa antibiotik

berupa Cefotaxim 2x250 mg. Menurut penyaji hal ini sesuai untuk pasien dengan

adanya infeksi ditatalaksana dengan antibiotik.

Setelah pasien stabil diberikan Asam Valproat, pasien dengan epilepsi

ataupun kejang diberikan obat maintence. Obat maintence diberikan dengan dosis

rendah. Obat-obat yang dapat diberikan antara lain Karbamazepin, Asam

Valproat, Difenilhidantoin dan Fenobarbital. Pemilihan Asam Valproa, bukan


hanya karena asam valproat dapat menatalaksana seluruh jenis kejang namun juga

efek samping obat yang tidak begitu berarti pada anak. Pada obat selain asam

valproat dapat mengakibatkan mengantuk pada pasien yang akan berujung pada

prestasi belajar yang menurun. Obat ini diberhentikan secara perlahan-lahan

setelah 2 tahun bebas kejang. Luminal diberikan sebagai agen efektif untuk kejang

umum tonik klonik dan parsial.digunakan sebagai obat kejang dengan kerja

berikatan dengan tempat ikatan barbiturat. Selain itu obat ini memiliki toksisitas

yang rendah dan biaya yang murah.


5. Soetomenggolo Taslim. Pemeriksaan Penunjang Pada Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.223-226.
6. Ismael Sofyan. Klasifikasi Bangkitan Atau Serangan Kejang Pada
Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting.
Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.204-209.
7. Soetomenggolo Taslim. Kelainan Menyerupai Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.209-214
8. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi.
Dalam: Markam Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1.
Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 103-113.
9. Lazuardi Samuel. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim,
Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 1999: h.226-241.
10. Haslam Robert. Sistem Saraf; Bab 543 Kejang-Kejang Pada Masa Anak.
Dalam: Nelson Waldo E, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi-
15. Volume-3, diterjemahkan oleh Wahab Samik. Jakarta: EGC; 2000:
h.2056-2060.
DAFTAR PUSTAKA

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil pemantauan status gizi (psg)

dan penjelasannya. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat; 2016.

Anda mungkin juga menyukai