Disusun Oleh :
AZIZAH AZHMI AULIA
N 111 17 021
Pembimbing :
dr. Dachruddin Ngatimin, Sp.M, M.Kes
2019
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.
iii
DAFTAR ISI
SAMPUL ............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I – PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 1
2.1 Anatomi dan Fisiologi ....................................................................... 2
A. Anatomi Mata..............................................................................2
B. Embriologi..................................................................................3
2.2 Pterigium ........................................................................................... 6
A. Definisi ......................................................................................... 6
B. Epidemiologi ................................................................................ 6
C. Etiologi ......................................................................................... 7
D. Patofisiologi ................................................................................. 8
E. Manifestasi Klinik ........................................................................ 8
F. Diagnostik....................................................................................8
G. Penatalaksanaan ........................................................................... 9
G. Diagnosis Banding ..................................................................... 11
2.3 Keratitis .......................................................................................... 12
A. Definisi ....................................................................................... 12
B. Epidemiologi .............................................................................. 12
C. Etiologi ....................................................................................... 13
D. Manifestasi Klinik ...................................................................... 16
E. Patofisiologi ................................................................................ 20
F. Diagnostik...................................................................................22
G. Diagnosis Banding ..................................................................... 24
G. Penatalaksanaan ......................................................................... 24
2.4 Sikatriks Kornea ............................................................................. 27
A. Definisi ....................................................................................... 27
B. Epidemiologi .............................................................................. 28
iv
C. Etiologi ....................................................................................... 29
D. Klasifikasi .................................................................................. 29
E. Diagnostik...................................................................................30
F. Pemeriksaan Penunjang...............................................................32
G. Penatalaksanaan ......................................................................... 35
H. Prognosis .................................................................................... 36
BAB III – LAPORAN KASUS ........................................................................ 37
BAB IV – PEMBAHASAN .............................................................................. 46
BAB V – KESIMPULAN ................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49
v
BAB I
PENDAHULUAN
0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
kornea disebabkan oleh strukturnya yang berbentuk uniform, avaskular,
dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif pada
jaringan kornea, dipertahankan oleh "pompa" bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel
jauh lebih serius dibandingkan kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan,
yang cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi perbaikan
fungsi endotel. Kerusakan pada epitel biasanya hanya menyebabkan
edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang dengan
regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Penguapan air dari air mata
prakornea menyebabkan air mata menjadi hipertonik dan penguapan
langsung untuk mempertahankan keadaan dehidrasi. 5
2
Lapisan kedua pada mata adalah Tunika Vaskular yang juga
dikenal sebagai uvea yang terdiri dari 3 bagian yaitu koroid, badan siliar
dan iris. Untuk lapisan ketiga mata yaitu retina, dimana merupakan
lapisan mata internal yang terdiri dari 2 lapisan utama yaitu lapisan neural
yang mengandung neuron dan fotoreseptor serta lapisan berpigmen,
dimana retina terdiri dari 10 lapisan yaitu :
3
Gambar 2.2 Embriologi Mata 6
4
Perkembangan mata pada minggu ke-4 terdapat vesikel lensa
sferis terpisah dari ektoderm yang akan menjadi kornea. Pada akhir
minggu ke-4 masa gestasi, ektoderm menjadi 2 layer dari epitel sel
dengan lapisan lamina basa tipis. Detachmen dari vesikel lensa akan
menginduksi lapisan basal epitel untuk untuk menghasilkan fibril
kolagen dan glikosaminoglikan, dan membentuk celah antara lensa
dan epitel kornea dan selanjutnya menjadi stroma primer. Sel
mesencimal bermigrasi dari margin optic cup pada lapisan posterior
dari stroma primer. Kemudian pertama dari 3 struktur tumbuh yaitu
neurel crest berasal dari endotel kornea. Pada mminggu ke 5-6 gestasi
kornea menjadi :
5
Pada bulan ke-4 kehamilan sudah dihasilkan aquous humour oleh
badan siliar. Dan pada bulan ke-4 akhir terdapat aselulaer bowmean
pada bagian anterior stroma. 5
Pada minggu ke-20 ketiga lapisan mata sudah mulai terbentuk
dan lipatan kulit membentuk gambaran kelopak mata dan konjungtiva,
serta epidermis yang melapisi konjungtiva berkembang secara
bersambungan dengan epitel kornea. 4,6
6
konjungtiva atas dan pertumbuhan kelenjar lebih sedikit berkembang
dari fornix yang lebih rendah. 7
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu :
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari
tarsus.
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. 2
2.2 Pterigyum
2.2.1 Definisi
Istilah "pterygium", yang merupakan versi latinisasi dari istilah
Yunani "pterygion", yang berarti "sayap kecil", menjelaskan
pertumbuhan konjungtiva fibrovaskular berbentuk sayap pada kornea
yang paling sering muncul di sisi hidung sehingga pterygium dapat
didefinisikan sebagai penyakit mata yang ditandai oleh pertumbuhan
fibrovascular conjunctiva pada kornea. Ini terjadi lebih sering pada pria,
pada usia yang lebih tua, dan pada individu terpapar radiasi ultraviolet8.
2.2.2 Epidemology
Pterygium adalah gangguan degeneratif konjungtiva. Biasanya
dilihat sebagai segitiga proliferasi fibrovaskular berdaging dari
konjungtiva bulbar ke kornea, sebagian besar terletak di sisi hidung.
Meskipun itu terjadi di seluruh dunia, prevalensinya tinggi "sabuk
pterygium" antara 30 derajat utara dan 30 derajat selatan ekuator pada
mata . Prevalensi pterigium adalah dilaporkan 3% di Australia, 23%
kulit hitam di Amerika Serikat, 15% di Tibet di Cina, 18% di Mongolia
di Cina, 30% Jepang dan 7% Singapura9.
Dalam studi berbasis populasi dari pedesaan India tengah,
prevalensi pterygium meningkat dari 6,7 ± 0,8% pada usia kelompok
7
dari 30-39 tahun menjadi 25,3 ± 2,1% di kelompok umur 70-79 tahun.
Tiga studi berbasis populasi telah dijelaskan kejadian pterygium.
Penelitian telah menggambarkan kejadian 9 tahun pterygium menjadi
11,6. Studi Mata Beijing menggambarkan 10 tahun kejadian pterigium
pada orang dewasa. Populasi Cina menjadi 4,9%, dan 5 kejadian
kumulatif tahun di Bai Cina dengan populasi di komunitas pedesaan
adalah 6,8%9.
2.2.3 Etiologi
Etiologi pterygium belum pasti penyebabnya . Tetapi penyakit ini
lebih umum pada orang tinggal di iklim panas. Karena itu, yang paling
diterima pandangan adalah respons terhadap efek jangka panjang dari
faktor lingkungan seperti paparan sinar matahari (Sinar ultraviolet),
panas kering, angin kencang dan berlimpah debu7.
Studi berbasis populasi ini menunjukkan paparan sinar ultraviolet
kumulatif karena pekerjaan di luar ruangan adalah risiko utama faktor
untuk pengembangan pterygium. Faktor-faktor lain yang terkait dengan
perkembangan pterygium adalah usia, menjadi laki-laki dan memiliki
mata kering. Faktor genetik, tumor gen penekan p53 dan gen lainnya
mungkin terlibat dalam patogenesis pterygium9.
Sebuah studi menunjukkan dua tahap hipotesis untuk patogenesis
pterigium: gangguan awal hambatan limbal dan "konjungtivitas aktif"
akibat progresif dari kornea. Identifikasi Flek Fuchs di kepala
pinguecula, primer pterygium, pterygium berulang, dan makroskopik
normal pada hidung, temporal limbus dapat mewakili prekursor lesi
pada permukaan okular terkait UV patologi9.
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi Pterygium adalah kondisi konjungtiva yang yang
mengalami degeneratif dan hiperplastik. Jaringan subkonjungtiva
mengalami degenerasi elastotik dan berkembang biak sebagai jaringan
8
granulasi vascularised di bawah epitel, yang akhirnya melewati kornea
epitel, lapisan Bowman dan stroma superfisial hancur7.
2.2.5 Manifestasi Klinik
Pterygium hanya menghasilkan Gejala ketika bagian
kepalanya mengancam pusat kornea yang merupakan sumbu visual.
Kekuatan tarik yang bekerja pada kornea dapat menyebabkan
astigmatisme yang parah kornea. Pterygium yang terus berkembang
yang memiliki bekas luka jaringan konjungtiva juga dapat secara
bertahap merusak motilitas mata; yang kemudian mengalami
penglihatan ganda10.
Pterygium lebih sering ditemukan di pria lanjut usia yang
melakukan pekerjaan di luar ruangan. Mungkin unilateral atau bilateral.
Ini hadir sebagai lipatan segitiga konjungtiva merambah kornea di
daerah bukaan palpebral, biasanya di sisi hidung tetapi juga dapat
terjadi pada sisi temporal. Deposisi besi terlihat kadang-kadang di epitel
kornea anterior memajukan kepala pterygium disebut garis stocker.
Bagian. Pterygium yang sepenuhnya berkembang terdiri dari tiga
bagian yaitu :
1. Kepala (bagian apikal hadir pada kornea),
2. Leher (bagian limbal), dan
3. Tubuh (bagian skleral) memanjang antara limbus dan canthus7.
2.2.5 Diagnosis
Ukuran lesi pterigium dinilai secara klinis dengan biomicroscopy
slit-lamp dan dapat diklasifikasikan :
a. grade 1 (penutup lesi sampai limbus)
b. grade 2 (lesi menutupi kornea sebesar 2 mm)
c. grade 3 (lesi mengelilingi pupil)
d. grade 4 (lesi bersilangan pupil).
. Ketika seorang individu memiliki lebih dari satu lesi, yang paling
parah adalah dianalisis, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 Jenis
9
presentasi lesi diklasifikasikan sebagai hidung, temporal atau
keduanya11.
2.2.7 Penatalaksanaan
1. Alasan kosmetik
2. perkembangan jaringan yang mengancam
3. Melewati batas ke area pupillary (pterygium telah melewati batas
pupillary area, tunggu sampai melintasi sisi lain),
4. diplopia karena gangguan dalam gerakan mata7.
10
3. Penggunaan obat antimitotik pasca operasi seperti mitomycin-C
atau thiotepa.
4. Eksisi bedah dengan sklera kosong.
5. Eksisi bedah dengan cangkok konjungtiva diambil dari mata yang
sama atau mata lainnya saat ini teknik yang disukai7.
11
Konjungtiva yang tipis graft ditempatkan dengan benar orientasi
pada area konjungtiva cacat yang dibuat oleh pemotongan
pterygium dapat dijahit dengan 8'0 Vicryl atau 10'0 Nylon suture
atau dapat direkatkan dengan lem fibrin. Konjungtiva okulasi
dengan lem fibrin lebih cepat prosedur dan pasien mengeluh
kurang rasa sakit pada periode pasca operasi9.
2.2.8 Diagnosa Banding
Diagnosis banding pterigium adalah pseudopterigium, dimana
pseudopterigium adalah perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Pseudopterigium sering ditemukan pada proses penyembuhan
ulkus kornea sehingga konjungtiva menutupi kornea2.
Pinguekula adalah benjolan pada konjungtiva bulbi yang
ditemukan pada orang tua, terutama pada matanya yang sering
mendapat rangsangan matahari, debu dan angin panas. Pinguekula
merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva2.
Tabel 1. Perbedaan Pterigyum dan Pseudopterigeum7
Pterygium Pseudopterigium
2.3 Keratitis
12
2.3.1 Definisi
Keratitis merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis disebabkan oleh
virus bakteri (pneumococci, streptococci atau staphylococci), jamur dan
protozoa2.
2.3.2 Epidemology
Keratitis infeksius atau ulkus kornea adalah salah satu yang
terbesar penyebab gangguan penglihatan di dunia dan penyebab penting
kebutaan di negara-negara terbelakang. Pengobatan dini membantu
mengurangi jaringan parut kornea, gangguan penglihatan dan mencegah
komplikasi parah seperti endophthalmitis, dan bahkan hilangnya bola
mata globe yang tidak dapat dipulihkan12.
Insiden penyakit ini di dunia sulit diperoleh, beberapa data
menunjukkan kejadian keratitis infeksi bervariasi di sekitar Dunia. Di
Amerika Serikat adalah 11 kasus per 100.000 penduduk di Amerika
Serikat. ( Di negara berkembang jumlahnya jauh lebih besar, mencapai
799 kasus per 100.000 penduduk per tahun di Nepal. Bakteri adalah
penyebab utama keratitis infeksi pada Dunia. Dan di antara ulkus
bakteri, 90% disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus sp dan
Enterobacteriaceae. Setelah jumlah bakteri, jamur menempati posisi
kedua, terutama dalam kasus trauma dengan tanaman, dalam hal ini,
fitur jamur berserabut12.
2.3.3 Etiology
Keratitis mungkin ringan, sedang atau berat dan mungkin
melibatkan bagian mata lainnya. Mungkin akut atau kronis, menular
atau tidak menular. Semua kondisi yang menyebabkan pecahnya epitel
adalah faktor risiko yang mungkin untuk menyebabkan keratitis.
Mikroorganisme tidak dapat menyerang kornea yang sehat dan utuh,
13
dan infeksi jarang terjadi pada mata normal karena kornea manusia
secara alami resisten terhadap infeksi13.
Keratitis terbagi menjadi infeksius dan noninfeksius , dimana dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Nonifeksius
1. Keratitis pungtata superfisial
2. Keratitis exposure
3. Keratitis neuroparalytic
4. Keratitis alergi
- Phlyctenular keratitis
- Vernal keratitis
- Atopic keratitis
5. Keratitis berhubungan dengan penyakit kulit dan selaput lendir.
6. Keratitis terkait dengan kolagen sistemik gangguan pembuluh
darah.
7. Keratitis traumatis, yang mungkin disebabkan oleh trauma
mekanik, trauma kimia, termal terbakar, radiasi
8. Keratitis idiopatik misalnya,
(a) Ulkus kornea Mooren
(b) keratoconjunctivitis limbik superior
(c) Keratitis belang superfisial Thygeson7,13.
b. Infeksius
1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Protozoa 13
14
Bakteri: Alergi : phylctenulosis,
staphylococcal marginal, dan
Gram positif cocci :
keratokonjungtivitis vernal.
Staphylococci, Streptococci,
Nutrisi : Keratomalasia.
Pneumococci.
Dermatologi : pemfigoid
Gram positif bacilli :
mukus membran, eritema
Corynebacteria,
multiformis, dan rosasea.
Clostridium, etc.
Lakrimal : keratokonjungtivitis
Filamentous bacteria :
sicca.
Actinomyces, Nocardia.
Neurologi : neurotrofik,
Gram negatif cocci :
neuroparalitik.
Neisseria.
Trichiasis, lagopthalmos.
Mycobacterium
Traumatik
Spirochetes
Pasca infeksi: bakteri, virus,
Lyme disease
dan fungi.
Virus :
Pasca operasi.
Herpes simplex
Penyakit autoimun :
Varicella – zoster
rheumatoid arthritis, Mooren’s
Adenovirus
ulcer, penyakit kolagen
Epstein-Barr
vaskular.
Fungi :
Lainnya : Thygeson’s SPK,
Candida Theodore’s superior limbic
Aspergillus keratoconjunctivitis dan
Cephalosporium Terrien’s degeneration.
Fusarium
Parasitik:
Acanthamoeba
Microsporidiosis
15
Onchocerciasis
Stroma
Interstisial
Disciform
Ring abscess
Stromal abscess
Endotel, rejeksi graft kornea
16
Keratitis superfisialis Epitelialis Mengenai kornea didepan
membran Bowman
17
ceftriaxon, moxifloxacin. Untuk gram (+) seperti cefazoline,
vancomycin 2.
2. Keratitis Jamur
Kebanyakan jamur disebabkan oleh Fusarium, filamentous,
candida, aspergilus. Pada saat ini pemakaian antibiotik dan
kortikosteroid tidak tepat menyebabkan keratitis2.
Keluhan baru timbul setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu
kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair,
penglihatan menurun dan silau. Pada mata akan terlihat infiltrat
kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi superfisial dan satelit
bila terletak di dalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin
endotel dengan plaque tampak bercabang – cabang, gambaran satelit
pada kornea dan lipatan descemet
18
Keratitis Ini disebabkan oleh pengaktifan kembali
varicellazosterinfeksi virus (VZV) yaitu Zoster, yaitu hadir sebagai
ruam dermatom yang menyakitkan pada kulit dan mukosa. Ini juga
mempengaruhi ophthalmic pada pembagian saraf trigeminal dan
selanjutnya mata. HZO sering kali meliputi nyeri kronis dan
kehilangan penglihatan karena itu dianggap sebagai darurat mata15.
19
dan manusia, sehingga bersifat toksik untuk epitel normal dan
penggunaan tidak boleh lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam bentuk
larutan 1% dan diberikan tiap jam. Salep 0,5 % diberikan tiap 4 jam.
Trifluorotimidin sama dengan IUD, diberikan 1 % setiap 4 jam. Dan
axyclovir bersifat selektif2.
4. Kornea Ulcer
Ulkus kornea merupakan diskontinuitas atau hilangnya
sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.
Terbentuknya ulkus kornea diakibatkan oleh adanya kolagenase
yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Gejala dari ulkus
kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia, blefarospasme, dan biasanya
disertai riwayat trauma pada mata Ulkus kornea yang luas
memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah
perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi seperti descementocele,
perforasi, endoftal-mitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang
sembuh akan menimbulkan jaringan parut kornea dan merupakan
penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia16.
5. Ulkus Marginal
Ulkus marginal merupakan peradangan kornea bagian
perifer berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara
limbus dan kornea dengan tempat kelainannya. Pada pasien ulkus
marginal penglihatan akan menurun disertai dengan rasa sakit,
fotofobia, lakrimasi terdapat pada satu mata blefarospasme, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memangjang dan dangkal2.
6. Ulkus Central
Ulkus kornea dibedakan dalam bentuk ulkus kornea central
dan marginal. Penyebab ulkus kornea central adalah bakteri
(Pseudomonas, pneumokok, moraxela, liquefacienc, dll), Virus (
20
herpes simpleks dan herpes zoster), Jamur (kandida albikan,
aspergilus dll)2.
7. Ulkus Neuroparalitik
Ulkus yang terjadi akibat gngguan saraf ke V atau ganglion
Gaseri ditemukan pada herpes zoster, dimana pada keadaan ini kornea
atau mata menjadi anestetik dan refleks berkedip hilang. Benda asing
pada kornea bertahan tanpa memberikan keluahan, selain daripada itu
kuman dapat berkembang biak tanpa ditahan daya tahan tubuh2.
2.3.5 Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui
cahaya dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Perubahan
dalam bentuk dan kejernihan kornea mengganggu pembentukan
bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya, kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan, dan kornea bagian
mata yang avaskuler, bila terjadi infeksi maka proses infiltrasi dan
vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian 16.
Saat epitel kornea yang rusak disebabkan oleh agen tertentu terjadi
perubahan patalogis pada dijelaskan dalam empat tahap, yaitu., infiltrasi,
ulserasi aktif, regresi dan cicatrization.7
a. Tahap infiltrasi progresif (Gbr.A).
Ditandai dengan infiltrasi polimorfonuklear dan / atau limfosit ke
dalam epitel dari sirkulasi perifer ditambah oleh sel-sel yang berasal
dari stroma. Selanjutnya Nekrosis padad jaringan yang terlibat dapat
terjadi, tergantung pada virulensi agen penyebab dan mekanisme
pertahanan host.7
b. Tahap ulserasi aktif (Gbr.B).
Ulserasi aktif karena nekrosis dan peluruhan epitel, membran
Bowman dan stroma. Dinding dari Ulserasi selanjutnya dapat
berkembang dengan ekstensi lateral mengakibatkan ulserasi
21
superfisial difus atau mungkin berkembang dengan penetrasi infeksi
yang lebih dalam mengarah ke pembentukan Descemetocele dan
mungkin perforasi kornea.7
c. Tahap regresi (Gbr.C).
Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan host alami (produksi
antibodi humoral dan imun seluler). Garis demarkasi berkembang
sekitar ulkus, yang terdiri dari leukosit dan akhirnya memfagositosis
organisme dan puing-puing seluler nekrotik. Proses ini dapat disertai
oleh vaskularisasi superfisial yang meningkatkan humoral dan
respon imun seluler.7
d. Tahap cicatrization (Gbr.D).
Di tahap ini penyembuhan berlanjut dengan epitelisasi progresif
yang bersifat permanen. Di bawah epitel, sebagian jaringan fibrosa
diletakkan oleh kornea fibroblas dan sebagian oleh sel endotel dari
vaskularisasi yang baru. Dengan demikian stroma menebal dan terisi
epitel, mendorong permukaan epitel anterior.6
22
kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing,
abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya
keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh.
Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, virus terutama keratitis herpes simplek16.
Pada pemeriksaan oftakmologis didapatkan gejala berupa adanya
injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea
disertai adanya jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis
yang disertai dengan hipopion16.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti
ketajaman penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil,
pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dan scrapping untuk analisa
atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)16
Mikroskop slit lamp adalah salah satu tindakan yang membantu
23
membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu; dilakukan secara
aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril, kertas saring atau
Kalsium alginate swab. Pemakaian media penyubur BHI (Brain Heart
Infusion Broth) akan memberikan hasil positif yang lebih baik daripada
penanaman langsung pada medium isolasi16.
Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media
coklat, medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat
preparat untuk pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat
memberikan informasi morfologik tentang kuman penyebab yaitu
termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat digunakan sebagai
dasar pemilihan antibiotika awal sebagai pengobatan empirik16.
24
e. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang
bersih;
f. Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat
memperpanjang proses penyem-buhan luka 2,16
2. Medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta
hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan
antimikrobial yang dapat diberikan berupa:
a. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi
subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak
diberikan salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan
dan dapat menimbulkan erosi kornea kembali. Berikut ini
contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%, Basitrasin 500 unit,
Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg,
Tobramisin 3 mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg,
Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg, Polimisin B 10.000
unit16.
b. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh
terbatasnya preparat komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis
keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi:
- Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal,
Natamicin, Imidazol;
- Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol,
Micafungin 0,1% tetes mata14,15;
- Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa,
berbagai jenis antibiotik.
25
c. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan
streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik
spektrum luas untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat
indikasi serta antiviral topika berupa salep asiklovir 3% tiap 4
jam.
3. Penatalaksanaan bedah:
a. Flap Konjungtiva
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah
dilakukan sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi
dimana terapi medis atau bedah mungkin gagal, kerusakan
epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap
konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk
penyakit permukaan mata persisten16.
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan
integritas permukaan kornea yang terganggu dan memberikan
metabolisme serta dukungan mekanik untuk penyembuhan
kornea. Flap konjungtiva bertindak sebagai patch biologis,
memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh jaringan ikat
vaskularnya16.
Indikasi yang paling umum penggunaan flap konjungtiva
adalah dalam pengelolaan ulkus kornea persisten steril. Hal ini
mungkin akibat dari denervasi sensorik kornea (keratitis
neurotropik yaitu, kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah ke
keratitis paparan, anestesi kornea setelah herpes zoster
oftalmikus, atau ulserasi metaherpetik berikut HSK kronis)
atau kekurangan sel induk limbal. Penipisan kornea dekat
limbus dapat dikelola dengan flap konjungtiva selama kornea
tidak terlalu menipis 16
26
b. Keratoplasti
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti16:
a. Dengan pengobatan tidak sembuh;
b. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan;
c. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perfo-rasi.
27
2.4.1 Definisi
Kata 'kekeruhan kornea' secara harfiah berarti kehilangan
transparansi kornea yang normal, yang dapat terjadi pada banyak
syarat. Oleh karena itu, istilah 'kornea opacity 'digunakan terutama
untuk hilangnya transparansi kornea karena jaringan parut.7
Sikatrik kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan
mulai dari kabur sampai dengan kebutaan. Secara klinis ditemui dalam
katagori ringan disebut nebula, kekeruhannya halus dan sukar terlihat
dengan senter. Katagori sedang berbentuk makula, kekeruhannya
berwarna putih berbatas tegas mudah terlihat dengan senter sedangkan
sikatrik berat disebut leukoma kekeruhannya berwarna putih padat
terlihat jelas oleh mata1
2.4.2 Epidemiologi
Prevalensi kebutaan kornea bervariasi dari satu negara ke negara
lain tergantung dari penyakit mata endemik yang pernah terjadi.
Prevalensi kebutaan kornea dapat disebabkan oleh: Infeksi terutama
trakoma dan lepra, selain itu dapat juga disebabkan oleh onkosersiasis
dan oftalmia neonatorum. Selain itu faktor nutrisi terutama defisiensi
vitamin A dapat menimbulkan pelunakan dari kornea yang fase
penyembuhannya membentuk sikatrik kornea. Namun dengan
berhasilnya Program Kesehatan Masyarakat dalam mengontrol infeksi
trakoma dan defisiensi vitamin A maka terjadi penurunan kebutaan
karena penyakit tersebut.1
Prevalensi sikatrik kornea pada dua mata lebih tinggi dibanding
satu mata tertinggi ditemui di sumatera Barat sedangkan sikatrik kornea
satu mata distribusinya hampir merata disetiap daerah. Seiring dengan
pertambahan usia terlihat prevalensi sikatrik kornea juga meningkat.
Hal ini berkaitan dengan paparan risiko pekerjaan yang berkaitan
dengan trauma kornea juga meningkat. Pada kelompok petani sikatrik
kornea dijumpai paling tinggi dan tidak ada perbedaan pada satu dan
28
dua mata. Mengingat negara kita negara agraris dan sebagian besar
mata pencarian penduduknya bertani maka kecenderungan trauma
tumbuhan berupa daun padi, kulit padi, serpihan daun kelapa dan getah
tanaman, juga trauma lumpur pada kornea yang berawal dari infeksi
yang tidak tertangani dengan baik menjadi ulserasi kornea yang
berakhir dengan terbentuknya sikatrik kornea.1
Daerah perkotaan sikatrik kornea terjadi karena penggunaan lensa
kontak yang tidak tepat sehingga berisiko terjadinya infeksi kornea. Di
Singapura infeksi kornea karena pemakaian lensa kontak mencapai 34%.
Sedangkan di Amerika Serikat ulserasi kornea akibat pemakaian lensa kontak
kosmetik 0,21%. Dilaporkan setiap tahunnya 1 dari 2500 pemakai lensa
kontak mengalami infeksi kornea. Infeksi kornea ini sering disebabkan bakteri
pseudomonas aeruginosa (patogen oportunistik) yang serius menyerang
kornea sehingga diperlukan terapi agresif, tepat dan cepat1.
2.4.3 Etiologi
Seperti kita ketahui trauma tumbuhan cenderung membawa
serpihan jamur yang menempel dipermukaan kornea, sehingga dalam
penanganannya dibutuhkan terapi anti jamur, sedangkan tetes mata
tersebut sulit didapat didaerah-daerah yang jauh dari jangkauan ahli
mata. Akibatnya mereka datang sudah dalam bentuk ulserasi kornea.
Hal ini perlu perhatian kita bersama. Dari hasil penelitian kecil yang
pernah dilakukan oleh Suratmin terungkap pada pekerja penderes karet,
sering terjadi trauma tatal (campuran kimia latex stimulan, getah basah-
keringdan kotoran yang menempel pada kulit pohon serta ulit pohon
karet) yang mana insidennya mencapai 3.17%t (dari 100 penderita
pekerja perkebunan penderita trauma tatal), yang menyebabkan
ulserasi kornea dan menimbulkan sikatrik kornea.1 Penyebab dari
sikatrik kornea7
1. Kekeruhan bawaan dapat terjadi sebagai perkembangan anomali
atau setelah trauma kelahiran.
2. Luka kornea yang sembuh.
3. Ulkus kornea yang sembuh7.
29
2.4.4 Klasifikasi
Secara klinis ditemui dalam katagori ringan disebut nebula,
kekeruhannya halus dan sukar terlihat dengan senter. Katagori sedang
berbentuk makula, kekeruhannya berwarna putih berbatas tegas mudah
terlihat dengan senter sedangkan sikatrik berat disebut leukoma
kekeruhannya berwarna putih padat terlihat jelas oleh mata.1
2.4.5 Diagnosis
Keburaman kornea dapat menyebabkan hilangnya penglihatan
(ketika okupasi padat meliputi area pupil) atau penglihatan buram
(karena efek astigmatik). Jenis okupasi kornea Tergantung pada
kepadatan, okupasi kornea dinilai seperti nebula, makula, dan leucoma.
Tipe-tipe sikatriks kornea:
1. Keburaman kornea nebula. Ini adalah opacity yang samar yang
dihasilkan karena bekas luka yang dangkal Lapisan Bowman dan
stroma superfisial . Nebula tipis dan difus yang menutupi area pupil
lebih banyak mengganggu penglihatan daripada leucoma
terlokalisasi jauh dari area pupil. Selanjutnya, nebula menghasilkan
lebih banyak ketidaknyamanan pasien karena gambar kabur karena
tidak teratur astigmatisme daripada leucoma yang sepenuhnya
memotong sinar cahaya.7
2. Opacity kornea makula. Ini semi padat opacity dihasilkan ketika
jaringan parut melibatkan setengah stroma kornea.7
3. Opacity kornea Leucomatous (leucoma simplex). Ini adalah opacity
putih pekat yang dihasilkan karena jaringan parut lebih dari
setengah stroma.7
30
Gambar 2.14 Klasifikasi Sikatrik Kornea 7
31
a. Investigasi laboratorium rutin seperti hemoglobin, TLC, DLC,
ESR, gula darah, lengkap. Pemeriksaan urin dan feses harus
dilakukan di masing-masing kasus7.
b. Investigasi mikrobiologis. Studi-studi ini sangat penting untuk
mengidentifikasi organisme penyebab, konfirmasi diagnosis dan
menentukan pengobatan yang akan digunakan. Bahan untuk
investigasi tersebut diperoleh dengan mengikis dasar dan margin
ulkus kornea (di bawah anestesi lokal, menggunakan xylocaine
2%) dengan bantuan spatula Kimura yang dimodifikasi atau
cukup menggunakan ujung bengkok dari 20 gauge hypodermic
jarum. Bahan yang diperoleh digunakan sebagai berikut
investigasi:
1. pewarnaan Gram dan Giemsa untuk kemungkinan identifikasi
organisme yang menginfeksi.
2. 10 persen KOH basah untuk identifikasi hifa jamur.
3. Persiapan pewarnaan Calcofluor white (CFW) dilihat di bawah
mikroskop fluoresensi untuk filamen jamur, dinding yang
muncul warna apel hijau terang7.
a) Uji fluoresein ( untuk melihat adanya defek epitel kornea ).
Kertas fluoresein yang dibasahi terlebih dahulu dengan
garam fisiologik diletakkan pada sakus konjungtiva inferior.
Penderita diminta untuk menutup matanya selama 20 detik,
beberapa saat kemudian kertas diangkat. Dilakukan irigasi
konjungtiva dengan garam fisiologis dilihat permukaan
kornea bila terlihat warna hijau dengan sinar biru berarti ada
kerusakan epitel kornea misalnya terdapat pada keratitis
superfisial epitelial, tukak kornea, dan erosi kornea. Defek
kornea akan terlihat berwarna hijau pada kornea. Pada
keadaan ini disebut uji fluoresein positif.2
b) Serum Autologous
32
Pengujian aktivitas serum otologus dengan
penambahan hEGF secara in vitro dilakukan dengan
mengukur proses proliferasi dan migrasi sel menggunakan
human epithelial cell line HaCaT (human adult calcium
temperature). HaCaT merupakan cell line epitel manusia
yang berasal dari kulit dewasa dan dipergunakan sebagai
pemodelan dalam pengukuran migrasi dan prolifersi
keratinosit selama proses re-epitilisasi. Proses proliferasi
dilaksanakan menggunakan metode Water Soluble
Tetrazolium-8 (WST-8) dan migrasi sel menggunakan
metode Scratch Assay18.
Penggunaan serum otologus merupakan pendekatan
terapeutik yang direkomendasikan untuk mengobati
beberapa jenis penyakit. Pada umumnya penyakit tersebut
bersifat kronis, menahun bahkan dapat bertahan seumur
hidup. Perkembangan serum otolugus berawal dari
penggunaan autologus cell theraphy (ACT) yang memiliki
kemampuan yang besar dalam proses peremajaan. Serum
otologus pertama kali digunakan pada tahun 1985 untuk
pemulihan permukaan okular mata yang rusak akibat
transplantasi konjungtival. Penggunaan serum otologus
dalam bentuk tetes mata merupakan pendekatan terapeutik
yang direkomendasikan untuk mengobati kerusakan
permukaan okular seperti pada kerusakan epitelial mata
yang menetap (persistent epithelial defect/PED) dan
Keratoconjuctivitis sicca (KCS) atau yang sering disebut
dengan penyakit mata kering (dry eye). Sejak saat itu
pengobatan dengan serum otologus diaplikasikan secara
luas dalam bidang kedokteran modern seperti ortopedi,
dermatologi, bedah plastik, dan kosmetika.18
33
Gambar 2.16. perbedaan serum autolog dan cairan air mata19
Tears Serum
Fibronectin 21 205
(μg/mL)
34
trombosit, makrofag dan fibroblas, serta berperan dalam paracrine
fashion pada sel epitel. Epidermal growth factor juga memegang
peranan penting dalam pembentukan granulasi jaringan dan secara
in vitro dapat merangsang migrasi dan proliferasi keratinosit.
Terapi luka dengan EGF topikal akan meningkatkan proses
penyembuhan luka dan mempersingkat waktu penyembuhan.18
2.4.7 Tatalaksana
1. Iridektomi optik. Ini dapat dilakukan dalam beberapa kasus
dengan kornea makula atau leucomatous sentral kekeruhan,
asalkan penglihatan membaik dengan pelebaran pupil.7
2. Keratoplasty memberikan hasil visual yang baik di kasus tanpa
komplikasi dengan kekeruhan kornea, di mana iridektomi optik
tidak banyak digunakan.7
3. Phototherapeutic keratectomy (PTK) dilakukan dengan laser
excimer berguna dalam kasus permukaan (nebular) pada
kekeruhan kornea7.
4. Lensa kontak berwarna. memberi sangat baik penampilan
kosmetik di mata dengan bekas luka jelek tidak memiliki potensi
untuk melihat. Sekarang ini dianggap sebagai opsi terbaik, bahkan
melebihi dan di atas tatooing untuk keperluan kosmetik7.
5. Tato bekas luka. Itu dilakukan untuk kosmetik tujuan di masa
lalu. Ini hanya cocok untuk bekas luka dalam mata yang tanpa
penglihatan yang bermanfaat. Untuk tato Tinta hitam India, emas
atau platinum dapat digunakan. Untuk melakukan tato, pertama-
tama, epitel menutupi opacity dihilangkan di bawah topikal
anestesi (2 persen atau 4 persen xylocaine).
Kemudian selembar kertas isap dengan ukuran dan bentuk
yang sama, direndam dalam emas klorida 4 persen (untuk warna
cokelat) atau 2 persen platinum klorida (untuk warna gelap)
diterapkan di atasnya. Setelah 2-3 menit potongan filter kertas
dihilangkan dan beberapa tetes segar larutan hidrazin hidrat
35
disiapkan (2 persen) menuangkannya. Terakhir, mata diirigasi
dengan normal salin dan ditambal setelah pemberian antibiotik
dan salep mata atropin.14
2.4.8 Prognosis
Saat ini sikatrik kornea terjadi disebabkan oleh trauma berupa
trauma tajam, tumpul dan kimia. Selain itu infeksi yang disebabkan
oleh virus, bakteri, jamur dan protozoa yang tidak tertangani dengan
baik cenderung menjadi ulkus kornea dan juga komplikasi dari
penggunaan obat-obat mata secara tradisional. Infeksi tidak tertangani
dengan baik dapat terjadi ulkus kornea, ulkus dapat mencapai sampai
kelapisan stroma kornea akibat dari penyembuhannya terbentuk
sikatrik kornea berupa kekeruhan kornea sehingga tajam penglihatan
dapat menurun. Penurunan tajam penglihatan sangat ditentukan oleh
letak, luas, serta kepadatan jaringan sikatrik yang terjadi, irregularitas
permukaan Kornea dan cekungan yang terjadi. Bila sikatrik kornea
telah mengganggu penglihatan tidak ada pengobatan yang dapat
dilakukan kecuali keratoplasti atau pencangkokan kornea, hal ini juga
tidak mudah karena membutuhkan waktu sebab donor kornea masih
sulit didapat.1
BAB III
LAPORAN KASUS
36
A. IDENTITAS
Nama : AS
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Tinombala Barat
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penglihatan kabur
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk ke poli mata rumah sakit anuntaloko dengan keluhan
penglihatan kabur pada saat mata merah, pasien merasa kabur sejak 2 tahun
lalu. Penglihatan kabur dirasakan pada salah satu matanya yaitu pada mata
kiri disertai keluhan silau saat melihat cahaya serta mata kiri berair dan
terasa nyeri. Pada awalnya pasien merasa matanya tiba-tiba merah, dan
seterusnya menjadi kabur. Pasien mengeluh ada rasa sensasi mengganjal
atau seperti kelilipan. Pasien menyangkal sering keluar kotoran atau belekan
dari kedua mata. Tidak ada riwayat mual dan muntah dan rasa pusing.
Sebelumnya pasien tidak memakai kacamata. Pasien tidak pernah
mengenakan lensa kontak. Pasien mengatakan bahwa keluahan mata merah
berhenti jika diberikan obat tetes mata yang didapatkan dari dokter.
Riwayat Penyakit Mata Sebelumnya :
Tidak ada
Riwayat Penyakit Lain :
Tidak ada
Riwayat Trauma :
Pasien memiliki riwayat terkena las pada mata kiri saat bekerja yang
menyebabkan mata pasien merah dan bengkak pada tahun 2014.
37
Riwayat Penyakit Mata dalam Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit mata dalam keluarga dan juga
tidak ada yang menggunakan kacamata dalam keluarga. Riwayat DM dan
hipertensi tidak ad dalam keluarga.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : Tidak dilakukan pengukuran
- Nadi : 82 x/m
- Pernapasan : 20 x/m
- Suhu : tidak dilakukan pengukuran
Status Oftalmologis OD OS
Visus
Inspeksi: - -
- Eksoftalmus
- Endoftalmus
- Deviasi
- Gerakan Bola mata - -
Supra Silia
Baik ke semua arah Baik ke semua arah
- Warna
- Letak Hitam Hitam
38
Simetris Simetris
- Edema - -
- Nyeri tekan
- Ektropion - -
- Entropion - -
- Trikiasis
- Sikatriks - -
- Ptosis
- -
- Blefarospasme
-
Konjungtiva tarsal
superior dan inferior
- -
- Hiperemis
- Sikatriks - -
Konjungtiva bulbi
- Secret
- -
- Injeksi konjuntiva
- Injeksi siliar - -
- Injeksi episklera
- Hiperemis - +
- Perdarahan - -
subkonjuntiva
- Pterygium - +
- Nodul
System lakrimalis
- -
- Punctum
39
- Infiltrate - -
- Ulkus - -
- Arcus senilis - -
- Edema
Pupil
- Letak
Sentral Sentral
- Bentuk
Bulat Bulat
- Ukuran
2 mm 2 mm
- RCL
+ +
- RCTL
+ +
Lensa
Normal Normal
- Kejernihan
Jernih Jernih
Palpasi
- -
- Nyeri tekan
- -
- Massa tumor
Tidak dilakukan
- Tensi okuli
40
Lapang pandang Tidak dilakukan
S
- Test konfrontasi Tidak dilakukan
t
Tes buta warna
a Tidak dilakukan
t Oftalmoskopi
u
s
Slit lamp
L - Palpebra Normal
o - Silia Normal
Regio OS Kornea:
41
Tampak makula centralis pada kornea mata sebelah kiri
Tampak bercak – bercak infiltrat berwarna hijau pada bagian kornea
D. RESUME
Pasien masuk ke poli mata rumah sakit anuntaloko dengan keluhan
penglihatan kabur pada saat mata merah, pasien merasa kabur sejak 2
tahun lalu. Penglihatan kabur dirasakan pada salah satu matanya yaitu
pada mata kiri disertai keluhan silau saat melihat cahaya serta mata kiri
berair dan terasa nyeri. Pada awalnya pasien merasa matanya tiba-tiba
merah, dan seterusnya menjadi kabur. Dan terasa seperti ada yang
mengganjal atau sensai kelilipan. Pasien mengatakan bahwa keluahan
mata merah berhenti jika diberikan obat tetes mata yang didapatkan dari
dokter.
. Dilingkungan sekitar pasien tidak ada yang merasakan keluhan
tersebut.. Riwayat trauma Pasien memiliki riwayat terkena las pada mata
kiri saat bekerja yang menyebabkan mata pasien merah dan bengkak pada
tahun 2014. Riwayat keluarga (-) merasakan penyakit yang sama. Riwayat
Corpus alineum (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien KU: Sedang, N = 82 x/m, R
= 20 x/m. Pemeriksaan tambahan menggunakan slit lamp didapatkan Status
Oftalmologis ditemukan Regio OS Konjungtiva : tampak selaput segitiga
putih di nasal dengan apex sudah melewati limbus dan belum melewati
pupil dan Regio OS Kornea: Tampak makula centralis pada kornea mata
sebelah kiri serta pada pemeriksaan fluoresens tampak bercak – bercak
infiltrat berwarna hijau pada bagian kornea.
E. DIAGNOSIS
42
OS Pterigium Grade II + Keratitis + Sikatriks Kornea (Makula)
F. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Topikal Levocin Ed 4x1 gtt OS
Oral Doksisiklin 1 x 100 mg
Non medikamentosa
Memberikan Edukasi :
1. Menjaga higenitas mata.
2. Tidak menggunakan soft lens.
3. Kompres mata dengan air hangat
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia et Malam
Quo ad sanam : Dubia et Malam
Quo ad functionam : Dubia et Malam
H. DOKUMENTASI
43
Gambar 2.17. OS Makula Kornea
44
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan OS Pterigium grade II, keratitis
dan makula kornea, diagnosa ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Pada anamnesis terdapat keluhan mata kiri penglihatan kabur srasa seperti
ada yang mengganjal, keluhan silau saat melihat cahaya serta mata kiri sering
berair dan terasa nyeri. Berdasarkan teori, kecurigaan akan adanya keratitis pada
pasien dapat timbul pada pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu
gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) ,merasa kelilipan (blefarospasma). Dan
mata berair. Keluhan tersebut, telah mewakili 3 trias dari keratitis. Nyeri dan
sensasi benda asing terjadi karena efek mekanis dari kelopak mata dan efek kimia
dari toksin pada ujung saraf yang terbuka; mata berair terjadi karena refleks
hiperlakrimasi; fotofobia, yaitu intoleransi terhadap cahaya dihasilkan dari
stimulasi ujung saraf. Penglihatan kabur akibat corneal haze; mata merah terjadi
karena tersumbatnya pembuluh-pembuluh darah circumcorneal. 7
Hal ini sesuai dengan pemeriksaan status oftalmologis ditemukan OS
Injeksi Konjungtiva (+), Konjungtiva Bulbi dan Tarsal Hiperemis (+),
blefarospamse (+), hiperlakrimasi (+). Status Lokalis Regio OS Kornea = Tampak
bercak – bercak infiltrat berwarna hijau . Berdasarkan teori berdasarkan letak
lesinya, maka pada kasus ini dapat disebut keratitis central.2
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan slit
lamp didapatkan adanya selaput pada konjungtiva berupa segitiga putih dinasal
dengan apex sudah mencapai limbus dan belum mencapai pupil. Dan ini sudah
sesuai dengan teori bahwa Ukuran lesi pterigium dinilai secara klinis dengan
biomicroscopy slit-lamp dan dapat diklasifikasikan grade 1 (penutup lesi sampai
limbus), grade 2 (lesi menutupi kornea sebesar 2 mm), grade 3 (lesi mengelilingi
pupil) dan grade 4 (lesi bersilangan pupil). dimana pada pasien ini termasuk
pterigium grade 211.
45
Pada saat pemeriksaan slit lamp tampak pada regio kornea, tampak makula
pada permukaan kornea dibagian central. Dan ini sesuai dengan teori bahwa
Secara klinis ditemui dalam katagori ringan disebut nebula, kekeruhannya halus
dan sukar terlihat dengan senter. Katagori sedang berbentuk makula,
kekeruhannya berwarna putih berbatas tegas mudah terlihat dengan senter
sedangkan sikatrik berat disebut leukoma kekeruhannya berwarna putih padat
terlihat jelas oleh mata1.
Pada pasian ini dilakukan uji fluoresens dimana didapatkan hasil tampak
bercak infiltrat berwarna hijau dengan slit lamp. Uji fluoreseina dapat menentukan
defek epitelnya. Pemeriksaan uji fluoresein ini merupakan pemeriksaan yang
dibutuhkan dalam mengevaluasi kelainan di kornea. Larutan fluoresein
diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan menggunakan slit lamp ataupun
dengan iluminasi terang dan melihat menggunakan loup. Hal tersebut dapat
memberikan gambaran defek epithelial. Selain itu, pada kasus ini tidak dilakukan
uji kultur untuk mengetahui organisme penyebab2
Terapi pada kasus ini diberikan terapi topikal Levocin Eye drops 4 x 1 gtt
OS, artificial tears 1 tetes/ jam dan pemberian oral yaitu doxycyclin 1 x 100 mg.
Hal ini telah sesuai dengan teori dimana antibiotik topikal merupakan terapi lini
pertama untuk keratitis bakterial. Terapi awal (sebelum hasil kultur dan kepekaan
tersedia) harus dengan terapi kombinasi untuk mencakup organisme gram negatif
dan gram positif. Doxycyclin bertindak sebagai antikolagenase. Selama infeksi
akut, fibroblas, keratosit dan sel-sel inflamasi lainnya mengeluarkan enzim,
seperti kolagenase dan matriks metalloproteinase, yang terlibat dalam degradasi
protein dan keratolisis. Mengarahkan terapi menuju stabilisasi pencairan kornea
dapat mengurangi insidensi komplikasi berat keratitis infeksius, seperti perforasi
kornea dan kebutuhan keratoplasti penetrasi terapeutik7.
Prognosis pada pasien ini dubia et malam karena terdapat sikatriks pada
kornea kiri pasien Bila sikatrik kornea telah mengganggu penglihatan tidak ada
pengobatan yang dapat dilakukan kecuali keratoplasti atau pencangkokan kornea,
hal ini juga tidak mudah karena membutuhkan waktu sebab donor kornea masih
sulit didapat1.s
46
BAB V
KESIMPULAN
1. Komea merupakan bagian mata yang licin mengkilat, transparan dan tembus
cahaya yang menutup bola mata bagian depan. Komea tidak mempunyai
pembuluh darah sehingga nutrisinya berasal dari homor aquous dan oksigen
dari luar.
2. Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakan. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea
3. Pterygium dapat didefinisikan sebagai penyakit mata yang ditandai oleh
pertumbuhan fibrovascular conjunctiva pada kornea. Dimana memberikan
gejala berupa Pterygium yang sepenuhnya berkembang terdiri dari tiga bagian
yaitu Kepala (bagian apikal hadir pada kornea), Leher (bagian limbal), dan
Tubuh (bagian skleral) memanjang antara limbus dan canthus
4. Keratitis merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, dengan gejala berupa gejala
mata merah, rasa silau (fotofobia) ,merasa kelilipan (blefarospasma).
5. Sikatriks kornea adalah kehilangan transparansi kornea yang normal, yang
dapat terjadi pada banyak syarat. Oleh karena itu, istilah 'kornea opacity
'digunakan terutama untuk hilangnya transparansi kornea karena jaringan parut
47
DAFTAR PUSTAKA
48
15. Deepankar, Srigyan. 2017. Infectious Keratitis : An Immediate Cause Of
Concern. Ophthalmology Research An International Journal.
16. Yusi Farida. 2015. Corneal Ulcers Treatment. Journal Majority. Lampung
17. Madan Upadhyay, et al. 2015. Diagnosing and Managing Microbial Keratitis.
Community Eye Health Journal.
18. Agung SS. Maksum IP. Subroto T. 2016. Serum Otologus dan Human
Epidermal Growth Factor (hEGF) Mempercepat Proliferasi dan Migrasi
Keratinosit pada Proses Re-Epitelisasi.MKB: 48(4). Pp 205-210.
19. Maksum IP. Subroto T. Dkk. 2018.Stabilization Of Vitamin A Using Vitamin
E AS Antioxidant In Lyophilized autologous Serum and Its Antibacterial
Properties. International Research Journal of Pharmacy: 9 (7). Pp 79-84.
49