Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Devics disease adalah penyakit neurologis yang jarang terjadi, ditandai
dengan terjadinya neuritis optik dan myelitis. Devics disease juga dikenal sebagai
sindrom Devic dan neuromyelitis optica (NMO). Nama-nama sindrom Devic,
penyakit Devic, dan NMO sering digunakan secara bergantian, meskipun nama
pertama mencakup semua pasien yang sesuai dengan definisi sebelumnya dan
yang kedua dan ketiga seharusnya hanya digunakan untuk merujuk pasien diduga
memiliki gangguan yang berbeda. Hal ini masih kontroversial apakah sindrom
Devic adalah varian dari multiple sclerosis atau penyakit yang disebabkan oleh
paparan virus varicella zoster yang menyebabkan acute disseminated
Encephalomyelitis (ADEM). Penyakit Devic (NMO) mungkin menjadi penyakit
monophasic, atau mungkin penyakit yang hilang-timbul yang merupakan penyakit
radang demielinasi yang pertama diketahui dengan penanda serum, yaitu antibodi
IgG-NMO.1

NMO terjadi sebagai akibat dari adanya ketidaksempurnaan dalam sistem


kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh memiliki peran dalam memproduksi
antibodi untuk melawan bakteri dan virus. Dengan antibodi tersebut
memungkinkan tubuh kita untuk mengenali dan menghancurkan bakteri atau
virus. Sayangnya, ketika sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi dengan baik,
sistem imun malah memproduksi antibodi yang justru melawan protein-protein
sehat di dalam tubuh. Kejadian ini yang biasanya disebut dengan kondisi
autoimun. Sebagian besar pasien dengan NMO menghasilkan antibodi aquaporin
4 yang menghancurkan protein-protein normal dalam tubuh. lapisan sel yang
bertanggung jawab untuk mencegah zat-zat berbahaya dari dalam darah
menyeberang ke dalam otak. Diduga pada kasus NMO terjadi kelemahan pada
lapisan penghalang tersebut sehingga memungkinkan antibodi AQP4 untuk
memasuki sistem saraf pusat. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
Inflammation dan Demyelination.1,2
1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Neuromielitis optik (NMO) atau yang disebut Devics disease merupakan
penyakit autoimmun yang mengakibatkan demyelinisasi inflamasi pada sistem
saraf pusat yang target utamanya adalah nervus opticus (N.II) dan bagian tertentu
dari medulla spinalis.1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Rasio terjadinya NMO antara wanita dengan laki-laki adalah 5:1. Optic
neuromyelitis monofasik secara kontras mempengaruhi baik laki-laki maupun
wanita. Waktu onset rata-rata pada ras Kaukasia muncul pada dekade keempat,
dimana hal ini menunjukkan bahwa onset penyakit ini lebih lama dibandingkan
penyakit demyelinisasi Multiple Sclerosis (MS). Kasus pediatrik pernah
dilaporkan dan bisa berupa monofasik atau relaps. Pada ras non-Kaukasian
(Afrika, Hispanik, dan Asia) lebih sering ditemukan kejadian NMO dibandingkan
MS, namun demikian ras Kaukasia tetap mendominasi kasus NMO secara
keseluruhan. Di Jepang, 15-40% kasus penyakit demyelinisasi merupakan jenis
optikospinal. Tapi terminologi optikospinal multiple sclerosis (OSMS) sering
didefinisikan dengan lengkap, tapi tidak identik pada kelompok pasien. Banyak
peneliti Asia mengadaptasi terminologi OSMS pada pasien optic neuritis dan
myelitis tanpa lesi panjang pada medulla spinalis, yang mana kasus ini akan
diklasifikasikan sebagai pasien yang memiliki prototipe MS; para peneliti melihat
bahwa NMO merupakan bagian kecil dari OSMS di Asia. Hal inilah yang
menimbulkan kebingungan dalam penggabungan data di Amerika dan Eropa
dengan Asia. Insidensi dan prevalensi NMO menjadi sulit diperkirakan karena
masih dalam tahap pengenalan klinis dan teknik diagnosis seperti Magnetic
Resonance Imaging (MRI) pada medulla spinalis dan ketersediaan tes NMO-IgG
tidak selalu tersedia di semua wilayah geografis.1
Sehingga dapat disimpulkan bahwa NMO tipe relaps sebagian besar
mengenai wanita usia muda. Tapi pada NMO tipe monofasik dapat berkembang

2 2
baik laki-laki maupun wanita. NMO sangat jarang terjadi pada anak-anak.
Perbedaan prinsip antara NMO dan MS adalah jarang ditemukannya lesi pada
otak, terutama pada fase awal berkembangnya penyakit.2
Variasi genetik menimbulkan kecenderungan yang berbeda terhadap
NMO. NMO familial dilaporkan terjadi pada anak wanita kembar identik yang
perkembangan penyakitnya dimulai pada usia 24 dan 26 tahun; dua bersaudara
wanita dengan optic neuritis diikuti myelitis pada usia 2 dan 3 tahun; 2 bersaudara
wanita asal Jepang onsetnya muncul pada 62 dan 67 tahun; 2 bersaudara wanita
keturunan Spanyol-Amerika yang perkembangan NMO pada usia 26 dan 28
tahun.1
Pada populasi orang Eropa dan orang Jepang, kerentanan terhadap NMO
berkaitan dengan HLA-DRB 1*1501 haplotipe. Beberapa studi menunjukkan
bahwa orang Jepang dengan OSMS, walaupun berkaitan kuat dengan HLA-DPB
1*0501: alel DPB1 yang paling sering ditemukan di Asia tapi jarang ditemukan
pada ras Kaukasia. Studi terakhir menunjukkan tidak ada perbedaan prevalensi
DRB1*1501 antara optikospinal dan bentuk tipikal MS.3

2.3 ETIOLOGI
Etiologi yang mendasari NMO, antara lain infeksi virus, tuberculosis,
kelainan autoimun seperti Sindrom Sjorgen, Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), dan Anti-Phospolipid Syndrome (APS). NMO juga dapat terjadi akibat
pemberian vaksin whole, live attenuated seperti pertusis, influenza dan tetanus
juga dapat menyebabkan NMO.7
NMO berkaitan dengan APS apabila sel LE (+), pemanjangan PT dengan
adanya antibodi IgM kardiolipin. APS merupakan sindrom kelainan autoimun
dengan autoantibody yang mempengaruhi berbagai macam organ tubuh termasuk
medulla spinalis. Pada NMO, antibodi antinuclear positif tanpa adanya kejadian
penyakit jaringan konektif sistemik. Beberapa berspekulasi bahwa ini merupakan
representasi autoantibodi positif yang terjadi sebagai hasil proses autoimun.
Bahkan ada pula kasus tidak ditemukannya auto antibodi pada onset penyakit, tapi
baru muncul beberapa tahun ke depan dengan klinis pasien mirip SLE dan APS.7

3
2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi NMO secara lengkap belum diketahui. Pada individu yang
rentan, didapatkan adanya stimulus antigen yang memicu produksi
immunoglobulin di sirkulasi (NMO IgG). Kondisi lemahnya blood brain barrier
atau sawar darah otak menyebabkan antibodi dapat menjangkau area AQP4
(aquaporin) pada sel glia. Saat ekspresi gen AQP4 dominan, maka terjadi aktivasi
komplemen yang menginisiasi proses inflamasi. Fragmen komplemen kemotaktik
memicu munculnya neutrofil dan eusinofil serta IL-17 dan IL-8, yang mana
kadarnya juga tinggi pada kasus OSMS. Reaksi silang antara molekul AQP4
dengan NMO-IgG memicu endositosis dan penutupan kanal, yang membatasi
proses inflamasi. Mekanisme ini memicu disrupsi selular dari mekanisme transpor
air, yang berkontribusi terhadap beberapa lesi yang terjadi pada beberapa pasien
NMO. Sintesis perifer NMO-IgG konsisten dengan kurangnya oligoklonal pada
carian serebrospinal. NMO-IgG tidak diproduksi oleh sintesis intratheca, hal ini
sangat kontras pada MS yang ditandai dengan sintesis imunoglobulin oligoklonal
dalam sistem saraf pusat oleh sel B yang berasal dari perifer. Sumber perifer
NMO-IgG menjelaskan respon klinis yang bagus pada plasmaparesis pasien
NMO.1

Gambar 2.1 Patofisiologi NMO (Neuromielitis Optik)1

Antibodi AQP4 diproduksi oleh sel B pada sirkulasi perifer dan mencapai
target antigenik, kanal air pada membran astrosit. Regio dengan ekspresi AQP4,
seperti prosesus astrosit yang menempel pada dinding kapiler sawar otak, nervus

4
optikus, medulla spinalis, dan area yang tidak dilindungi oleh sawar otak,
memiliki kerentanan yang tinggi terjadinya injury. Setelah melewati sawar darah
otak, ikatan yang terjadi hanya pada agregat molekular dari AQP4. AQP4 dan
EAAT2 (Sodium-dependent excitatory amino acid transporter-2) membentuk
komplek pada membran plasma. EAAT2 merupakan tranporter untuk
memasukkan kembali glutamat. Ikatan antibodi AQP4 dan AQP4 pada astrosit
akan memicu AQP4 mengalami internalisasi oleh sel yang mengandung vesikel
endosom, dengan kemungkinan degradasi bersama-sama dengan EAAT2,
menghasilkan gangguan pemasukan gluatamat dan memicu penumpukan glutamat
di luar sel. Hal ini memicu kerusakan neuron dan olilgodendrosit. Transpor air
yang melintasi membran astrosit mengalami gangguan fungsional. Granulosit
yang ditarik oleh komplemen, Sel NK (Natural Killer), dan antibodi sitotoksik,
semua berkontribusi terhadap kerusakan jeringan. Kerusakan jeringan pada NMO
dengan IgG negatif disebabkan karena antibodi tidak teridentifikasi atau dimediasi
oleh mekanisme selain autoantibodi, seperti antibodi sitotoksik.4

2.5 KLASIFIKASI
1. NMO Relaps
Terdapat serangan awal yang berupa neuritis optic dan myelitis
transversum, dan serangan berulang dalam periode beberapa tahun.
Kadang pasien tidak dapat pulih secara sempurna dari serangan defisit
neurologis yang memicu kerusakan permanen nervus optikus dan medulla
spinalis. Tipe NMO ini lebih sering terjadi pada wanita dibanding laki-
laki.
2. NMO Monofasik
Pada beberapa kasus, serangan muncul pada periode beberapa hari
hingga beberapa minggu. Tidak terdapat fase serangan setelah pemulihan.
Bentuk NMO ini angka kejadiannya sama baik pada wanita atau laki-laki.8

5
2.6 TANDA DAN GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala klinis neuritis optic meliputi :
1) Inflamasi nervus optikus
2) Penurunan penglihatan, yang akan mempengaruhi paling tidak pada satu
mata. Pada sebagian besar kasus hal ini bersifat sementara; tapi
bagaimanapun juga masih terdapat resiko kehilangan daya penglihatan
secara permanen, yang akan diperburuk dengan panas atau aktivitas
berlebih
3) Pembengkakan diskus optikus
4) Nyeri bulbar yang akan semakin bertambah dengan pergerakan. Nyeri
semakin sering terjadi setelah satu minggu, dan menghilang setelah
beberapa hari kemudian
5) Penurunan sensitivitas mata terhadap warna
Pasien yang mengalami neuritis optikus yang berkembang akan mengalami
masalah dalam mengendarai kendaraan bermotor. Sehingga pasien tidak
diperkenankan beraktivitas mengemudi.
Tanda dan gejala myelitis transversum:
1) Inflamasi medulla spinalis
2) Nyeri punggung
3) Nyeri leher (cervical)
4) Sensasi tertusuk pada tungkai dan abdomen
5) Area di bawah lesi medulla spinalis pada pasien akan mengalami
perubahan sensasi panas/dingin, kesemutan, sensasi dingin atau terbakar
6) Kelemahan tungkai atas dan bawah. Beberapa pasien menjelaskan
tungkainya terasa berat saat digerakkan, bahkan yang lain ada yang
berkembang hingga paralisis total
7) Inkontinensia urin
8) Frekuensi (peningkatan kuantitas miksi)
9) Inkontinensia fekal
10) Sulit berkemih/ Hescitation
11) Konstipasi

6
12) Kesulitan pengosongan kandung kemih.8

2.7 PEMERIKSAAN FISIK


1) Pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV): tensi, denyut nadi, frekuensi
pernafasan, suhu tubuh. Catatan penting untuk suhu tubuh perlu diperhatikan
sebagai salah satu cara untuk mendeteksi adanya suatu infeksi.
2) Pemeriksaan status interna : pemeriksaan thorax (jantung dan
paru), abdomen
3) Status mental pasien
4) Pemeriksaan neurologis terkait

Pemeriksaan saraf kranialis diutamakan N.II (apakah
terdapat gangguan penglihatan yaitu penurunan visual acuity), N.III (ukuran
pupil, simetris), N.V (refleks kornea).

Pemeriksaan Motorik untuk menilai tonus (pada kasus
NMO biasanya hipertonus yang meliputi spastisitas, rigiditas, klonus) dan
kekuatan otot (menilai adanya plegia/parese).

Pemeriksaan Sensoris Umum untuk memeriksa adanya
gangguan protopatik (nyeri, suhu, raba) atau gangguan proprioseptif (posisi,
getar, nyeri dalam).

Pemeriksaan Sensoris Khusus terutama Tes Lhermitte
untuk mendeteksi nyeri radikuler di vertebrae cervicalis, lalu dilanjutkan
identifikasi penyebaran nyeri berdasarkan dematom.

Pemeriksaan dermatom dan myotom untuk menentukan
topis.7

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Jika MRI medulla spinalis dilakukan pada interval yang tepat setelah
serangan akut (dalam beberapa hari hingga beberapa minggu) akan menunjukkan
lesi medulla spinalis yang meluas hingga lebih dari 3 segmen vertebrae. MRI
medulla spinalis merupakan tes diagnostik paling spesifik untuk NMO selain
dengan pemeriksaan serologi terhadap NMO-IgG. Gambaran MRI fase akut

7
biasanya menunjukkan edema dan penebalan gadolinium yang akan terus bertahan
selama beberapa bulan ke depan. Evaluasi MRI, atrofi medulla spinalis dan
kavitas yang menyerupai siring akan tampak; lesi dapat berubah secara
keseluruhan, atau hanya meninggalkan atrofi. MRI cerebri sering menunjukkan
gadolinium (Gd) penebalan saraf optik saat episode akut neuritis optik. Pada masa
onset NMO, parenkim otak biasanya normal atau menunjukkan perubahan
menjadi keputihan yang non-spesifik pada subkortikal yang tidak memenuhi
kriteria radiologi Barkhof untuk diagnosis MS. Pittock et al mengevaluasi 60
pasien NMO dan menemukan lesi cerebri pada 36 pasien, tapi 6 pasien memiliki
lesi seperti MS yang biasanya asimptomatik. 5 pasien lainnya yang sebagian besar
anak-anak memiliki lesi diensefalon, batang otak, dan hemisfer yang bersifat
atipikal terhadap MS.1
MRI medulla spinalis merupakan tes diagnostik yang sangat disarankan
untuk NMO. Episode myelitis akut sering berkaitan dengan lesi masif medulla
spinalis lebih dari 3 segmen vertebrae. Lesi biasanya terdapat pada bagian tengah
medulla spinalis dan dapat diperkuat dengan Gadolinium (Gd)3.

Gambar 2.2 Potongan sagital vertebrae cervikalis menunjukkan lesi dari batas
cervical dan medulla terhadap batas superior korpus C4. Lesi ini berkaitan dengan
pasien myelitis eksaserbasi3

8
Gambar 2.3 Potongan aksial T-1 MRI dengan tampilan orbita dengan penebalan
Gd pada nervus optikus kiri. Neuritis optik ini menyerang secara simultan dengan
myelitis seperti gambar sebelumnya.3
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada saat fase relaps akan menunjukkan
peningkatan protein total dan beberapa kasus menunjukkan pleositosis hingga 50-
1000 x 106 sel darah putih/L, yang mana komposisinya sebagian besar terdiri dari
neutrofil. Ketika muncul, hal ini penting untuk membedakan tampilan
pemeriksaan NMO dengan MS. Pleositosis pada cairan serebrospinal pada relaps
MS jarang mencapai 50 x 106 sel darah putih/L. Oligoklonal yang muncul pada
90% pasien dengan diagnosis MS akan muncul 20% pada pasien NMO. Eusinofil
muncul pada pemeriksaan cairan serebrospinal pasien NMO. Matrix
metalloproteinase-9 pada cairan serebrospinal lebih tinggi pada MS dari pada
NMO. Walaupun konsentrasi total IgG meningkat pada cairan serebrospinal
pasien NMO dan MS, total IgG1 meningkat hanya pada pasien MS dan tidak pada
pasien NMO. Rendahnya IgG1 yang rendah pada NMO diinterpretasikan
kurangnya respon autoimun Th1 dari pada MS NMO.1
Pada pasien OSMS terjadi peningkatan IL-17 dan IL-8 yang menjelaskan
peningkatan neutrofil pada sistem saraf pusat pada NMO. Lebih jauh lagi, baik
panjang lesi medulla spinalis dan rasio cairan serebrospinal dan serum albumin
berkaitan dengan kadar sitokin. Korelasi yang dilaporkan adalah peningkatan

9
jumlah kadar IL-5, IL-6, IgG, dan IgM. Kadar kemokine (CXCL10/IP-10,
CCL17/TARC, CCL2/MCP-1 dan CCL11/Eotaxin) pada cairan serebrospinal
tidak berbeda antara pasien NMO dan MS. Tidak ditemukan adanya perbedaan
hasil terhadap kadar CD 26 (dipeptidyl peptidase-IV yang sebagian besar
diekspresikan pada sel Th1) dan CD 30 ( anggota Tumor Necrosis Factor/ nerve
growth superfamily preferentially pada sel Th2). Bagaimanapun juga, penelitian
terhadap Eotaxin (eosinofil kemoatraktan dan aktivator) pada cairan serebrospinal,
Eo-2, Eo-3 dan ECP (Eosinophil Cationic Protein) secara signifikan lebih tinggi
pada pasien NMO.1

2.9 DIAGNOSIS
Penggalian riwayat NMO terdiagnosa pada pasien yang mengalami onset
kebutaan yang cepat, baik pada satu ataupun dua mata, diikuti beberapa hari
hingga beberapa minggu oleh paralisis di tungkai atas dan bawah. Pada sebagian
besar kasus, interval antara neuritis optik dan myelitis transversum secara
signifikan lebih lama, bahkan ada yang mencapai beberapa tahun. Setelah
serangan awal, NMO diikuti oleh fase yang tidak bisa diprediksi. Sebagian besar
pasien dengan sindrom mengalami serangan kluster dalam beberapa bulan hingga
tahunan, diikuti pemulihan parsial pada saat episode remisi. Relaps dari NMO
biasanya dialami oleh wanita yang rasionya 4:1 dengan laki-laki. Bentuk lain
NMO, yang mana seorang pasien mengalami serangan berat dalam jangka waktu
beberapa bulan biasanya menyerang baik laki-laki maupun wanita dengan rasio
sama besar. Onset NMO bervariasi dari anak-anak hingga dewasa dengan dua
masa puncak onset pada remaja dan pada orang dewasa berusia 40 tahun.9
Sebelumnya, NMO sempat diperdebatkan mirip dengan MS karena
keduanya dapat menyebabkan neuritis optik dan myelitis. Tapi dari penelitian
terakhir NMO dapat dibedakan dari MS, yaitu derajat keparahan serangannya dan
kecenderungannya untuk menyerang nervus optikus dan medulla spinalis pada
awal perjalanan penyakit ini. Gejala di luar nervus optikus dan medulla spinalis
jarang terjadi, sekalipun ada beberapa gejala seperti muntah dan hiccups yang

10
sekarang dikenali sebagai gejala spesifik NMO karena adanya keterlibatan batang
otak.9
Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa antibodi dalam sirkulasi pasien
NMO menunjukkan biomarker yang tepat untuk membedakan NMO dengan MS.
Antibodi tersebut diketahui sebagai NMO-IgG yang 70% muncul pada pasien
NMO dan tidak ditemukan pada pasien dengan MS atau kondisi yang mirip
dengan MS lainnya.9

Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik NMO tahun 2015.3

11
2.10 DIAGNOSIS BANDING
NMO yang tipikal sangat sulit dibedakan dengan episode neuritis optikus
dan myelitis yang disertai dengan perluasan longitudinal (lebih dari tiga segmen
vertebrae) medulla spinalis dan tidak adanya sekelompok oligoklonal. Kejadian
paling sering adalah misdiagnosis dengan MS yang hanya dapat dibedakan oleh
gambar MRI otak, lesi pendek medulla spinalis, dan adanya kumpulan oligoklonal
dan pemulihan yang baik dari fase relaps. Penyakit lainnya adalah tampaknya
optikospinal akut meliputi ensefalomyelitis diseminata akut, limfoma, SLE
(Systemic Lupus Eritematosus), sindrom Sjogrgen, dan Herpes Zooster. Antibodi
CRMP-5/antiCV-2 berkaitan dengan kanker sistemik yang ditemukan pada pasien
yang tampilan klinisnya sama dengan NMO.4

Tabel 2.2 Perbandingan MS dengan NMO.10

12
2.11 TERAPI
Melihat mekanisme antibody-mediated sebagai penyebab dasar NMO,
merupakan hal yang logis apabila mengobati penyakit ini dengan terapi
imunosuppresan. Bagaimanapun juga, tingkat kejadian yang tinggi akan
mendukung keberhasilan terapi imunosuppresan yang diberikan. NMO
merupakan penyakit yang jarang terjadi, keparahan dan relaps serta onset awal
morbiditas dan mortalitas membuat kontrol terapi dan placebo sulit dilakukan.4
Terapi NMO meliputi terapi relaps akut, pencegahan relaps, manajemen
gejala dan rehabilitasi. Manajemen relaps pada awalnya adalah terapi steroid yang
biasanya diberikan metilprednisolon 1 gr iv selama 5 hari yang kemudian diikuti
oleh prednisolon oral yang dimulai 1 mg/kg BB dan di pertahankan selama 6-12
bulan. Relaps yang tidak berespon dengan steroid iv harus dilakukan plasma
exchanges, paling tidak dilakukan 7 kali dalam periode 2 minggu. Diharapkan
dengan cara ini akan terjadi perbaikan klinis.4
Imunosupresan steroid-sparing sebaiknya diberikan segera setelah relaps,
biasanya di rumah sakit pada awal minggu pertama. Azathioprine biasanya paling
sering digunakan karena paling efektif digunakan pada sebagian besar kasus
NMO. Steroid dosis rendah seperti methotrexate, siklofosfamide, mitoxantrone,
dan siklosporin bisa dijadikan obat pilihan jika pasien tidak mampu membeli
Azathioprine.4
Rituximab, merupakan anti-CD20 antibodi monoklonal yang
menunjukkan keuntungan pada terapi agresif pasien NMO. Penelitian terakhir
dengan 25 pasien NMO (2 pasien anak) diterapi dengan rituximab membaik
secara klinis dalam waktu rata-rata 19 bulan. Efek yang sama ditunjukkan dengan
pemberian Mycophenolate pada 24 pasien dengan dosis 2000 mg/hari dan
dievaluasi 28 bulan. Hasilnya 22 pasien membaik secara klinis, dan efek samping
obat hanya terjadi pada 6 pasien. Seperti sebagian besar imunosuppresan memiliki
sefek menguntungkan pada NMO, ada juga keuntungan pada steroid dosis rendah
yang harganya lebih murah seperti methotrexate dan lainnya yang digunakan
ketika rituximab atau mycophenolate tidak tersedia dapat dijadikan alternatif
terapi.4

13
Kesimpulannya adalah penyakit NMO dimulai dengan steroid intravena
kemudian dilanjutkan steroid oral. Jika steroid tidak efektif maka terapi
dilanjutkan dengan plasma exchange atau plasmaparesis yang bertujuan untuk
membersihkan antibodi dalam sirkulasi darah lewat sebuah mesin yang
mekanisme kerjanya sama dengan dialysis. Terapi jangka panjang NMO antara
lain meliputi steroid, obat imunosuppresan (eg. Azathioprine), kemoterapi (eg.
Mitoxantrone, merk dagang: Novantrone), dan imunosuppresan lainnya (eg.
Rituximab). NMO tidak bisa membaik dengan terapi konvensional untuk MS,
sehingga diagnosis harus ditegakkan untuk efektifitas terapi NMO.6

2.12 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul antara lain kebuataan baik mata sesisi
maupun bilateral. Kehilangan kekuatan dan sensasi di tangan. Serta tidak dapat
mengontrol fungsi berkemih dan buang air besar. Pada beberapa kasus pasien
mengalami spasme, yang mana spasme ini terjadi juga pada MS tapi lebih sering
pada NMO. Dengan spasme ini, pasien merasa tangan menjadi kaku selama 15
detik hingga 2 menit. Pasien merasakan nyeri hebat beberapa kali dalam sehari.
Pada beberapa kasus hal ini dapat diatasi dengan pemberian terapi antikonvulsan.5
Berikut ini beberapa komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien NMO
akibat perjalanan penyakit, atau akibat pemberian obat :
1) Masalah pernafasan pada kasus berat, kelemahan otot pernafasan dapat
terjadi, sehingga pasien membutuhkan ventilasi artifisial.
2) Depresi gangguan mental akibat menderita NMO, terutama apabila
pasien mengeluh gejala yang berat dapat memicu depresi secara klinis
pada pasien.
3) Disfungsi ereksi dan disfungsi seksual beberapa laki-laki mengalami
masalah memulai dan mempertahankan ereksi. Baik laki-laki maupun
wanita mengalami gangguan orgasme.
4) Fraktur diakibatkan terapi steroid dalam jangka panjang yang memicu
osteroporosis
5) Paralisis jika terjadi kerusakan berat pada struktur medulla spinalis.8

14
2.13 PROGNOSIS
Prognosis NMO sangat bervariasi dan semuanya tergantung dari adanya
kecenderungan untuk terjadinya relaps setelah ditegakkannya diagnosis. Pada
umumnya serangan NMO cenderung lebih sering terjadi dan semakin berat
dibandingkan pasien MS. Resiko utama pada pasien adalah kerusakan berat pada
segmen atas medulla spinalis yang mana dapat memicu kesulitan bernafas yang
merupakan hal fatal pada pasien. Bagaimanapun pasien NMO akan menjalani fase
penyakit yang panjang. NMO tidak dipelajari secara luas oleh beberapa peneliti
sehingga sulit untuk memprediksi prognosis pasien dengan NMO.5
Pada dasarnya pasien komplikasi pada pasien NMO tidak dapat diprediksi
karena waktu relaps yang sangat bervariasi. Disabilitas merupakan hasil kumulatif
dari setiap serangan pada area kerusakan myelin. Beberapa pasien dipengaruhi
oleh NMO dan dapat kehilangan pandangan dan kehilangan fungsi menggerakkan
tungkai atas maupun bawah. Sebagian besar mengalami kelemahan permanen
pada kedua tungkai akibat proses myelitis. Kematian pada individu dengan NMO
sering disebabkan karena komplikasi pernafasan akibat serangan myelitis pada
segmen thorakal.8

15
2.14 ALGORITMA

Tabel 2.3 Algoritma NMO

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Optic Neuromyelitis (NMO) atau yang disebut Devics disease
merupakan penyakit demyelinisasi inflamasi pada sistem saraf pusat yang
target utamanya adalah nervus opticus (N.II) dan bagian tertentu medulla
spinalis. Rasio NMO yang terjadi antara wanita dengan laki-laki adalah 5:1.
Etiologi yang mendasari NMO antara lain infeksi virus, tuberkulosis,
kelainan autoimun seperti Sindrom Sjorgen, Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), dan Anti-Phospolipid Syndrome (APS). NMO juga dapat terjadi akibat
pemberian vaksin whole, live attenuated seperti pertusis, influenza dan
tetanus juga dapat menyebabkan NMO.
Klasifikasi NMO terbagi menjadi 2 yaitu NMO relaps dan NMO
monofasik. NMO Relaps ditandai serangan awal yang berupa neuritis optic
dan myelitis transversum, dan serangan berulang pada periode beberapa
tahun.
Komplikasi yang dapat timbul antara lain kebuataan baik mata
sesisi maupun bilateral. Kehilangan kekuatan dan sensasi di tangan. Serta
tidak dapat mengontrol fungsi berkemih dan buang air besar.
Prognosis NMO sangat bervariasi dan semuanya tergantung dari
adanya kecenderungan untuk terjadinya relaps setelah ditegakkannya
diagnosis. Pada umumnya serangan NMO cenderung lebih sering terjadi dan
semakin berat dibandingkan pasien MS. Resiko utama pada pasien adalah
kerusakan berat pada segmen atas medulla spinalis yang mana dapat memicu
kesulitan bernafas yang merupakan hal fatal pada pasien.

17
17
DAFTAR PUSTAKA

1. Jacob, Anu et al. Neuromyelitis Optica : Changing Concepts. Elseviere


Journal of Neuroimmunology, 2007 : 126-138
2. Graber, David J et al. Neuromyelitis optica pathogenesis and aquaporin 4.
Journal of Neuroinflammation, 2008, 5:22.
3. Wingerchuck, DM. International consensus diagnostic criteria for
neuromyelitis optica spectrum disorders, American academy of neurology,
2015; 13: 42-50.
4. Jacob, Anu. Neuromyelitis Optica. Journal of Indian Academy of
Neurology; 2009; 12: 4(231-237)
5. Wingerchuck. 2009. Devics Disease. http://
www.advocacyforpatients.orgpdfnmodevics.pdf. Diakses tanggal 23 Juli 2017
pukul 15.20.
6. Claveland Clinic. 2008. Health Information: Devics Disease.
http://my.clevelandclinic.orgDocumentsMultiple_sclerosis_centerdevics_disea
se.pdf. Diakses tanggal 25 Juli 2017 pukul 19.00
7. Komolafe, Morenikeji A. New onset neuromyelitis optica in a young
Nigerian woman with possible antiphospholipid syndrome: a case report.
Journal of Medical Case Report;2008; 2:348
8. Medical News Today. 2009. What Is Devic's Disease? What Is
Neuromyelitis Optica? What Causes Devic's Disease?. Diakses 23 Juli 2017
pukul 18.15
9. Medicine Net. 2011. Neuromyelitis Optica (Devics Syndrome).
http://www.medicinenet.comdevics_syndromearticle.htm.htm. Diakses 23 Juli
2017 pukul 19.20
10. Wingerchuck, Dean M et al. The Spectrum of Neuromyelitis Optica. The
Lancet Neurology; 2007; 6: 805-815
11. Karceski, Steven. 2009. Neuromyelitis Optica. http://
www.neurology.orgcontent728e40.full.htm. Diakses 24 Juni 2017 pukul 20.00

18 18

Anda mungkin juga menyukai