Anda di halaman 1dari 54

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNTAD Februari 2019

OS PTERIGIUM + KERATITIS + SIKATRIKS KORNEA

Disusun Oleh :
AZIZAH AZHMI AULIA
N 111 17 021

Pembimbing :
dr. Dachruddin Ngatimin, Sp.M, M.Kes

DISUSUN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
FEBRUARI

2019

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Azizah Azhmi Aulia


NIM : N 111 17 021
Judul Referat : OS PTERIGIUM + KERATITIS + SIKATRIKS KORNEA

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Dachruddin Ngatimin, Sp.M.,M.Kes Azizah Azhmi Aulia

iii
DAFTAR ISI

SAMPUL ............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
BAB I – PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 1
2.1 Anatomi dan Fisiologi ....................................................................... 2
A. Anatomi Mata..............................................................................2
B. Embriologi..................................................................................3
2.2 Pterigium ........................................................................................... 6
A. Definisi ......................................................................................... 6
B. Epidemiologi ................................................................................ 6
C. Etiologi ......................................................................................... 7
D. Patofisiologi ................................................................................. 8
E. Manifestasi Klinik ........................................................................ 8
F. Diagnostik....................................................................................8
G. Penatalaksanaan ........................................................................... 9
G. Diagnosis Banding ..................................................................... 11
2.3 Keratitis .......................................................................................... 12
A. Definisi ....................................................................................... 12
B. Epidemiologi .............................................................................. 12
C. Etiologi ....................................................................................... 13
D. Manifestasi Klinik ...................................................................... 16
E. Patofisiologi ................................................................................ 20
F. Diagnostik...................................................................................22
G. Diagnosis Banding ..................................................................... 24
G. Penatalaksanaan ......................................................................... 24
2.4 Sikatriks Kornea ............................................................................. 27
A. Definisi ....................................................................................... 27
B. Epidemiologi .............................................................................. 28

iv
C. Etiologi ....................................................................................... 29
D. Klasifikasi .................................................................................. 29
E. Diagnostik...................................................................................30
F. Pemeriksaan Penunjang...............................................................32
G. Penatalaksanaan ......................................................................... 35
H. Prognosis .................................................................................... 36
BAB III – LAPORAN KASUS ........................................................................ 37
BAB IV – PEMBAHASAN .............................................................................. 46
BAB V – KESIMPULAN ................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 49

v
BAB I

PENDAHULUAN

Komea merupakan bagian mata yang licin mengkilat, transparan dan


tembus cahaya yang menutup bola mata bagian depan. Komea tidak mempunyai
pembuluh darah sehingga nutrisinya berasal dari homor aquous dan oksigen dari
luar. Secara anatomis komea terdiri dari lima lapisan, yaitu: Epitel, membran
bowman, stroma, membran deseement dan endotel. 1
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak
bagian belakan. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea. Dan terdapat
beberapa macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. 2
Pterygium merupakan penyakit mata bagian eksternal yang umum terjadi
dengan prevalensi berkisar antara 0,7% dan 33% secara global. Penyakit ini
digambarkan seperti berbentuk sayap, terdapat lesi fibrovaskular yang melintasi
bagian nasal atau temporal limbus. Pterygium dapat menyebabkan terjadinya
astigmatisme serta menimbulkan gangguan lain seperti menurunnya tajam
penglihatan, iritasi kronik, inflamasi rekuren, penglihatan ganda, serta gangguan
pergerakan bola mata. 3
Keratitis merupakan peradangan pada kornea. Radang Kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena seperti keratitis superfisial dan
interstitial atau profunda. Keratitis disebabkan oleh virus, bakteri (pneumococci,
streptococci atau staphylococci), jamur dan protozoa. 2
Sikatrik komea dapat menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari
kabur sampai dengan kebutaan. Seeara klinis ditemui dalam katagori ringan
disebut nebula, kekeruhannya halus dan sukar terlihat dengan senter. Katagori
sedang berbentuk makula, kekeruhannya berwama putih berbatas tegas mudah
terlihat dengan senter sedangkan sikatrik berat disebut leukoma kekeruhannya
berwama putih padat terlihat jelas oleh mata. 1

0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Anatomi dan Fisiologi Mata


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Mata
Mata adalah suatu organ fotosensitif yang sangat berkembang dan
rumit yang menganalisis bentuk, intensitas, dan warna cahaya yang
dipantulkan objek dan menimbulkan sensasi penglihatan. Mata terletak
dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak, yaitu rongga
orbita, yang juga mengandung bantalan jaringan adiposa. 4
Mata terdiri dari 3 kompartemen yaitu anterior chamber, posterior
chamber dan kavitas vitreus. Pada anterior chamber adalah ruangan
terletak antara iris dan kornea dengan kedalaman 3mm dengan volume
rata-rata 250 ul. Pada posterior chamber terletak antara medial dari iris
dan badan siliar dan anterior dari lensa dan vitreous dengan rata-rata
volume 60 ul. Komponen terbesar dari mata adalah kavitas vitreus
dengan volume lebih dari 2-3 kali dari volume mata (5-6 ml) dan
terdapat vitreus gel. 5
Setiap mata terdiri dari 3 lapisan atau tunika konsentris dimana
lapisan terluar atau tunika fibrosa terdiri dari lapisan luar berwarna opak
di lima perenam bagian posterior bola mata adalah sclera. Berbeda
dengan sclera seperenam anterior mata yaitu kornea, tidak berwarna
dan transparan dan sepenuhnya avascular yang terdiri dari 5 lapisan
yaitu :
a. Epitel squamouse eksternal berlapis
b. Membran limitan anterior ( Membran Bowman)
c. Stroma
d. Membran limitan posterior (Membran Descemet
e. Endotel. 4
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan "jendela" yang
dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat tembus cahaya

1
kornea disebabkan oleh strukturnya yang berbentuk uniform, avaskular,
dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif pada
jaringan kornea, dipertahankan oleh "pompa" bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting
daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel
jauh lebih serius dibandingkan kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan,
yang cenderung bertahan lama karena terbatasnya potensi perbaikan
fungsi endotel. Kerusakan pada epitel biasanya hanya menyebabkan
edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang dengan
regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Penguapan air dari air mata
prakornea menyebabkan air mata menjadi hipertonik dan penguapan
langsung untuk mempertahankan keadaan dehidrasi. 5

Gambar 1.1 Anatomi Bola Mata 4

Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata 5

2
Lapisan kedua pada mata adalah Tunika Vaskular yang juga
dikenal sebagai uvea yang terdiri dari 3 bagian yaitu koroid, badan siliar
dan iris. Untuk lapisan ketiga mata yaitu retina, dimana merupakan
lapisan mata internal yang terdiri dari 2 lapisan utama yaitu lapisan neural
yang mengandung neuron dan fotoreseptor serta lapisan berpigmen,
dimana retina terdiri dari 10 lapisan yaitu :

a. Inner limiting membran


b. Lapisan fibrosa afferen
c. Lapisan sel ganglion
d. Lapisan inner plexiform
e. Lapisan inner nukleus
f. Lapisan outer plexiform
g. Lapisan outer nukleus
h. Lapisan sel fotoreseptor
i. Sel epitel berpigmen. 4
2.1.2. Embriologi

Perkembangan embriologi pada mata dimualai pada minggu ke- 4


dimana vesikel optik menonjol keluar dari area diensefalon
prosensefalon. Seiring pertumbuhan vesikel optik, bagian distalnya
berhubungan dengan sekitar permukaan ektoderm dan menginduksi
terbentuknya plakoda lensa atau celah lensa. Pada minggu ke 4 lanjut
memperlihatkan vesikel optik berdinding ganda yang bervaginasi
membentuk optik cup pada hubungan dekatnya dengan plakoda lena
yang terletak diantara dua lapis optik cup. Mangkuk optik menekuk
kedalam dan embentuk lapisan internal dan eksternal dan celah lensa
membentuk vesikel lensa. 4,7

3
Gambar 2.2 Embriologi Mata 6

Gambar 2.3 Embriologi Mata. 6

Gambar 2.4 Embriologi Kornea. 5

4
Perkembangan mata pada minggu ke-4 terdapat vesikel lensa
sferis terpisah dari ektoderm yang akan menjadi kornea. Pada akhir
minggu ke-4 masa gestasi, ektoderm menjadi 2 layer dari epitel sel
dengan lapisan lamina basa tipis. Detachmen dari vesikel lensa akan
menginduksi lapisan basal epitel untuk untuk menghasilkan fibril
kolagen dan glikosaminoglikan, dan membentuk celah antara lensa
dan epitel kornea dan selanjutnya menjadi stroma primer. Sel
mesencimal bermigrasi dari margin optic cup pada lapisan posterior
dari stroma primer. Kemudian pertama dari 3 struktur tumbuh yaitu
neurel crest berasal dari endotel kornea. Pada mminggu ke 5-6 gestasi
kornea menjadi :

1. Superfisial squamous dan layar basal cuboid dari epitel sel


2. Stroma primer
3. Doble layer dari sel endotel posterior
Perkembangan stroma didahului dengan pertumbuhan sel
mesencimal dari optic cup, yang mana proses dengan 2 arah dimana
sel posterior tumbuh diantara epitelium lensa dan endotel kornea
menjadi membran pupil primer. Secara bersamaan, hidrasi dari asam
hyaluronic yang merupakan komponen dari stroma primer yang
menyebabkan pembengkakan sehingga terdapat ruang akibat adanya
migrasi sel. 5
Minggu ke-7 kehamilan mesencimal sel menjadi stroma kornea
dimana sel berubah menjadi keratocyt yang menghasilkan kolagen
tipe 1, serta matriks dari stroma kornea yang matur (secondary).
Endotel pada bagian central kornea menjadi single layer pada bulan
ke-3 masa kehamilan. Sel lamina basal atau membran descement.
Pada perkembangan ini membran descemen terdiri dari 2 zona yaitu
lamina densa dan lamina lucida yang dekat dengan endotelium. 5

5
Pada bulan ke-4 kehamilan sudah dihasilkan aquous humour oleh
badan siliar. Dan pada bulan ke-4 akhir terdapat aselulaer bowmean
pada bagian anterior stroma. 5
Pada minggu ke-20 ketiga lapisan mata sudah mulai terbentuk
dan lipatan kulit membentuk gambaran kelopak mata dan konjungtiva,
serta epidermis yang melapisi konjungtiva berkembang secara
bersambungan dengan epitel kornea. 4,6

Gambar 2.5 Embriologi Bola Mata, Konjungtiva dan Glandula Lacrimalis7

Kelopak mata terbentuk oleh reduplikasi permukaan ektoderm di


atas dan di bawah kornea. Bagian tutupnya akan memotong ruang
yang disebut kantung konjungtiva. Lipatan yang terbentuk dari
mesoderm yang akan membentuk otot-otot dan lempeng tarsal. Tutup
akan terpisah setelah bulan ke-7 kehamilan, serta kelenjar tarsal
dibentuk oleh pertumbuhan sel ektodermal dan silia berkembang
sebagai tunas epitel dari margin kelopak. Konjungtiva berkembang
dari ektoderm yang melapisi bagian penutup globus dan kelenjar
konjungtiva berkembang sebagai pertumbuhan basal dari sel forniks

6
konjungtiva atas dan pertumbuhan kelenjar lebih sedikit berkembang
dari fornix yang lebih rendah. 7
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu :
a. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari
tarsus.
b. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya
c. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. 2

2.2 Pterigyum
2.2.1 Definisi
Istilah "pterygium", yang merupakan versi latinisasi dari istilah
Yunani "pterygion", yang berarti "sayap kecil", menjelaskan
pertumbuhan konjungtiva fibrovaskular berbentuk sayap pada kornea
yang paling sering muncul di sisi hidung sehingga pterygium dapat
didefinisikan sebagai penyakit mata yang ditandai oleh pertumbuhan
fibrovascular conjunctiva pada kornea. Ini terjadi lebih sering pada pria,
pada usia yang lebih tua, dan pada individu terpapar radiasi ultraviolet8.

2.2.2 Epidemology
Pterygium adalah gangguan degeneratif konjungtiva. Biasanya
dilihat sebagai segitiga proliferasi fibrovaskular berdaging dari
konjungtiva bulbar ke kornea, sebagian besar terletak di sisi hidung.
Meskipun itu terjadi di seluruh dunia, prevalensinya tinggi "sabuk
pterygium" antara 30 derajat utara dan 30 derajat selatan ekuator pada
mata . Prevalensi pterigium adalah dilaporkan 3% di Australia, 23%
kulit hitam di Amerika Serikat, 15% di Tibet di Cina, 18% di Mongolia
di Cina, 30% Jepang dan 7% Singapura9.
Dalam studi berbasis populasi dari pedesaan India tengah,
prevalensi pterygium meningkat dari 6,7 ± 0,8% pada usia kelompok

7
dari 30-39 tahun menjadi 25,3 ± 2,1% di kelompok umur 70-79 tahun.
Tiga studi berbasis populasi telah dijelaskan kejadian pterygium.
Penelitian telah menggambarkan kejadian 9 tahun pterygium menjadi
11,6. Studi Mata Beijing menggambarkan 10 tahun kejadian pterigium
pada orang dewasa. Populasi Cina menjadi 4,9%, dan 5 kejadian
kumulatif tahun di Bai Cina dengan populasi di komunitas pedesaan
adalah 6,8%9.

2.2.3 Etiologi
Etiologi pterygium belum pasti penyebabnya . Tetapi penyakit ini
lebih umum pada orang tinggal di iklim panas. Karena itu, yang paling
diterima pandangan adalah respons terhadap efek jangka panjang dari
faktor lingkungan seperti paparan sinar matahari (Sinar ultraviolet),
panas kering, angin kencang dan berlimpah debu7.
Studi berbasis populasi ini menunjukkan paparan sinar ultraviolet
kumulatif karena pekerjaan di luar ruangan adalah risiko utama faktor
untuk pengembangan pterygium. Faktor-faktor lain yang terkait dengan
perkembangan pterygium adalah usia, menjadi laki-laki dan memiliki
mata kering. Faktor genetik, tumor gen penekan p53 dan gen lainnya
mungkin terlibat dalam patogenesis pterygium9.
Sebuah studi menunjukkan dua tahap hipotesis untuk patogenesis
pterigium: gangguan awal hambatan limbal dan "konjungtivitas aktif"
akibat progresif dari kornea. Identifikasi Flek Fuchs di kepala
pinguecula, primer pterygium, pterygium berulang, dan makroskopik
normal pada hidung, temporal limbus dapat mewakili prekursor lesi
pada permukaan okular terkait UV patologi9.

2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi Pterygium adalah kondisi konjungtiva yang yang
mengalami degeneratif dan hiperplastik. Jaringan subkonjungtiva
mengalami degenerasi elastotik dan berkembang biak sebagai jaringan

8
granulasi vascularised di bawah epitel, yang akhirnya melewati kornea
epitel, lapisan Bowman dan stroma superfisial hancur7.
2.2.5 Manifestasi Klinik
Pterygium hanya menghasilkan Gejala ketika bagian
kepalanya mengancam pusat kornea yang merupakan sumbu visual.
Kekuatan tarik yang bekerja pada kornea dapat menyebabkan
astigmatisme yang parah kornea. Pterygium yang terus berkembang
yang memiliki bekas luka jaringan konjungtiva juga dapat secara
bertahap merusak motilitas mata; yang kemudian mengalami
penglihatan ganda10.
Pterygium lebih sering ditemukan di pria lanjut usia yang
melakukan pekerjaan di luar ruangan. Mungkin unilateral atau bilateral.
Ini hadir sebagai lipatan segitiga konjungtiva merambah kornea di
daerah bukaan palpebral, biasanya di sisi hidung tetapi juga dapat
terjadi pada sisi temporal. Deposisi besi terlihat kadang-kadang di epitel
kornea anterior memajukan kepala pterygium disebut garis stocker.
Bagian. Pterygium yang sepenuhnya berkembang terdiri dari tiga
bagian yaitu :
1. Kepala (bagian apikal hadir pada kornea),
2. Leher (bagian limbal), dan
3. Tubuh (bagian skleral) memanjang antara limbus dan canthus7.
2.2.5 Diagnosis
Ukuran lesi pterigium dinilai secara klinis dengan biomicroscopy
slit-lamp dan dapat diklasifikasikan :
a. grade 1 (penutup lesi sampai limbus)
b. grade 2 (lesi menutupi kornea sebesar 2 mm)
c. grade 3 (lesi mengelilingi pupil)
d. grade 4 (lesi bersilangan pupil).
. Ketika seorang individu memiliki lebih dari satu lesi, yang paling
parah adalah dianalisis, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 Jenis

9
presentasi lesi diklasifikasikan sebagai hidung, temporal atau
keduanya11.

Gambar 2.6 Grading Pterygium11

2.2.7 Penatalaksanaan

Eksisi bedah adalah satu-satunya tindakan yang memuaskan


perawatan, dimana eksisi yang dapat diindikasikan untuk:

1. Alasan kosmetik
2. perkembangan jaringan yang mengancam
3. Melewati batas ke area pupillary (pterygium telah melewati batas
pupillary area, tunggu sampai melintasi sisi lain),
4. diplopia karena gangguan dalam gerakan mata7.

Kekambuhan pterigium setelah eksisi bedah adalah masalah utama


(30-50%). Namun, bisa jadi dikurangi dengan salah satu tindakan
berikut:

1. Transplantasi pterigium di forniks bawah (Operasi McReynold)


tidak dilakukan sekarang.
2. Iradiasi beta pasca operasi (tidak digunakan sekarang).

10
3. Penggunaan obat antimitotik pasca operasi seperti mitomycin-C
atau thiotepa.
4. Eksisi bedah dengan sklera kosong.
5. Eksisi bedah dengan cangkok konjungtiva diambil dari mata yang
sama atau mata lainnya saat ini teknik yang disukai7.

Langkah-langkah bedah untuk eksisi pterigium dengan autograft


konjungtiva yang kita miliki diadopsi di rumah sakit kami di bawah
Timur Program Perawatan Mata Regional di bagian timur bagian dari
Nepal adalah sebagai berikut:
a. Anestesi:
Anestesi peribulbar adalah lebih disukai daripada yang topikal atau
subkonjungtiva untuk menghindari rasa sakit selama operasi dan
memiliki prosedur operasi yang lancar9.
b. Eksisi pterigium

Badan pterigium dipotong dengan hati-hati dengan gunting


konjungtiva dan kepala pterygium dapat diangkat dari kornea
dengan menggunakan Bard 15 derajat Pisau Parker. Jaringan tenon
dan subtenon harus dihilangkan dengan hati-hati sebanyak
mungkin. Jaringan pterigium yang tersisa dari atas permukaan
kornea bisa dihapus dengan diamon burr9.

c. Persiapan autograft konjungtiva


Kecacatan conjungtiva akibat pterygium eksisi harus diukur
dengan caliper dan bulbar superior dan konjungtiva harus ditandai
dengan sebuah penanda untuk membuat ukuran persis sama.
Setelah penandaan, sebuah subkonversi injeksi salin normal, sekitar
2 ml, disuntikkan pada bulbar superior konjungtiva untuk membuat
konjungtiva seperti balon9.
d. Cangkok konjungtiva:

11
Konjungtiva yang tipis graft ditempatkan dengan benar orientasi
pada area konjungtiva cacat yang dibuat oleh pemotongan
pterygium dapat dijahit dengan 8'0 Vicryl atau 10'0 Nylon suture
atau dapat direkatkan dengan lem fibrin. Konjungtiva okulasi
dengan lem fibrin lebih cepat prosedur dan pasien mengeluh
kurang rasa sakit pada periode pasca operasi9.
2.2.8 Diagnosa Banding
Diagnosis banding pterigium adalah pseudopterigium, dimana
pseudopterigium adalah perlekatan konjungtiva dengan kornea yang
cacat. Pseudopterigium sering ditemukan pada proses penyembuhan
ulkus kornea sehingga konjungtiva menutupi kornea2.
Pinguekula adalah benjolan pada konjungtiva bulbi yang
ditemukan pada orang tua, terutama pada matanya yang sering
mendapat rangsangan matahari, debu dan angin panas. Pinguekula
merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva2.
Tabel 1. Perbedaan Pterigyum dan Pseudopterigeum7

Pterygium Pseudopterigium

Etiologi Proses degenerativ Proses inflamasi

Umur Dewasa Semua umur

Lokasi Pada apertura palpebra Dapat terjadi dimana


saja

Stadium Baik progresif, Selalu diam

regresif atau diam


Probe Test Tidak dapat diteruskan Sampai ketenggorokan
sampai ke tenggorokan

2.3 Keratitis

12
2.3.1 Definisi
Keratitis merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis disebabkan oleh
virus bakteri (pneumococci, streptococci atau staphylococci), jamur dan
protozoa2.
2.3.2 Epidemology
Keratitis infeksius atau ulkus kornea adalah salah satu yang
terbesar penyebab gangguan penglihatan di dunia dan penyebab penting
kebutaan di negara-negara terbelakang. Pengobatan dini membantu
mengurangi jaringan parut kornea, gangguan penglihatan dan mencegah
komplikasi parah seperti endophthalmitis, dan bahkan hilangnya bola
mata globe yang tidak dapat dipulihkan12.
Insiden penyakit ini di dunia sulit diperoleh, beberapa data
menunjukkan kejadian keratitis infeksi bervariasi di sekitar Dunia. Di
Amerika Serikat adalah 11 kasus per 100.000 penduduk di Amerika
Serikat. ( Di negara berkembang jumlahnya jauh lebih besar, mencapai
799 kasus per 100.000 penduduk per tahun di Nepal. Bakteri adalah
penyebab utama keratitis infeksi pada Dunia. Dan di antara ulkus
bakteri, 90% disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus sp dan
Enterobacteriaceae. Setelah jumlah bakteri, jamur menempati posisi
kedua, terutama dalam kasus trauma dengan tanaman, dalam hal ini,
fitur jamur berserabut12.

2.3.3 Etiology
Keratitis mungkin ringan, sedang atau berat dan mungkin
melibatkan bagian mata lainnya. Mungkin akut atau kronis, menular
atau tidak menular. Semua kondisi yang menyebabkan pecahnya epitel
adalah faktor risiko yang mungkin untuk menyebabkan keratitis.
Mikroorganisme tidak dapat menyerang kornea yang sehat dan utuh,

13
dan infeksi jarang terjadi pada mata normal karena kornea manusia
secara alami resisten terhadap infeksi13.
Keratitis terbagi menjadi infeksius dan noninfeksius , dimana dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Nonifeksius
1. Keratitis pungtata superfisial
2. Keratitis exposure
3. Keratitis neuroparalytic
4. Keratitis alergi
- Phlyctenular keratitis
- Vernal keratitis
- Atopic keratitis
5. Keratitis berhubungan dengan penyakit kulit dan selaput lendir.
6. Keratitis terkait dengan kolagen sistemik gangguan pembuluh
darah.
7. Keratitis traumatis, yang mungkin disebabkan oleh trauma
mekanik, trauma kimia, termal terbakar, radiasi
8. Keratitis idiopatik misalnya,
(a) Ulkus kornea Mooren
(b) keratoconjunctivitis limbik superior
(c) Keratitis belang superfisial Thygeson7,13.
b. Infeksius
1. Keratitis Bakteri
2. Keratitis Jamur
3. Keratitis Virus
4. Keratitis Protozoa 13

Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Keratitis14

Infeksi Non Infeksi

14
Bakteri:  Alergi : phylctenulosis,
staphylococcal marginal, dan
 Gram positif cocci :
keratokonjungtivitis vernal.
Staphylococci, Streptococci,
 Nutrisi : Keratomalasia.
Pneumococci.
 Dermatologi : pemfigoid
 Gram positif bacilli :
mukus membran, eritema
Corynebacteria,
multiformis, dan rosasea.
Clostridium, etc.
 Lakrimal : keratokonjungtivitis
 Filamentous bacteria :
sicca.
Actinomyces, Nocardia.
 Neurologi : neurotrofik,
 Gram negatif cocci :
neuroparalitik.
Neisseria.
 Trichiasis, lagopthalmos.
 Mycobacterium
 Traumatik
 Spirochetes
 Pasca infeksi: bakteri, virus,
 Lyme disease
dan fungi.
Virus :
 Pasca operasi.
 Herpes simplex
 Penyakit autoimun :
 Varicella – zoster
rheumatoid arthritis, Mooren’s
 Adenovirus
ulcer, penyakit kolagen
 Epstein-Barr
vaskular.
Fungi :
 Lainnya : Thygeson’s SPK,
 Candida Theodore’s superior limbic
 Aspergillus keratoconjunctivitis dan
 Cephalosporium Terrien’s degeneration.
 Fusarium

Parasitik:

 Acanthamoeba
 Microsporidiosis

15
 Onchocerciasis

Tabel 3. Kalsifikasi berdasarkan Morfologi14

Ulseratif Non Ulseratif

Infiltratif (supuratif) Epithelial

 Central  Erosi pungtata


 Marginal  Keratitis pungtata
Non infiltratif (non supuratif) Keratitis epitel dalam, kombinasi
epitel dan subepitel
 Central
 Marginal Subepitel infiltratif

Stroma

 Interstisial
 Disciform
 Ring abscess
 Stromal abscess
 Endotel, rejeksi graft kornea

Tabel 4. Klasifikasi berdasarkan Gambaran Klinik2

16
Keratitis superfisialis Epitelialis Mengenai kornea didepan
membran Bowman

Subepitel Mengenai kornea di bawah


epitel kornea

Profunda/interstisialis Di dalam Di dalam stroma kornea


stroma
kornea

2.3.4 Manifestasi Klinis


1. Keratitis Bakteri
Setiap bakteri seperti Staphylococcus, pseudomonas,
hemophilus, streptococci dan enterobacteriae dapat mengakibatkan
keratitis bakteri dengan faktor predisposisi pemakaian kontak lensa,
trauma dan kontaminasi obat tetes2.
Pada keratitis bakteri akan terdapat keluhan kelopak mata
lengket setiap bangun pagi,. Mata sakit silau, merah, berair dan
penglihatan yang berkurang. Kelainan ini lebih sering ditemukan
pada pemakaian lensa kontak dengan pemakaian lama. Kekeruhan
pada kornea dapat menjadi abses didalam stroma kornea2.

Gambar 2.8 Keratitis Bakteri7


Pengobatan yang dapat diberikan adalah golongan gram (-) rods
seperti tobramisin, fluroquinolon dan gram (-) coccus seperti

17
ceftriaxon, moxifloxacin. Untuk gram (+) seperti cefazoline,
vancomycin 2.
2. Keratitis Jamur
Kebanyakan jamur disebabkan oleh Fusarium, filamentous,
candida, aspergilus. Pada saat ini pemakaian antibiotik dan
kortikosteroid tidak tepat menyebabkan keratitis2.
Keluhan baru timbul setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu
kemudian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair,
penglihatan menurun dan silau. Pada mata akan terlihat infiltrat
kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi superfisial dan satelit
bila terletak di dalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin
endotel dengan plaque tampak bercabang – cabang, gambaran satelit
pada kornea dan lipatan descemet

Gambar 2.9 Keratitis Jamur7

Disarankan pada pasien dengan infeksi jamur dirawat dan diberi


pengobatan natamisin 5% (keratitis jamur filamentosa, fusarium
species), amphoterisin B 0,15%-0,30% (keratitis yeast,
aspergillusspecies). Diberikan pengobatan sistemik ketokonazole
(200-600mg/hari) dan siklokpegik2

3. Keratitis Herpes Simpleks

18
Keratitis Ini disebabkan oleh pengaktifan kembali
varicellazosterinfeksi virus (VZV) yaitu Zoster, yaitu hadir sebagai
ruam dermatom yang menyakitkan pada kulit dan mukosa. Ini juga
mempengaruhi ophthalmic pada pembagian saraf trigeminal dan
selanjutnya mata. HZO sering kali meliputi nyeri kronis dan
kehilangan penglihatan karena itu dianggap sebagai darurat mata15.

Infeksi herpes akan memberikan gejala berupa terbentuknya


pembuluh darah halus pada mata, penglihatan berkurang, jaringan
parut dan glaukoma. Infeksi herpes biasanya dimulai radang
konjungtiva yang mengenai satu mata. Biasanya berlanjut menjadi
keratitis dendritik2.

Gambar 2.10 Keratitis Dendritik 2.

Keratitis dendritik biasanya disebabkan oleh virus herpes


simpleks, yang biasanya bermanifestasi dalam bentuk keratitis
dengan gejala ringan seperti fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan
menurun, konjungtiva hiperemi disertai dengan sensibilitaskornea
yang hipestesia. Pewarnaan fluoresein membuat dendrit mudah
diidentifikasi2.

Pengobatan IDU merupakan obat antiviral yang murah,


bersifat tidak stabil. Bekerja dengan menghambat sintesis DNA virus

19
dan manusia, sehingga bersifat toksik untuk epitel normal dan
penggunaan tidak boleh lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam bentuk
larutan 1% dan diberikan tiap jam. Salep 0,5 % diberikan tiap 4 jam.
Trifluorotimidin sama dengan IUD, diberikan 1 % setiap 4 jam. Dan
axyclovir bersifat selektif2.

4. Kornea Ulcer
Ulkus kornea merupakan diskontinuitas atau hilangnya
sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.
Terbentuknya ulkus kornea diakibatkan oleh adanya kolagenase
yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Gejala dari ulkus
kornea yaitu nyeri, berair, fotofobia, blefarospasme, dan biasanya
disertai riwayat trauma pada mata Ulkus kornea yang luas
memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk mencegah
perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi seperti descementocele,
perforasi, endoftal-mitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang
sembuh akan menimbulkan jaringan parut kornea dan merupakan
penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia16.

5. Ulkus Marginal
Ulkus marginal merupakan peradangan kornea bagian
perifer berbentuk khas yang biasanya terdapat daerah jernih antara
limbus dan kornea dengan tempat kelainannya. Pada pasien ulkus
marginal penglihatan akan menurun disertai dengan rasa sakit,
fotofobia, lakrimasi terdapat pada satu mata blefarospasme, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memangjang dan dangkal2.

6. Ulkus Central
Ulkus kornea dibedakan dalam bentuk ulkus kornea central
dan marginal. Penyebab ulkus kornea central adalah bakteri
(Pseudomonas, pneumokok, moraxela, liquefacienc, dll), Virus (

20
herpes simpleks dan herpes zoster), Jamur (kandida albikan,
aspergilus dll)2.

7. Ulkus Neuroparalitik
Ulkus yang terjadi akibat gngguan saraf ke V atau ganglion
Gaseri ditemukan pada herpes zoster, dimana pada keadaan ini kornea
atau mata menjadi anestetik dan refleks berkedip hilang. Benda asing
pada kornea bertahan tanpa memberikan keluahan, selain daripada itu
kuman dapat berkembang biak tanpa ditahan daya tahan tubuh2.

2.3.5 Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui
cahaya dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Perubahan
dalam bentuk dan kejernihan kornea mengganggu pembentukan
bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya, kelainan sekecil apapun di
kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan, dan kornea bagian
mata yang avaskuler, bila terjadi infeksi maka proses infiltrasi dan
vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian 16.
Saat epitel kornea yang rusak disebabkan oleh agen tertentu terjadi
perubahan patalogis pada dijelaskan dalam empat tahap, yaitu., infiltrasi,
ulserasi aktif, regresi dan cicatrization.7
a. Tahap infiltrasi progresif (Gbr.A).
Ditandai dengan infiltrasi polimorfonuklear dan / atau limfosit ke
dalam epitel dari sirkulasi perifer ditambah oleh sel-sel yang berasal
dari stroma. Selanjutnya Nekrosis padad jaringan yang terlibat dapat
terjadi, tergantung pada virulensi agen penyebab dan mekanisme
pertahanan host.7
b. Tahap ulserasi aktif (Gbr.B).
Ulserasi aktif karena nekrosis dan peluruhan epitel, membran
Bowman dan stroma. Dinding dari Ulserasi selanjutnya dapat
berkembang dengan ekstensi lateral mengakibatkan ulserasi

21
superfisial difus atau mungkin berkembang dengan penetrasi infeksi
yang lebih dalam mengarah ke pembentukan Descemetocele dan
mungkin perforasi kornea.7
c. Tahap regresi (Gbr.C).
Regresi adalah suatu mekanisme pertahanan host alami (produksi
antibodi humoral dan imun seluler). Garis demarkasi berkembang
sekitar ulkus, yang terdiri dari leukosit dan akhirnya memfagositosis
organisme dan puing-puing seluler nekrotik. Proses ini dapat disertai
oleh vaskularisasi superfisial yang meningkatkan humoral dan
respon imun seluler.7
d. Tahap cicatrization (Gbr.D).
Di tahap ini penyembuhan berlanjut dengan epitelisasi progresif
yang bersifat permanen. Di bawah epitel, sebagian jaringan fibrosa
diletakkan oleh kornea fibroblas dan sebagian oleh sel endotel dari
vaskularisasi yang baru. Dengan demikian stroma menebal dan terisi
epitel, mendorong permukaan epitel anterior.6

Gambar 2.11 patalogi pada kornea ulcer7


2.3.6 Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan oftalmologis dengan menggunakan lampu celah
serta pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting pada penyakit

22
kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing,
abrasi, adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya
keratitis akibat infeksi virus herpes simplek yang sering kambuh.
Hendaknya ditanyakan pula riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien
seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri,
fungi, virus terutama keratitis herpes simplek16.
Pada pemeriksaan oftakmologis didapatkan gejala berupa adanya
injeksi siliar, kornea edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea
disertai adanya jaringan nekrotik. Pada kasus berat dapat terjadi iritis
yang disertai dengan hipopion16.
Disamping itu perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti
ketajaman penglihatan, pemeriksaan slit-lamp, respon reflek pupil,
pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi, dan scrapping untuk analisa
atau kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH)16
Mikroskop slit lamp adalah salah satu tindakan yang membantu

selalu membantu, tetapi tidak mutlak penting. Dan pemeriksaan penting


lainnya adalah dengan pewarna fluorescein, baik dalam strip steril atau
larutan steril17

Gambar 2.12 Pemeriksaan Slit Lamp dengan fluoresensi17.

Karena gambaran klinis tidak dapat digunakan untuk membuat


diagnosis etiologik secara spesifik, diperlukan pemeriksaan
mikrobiologik, sebelum diberikan pengobatan empirik dengan
antibiotika. Pengambilan spesimen harus dari tempat ulkusnya, dengan

23
membersihkan jaringan nekrotik terlebih dahulu; dilakukan secara
aseptik menggunakan spatula Kimura, lidi kapas steril, kertas saring atau
Kalsium alginate swab. Pemakaian media penyubur BHI (Brain Heart
Infusion Broth) akan memberikan hasil positif yang lebih baik daripada
penanaman langsung pada medium isolasi16.
Medium yang digunakan adalah medium pelat agar darah, media
coklat, medium Sabaraud untuk jamur dan Thioglycolat. Selain itu dibuat
preparat untuk pengecatan gram. Hasil pewarnaan gram dapat
memberikan informasi morfologik tentang kuman penyebab yaitu
termasuk kuman gram (+) atau Gram (-) dan dapat digunakan sebagai
dasar pemilihan antibiotika awal sebagai pengobatan empirik16.

2.3.7 Diagnosis Banding


Keratitis jamur harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
herpes, acanthamoeba dan keratitis bakteri atipikal, mis. Nocardia,
Mycobacterium, Propionibacterium; yang tidak merespons pengobatan
konvensional atau memiliki riwayat yang tidak biasa atau penampilan
yang mencurigakan13..
2.3.8 Penatalaksanaan
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani
oleh spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada
kornea.
1. Penatalaksanaan non-medikamen-tosa:
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskan-nya;
b. Jangan memegang atau meng-gosok-gosok mata yang mera-
dang;
c. Tidak boleh dibebat karena akan menaikkan suhu sehingga
berfungsi sebagai inkubator
d. Sekret dibersihkan 4 kali sehari

24
e. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang
bersih;
f. Menghindari asap rokok, karena dengan asap rokok dapat
memperpanjang proses penyem-buhan luka 2,16
2. Medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan
pemberian terapi yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta
hasil uji sensitivitas mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan
antimikrobial yang dapat diberikan berupa:
a. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi
subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak
diberikan salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan
dan dapat menimbulkan erosi kornea kembali. Berikut ini
contoh antibiotik: Sulfonamide 10-30%, Basitrasin 500 unit,
Tetrasiklin 10 mg, Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg,
Tobramisin 3 mg, Eritromisin 0,5%, Kloramfenikol 10 mg,
Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg, Polimisin B 10.000
unit16.
b. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh
terbatasnya preparat komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis
keratomitosis yang dihadapi bisa dibagi:
- Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal,
Natamicin, Imidazol;
- Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol,
Micafungin 0,1% tetes mata14,15;
- Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa,
berbagai jenis antibiotik.

25
c. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan
streroid lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik
spektrum luas untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat
indikasi serta antiviral topika berupa salep asiklovir 3% tiap 4
jam.

3. Penatalaksanaan bedah:
a. Flap Konjungtiva
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah
dilakukan sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi
dimana terapi medis atau bedah mungkin gagal, kerusakan
epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap
konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk
penyakit permukaan mata persisten16.
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan
integritas permukaan kornea yang terganggu dan memberikan
metabolisme serta dukungan mekanik untuk penyembuhan
kornea. Flap konjungtiva bertindak sebagai patch biologis,
memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh jaringan ikat
vaskularnya16.
Indikasi yang paling umum penggunaan flap konjungtiva
adalah dalam pengelolaan ulkus kornea persisten steril. Hal ini
mungkin akibat dari denervasi sensorik kornea (keratitis
neurotropik yaitu, kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah ke
keratitis paparan, anestesi kornea setelah herpes zoster
oftalmikus, atau ulserasi metaherpetik berikut HSK kronis)
atau kekurangan sel induk limbal. Penipisan kornea dekat
limbus dapat dikelola dengan flap konjungtiva selama kornea
tidak terlalu menipis 16

26
b. Keratoplasti
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak
berhasil. Indikasi keratoplasti16:
a. Dengan pengobatan tidak sembuh;
b. Terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan;
c. Kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya perfo-rasi.

Gambar 2.13 Keratoplasty16

Keratoplasti terbagi menjadi 2 yaitu Keratoplasti penetrans,


berarti penggantian kornea seutuh-nya. Karena sel endotel sangat
cepat mati, mata hendaknya diambil segera setelah donor
meninggal dan segera dibekukan. Mata donor harus dimanfaatkan
<48 jam. Tudung korneo sklera yang disimpan dalam media
nutrien boleh dipakai sampai 6 hari setelah donor meninggal dan
pengawetan dalam media biakan jaringan dapat tahan sampai 6
minggu. Keratoplasti lamelar, berarti penggantian sebagian dari
kornea. Untuk keratoplasti lamelar, kornea dapat dibekukan,
didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es selama beberapa
minggu16

2.4 Sikatrik Kornea

27
2.4.1 Definisi
Kata 'kekeruhan kornea' secara harfiah berarti kehilangan
transparansi kornea yang normal, yang dapat terjadi pada banyak
syarat. Oleh karena itu, istilah 'kornea opacity 'digunakan terutama
untuk hilangnya transparansi kornea karena jaringan parut.7
Sikatrik kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan
mulai dari kabur sampai dengan kebutaan. Secara klinis ditemui dalam
katagori ringan disebut nebula, kekeruhannya halus dan sukar terlihat
dengan senter. Katagori sedang berbentuk makula, kekeruhannya
berwarna putih berbatas tegas mudah terlihat dengan senter sedangkan
sikatrik berat disebut leukoma kekeruhannya berwarna putih padat
terlihat jelas oleh mata1

2.4.2 Epidemiologi
Prevalensi kebutaan kornea bervariasi dari satu negara ke negara
lain tergantung dari penyakit mata endemik yang pernah terjadi.
Prevalensi kebutaan kornea dapat disebabkan oleh: Infeksi terutama
trakoma dan lepra, selain itu dapat juga disebabkan oleh onkosersiasis
dan oftalmia neonatorum. Selain itu faktor nutrisi terutama defisiensi
vitamin A dapat menimbulkan pelunakan dari kornea yang fase
penyembuhannya membentuk sikatrik kornea. Namun dengan
berhasilnya Program Kesehatan Masyarakat dalam mengontrol infeksi
trakoma dan defisiensi vitamin A maka terjadi penurunan kebutaan
karena penyakit tersebut.1
Prevalensi sikatrik kornea pada dua mata lebih tinggi dibanding
satu mata tertinggi ditemui di sumatera Barat sedangkan sikatrik kornea
satu mata distribusinya hampir merata disetiap daerah. Seiring dengan
pertambahan usia terlihat prevalensi sikatrik kornea juga meningkat.
Hal ini berkaitan dengan paparan risiko pekerjaan yang berkaitan
dengan trauma kornea juga meningkat. Pada kelompok petani sikatrik
kornea dijumpai paling tinggi dan tidak ada perbedaan pada satu dan

28
dua mata. Mengingat negara kita negara agraris dan sebagian besar
mata pencarian penduduknya bertani maka kecenderungan trauma
tumbuhan berupa daun padi, kulit padi, serpihan daun kelapa dan getah
tanaman, juga trauma lumpur pada kornea yang berawal dari infeksi
yang tidak tertangani dengan baik menjadi ulserasi kornea yang
berakhir dengan terbentuknya sikatrik kornea.1
Daerah perkotaan sikatrik kornea terjadi karena penggunaan lensa
kontak yang tidak tepat sehingga berisiko terjadinya infeksi kornea. Di
Singapura infeksi kornea karena pemakaian lensa kontak mencapai 34%.
Sedangkan di Amerika Serikat ulserasi kornea akibat pemakaian lensa kontak
kosmetik 0,21%. Dilaporkan setiap tahunnya 1 dari 2500 pemakai lensa
kontak mengalami infeksi kornea. Infeksi kornea ini sering disebabkan bakteri
pseudomonas aeruginosa (patogen oportunistik) yang serius menyerang
kornea sehingga diperlukan terapi agresif, tepat dan cepat1.
2.4.3 Etiologi
Seperti kita ketahui trauma tumbuhan cenderung membawa
serpihan jamur yang menempel dipermukaan kornea, sehingga dalam
penanganannya dibutuhkan terapi anti jamur, sedangkan tetes mata
tersebut sulit didapat didaerah-daerah yang jauh dari jangkauan ahli
mata. Akibatnya mereka datang sudah dalam bentuk ulserasi kornea.
Hal ini perlu perhatian kita bersama. Dari hasil penelitian kecil yang
pernah dilakukan oleh Suratmin terungkap pada pekerja penderes karet,
sering terjadi trauma tatal (campuran kimia latex stimulan, getah basah-
keringdan kotoran yang menempel pada kulit pohon serta ulit pohon
karet) yang mana insidennya mencapai 3.17%t (dari 100 penderita
pekerja perkebunan penderita trauma tatal), yang menyebabkan
ulserasi kornea dan menimbulkan sikatrik kornea.1 Penyebab dari
sikatrik kornea7
1. Kekeruhan bawaan dapat terjadi sebagai perkembangan anomali
atau setelah trauma kelahiran.
2. Luka kornea yang sembuh.
3. Ulkus kornea yang sembuh7.

29
2.4.4 Klasifikasi
Secara klinis ditemui dalam katagori ringan disebut nebula,
kekeruhannya halus dan sukar terlihat dengan senter. Katagori sedang
berbentuk makula, kekeruhannya berwarna putih berbatas tegas mudah
terlihat dengan senter sedangkan sikatrik berat disebut leukoma
kekeruhannya berwarna putih padat terlihat jelas oleh mata.1

2.4.5 Diagnosis
Keburaman kornea dapat menyebabkan hilangnya penglihatan
(ketika okupasi padat meliputi area pupil) atau penglihatan buram
(karena efek astigmatik). Jenis okupasi kornea Tergantung pada
kepadatan, okupasi kornea dinilai seperti nebula, makula, dan leucoma.
Tipe-tipe sikatriks kornea:
1. Keburaman kornea nebula. Ini adalah opacity yang samar yang
dihasilkan karena bekas luka yang dangkal Lapisan Bowman dan
stroma superfisial . Nebula tipis dan difus yang menutupi area pupil
lebih banyak mengganggu penglihatan daripada leucoma
terlokalisasi jauh dari area pupil. Selanjutnya, nebula menghasilkan
lebih banyak ketidaknyamanan pasien karena gambar kabur karena
tidak teratur astigmatisme daripada leucoma yang sepenuhnya
memotong sinar cahaya.7
2. Opacity kornea makula. Ini semi padat opacity dihasilkan ketika
jaringan parut melibatkan setengah stroma kornea.7
3. Opacity kornea Leucomatous (leucoma simplex). Ini adalah opacity
putih pekat yang dihasilkan karena jaringan parut lebih dari
setengah stroma.7

30
Gambar 2.14 Klasifikasi Sikatrik Kornea 7

Gambar 2.15 Gambar diafragma Sikatriks Kornea7


4. Adherent leucoma: Ini terjadi ketika penyembuhan terjadi setelah
perforasi kornea dengan penahanan iris.7
5. permukaan kornea. Terkadang permukaan kornea adalah tertekan di
tempat penyembuhan (karena kurang jaringan berserat); bekas luka
seperti itu disebut segi.7
6. Kerectasia. Dalam kondisi ini kelengkungan kornea adalah
meningkat di situs opacity (tonjolan karena bekas luka rendah).7
7. Staphyloma anterior. Sebuah ectasia dari psuedocornea (bekas luka
terbentuk dari eksudat terorganisir dan jaringan fibrosa ditutupi
dengan epitel) yang hasil setelah total pengelupasan kornea, dengan
iris diplester di belakangnya disebut anterior staphyloma.7
2.4.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium

31
a. Investigasi laboratorium rutin seperti hemoglobin, TLC, DLC,
ESR, gula darah, lengkap. Pemeriksaan urin dan feses harus
dilakukan di masing-masing kasus7.
b. Investigasi mikrobiologis. Studi-studi ini sangat penting untuk
mengidentifikasi organisme penyebab, konfirmasi diagnosis dan
menentukan pengobatan yang akan digunakan. Bahan untuk
investigasi tersebut diperoleh dengan mengikis dasar dan margin
ulkus kornea (di bawah anestesi lokal, menggunakan xylocaine
2%) dengan bantuan spatula Kimura yang dimodifikasi atau
cukup menggunakan ujung bengkok dari 20 gauge hypodermic
jarum. Bahan yang diperoleh digunakan sebagai berikut
investigasi:
1. pewarnaan Gram dan Giemsa untuk kemungkinan identifikasi
organisme yang menginfeksi.
2. 10 persen KOH basah untuk identifikasi hifa jamur.
3. Persiapan pewarnaan Calcofluor white (CFW) dilihat di bawah
mikroskop fluoresensi untuk filamen jamur, dinding yang
muncul warna apel hijau terang7.
a) Uji fluoresein ( untuk melihat adanya defek epitel kornea ).
Kertas fluoresein yang dibasahi terlebih dahulu dengan
garam fisiologik diletakkan pada sakus konjungtiva inferior.
Penderita diminta untuk menutup matanya selama 20 detik,
beberapa saat kemudian kertas diangkat. Dilakukan irigasi
konjungtiva dengan garam fisiologis dilihat permukaan
kornea bila terlihat warna hijau dengan sinar biru berarti ada
kerusakan epitel kornea misalnya terdapat pada keratitis
superfisial epitelial, tukak kornea, dan erosi kornea. Defek
kornea akan terlihat berwarna hijau pada kornea. Pada
keadaan ini disebut uji fluoresein positif.2
b) Serum Autologous

32
Pengujian aktivitas serum otologus dengan
penambahan hEGF secara in vitro dilakukan dengan
mengukur proses proliferasi dan migrasi sel menggunakan
human epithelial cell line HaCaT (human adult calcium
temperature). HaCaT merupakan cell line epitel manusia
yang berasal dari kulit dewasa dan dipergunakan sebagai
pemodelan dalam pengukuran migrasi dan prolifersi
keratinosit selama proses re-epitilisasi. Proses proliferasi
dilaksanakan menggunakan metode Water Soluble
Tetrazolium-8 (WST-8) dan migrasi sel menggunakan
metode Scratch Assay18.
Penggunaan serum otologus merupakan pendekatan
terapeutik yang direkomendasikan untuk mengobati
beberapa jenis penyakit. Pada umumnya penyakit tersebut
bersifat kronis, menahun bahkan dapat bertahan seumur
hidup. Perkembangan serum otolugus berawal dari
penggunaan autologus cell theraphy (ACT) yang memiliki
kemampuan yang besar dalam proses peremajaan. Serum
otologus pertama kali digunakan pada tahun 1985 untuk
pemulihan permukaan okular mata yang rusak akibat
transplantasi konjungtival. Penggunaan serum otologus
dalam bentuk tetes mata merupakan pendekatan terapeutik
yang direkomendasikan untuk mengobati kerusakan
permukaan okular seperti pada kerusakan epitelial mata
yang menetap (persistent epithelial defect/PED) dan
Keratoconjuctivitis sicca (KCS) atau yang sering disebut
dengan penyakit mata kering (dry eye). Sejak saat itu
pengobatan dengan serum otologus diaplikasikan secara
luas dalam bidang kedokteran modern seperti ortopedi,
dermatologi, bedah plastik, dan kosmetika.18

33
Gambar 2.16. perbedaan serum autolog dan cairan air mata19
Tears Serum

pH 7.4 7.4 7.4 7.4

Osmolality 298 296

EGF (ng/mL) 0.2 – 3.0 0.5

TGF-β (ng/mL) 2-10 6-33

Vitamin A (μg/mL) 0.016 0.806


0.016 0.806

Lysozyme (mg/mL) 1.4(0.2) 6

IgA (μg/mL) 1190(904) 2

Fibronectin 21 205
(μg/mL)

Pengobatan serum otologus memberikan hasil klinis yang


lebih baik karena tidak menimbulkan reaksi alergi, memperkecil
risiko terjadi reaksi immunologi secara sistemik, mencegah reaksi
ketidakcocokan serta menghindari penularan penyakit. Serum
otologus tersebut mengandung faktor pertumbuhan seperti
epidermal growth factor (EGF) dan transforming growth factor
beta (TGF-β), fibronektin, vitamin E dan vitamin A. Serum
otologus juga mengandung immunoglobulin seperti IgG, IgA,
lisozim dan faktor suplemen yang bersifat bakterisida. EGF yang
terdapat dalam serum otologus dapat menstimulasi proses migrasi
dan proliferasi keratinosit pada proses re-epitelisasi dalam
penyembuhan luka. Re-epitelisasi merupakan komponen penting
dalam proses penyembuhan luka dan dipergunakan sebagai
parameter keberhasilan penyembuhan. Tanpa proses reepitelisasi,
proses penyembuhan luka tidak akan terjadi. EGF disekresi oleh

34
trombosit, makrofag dan fibroblas, serta berperan dalam paracrine
fashion pada sel epitel. Epidermal growth factor juga memegang
peranan penting dalam pembentukan granulasi jaringan dan secara
in vitro dapat merangsang migrasi dan proliferasi keratinosit.
Terapi luka dengan EGF topikal akan meningkatkan proses
penyembuhan luka dan mempersingkat waktu penyembuhan.18
2.4.7 Tatalaksana
1. Iridektomi optik. Ini dapat dilakukan dalam beberapa kasus
dengan kornea makula atau leucomatous sentral kekeruhan,
asalkan penglihatan membaik dengan pelebaran pupil.7
2. Keratoplasty memberikan hasil visual yang baik di kasus tanpa
komplikasi dengan kekeruhan kornea, di mana iridektomi optik
tidak banyak digunakan.7
3. Phototherapeutic keratectomy (PTK) dilakukan dengan laser
excimer berguna dalam kasus permukaan (nebular) pada
kekeruhan kornea7.
4. Lensa kontak berwarna. memberi sangat baik penampilan
kosmetik di mata dengan bekas luka jelek tidak memiliki potensi
untuk melihat. Sekarang ini dianggap sebagai opsi terbaik, bahkan
melebihi dan di atas tatooing untuk keperluan kosmetik7.
5. Tato bekas luka. Itu dilakukan untuk kosmetik tujuan di masa
lalu. Ini hanya cocok untuk bekas luka dalam mata yang tanpa
penglihatan yang bermanfaat. Untuk tato Tinta hitam India, emas
atau platinum dapat digunakan. Untuk melakukan tato, pertama-
tama, epitel menutupi opacity dihilangkan di bawah topikal
anestesi (2 persen atau 4 persen xylocaine).
Kemudian selembar kertas isap dengan ukuran dan bentuk
yang sama, direndam dalam emas klorida 4 persen (untuk warna
cokelat) atau 2 persen platinum klorida (untuk warna gelap)
diterapkan di atasnya. Setelah 2-3 menit potongan filter kertas
dihilangkan dan beberapa tetes segar larutan hidrazin hidrat

35
disiapkan (2 persen) menuangkannya. Terakhir, mata diirigasi
dengan normal salin dan ditambal setelah pemberian antibiotik
dan salep mata atropin.14
2.4.8 Prognosis
Saat ini sikatrik kornea terjadi disebabkan oleh trauma berupa
trauma tajam, tumpul dan kimia. Selain itu infeksi yang disebabkan
oleh virus, bakteri, jamur dan protozoa yang tidak tertangani dengan
baik cenderung menjadi ulkus kornea dan juga komplikasi dari
penggunaan obat-obat mata secara tradisional. Infeksi tidak tertangani
dengan baik dapat terjadi ulkus kornea, ulkus dapat mencapai sampai
kelapisan stroma kornea akibat dari penyembuhannya terbentuk
sikatrik kornea berupa kekeruhan kornea sehingga tajam penglihatan
dapat menurun. Penurunan tajam penglihatan sangat ditentukan oleh
letak, luas, serta kepadatan jaringan sikatrik yang terjadi, irregularitas
permukaan Kornea dan cekungan yang terjadi. Bila sikatrik kornea
telah mengganggu penglihatan tidak ada pengobatan yang dapat
dilakukan kecuali keratoplasti atau pencangkokan kornea, hal ini juga
tidak mudah karena membutuhkan waktu sebab donor kornea masih
sulit didapat.1

BAB III
LAPORAN KASUS

36
A. IDENTITAS
Nama : AS
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Tinombala Barat

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Penglihatan kabur
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk ke poli mata rumah sakit anuntaloko dengan keluhan
penglihatan kabur pada saat mata merah, pasien merasa kabur sejak 2 tahun
lalu. Penglihatan kabur dirasakan pada salah satu matanya yaitu pada mata
kiri disertai keluhan silau saat melihat cahaya serta mata kiri berair dan
terasa nyeri. Pada awalnya pasien merasa matanya tiba-tiba merah, dan
seterusnya menjadi kabur. Pasien mengeluh ada rasa sensasi mengganjal
atau seperti kelilipan. Pasien menyangkal sering keluar kotoran atau belekan
dari kedua mata. Tidak ada riwayat mual dan muntah dan rasa pusing.
Sebelumnya pasien tidak memakai kacamata. Pasien tidak pernah
mengenakan lensa kontak. Pasien mengatakan bahwa keluahan mata merah
berhenti jika diberikan obat tetes mata yang didapatkan dari dokter.
Riwayat Penyakit Mata Sebelumnya :
Tidak ada
Riwayat Penyakit Lain :
Tidak ada

Riwayat Trauma :
Pasien memiliki riwayat terkena las pada mata kiri saat bekerja yang
menyebabkan mata pasien merah dan bengkak pada tahun 2014.

37
Riwayat Penyakit Mata dalam Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit mata dalam keluarga dan juga
tidak ada yang menggunakan kacamata dalam keluarga. Riwayat DM dan
hipertensi tidak ad dalam keluarga.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis :
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda Vital
- Tekanan Darah : Tidak dilakukan pengukuran
- Nadi : 82 x/m
- Pernapasan : 20 x/m
- Suhu : tidak dilakukan pengukuran
Status Oftalmologis OD OS

Visus

- Tajam Penglihatan 6/6 6/6


- Koreksi
- Addisi - -
- Distansia Pupil - -
- Kacamata lama
Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Inspeksi: - -

Kedudukan Bola mata:

- Eksoftalmus
- Endoftalmus
- Deviasi
- Gerakan Bola mata - -
Supra Silia
Baik ke semua arah Baik ke semua arah
- Warna
- Letak Hitam Hitam

38
Simetris Simetris

Palpebra superior dan


inferior

- Edema - -
- Nyeri tekan
- Ektropion - -
- Entropion - -
- Trikiasis
- Sikatriks - -
- Ptosis
- -
- Blefarospasme
-
Konjungtiva tarsal
superior dan inferior
- -
- Hiperemis
- Sikatriks - -

Konjungtiva bulbi

- Secret
- -
- Injeksi konjuntiva
- Injeksi siliar - -
- Injeksi episklera
- Hiperemis - +
- Perdarahan - -
subkonjuntiva
- Pterygium - +
- Nodul

System lakrimalis
- -
- Punctum

Kornea Jernih keruh


- Kejernihan cembung cembung
- Permukaan

39
- Infiltrate - -
- Ulkus - -
- Arcus senilis - -
- Edema

Bilik mata depan


Terbuka Terbuka
- Kedalaman
- Kejernihan
- Hifema
- Hipopion

Iris Jernih Jernih


Cembung Cembung
- Warna - -
- Kripte - -
- Sinekia

Pupil

- Letak
Sentral Sentral
- Bentuk
Bulat Bulat
- Ukuran
2 mm 2 mm
- RCL
+ +
- RCTL
+ +

Lensa
Normal Normal
- Kejernihan
Jernih Jernih

Palpasi
- -
- Nyeri tekan
- -
- Massa tumor
Tidak dilakukan
- Tensi okuli

40
Lapang pandang Tidak dilakukan
S
- Test konfrontasi Tidak dilakukan
t
Tes buta warna
a Tidak dilakukan
t Oftalmoskopi
u
s
Slit lamp

L - Palpebra Normal
o - Silia Normal

k - Konjungtiva Tampak selaput


a segitiga nasal diapex
sudah melewati
l
limbus beum
i mencapai pupil
s
Tampak makula
: - Kornea dipermukaan kornea
a) R
Tampak bercak
e infiltrat berwarna
g hijau
i
- oCOA
- Iris -
- -
- OPupil
-
- DLensa -
-
R
Lakrimasi - +
e
gRegio OS Konjungtiva : tampak selaput segitiga putih di nasal dengan
apex sudah melewati limbus dan belum melewati pupil

Regio OS Kornea:

41
Tampak makula centralis pada kornea mata sebelah kiri
Tampak bercak – bercak infiltrat berwarna hijau pada bagian kornea

D. RESUME
Pasien masuk ke poli mata rumah sakit anuntaloko dengan keluhan
penglihatan kabur pada saat mata merah, pasien merasa kabur sejak 2
tahun lalu. Penglihatan kabur dirasakan pada salah satu matanya yaitu
pada mata kiri disertai keluhan silau saat melihat cahaya serta mata kiri
berair dan terasa nyeri. Pada awalnya pasien merasa matanya tiba-tiba
merah, dan seterusnya menjadi kabur. Dan terasa seperti ada yang
mengganjal atau sensai kelilipan. Pasien mengatakan bahwa keluahan
mata merah berhenti jika diberikan obat tetes mata yang didapatkan dari
dokter.
. Dilingkungan sekitar pasien tidak ada yang merasakan keluhan
tersebut.. Riwayat trauma Pasien memiliki riwayat terkena las pada mata
kiri saat bekerja yang menyebabkan mata pasien merah dan bengkak pada
tahun 2014. Riwayat keluarga (-) merasakan penyakit yang sama. Riwayat
Corpus alineum (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien KU: Sedang, N = 82 x/m, R
= 20 x/m. Pemeriksaan tambahan menggunakan slit lamp didapatkan Status
Oftalmologis ditemukan Regio OS Konjungtiva : tampak selaput segitiga
putih di nasal dengan apex sudah melewati limbus dan belum melewati
pupil dan Regio OS Kornea: Tampak makula centralis pada kornea mata
sebelah kiri serta pada pemeriksaan fluoresens tampak bercak – bercak
infiltrat berwarna hijau pada bagian kornea.

E. DIAGNOSIS

42
OS Pterigium Grade II + Keratitis + Sikatriks Kornea (Makula)

F. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
Topikal  Levocin Ed 4x1 gtt OS
Oral  Doksisiklin 1 x 100 mg

 Non medikamentosa
Memberikan Edukasi :
1. Menjaga higenitas mata.
2. Tidak menggunakan soft lens.
3. Kompres mata dengan air hangat
G. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia et Malam
Quo ad sanam : Dubia et Malam
Quo ad functionam : Dubia et Malam
H. DOKUMENTASI

Gambar 2.16 Mata Kiri Pasien

43
Gambar 2.17. OS Makula Kornea

Gambar 2.18. OS keratitis

44
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien didiagnosis dengan OS Pterigium grade II, keratitis
dan makula kornea, diagnosa ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Pada anamnesis terdapat keluhan mata kiri penglihatan kabur srasa seperti
ada yang mengganjal, keluhan silau saat melihat cahaya serta mata kiri sering
berair dan terasa nyeri. Berdasarkan teori, kecurigaan akan adanya keratitis pada
pasien dapat timbul pada pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu
gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) ,merasa kelilipan (blefarospasma). Dan
mata berair. Keluhan tersebut, telah mewakili 3 trias dari keratitis. Nyeri dan
sensasi benda asing terjadi karena efek mekanis dari kelopak mata dan efek kimia
dari toksin pada ujung saraf yang terbuka; mata berair terjadi karena refleks
hiperlakrimasi; fotofobia, yaitu intoleransi terhadap cahaya dihasilkan dari
stimulasi ujung saraf. Penglihatan kabur akibat corneal haze; mata merah terjadi
karena tersumbatnya pembuluh-pembuluh darah circumcorneal. 7
Hal ini sesuai dengan pemeriksaan status oftalmologis ditemukan OS
Injeksi Konjungtiva (+), Konjungtiva Bulbi dan Tarsal Hiperemis (+),
blefarospamse (+), hiperlakrimasi (+). Status Lokalis Regio OS Kornea = Tampak
bercak – bercak infiltrat berwarna hijau . Berdasarkan teori berdasarkan letak
lesinya, maka pada kasus ini dapat disebut keratitis central.2
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan slit
lamp didapatkan adanya selaput pada konjungtiva berupa segitiga putih dinasal
dengan apex sudah mencapai limbus dan belum mencapai pupil. Dan ini sudah
sesuai dengan teori bahwa Ukuran lesi pterigium dinilai secara klinis dengan
biomicroscopy slit-lamp dan dapat diklasifikasikan grade 1 (penutup lesi sampai
limbus), grade 2 (lesi menutupi kornea sebesar 2 mm), grade 3 (lesi mengelilingi
pupil) dan grade 4 (lesi bersilangan pupil). dimana pada pasien ini termasuk
pterigium grade 211.

45
Pada saat pemeriksaan slit lamp tampak pada regio kornea, tampak makula
pada permukaan kornea dibagian central. Dan ini sesuai dengan teori bahwa
Secara klinis ditemui dalam katagori ringan disebut nebula, kekeruhannya halus
dan sukar terlihat dengan senter. Katagori sedang berbentuk makula,
kekeruhannya berwarna putih berbatas tegas mudah terlihat dengan senter
sedangkan sikatrik berat disebut leukoma kekeruhannya berwarna putih padat
terlihat jelas oleh mata1.
Pada pasian ini dilakukan uji fluoresens dimana didapatkan hasil tampak
bercak infiltrat berwarna hijau dengan slit lamp. Uji fluoreseina dapat menentukan
defek epitelnya. Pemeriksaan uji fluoresein ini merupakan pemeriksaan yang
dibutuhkan dalam mengevaluasi kelainan di kornea. Larutan fluoresein
diteteskan pada mata dan mata diperiksa dengan menggunakan slit lamp ataupun
dengan iluminasi terang dan melihat menggunakan loup. Hal tersebut dapat
memberikan gambaran defek epithelial. Selain itu, pada kasus ini tidak dilakukan
uji kultur untuk mengetahui organisme penyebab2
Terapi pada kasus ini diberikan terapi topikal Levocin Eye drops 4 x 1 gtt
OS, artificial tears 1 tetes/ jam dan pemberian oral yaitu doxycyclin 1 x 100 mg.
Hal ini telah sesuai dengan teori dimana antibiotik topikal merupakan terapi lini
pertama untuk keratitis bakterial. Terapi awal (sebelum hasil kultur dan kepekaan
tersedia) harus dengan terapi kombinasi untuk mencakup organisme gram negatif
dan gram positif. Doxycyclin bertindak sebagai antikolagenase. Selama infeksi
akut, fibroblas, keratosit dan sel-sel inflamasi lainnya mengeluarkan enzim,
seperti kolagenase dan matriks metalloproteinase, yang terlibat dalam degradasi
protein dan keratolisis. Mengarahkan terapi menuju stabilisasi pencairan kornea
dapat mengurangi insidensi komplikasi berat keratitis infeksius, seperti perforasi
kornea dan kebutuhan keratoplasti penetrasi terapeutik7.
Prognosis pada pasien ini dubia et malam karena terdapat sikatriks pada
kornea kiri pasien Bila sikatrik kornea telah mengganggu penglihatan tidak ada
pengobatan yang dapat dilakukan kecuali keratoplasti atau pencangkokan kornea,
hal ini juga tidak mudah karena membutuhkan waktu sebab donor kornea masih
sulit didapat1.s

46
BAB V

KESIMPULAN

1. Komea merupakan bagian mata yang licin mengkilat, transparan dan tembus
cahaya yang menutup bola mata bagian depan. Komea tidak mempunyai
pembuluh darah sehingga nutrisinya berasal dari homor aquous dan oksigen
dari luar.
2. Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakan. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea
3. Pterygium dapat didefinisikan sebagai penyakit mata yang ditandai oleh
pertumbuhan fibrovascular conjunctiva pada kornea. Dimana memberikan
gejala berupa Pterygium yang sepenuhnya berkembang terdiri dari tiga bagian
yaitu Kepala (bagian apikal hadir pada kornea), Leher (bagian limbal), dan
Tubuh (bagian skleral) memanjang antara limbus dan canthus
4. Keratitis merupakan peradangan kornea. Radang kornea biasanya
diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena, dengan gejala berupa gejala
mata merah, rasa silau (fotofobia) ,merasa kelilipan (blefarospasma).
5. Sikatriks kornea adalah kehilangan transparansi kornea yang normal, yang
dapat terjadi pada banyak syarat. Oleh karena itu, istilah 'kornea opacity
'digunakan terutama untuk hilangnya transparansi kornea karena jaringan parut

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Erry. 2012. Distribusi dan Karakteristik Sikatrik Kornea Di Indonesia 2007.


Media Litbang Kesehatan Volume 22 Nomor 1.
2. Ilyas Sidarta, Yulianti Rahayu.S. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima.
Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Phona, Dara, dkk. 2015. Hubungan Faktor Resiko Dengan Kejadian
Pterygium di Poliklinik Mata Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit
Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara Tahun.2015. Jurnal Kedokteran
dan Kesehatan Malikussaleh.
4. Anthony L Mescher. 2012. Histologi Dasar Junqueira Edisi 12. EGC. Jakarta.
5. American Academy of Ophthalmology. 2009. Fundamental and Principles Of
Ophthalmology. American Academi of Ophthalmology : Amerika.
6. Paulsen F, et al. 2013. Sobotta Jilid 3 : Atlas Anatomi Manusia Kepala, Leher
dan Neuroanatomi. EGC: Jakarta.
7. Khurana AK. 2007. Comprehensive Ophthalmology Ed 4. New Age
International (P) Limited.
8. Todorovic, Dusan, et al. 2017. Update On The Treatment Of Pterygium.
Review Paper Revijalni Rad. Serbia.
9. Sanjay Kumar. 2017. Pterygium : Epidemology, Prevention and Treatment.
Community Eye Health Journal. Nepal
10. Gerhaerd K, Lang. 2000. Ophthalmology : A Short Textbook. Thieme
Stuttgart : New York.
11. Adnet, Livia et al. 2011. Characteristics and Prevalence Of Pterygium In
Small Communities Along The Solimoes and Japura Rivers Of The Brazilian
Amazon Rainforest. Rev Bras Oftamology.
12. Roberta, Farias. 2017. Epidemological Profile Of Infectious Keratitis. Rev
Bras Oftalmol.
13. Muthiah Srinivasan. 2012. Keratitis : An Overview Of Fungal Keratitis and
Case Report on Tricohophyton Keratitis.
14. Ahmed. 2011. Comprehensive Manual Of Opthalmology. Jaypee Brothers
Medical Publisher. India.

48
15. Deepankar, Srigyan. 2017. Infectious Keratitis : An Immediate Cause Of
Concern. Ophthalmology Research An International Journal.
16. Yusi Farida. 2015. Corneal Ulcers Treatment. Journal Majority. Lampung
17. Madan Upadhyay, et al. 2015. Diagnosing and Managing Microbial Keratitis.
Community Eye Health Journal.
18. Agung SS. Maksum IP. Subroto T. 2016. Serum Otologus dan Human
Epidermal Growth Factor (hEGF) Mempercepat Proliferasi dan Migrasi
Keratinosit pada Proses Re-Epitelisasi.MKB: 48(4). Pp 205-210.
19. Maksum IP. Subroto T. Dkk. 2018.Stabilization Of Vitamin A Using Vitamin
E AS Antioxidant In Lyophilized autologous Serum and Its Antibacterial
Properties. International Research Journal of Pharmacy: 9 (7). Pp 79-84.

49

Anda mungkin juga menyukai