Anda di halaman 1dari 23

Clinical Science Session

VAGINOSIS BAKTERIALIS

Oleh:

Diyanah Nuraini 1840312747

Preseptor :

dr. H. Erman Ramli, SpOG(K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RS ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T dan


Shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan clinical science session dengan judul
“Vaginosis Bakterialis”.
Terimakasih penulis ucapkan kepada dr. H. Erman Ramli, SpOG(K)
sebagai preseptor yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan
clinical science session ini. Penyusunan clinical science session ini ditujukan
untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di
bagian Ilmu Kesehatan Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
Penulis menyadari bahwa clinical science session ini jauh dari sempurna
sehingga sangat diperlukan saran untuk memperbaiki clinical science session ini.
Semoga clinical science session ini bermanfaat dan menjadi bekal untuk
kemudian hari.

Bukittinggi, 7 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
1.3 Metode Penulisan 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Vagina 333
2.2 Definisi 4
2.3 Epidemiologi 5
2.4 Faktor Resiko 5
2.5 Etiologi 5
2.6 Patogenesis dan Patofisiologi 6
2.7 Manifestasi Klinis 7
2.8 Diagnosis 8
2.9 Pemeriksaan Penunjang 9
2.10 Diagnosis Banding 12
2.11 Tatalaksana 12
2.12 Komplikasi 14
2.13 Prognosis 14
BAB 3. KESIMPULAN 15
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Diagnosis Banding Vaginosis Bakterialis 12

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Vagina 4


Gambar 2.2 Fungsi Lactobacilli 6
Gambar 2.3 Ketidaseimbangan Flora Vagina 6
Gambar 2.4 Sekret Vagina pada Vaginosis Bakterialis 8
Gambar 2.5 Bacterial vaginosis (Gardnerella vaginalis) 10
Gambar 2.6 Clue cells 10
Gambar 2.7 Tes Whiff 11

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vaginosis bakterialis adalah sindrom klinis akibat pergantian
Lactobacillus spp penghasil hydrogen peroksidase (H2O2) dalam vagina normal
dengan bakteri anaerob konsentrasi tinggi, seperti Bacteroides spp., Mobiluncus
spp,. Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis.1 Pergatian Lactobacillus
spp. menyebabkan penurunan konsentrasi H2O2 yang umumnya ditandai dengan
produksi sekret vagina yang banyak, berwarna abu-abu hingga kuning, tipis,
homogen, berbau amis dan terdapat peningkatan pH.2
Vaginosis bakterialis merupakan penyebab paling sering dari keluhan duh
tubuh vagina dan keputihan yang bau, namun 50% pasien tidak memberikan
gejala apapun.3 Prevalensi dan distribusi vaginosis bakterialis bervariasi di seluruh
populasi dunia. Penelitian pada wanita asia di India dan Indonesia didapatkan
prevalensi sebesar 32%.4,5 Di Amerika Serikat, vaginosis bakterialis merupakan
penyebab vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40-50% dari kasus pada
perempuan usia reproduksi. Di Indonesia, prevalensi vaginosis bakterialis
mencapai 10%. Vaginosis bakterialis ditemukan sebesar 15-19% pada pasien
rawat inap bagian kandungan, 10-30% pada ibu hamil dan 24-40% pada klinik
kulit kelamin.6
Hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti yang menjadi pencetus
terjadinya vaginosis bakterialis.7 Penyakit ini dapat timbul dan sembuh secara
spontan, walaupun tidak dimasukkan kedalam kelompok IMS, namun dikaitkan
dengan aktivitas seksual. Faktor risiko sosioekonomi dengan parameter berupa
tingkat pendapatan dan pendidikan dikaitkan dengan kejadian vaginosis
bakterialis.8,9 Selain itu, dikaitkan juga dengan penggunaan Intra Uterine Device
(IUD) dan pemakaian douching vagina dan bubble baths.1 Rekurensi pada
vaginosis bakterialis sering ditemukan, sehingga perlu dilakukan kontrol ulang
apabila keluhan muncul kembali.3
Diagnosis infeksi vaginosis bakterialis dapat ditegakkan dengan beberapa
metode yaitu kriteria Amsel dan kriteria Hoy/Ison.10 Penatalaksanaan vaginosis

1
bakterialis diberikan pada semua pasien yang memberikan keluhan. Pada wanita
tidak hamil tatalaksana bertujuan untuk menghilangkan tanda dan gejala infeksi
vagina dan mengurangi risiko komplikasi infeksi. Pada wanita hamil tujuan
tatalaksana untuk menurunkan risiko komplikasi infeksi yang menyertai vaginosis
bakterialis selama kehamilan baik untuk ibu dan janin.1,8
Komplikasi vaginosis bakterialis pada wanita diantaranya pelvic
inflamantory disease (PID) dan infeksi traktus urinarius. Pada wanita hamil dapat
mengalami abortus, ketuban pecah dini, persalinan prematur, korioamnionitis dan
endometritis post partum.7 Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk
membahas menganai vaginosis bakterialis pada clinical science session ini.

1.2 Tujuan Penulisan


Clinical science session ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi,
faktor risiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis dan diagnosis banding serta
tatalaksana pada vaginosis bakterialis.

1.3 Metode Penulisan


Clinical science session ini ditulis berdasarkan tinjauan kepustakaan yang
merujuk dari berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vagina


Vagina adalah rongga muskulo membranosa berbentuk tabung mulai dari
tepi serviks uteri di bagian kranial dorsal hingga ke vulva di bagian kaudal
ventral. Vagina berfungsi untuk mengeluarkan ekskresi uterus saat haid, sebagai
jalan lahir, dan sebagai alat kopulasi (persetubuhan). Secara klinis, batas dalam
vagina adalah forniks anterior, posterior, dan lateralis di sekitar serviks uteri.
Vagina menghubungkan genitalia interna dan eksterna. Panjang ukuran anterior
vagina adalah 6,5 cm dan posterior vagina 9 cm. Sumbu vagina berjalan sejajar
dengan arah pinggir bawah simfisis ke promontorium. Secara embriologis, 2/3
bagian atas vagina terbentuk dari duktus Mulleri (asal dari entoderm) sedangkan
1/3 bagian bawah berasal dari sinus urogenitalis (lipatan-lipatan ektoderm).11
Epitel vagina merupakan epitel skuamosa yang terdiri dari beberapa lapis
epitel gepeng tidak bertanduk dan tidak mengandung kelenjar, tetapi dapat terjadi
transudasi di sana. Mukosa vagina berlipat-lipat secara horizontal (rugae), di
bagian tengah dan bagian belakang terdapat bagian mengeras yang disebut
kolumna rugarum. Di bawah epitel vagina terdapat jaringan ikat yang banyak
mengandung pembuluh darah. Di bawah jaringan ikat tersebut terdapat otot-otot
yang susunannya serupa dengan otot-otot usus. Bagian luar otot terdapat fasia
(jaringan ikat) yang elastis dan akan berkurang keelastisitasannya sesuai dengan
pertambahan usia. Di depan vagina terdapat uretra yang panjangnya 2,5 - 4 cm.
Bagian atas vagina berbatasan dengan vesika urinaria sampai ke forniks anterior
vagina.11 Anatomi vagina dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.

3
Gambar 2.1 Anatomi Vagina

2.2 Definisi
Vaginosis bakterialis disebut juga sebagai vaginitis non spesifik atau
vaginitis Gardnella. Peristiwa ini merupakan perubahan flora bakteri vagina
normal berupa kurangnya atau hilangnya jumlah Lactobacilli yang memproduksi
hidrogen peroksida sehingga mengakibatkan pertumbuhan berlebih dari bakteri
anaerob yang dominan.5
Vaginosis bakterialis adalah suatu sindrom perubahan vagina dimana
terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya memproduksi hydrogen
peroksida (H202) di vagina dengan bakteri anaerob (seperti misalnya Prevotella
Sp, Mobillincus species, Gardnerella vaginalis dan Mycoplasma hominis) yang
menyebabkan peningkatan pH dari nilai <4,5 sampai 7,0. Hal itu biasa timbul dan
remisi secara spontan pada wanita dengan seksual aktif dengan wanita yang
bukan seksual aktif. Jalur yang pasti dari transmisi seksual pada pathogenesis
vaginosis bakterialis belum jelas.13
Awalnya infeksi vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di
dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri
anaerob lain berupa Peptococcus dan Bacteroides, sehingga disebut vaginitis
nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya
disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai
ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa

4
Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga
menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan
Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan Eubacterium,
misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan Streptococcus
viridans.14,15
2.3 Epidemiologi
Bentuk paling umum dari vaginitis di Amerika Serikat adalah vaginosis
bakterialis. Bakteri anaerob dapat ditemukan sebanyak <1% pada flora wanita
normal. Pada wanita dengan vaginosis bakterialis, konsentrasi G. Vaginalis,
Mycoplasma hominis dan bakteri anaerob lainnya dapat mencapai 100-1.000 kali
lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Lactobacilli biasanya tidak ada.12
2.4 Faktor Risiko
Penyebab vaginosis bakterialis belum diketahui dengan pasti. Menurut
Schorge, ada beberapa predisposisi atau faktor risiko yang berhubungan dengan
Vaginosis Bakteralis adalah sebagai berikut :
1. Oral seks
2. Pemakaian pencuci vagina
3. Kehamilan
4. Merokok
5. Berhubungan seksual saat menstruasi
6. Pemasangan IUD (Intra Uterine Device)
7. Berhubungan seksual pada usia dini
8. Bergonta-ganti partner seksual
9. Aktivitas seksual dengan wanita lain
Sedangkan menurut distribusi data karakteristik terdapat beberapa faktor
risiko terjadinya vaginosis bakterialis pada ibu hamil yaitu usia, usia kehamilan,
riwayat keputihan dan tingkat pendidikan.16
2.5 Etiologi
Infeksi ini disebabkan oleh Gardnerella vaginalis, Mobiluncus spesies,
Mycoplasma hominis, dan Peptostreptococcus spesies. Tidak ada penyebab
infeksi tunggal melainkan lebih merupakan pergeseran komposisi flora vagina

5
normal. Pada literatur lain disebutkan vaginosis bakterialis terjadi akibat adanya
Gardanela vaginosis dan infeksi bakteri anaerob pada vagina.17,18
2.6 Patofisiologi
Penjelasan definitif patogenesis vaginosis bakterial tetap sulit
dipahami, namun pemahaman saat ini adalah mengenai perpindahan flora
normal lactobacilli dalam vagina ke bakteri anaerob, yang mengarah ke respon
pro-inflamasi dan sindrom klinis. Lactobacilli menghasilkan asam laktat dari
glikogen, sebuah proses yang mempertahankan pH vagina tetap asam;
lingkungan pH rendah menghambat pertumbuhan spesies bakteri lain yang
biasanya hadir dalam vagina dalam tingkat rendah.19

Gambar 2.2 Fungsi Lactobacilli


Ketika lactobacilli kurang, flora vagina berubah secara
signifikan dengan pertumbuhan berlebihan dari organisme, seperti Gardnerella
vaginalis, Atopobium vaginae, Mobiluncus curtisii, Prevotella bivia, spesies
Haemophilus, spesies Bacteroides, spesiesFusobacterium, Mycoplasma
19
hominis, spesies Peptostreptococcus, dan spesies Ureaplasma.

Gambar 2.3 Ketidakseimbangan Flora Vagina

6
Peneliti telah menetapkan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis
jelas memiliki keragaman bakteri lebih besar bila dibandingkan dengan
wanita tanpa vaginosis bakterialis. Salah satu model yang diusulkan dari
vaginosis bakterialis berpendapat bahwa G. Vaginalis merangsang atau
menginduksi transisi patogen dengan menempel pada sel epithelium host
dan menciptakan komunitas bakteri biofilm yang memfasilitasi akumulasi
epitel patogen lainnya. Ekologi vagina berbeda antara perempuan dan
dipengaruhi oleh status kekebalan individu, serta banyak faktor lingkungan dan
perilaku lainnya; faktor-faktor ini dapat memodulasi ekspresi penyakit dan
tingkat keparahan. Temuan dari beberapa penelitian menunjukkan penularan
bakteri anaerob dapat memainkan peran kunci dalam pengembangan vaginosis
bakterialis, baik pada wanita heteroseksual dan pada wanita yang berhubungan
19
seks dengan wanita.
2.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis vaginosis bakterialis yang dapat timbul berupa sebagai
berikut :17
1. Dapat asimptomatis.
2. Rasa tidak nyaman sekitar vulvavagina (rasa terbakar, gatal), biasanya lebih
ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan Candida
albicans.
3. Dispareunia.
4. Keputihan berbau amis “fishy odor” yang semakin parah setelah
berhubungan seksual dan menstruasi (vagina dalam keadaan basa). Cairan
vagina yang basa menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada
protein. Lalu, amin yang menguap tersebut menimbulkan bau amis.
5. Keputihan tipis homogen warna putih abu-abu berbau amis. Sekret vagina
pada Vaginosis Bakterialis dapat dilihat pada gambar 2.3
6. Pruritus dan iritasi vulva.

7
Gambar 2.4 Sekret Vagina pada Vaginosis Bakterialis

2.8 Diagnosis20
Diagnosis Vaginosis bakterial ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis terdapat
riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang-
kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina disertai disuria/dispareunia, atau
nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisik inspekulo dapat ditemukan sekret
vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding
vagina.
2.8.1 Kriteria Amsel
Secara klinik menurut Amsel diagnosis bakterial ditegakkan bila terdapat
tiga dari empat kriteria berikut, yaitu :
1. Adanya sel clue pada pemeriksaan mikroskopik dari sediaan basah;
2. Adanya bau amis, setelah penetesaan KOH 10% pada cairan vagina,
3. Duh yang homogen, kental, tipis, dan berwarna seperti susu;
4. pH vagina > 4.5 yang diperiksa dengan menggunakan phenaphthazine
paper (nitrazine paper).
Dari ke empat kriteria tersebut, yangpaling baik untuk menegakkan
diagnosis vaginosis bakterial adalah pemeriksaan basah untuk mencari
adanya clue cell (sel epitelvagina yang diliputi oleh coccobacillus
yangpadat) dan adanya bau amis pada penetesan KOH 10%.

8
Penelitian yang telah dilakukan oleh Thomason Jl et al melaporkan bahwa
untuk menegakkan diagnosis vaginosis bakterial, menunjukkan :
1. Bila ditemukan sel clue pada sediaan basah, memberikan nilai
sensitivitas 98,2%, spesifisitas 94,3%, prediksi positif 89,9%, dan
prediksi negatif 99%,
2. Bila ditemukan sel clue ditambah adanya bau amis, memberikan nilai
sensitivitas 81,6%, spesifisitas 99,5%, prediksi positif 98,8%, dan
prediksi negatif 92,1%;
3. Bila dilakukan pewarnaan Gram, maka memberikan nilai
sensitivitas 97%, spesifikasi 66,2%, prediksi positif 57,2%, dan prediksi
negatif 97,9%.
Dengan melihat hasil tersebut, apabila fasilitas laboratorium belum
memadai, maka metode terbaik dalam membantu menegakkan diagnosis
vaginosis bakterialis adalah mencari clue cell pada sediaan basah dan tes adanya
bau amis pada penetesan KOH 10%. Tetapi adanya bau amis ini tidak selalu
dapat dievaluasi pada saat siklus menstruasi, dan juga tergantung pada
fungsi penciuman agar dapat mendeteksi adanya bau amis tersebut. Dengan
demikian apabila adanyabau amis ini sukar dievaluasi, maka ditemukannya clue
cell saja sudah dapat membantu menegakkan diagnosis kemungkinan adanya
bakterialis vaginosis.
2.8.2 Kriteria Hay/Ison
Terdapat grading vaginosis bakterialis menurut kriteria Hay/Ison yaitu
sebagai berikut :
1. Grade 1 (normal) yaitu terdapat Morphotypes Lactobacillus mendominasi
2. Grade 2 (Intermediate) yaitu terdapat Kombinasi flora dengan beberapa
Lactobacilli, dan juga Gardnerella atau Mobiluncus morphotypes.
3. Grade 3 (Vaginosis Bakterialis) yaitu terdapat terutama Gardnerella dan /
atau Mobiluncus morphotypes. Sedikit atau tidak ada Lactobacilli.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1 Pemeriksaan Preparat Basah
Pemeriksaan preparat basah dilakukan dengan meneteskan satu atau dua
tetes cairan NaCL 0,9% pada sekret vagina diatas object glass kemudian ditutupi

9
dengan coverslip. Kemudian, dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan
kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel
vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis).
Pemeriksaan preparat mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk
mendeteksi bacterial vaginosis.17 Clue cells adalah penanda bacterial vaginosis.6,15

Gambar 2.5 Bacterial vaginosis (Gardnerella vaginalis) Pertumbuhan


berlebih dari beberapa bakteri anaerob menghasilkan bentuk vaginosis. A. Salah
satu gejala utama adanya keputihan homogeny yang berbau busuk. B.
Karakteristik “Clue cell” yang terdiri dari sel-sel epitel vagina ditutupi dengan
bakteri refractile. Karena organisme noninvasf, leukosit tidak meningkat.

Gambar 2.6 Clue cell

2.9.2 Tes Whiff

Tes Whiff dnyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi

dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul

10
sebagai akibat pelepasan amin dan asam organic hasil alkalisasi bakteri anaerob.

Tes Whiff positif menunjukkan vaginosis bakterialis. Pada vagina yang sehat

tidak ada bau yang timbul pada pemeriksaan tes whiff. Adanya bau amis (amine

odor) mengarahkan dugaan pada infeksi trichomonas atau vaginosis

bakterialis.6,15

Gambar 2.7 Tes Whiff


2.9.3 Tes Lakmus untuk pH

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas

kemudian dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8-4,2). Pada

80-90% vaginosis bakterialis ditemukan pH >4,5.21

2.9.4 Pewarnaan Gram Sekret Vagina

Pewarnaan gram sekret vagina dari vaginosis bakterialis tidak ditemukan

Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella

vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.21

2.9.5 Kultur Sekret Vagina

Kultur Gadnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis vaginosis

bakterialis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada hampir seluruh

penderita vaginosis bakterialis, tapi juga dapat ditemukan >58% pada perempuan

tanpa vaginosis bakterialis.21

11
2.10 Diagnosis Banding
Tabel 2.1 Diagnosis Banding Vaginosis Bakterialis18

2.11 Tatalaksana
Penyakit vaginosis bakterialis merupakan penyakit yang cukup banyak
ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi, jenis obat yang
digunakan hendaknya tidak membahayakan dan memiliki sedikit efek
samping.22,23
Semua wanita dengan vaginosis bakterialis simptomatik memerlukan
pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara vaginosis
bakterialis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca
partus, maka penting untuk mencari obat yang efektif yang dapat digunakan pada
masa kehamilan. Antibiotik yang biasa digunakan antara lain metronidazole dan
klindamisin.
 Metronidazol22,23
Metronidazol 400-500 mg, 2x sehari selama 7 hari dilaporkan
efektif dengan kesembuhan 84-96%. Obat ini dapat menyebabkan mual
dan urin menjadi gelap. Konsumsi alcohol seharusnya dihindari selama
pengobatan dan 48 ja setelah terapi oleh karena dapat terjadi reaksi

12
disulfiram. Metronidazol 2 gram dosis tunggal kurang efektif daripada
terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bakterialis oleh karena angka
rekurensi lebih tinggi.
Beberapa penulis berpendapat pemberian metronidazol 2 gram
dosis tunggal sama efektifnya dengan pemberian metronidazol 3 x 500 mg
per hari selama 7 hari, tetapi sebagian penulis mengatakan lebih efektif
cara pemberian selama 7 hari dengan mempertimbangkan rekurensinya.
Pada wanita hamil diberikan 200-250 mg, 3x sehari selama 7 hari.
Efek samping obat ini meliputi mual, rasa logam pada lidah, sakit
kepala, dan keluhan gastrointestinal. Konsumsi alkohol seharusnya
dihindari selama pengobatan dan 48 jam setelah terapi karena akan
mengurangi absorpsi obat.
 Klindamisin22,23
Klindamisin 300 mg, 2x sehari selama 7 hari sama efektifnya
dengan metronidazol untuk pengobatan vaginosis bakterialis dengan angka
kesembuhan 94%. aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil
klindamisin dapat menembus air susu ibu (ASI), oleh karena itu, untuk
wanita menyusui sebaiknya digunakan pengobatan intravagina.
 Augmentin22,23
Augmentin (500 mg amoksilin dan 125 asam klavunat) 3x sehari
selama 7 hari. Obat ini cukup efektif sebagai cadangan terapi untuk wanita
hamil dan pasien dengan intoleransi terhadap metronidazol.
Terapi lain :
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1x sehari. Sangat efektif mengobati
vaginosis bakterialis, tetapi menginduksi kandidiasis vagina dan lesi ulseratif
vagina.
4. Triple sulfonamid krim atau tablet (Sulfacetamid 2,86%, Sulfabenzamide
3,7% dan Sulftahiazole 3,42%) 1 tablet atau 1 aplikator penuh krim ke
dalam vagina 2x sehari selama 10 hari. Tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
angka penyembuhan hanya 15-45%.24

13
2.12 Komplikasi
1. Wanita dengan vaginosis bakterialis berisiko tinggi mengalami penyakit
radang panggul (PID), selulitis pasca operasi setelah histerektomi, dan
sitologi serviks abnormal.
2. Wanita hamil dengan vaginosis bakterialis berisiko mengalami ketuban
pecah dini, persalinan prematur, korioamnionitis, dan endometritis.
3. Pada wanita dengan vaginosis bakterialis yang menjalani histerektomi,
pengobatan perioperatif dengan metronidazol menghilangkan peningkatan
risiko ini.25,26
2.13 Prognosis
Prognosis vaginosis bakterialis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang
sama dapat dipakai. Prognosis vaginosis bakterialis sangat baik, karena infeksinya
dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3
kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%).13

14
BAB 3
KESIMPULAN

1. Vaginosis bakterialis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi
menggantikan flora normal vagina (Lactobacillus Spp) yang menghasilkan
hidrofen peroksida sehingga vagina yang awalnya bersifat asam menjadi
basa.
2. Menurut Amsel untuk menegakkan diagnosis yaitu dengan ditemukannya
tiga dari empat gejala yaitu sekret vagina homogen, tipis, putih dan melekay,
pH vagina >4,5, tes amin positif, adanya clue cells pada sediaan basah
(sedikitnya 20% dari seluruh epitel) yang merupakan penanda vaginosis
bakterialis.
3. Tatalaksana vaginosis bakterialis yaitu dengan menggunakan antibiotik
seperti metronidazol dan klindamisin.
4. Terapi juga diberikan pada pasangan seksual dan dianjurkan untuk tidak
berhubungan seksual selama masa pengobatan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Murtiastutik D. Vaginosis bakteial. Dalam : Barakbah J, Lumintang H,


Martodiharjo S, editor. Infeksi Menular Seksual. Surabaya: AUP; 2008.
h.72-83.
2. Sharon H, Jeanne M, Holmes KK. Bacterial vaginosis. In: Holmes KK,
Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, et al., editors.
thSexually transmitted disease. 4 ed. New York: McGraw Hill; 2008.
p.737-68.
3. Center for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases
treatment guidelines. MMWR Morb Mortal Wkly Rep; 2010; p.56-8.
[cited 12 August 2013]. Available from:
www.cdc.gov/std/treatment/2010/stdtreatment 2010-rr5912.pdf.
4. Bhalla P, Chawla R, Garg S, Singh MM, Raina U, Bhalla R, et al.
Prevalence of bacterial vaginosis among women in Delhi, India. Indian J
Med Res 2007; 125:167-72.6.
5. Joesoef MR, Karundeng A, Runtupalit C, Moran JS, Lewis JS, Ryan CA.
High rate of bacterial vaginosis among women with intrauterine devices in
Manado, Indonesia. Contraception 2001; 64:169-72
6. Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, Chen KC, et al. “Nonspecific vaginitis.
Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic associations”. Am. J.
Med. 74(1):p.14-22.
7. Fernandopulle RC. An overview on approach to diagnosis and
management of vaginal discharge in gynaecological practice. Sri Lanka J
Obstet Gynaecol 2012; 34:73-8.5
8. Rauh VA, Culhane JF, Hogan VK. Bacterial vaginosis: a public health
problem for women. JAMWA 2000; 5:220-4.9.
9. Cauci S, Driussi S, De santo D. Prevalence of bacterial vaginosis and
vaginal flora changes in peri- and postmenopausal women. J Clin
Microbiol 2002; 40(6):2147.10.
10. Christian TB, Eyako W, Warren BS, Sara M, Bruce Hdan Jose LS (2016).
Bacterial vaginosis: a synthesis of theliterature on etiology, prevalence,

16
riskfactors, and relationship with chlamydiaand gonorrhea infections.
Military Medical Research, 3:4.
11. Gunardi ER, Wiknjosastro H. Anatomi Panggul dan Anatomi Isi Rongga
Panggul dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. 2011. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Hal 1-32.
12. Lamont RF, Akins JD, Hassan SS, Chaiworapongsat, dan Romero.
2011.The Vaginal Microbiome: New Information About Genital Tract
Flora Using Molecular Based Technique. BJOG. Vol. 118: 533-549.
13. Adam, Zainuddin, Maskur, Makalew. 2009. Vaginosis Bakterial. Dalam
Infeksi Menular Seksual. Edisi ke empat. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 116-122.
14. Judanarso, Jubianto. 2011. Vaginosis Bakterial. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal 385-91.
15. Schwebke, J.R. New Concepts in The Etiology of Bacterial Vaginosis.
Current Infectious Disease Reports. Vol. 11. No.2. Philadelphia. 2009.
P.143-147.
16. Schorge et al. 2008. Menopause dalam Williams Gynecology. Edisi 23.
New York : The McGraw-Hill Companies.
17. Wiknjosastro H, Saifuddin B, Rachimhadi, dan Trijatmo. 2011.Radang
Dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital Wanita dalam Ilmu
Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo: Jakarta
18. Hakim L. 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et
th
al.,Infeksi Menular Seksual. 4 ed. Jakarta: Balai Penerbitan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. hal 3-16.
19. Rebecca M.B, Xin H, Pawel G, Doug F, Eva S, Emmanuel F M, et.al (2014).
Association between cigarette smoking and thevaginal microbiota: a pilot
study. BMC Infectious Diseases, 14:471.
20. Sylvia YM, Julius ES. Diagnosis praktis vaginosis bakterial pada kehamilan.
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, pp: 74-8.
21. Ugwumadu A. Bacterial Vaginosis. In Oxford Desk Reference Obstetrics
and Gynaecology. Oxford University Press : Oxford. 2011. p.184-5.

17
22. Schwebke, J.R. Bacterial Vaginosis. Current Diagnosis and Treatment of
Sexually Transmitted Disease. McGraw-Hill Companies: USA. 2007.
P.66-8.
23. British Association for Sexual Health and HIV. National Guideline for the
Management of Bacterial Vaginosis. 2012. p.1-14.
24. Verhelst R, Verstraelen H, et all. Comparison between Gram stain and
culture for the characterization of vaginal microflora : Definition of a
distinct grade that resembles grade I microflora and revised categorization
of grade I microflora. Reseacrh Article. BMC Microbiology. 2005.
25. Hakimi M. 2011. Radang dan Beberapa Penyakit Lain Pada Alat Genital
dalam Ilmu Kandungan Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Hal 218-237.
26. Berek, Jonathan S. Berek & Novak's Gynecology, 14th Edition. 2007.
Lippincott Williams & Wilkins

18

Anda mungkin juga menyukai