Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan


melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram1.
Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan
sectio caesarea apabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada
ibu dan janin. Indikasi untuk sectsio caesarea antara lain meliputi indikasi medis (
power,passage, pasangger), indikasi ibu ( usia, Cephalopelvic disproportion,
memiliki riwayat operasi, hambatan jalan lahir, ketuban pecah dini ), janin ( bayi
besar, gawat janin, plasenta, letak sungsang ) 2.
Terbentuknya adhesi (perlengketan) pada bagian uterus, sebagai akibat
dari jaringan parut yang timbul saat tindakan pembedahan. Pada kebanyakan
kasus, terjadi pada wanita yang menjalani tindakan operasi. Infeksi rahim juga
bisa sebagai penyebabnya. Perlengketan yang timbul bisa mengakibatkan
amenorrhea (tidak haid), keguguran yang berulang, dan infertilitas3.
Adhesi bisa disebabkan dari operasi termasuk bedah caesar , pengangkatan
tumor fibroid ( miomektomi ) dan dari penyebab lain seperti IUD , panggul
iradiasi , schistosomiasis dan tuberkulosis genital . endometritis kronis dari TB
kelamin adalah penyebab signifikan IUA parah di negara berkembang, sering
mengakibatkan hilangnya sebagian besar dari kavum uterus yang sulit untuk
diobati. Radiasi: Radioterapi diberikan di dalam atau sekitar rahim sebagai bagian
dari pengobatan kanker juga dapat menyebabkan kerusakan dan pembentukan
adhesi4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fungsi Peritoneum


Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan
membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan
pembuluh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi
dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ
retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh permukaan
organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8 m2.
Setengahnya (±1) m2 berfungsi sebagai membran semipermeabel terhadap
air, elektrolit, serta makro dan mikro molekul.5
Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas
organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga
peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin.6

a. Anatomi Uterus
Uterus merupakan organ muskular tempat berkembangnya fetus
dan mendapatkan nutrisi sampai pada akhirnya lahir. Uterus berbentuk
seperti buah pir terbalik yang berkedudukan di pelvis, dengan ovarium
dan tuba uterina dikedua sisinya, meluas ke bawah kedalam
vagina.3,10 Uterus berfungsi sebagai jalur untuk sperma mencapai
tuba uterina agar bertemu dengan ovum. Apabila tidak terjadi
implantasi, uterus akan mengalami proses mentruasi. 7

2
Gambar 1.1 Anatomi Uterus7
Uterus terletak diantara vesica urinaria dan rectum, berbentuk seperti
buah pir terbalik. Uterus pada wanita yang belum pernah hamil biasanya
berukuran sekitar 7,5 cm (panjang), 5 cm (lebar), dan 2,5 cm (tebal).
Uterus terdiri dari fundus uteri, corpus uteri dan serviks uteri. Biasanya
uterus berada dalam posisi antefleksi8.
Rongga rahim dibatasi oleh endometrium. Lapisan ini terdiri dari
dua lapisan, lapisan fungsional yang dilepaskan selama menstruasi dan
lapisan basal yang mendasari, yang diperlukan untuk regenerasi
lapisan fungsional. Trauma pada lapisan basal, biasanya setelah dilatasi
dan kuretase (D & C) dilakukan setelah, keguguran atau, persalinan
atau untuk aborsi medis, yang berkembang menjadi bekas luka
intrauterin mengakibatkan adhesi. Dalam keadaan yang berat,
keseluruhan kavum uterus dapat terluka dan tersumbat. Bahkan dengan
bekas luka yang relatif sedikit, endometrium mungkin gagal untuk
merespon estrogen dan berhenti bekerja. Seringkali, pasien mengalami
ketidakteraturan menstruasi sekunder ditandai oleh perubahan dalam
aliran dan durasi pendarahan ( amenore , hypomenorrhea , atau
oligomenore) dan menjadi infertil9.
Adhesi juga bisa disebabkan dari operasi termasuk bedah caesar ,
pengangkatan tumor fibroid ( miomektomi ) dan dari penyebab lain
seperti IUD , panggul iradiasi , schistosomiasis dan tuberkulosis

3
genital . endometritis kronis dari TB kelamin adalah penyebab
signifikan IUA parah di negara berkembang, sering mengakibatkan
hilangnya sebagian besar dari kavum uterus yang sulit untuk diobati.
Radiasi: Radioterapi diberikan di dalam atau sekitar rahim sebagai
bagian dari pengobatan kanker juga dapat menyebabkan kerusakan
dan pembentukan adhesi10.

2.2. Sectio Sesaria


Sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan
rahim dalam keadaan utuh11.
a. Jenis-jenis Seksio Sesarea Beberapa jenis seksio sesarea :
1. Seksio sesarea transperitonealis profunda dengan insisi di bawah
segmen bawah uterus.
2. Seksio sesarea klasik atau corporal dengan insisi memanjang pada
korpus uteri.
3. Seksio sesarea ekstra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum
perietalis, dengan demikian tidak membuka kavum abdominal 11
b. Adapun indikasi dilakukannya operasi seksio sesaria adalah
1. Indikasi Ibu :
- Panggul sempit absolut
- Tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
- Stenosis serviks / vagina
- Plasenta previa
- Disproporsi sefalopelvik
- Ruptura uteri membakat
- Pre eklamsi dan eklamsi
- Partus lama
- Partus tak maju 12

4
2. Indikasi Janin :
- Kelainan letak
- Letak Lintang
- Letak Sungsang
- Letak Defleksi
- Gawat janin
- Gemelli13

c. Komplikasi
Komplikasi Seksio Sesarea Resiko operasi seksio sesarea banyak dan serius,
sehingga jauh lebih berbahaya dibanding persalinan normal. Dan yang harus
memikul resiko itu tak cuma ibu, bayi juga. Resiko operasi sesarea14.
1. Resiko pada Ibu :
A. Resiko Jangka Pendek
- Infeksi pada bekas jahitan Infeksi luka akibat persalinan sesarea
beda dengan luka persalinan normal. Luka persalinan normal
sedikit dan mudah terlihat, sedangkan luka sesarea lebih besar
dan berlapis-lapis. Bila penyembuhan tak sempurna, kuma lebih
mudah menginfeksi sehingga luka menjadi lebih parah. Bukan tak
mungkin dilakukan jahitan ulang15.
- Infeksi rahim terjadi jika ibu sudah terkena infeksi sebelumnya,
missal mengalami pecah ketuban. Saat dilakukan operasi,
rahimpun terinfeksi16.
- Keloid atau jaringan parut muncul pada organ tertentu karena
pertumbuhan berlebihan sel-sel pembentuk organ tersebut.
Ukuran sel meningkat dan terjadilah tonjolan jaringan parut.
Perempuan yang punya kecenderungan keloid tiap mengalami
luka niscaya mengalami keloid pada sayatan bekas operasinya16.
- Cedera pembuluh darah Pisau atau gunting yang dipakai dalam
operasi berisiko mencederai pembuluh darah. Misalnya tersayat.
Kadang cedera terjadi pada penguraian pembuluh darah yang
melengket. Ini adalah salah satu sebab mengapa darah yang

5
keluar pada persalinan sesarea lebih banyak dibandingkan
persalinan normal17.
- Perdarahan tak bisa dihindari dalam proses persalinan. Namun,
darah yang hilang lewat operasi sesarea dua kali lipat dibanding
lewat persalinan normal18.
- Air Ketuban Masuk ke Pembuluh Darah Selama operasi sesarea
berlangsung pembuluh darah terbuka. Ini memungkinkan
komplikasi berupa masuknya air ketuban ke dalam pembuluh
darah (embolus). Bila embolus mencapai paru-paru, terjadilah apa
yang disebut pulmonary embolism. Jantung dan pernapasan ibu
bisa terhenti secara tiba-tiba. Terjadilah kematian mendadak19.
- Usus Terpilin, Operasi sesarea mengakibatkan gerak peristaltik
usus tak bagus. Kemungkinan karena penanganan yang salah
akibat manipulasi usus, atau perlengketan usus saat
mengembalikannya ke posisi semula. Akibatnya ibu sulit buang
air besar dan buang angin karena ususnya seperti terpilin.
Rasanya sakit sekali dan harus dilakukan operasi ulang20.

B. Resiko Jangka Panjang


a. Masalah Psikologis
Berdasarkan penelitian, perempuan yang mengalami
operasi sesarea punya perasaan negatif usai menjalaninya
(tanpa memperhatikan kepuasan atas hasil operasi). Depresi
pascapersalinan juga merupakan masalah yang sering muncul.
Beberapa mengalami reaksi stres pascatrauma berupa mimpi
buruk, kilas balik, atau ketakutan luar biasa terhadap
kehamilan. Masalah psilokogis ini lama-lama akan
mengganggu kehidupan rumah tangga atau menyulitkan
pendekatan terhadap bayi. Hal ini bisa muncul jika ibu tak siap
menghadapi operasi5.

6
b. Pelekatan Organ Bagian Dalam
Penyebab pelekatan organ bagian dalam pascaoperasi
sesarea adalah tak bersihnya lapisan permukaan dari noda
darah. Terjadilah pelengketan yang menyebabkan rasa sakit
pada panggul, masalah pada usus besar, serta nyeri saat
melakukan hubungan seksual. Jika kelak dilakukan operasi
sesarea lagi, pelekatan bisa menimbulkan kesulitan teknis
sehingga melukai organ lain, seperti kandung kemih atau usus.6
C. Resiko Persalinan Berikutnya
a. Sobeknya Jahitan Rahim Ada tujuh lapis jahitan yang dibuat
saat operasi sesarea. Yaitu jahitan pada kulit, lapisan lemak,
sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim,
dan rahim. Jahitan rahim ini bisa sobek pada persalinan
berikutnya. Makin sering menjalani operasi sesarea, makin
tinggi risiko terjadinya sobekan7.

2.3 Definisi Adhesi


Adhesi peritoneal adalah pembentukan jaringan ikat patologis
antara omentum, usus dan dinding perut. Perlengketan ini dapat berupa
jaringan ikat tipis seperti film, jaringan fibrosis yang tebal mengandung
pembuluh darah dan jaringan saraf, atau perlengketan langsung antara dua
permukaan organ. Menurut etiologinya, adhesi peritoneal dapat
diklasifikasikan sebagai bawaan atau didapat sebagai reaksi post inflamasi
atau pasca operasi yang merupakan kasus terbanyak.8
Di antara pembentukan adhesi pasca operasi, dapat dibedakan atas
tiga proses: adhesion formation (perlekatan terbentuk pada tempat
operatif); de novo ahesion formation (perlekatan terbentuk tidak pada
tempat operatif), dan adhesion reformation (adhesi yang terbentuk setelah
pembebasan adhesi sebelumnya). Diamond dkk membedakan
pembentukan adesi peritoneal menjadi 2 tipe. Tipe 1 atau de novo
adhesion formation dimana adhesi terbentuk pada lokasi yang sebelumnya

7
tidak ada dijumpa adhesi, termasuk tipe 1A (tidak ada prosedur operasi
sebelumnya di tempat adhesi) dan tipe 1B (ada prosedur operasi
sebelumnya di tempat adhesi). Tipe 2 adalah pembentukan adhesi kembali
dimana dibagi lagi menjadi 2 sub tipe; tipe 2A (tidak ada prosedur operasi
di lokasi adhesi selain adhesiolisis) dan tipe 2B (terdapat prosedur operasi
lainnya di lokasi adhesi selain adhesiolisis). 6

2.3. Etiologi
Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pasca operasi,
antara lain;
a. infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis
akut, divertikulitis, penyakit crohn’s, kolesistitis, penyakit
radang pelvis ( PID), abses intraabdomen dan abses hati,
b. Trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar)
c. cedera panas (kauterisasi, paparan lampu operasi)
d. iskemia (termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar,
kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi)
e. paparan benda-benda asing seperti bubuk tepung dari sarung
tangan, atau potongan benang. 8
Sebagian besar adhesi peritoneal disebabkan oleh prosedur
pembedahan didalam rongga peritoneal. Prevalensi kejadian adhesi
peritoneal pasca tindakan operasi intra abdominal antara 63% -97%.
Secara keseluruhan, sekitar sepertiga dari pasien yang menjalani operasi
bedah terbuka pada perut atau panggul datang kembali ke pusat rawatan
rata-rata dua kali dalam 10 tahun diakibatkan oleh kondisi yang
berhubungan dengan komplikasi adhesi peritoneal. Lebih dari 20 %
penderita datang kembali ke pusat kesehatan pada tahun pertama setelah
operasi awal, dan 4,5% dari pasien tersebut akibat obstruksi adhesi usus
halus.7
Pembedahan kolorektal merupakan jenis operasi yang paling
banyak menyebabkan adhesi peritoneal. Obstruksi usus halus adalah

8
komplikasi yang paling umum dari adhesi. Pada Westminster Hospital
(London, Inggris) obstruksi usus menyumbang 0,9% dari seluruh rawatan.
Sebuah survei di Inggris 1992 melaporkan jumlah kasus obstruksi adhesi
usus halus tahunan mencapai 12.000-14.400. Pada tahun 2018 di Amerika
Serikat, kasus rawatan untuk adhesiolisis menyumbang hampir 950.000
rawatan (Kamel, 2010). Semua studi ini menunjukkan bahwa obstruksi
adhesi usus halus adalah masalah kesehatan yang signifikan baik di negara
maju dan berkembang.11

2.4. Patofisiologi Pembentukan Adhesi


2.4.1. Respon Trauma Pada Peritoneum
Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan
reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan
prostaglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil,
makrofag, sel mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan
leukosit. Sel mast melepaskan mediator inflamasi berupa histamin,
serotonin, enzim lisosom, faktor kemotaksis, dan sitokin serta
metabolit oksigen reaktif untuk membunuh bakteri, mengeliminir
benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh baik secara anatomi dan
fisiologi.12
Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke
dalam rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki
daerah luka. Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis,
menghancurkan bakteri dan membantu membersihkan jaringan yang
mati. Infiltrasi sel netrofil mencapai puncaknya setelah 24 jam dan
secara perlahan digantikan oleh monosit. Monosit selanjutnya berubah
menjadi makrofag yang akan melanjutkan penghancuran bakteri dan
debrideman luka. 12
Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta
(TGF β) yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel

9
mesotelium untuk menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag
akan membentuk lapisan pada peritoneum yang mengalami trauma.
Deposit fibrin akan terbentuk antara 48 sampai 72 jam
pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat terjadi infiltrasi dan
proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi proliferasi sel
endotel pada proses neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi jaringan
peritoneum.13
Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan
meningkat pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel
mesotelium secara komplek. Bila proses fibrinolisis berlangsung
normal maka pada hari keempat dan kelima sel mesotelium akan
tumbuh di sepanjang garis luka dan menutupi kerusakan secara total.
Mulai hari ke lima dan keenam jumlah makrofag akan menurun dan
pada hari ke delapan sel mesotelium akan menutupi luka dan
beregenerasi secara komplek.14
Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan
mengalami reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum
baik besar maupun kecil akan sembuh secara sempurna dengan sama
cepat. Berbeda pada kulit, proses penyembuhan terjadi secara
sentripetal dari pinggir.17
2.4.2. Mekanisme Terjadinya Adhesi
Cedera pada peritonium menyebabkan terjadinya peningkatan
permiabilitas pembuluh darah pada area tersebut, hal ini menyebabkan
terjadinya eksudasi dari sel-sel inflamasi yang mengawali
terbentuknya matrik fibrin, yang menghubungkan kedua permukaan
peritoneal yang cedera.8
Setelah terjadinya pembentukan jaringan ikat fibrin,
fibrinolisis akan memecah jaringan ikat tersebut. Bila sistem
fibrinolisis tersebut gagal dalam melisis jaringan ikat tersebut maka
akan terbentuk jaringan ikat yang persisten. 9

10
Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya
pembentukan adhesi. Kerusakan jaringan akan diikuti dengan
pembentukan fibrin. Tromboplastin, protrombin dan trombin akan
mengaktifasi fibrinogen menjadi fibrin. Bekuan platelet yang berasal
dari agregasi platelet bersama dengan bekuan fibrin membentuk
jaringan fibrin. 7
Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa
berbagai bentuk cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan
potensi fibrinolisis. Whitaker dkk, menunjukkan bahwa kultur murni
sel mesothelium memiliki kemampuan fibrinolisis. Didukung suatu
studi Antibodi Inhibisi dan Antigenik Immunoassays yang
menjelaskan bahwa tissue Plasminogen Activator (tPA) adalah
plasminogen aktivator utama pada biopsi peritoneal manusia, yang
merangsang lisisnya fibrin dan mencegah perlekatan serosa. 7
Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi
proses iskemia dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen
Activator Activity (PAA) menghilang ini terutama dikaitkan dengan
peningkatan dramatis Plasminogen Activator inhibitor (PAI) dalam
peritoneum yang cedera. Pengamatan pada sel menunjukkan PAI
dihasilkan oleh mRNA hibridisasi. Studi-studi ini menegaskan bahwa
mesothelium memainkan peran penting dalam penghambatan fibrinolisis
peritoneum akibat cedera.9

11
Gambar 2. Peritoneal Injury2

Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan


bertahan dan fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari
jaringan fibrin yang terbentuk akan digantikan oleh sel fibroblast
serta pembentukan pembuluh darah baru, akan membawa
antiplasmin untuk melawan efek fibrinolisis dan mempertebal
jaringan fibrosa untuk membentuk adhesi fibrosa yang permanen.8

2.5. Diagnosis Adhesi Peritoneum


Untuk mendiagnosis adanya adhesi pada peritonium sangat sulit untuk
diidentifikasi dan kebanyakan bersifat asimptomatik dan dapat ditemukan
saat operasi berlangsung. Namun dalam mendiagnosis adanya adhesi atau
perlengketan pada peritoneum memiliki gejala sebagai berikut :
1. Memiliki riwayat operasi
2. Perlengketan umunya akan terjadi setelah penyembuhan luka terlewati

12
3. Nyeri abdomen diikuti dengan gangguan mortalitas usu dengan berbagai
gradasi :
- Kembung
- Mual dan muntah berlangsung lebih berat
- Nyeri hebat jika perlengketan dan pergerakan usus melibatkan
pembuluh darah.
Pemeriksaan penunjang imaging seperti Foto polos, USG, CT SCAN
maupun MRI masih sulit untuk mengidentifikasi10.

2.6 Usaha untuk Pencegahan Adhesi Intraperitoneum


Beberapa bahan pencegahan terhadap adhesi peritoneal pasca
operasi telah diselidiki. Bahan tersebut berperan dalam mengaktifkan
fibrinolisis, menghambat koagulasi, mengurangi respon inflamasi, atau
menciptakan barier antara permukaan luka yang berdekatan. Pencegahan
terhadap terjadinya adhesi dibagi atas 4 kelompok utama; prinsip umum,
teknik operasi, barir mekanik, dan dengan cairan atau bahan kimia
tertentu.5
2.5.1. Prinsip umum
Beberapa hal dasar harus diaplikasikan untuk mencegah
terjadinya adhesi peritonium pada saat intraoperatif, seperti
menghindari diseksi peritonium yang tidak perlu, mencegah
terjadinya kontaminasi isi saluran cerna atau cairan empedu, dan
penggunaan sarung tangan bebas tepung.11
WS Halsted 1852-1922 adalah ahli bedah pertama yang
mengakui pentingnya langkah-langkah tersebut. Kerusakan
peritoneal harus dihindari dengan penanganan yang hati-hati
terhadap jaringan, hemostasis yang teliti, irigasi yang terus
menerus dan menghindari jaringan terekspos, serta mencegah
penjahitan atau penjepitan jaringan yang tidak perlu. Penggunaan
bahan jahitan yang biokompatibel, instrumen atraumatik dan
sarung tangan bebas tepung juga dianjurkan. Beberapa penelitian

13
eksperimental telah menunjukkan bahwa penggunaan sarung
tangan yang bertepung selama laparotomi mempunyai hubungan
dengan peningkatan risiko adhesi peritoneal pasca operasi. Durasi
operasi juga menentukan terhadap pembentukan adhesi peritoneal.
Semakin singkat durasi operasi, semakin menurunkan adhesi pasca
operasi.12
2.5.2. Teknik operasi
Teknik operasi terbuka dibandingkan laparaskopi
mempunyai peranan penting terhadap kejadian adhesi peritonium.
Insiden adhesi peritonium pada operasi kholesistektomi terbuka
sebesar 7.1%, dibandingkan dengan laparaskopi yang hanya 0,2%.
Secara keseluruhan teknik operasi laparaskopi menurunkan angka
kejadian adhesi peritonium. 18

2.5.3 Zat kimia


Zat cair dan bahan kimia tertentu secara teori lebih baik
dalam menutupi daerah yang berpotensi untuk terjadinya adhesi
dibandingkan barir mekanik. Namun demikian, penggunaan zat
cair dan zat kimia tertentu masih perlu penelitian lebih lanjut.19
Bahan kimia bekerja secara umum mencegah pembentukan
fibrin dengan cara menghambat proliferasi fibroblastik. Banyak
bahan yang digunakan untuk menghambat proliferasi seperti obat
anti inflamasi non-steroid (OAINS), kortikosteroid, calcium
channel blockers, antagonis histamin, antibiotik, bahan fibrinolitik,
antikoagulan, antioksidan, hormon, dan vitamin.18
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) mengurangi
perlengketan peritoneal pada beberapa model hewan melalui
penghambatan sintesis prostaglandin dan tromboksan. OAINS
menurunkan permeabilitas pembuluh darah, inhibitor plasmin,
agregasi platelet, dan koagulasi dan juga meningkatkan fungsi
makrofag. Rodgers dkk telah menunjukkan bahwa pemberian obat
anti-inflamasi postoperasi pada lokasi cedera mengurangi

14
pembentukan adhesi pasca operasi pada hewan coba. Hewan coba
tikus telah digunakan untuk menyelidiki Nimesulide, suatu selektif
siklooksigenase-2 inhibitor dalam mencegah terjadinya
pembentukan adhesi. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa
pemberian injeksi intramuskular sebelum operasi dan pemberian
nimesulide pasca operasi secara intraperitoneal ke tempat yang
cedera dapat mengurangi pembentukan adhesi pasca operasi.18
Pemberian kortikosteroid mengurangi permeabilitas
pembuluh darah dan pembebasan sitokin dan faktor kemotaktik
dan mengurangi pembentukan adhesi peritoneal pada beberapa
model hewan coba. Namun, kortikosteroid memiliki efek samping,
seperti imunosupresi dan memperpanjang penyembuhan luka.
Kirdak telah menyelidiki efektivitas dosis yang berbeda
metilprednisolon dalam mencegah perlengketan peritoneal pada
tikus. Mereka menemukan bahwa pemberian topikal
metilprednisolon dalam dosis yang berbeda tidak memberikan
perbedaan efektivitas dalam mencegah pembentukan adhesi
peritoneal, dan lebih jauh lagi steroid tidak dapat mencegah
terjadinya adhesi peritoneal.17

Penggunaan antikoagulan untuk mencegah pembentukan


adhesi peritoneal telah banyak dilaporkan dalam literatur. Banyak
molekul telah digunakan, seperti heparin atau dicumarol, yang
mencegah adhesi dengan meningkatkan fibrinolisis akibat aktivitas
esterase serin. Heparin adalah antikoagulan yang paling banyak
diteliti digunakan untuk pencegahan adhesi. Namun, keberhasilan
dalam mengurangi pembentukan adhesi belum terbukti dalam uji
klinis.18
Bahan fibrinolitik seperti rekombinan TPA, telah
mengurangi perlengketan pada hewan coba yang diberikan secara

15
lokal. Namun, bahan-bahan fibrinolitik dapat menyebabkan
komplikasi perdarahan.18
Beberapa antibiotik biasanya digunakan untuk profilaksis
terhadap infeksi pasca operasi dan pembentukan adhesi. penelitian
lain telah menunjukkan bahwa aplikasi intra-abdomen
menyebabkan pembentukan adhesi. Sortini telah menunjukkan
bahwa antibiotik menyebabkan pembentukan adhesi yang lebih
besar dibandingkan dengan saline. antibiotik dalam solusi irigasi
intraperitoneal telah terbukti meningkatkan pembentukan adhesi
peritoneal dalam hewan coba tikus, dan tidak direkomendasikan
sebagai bahan tunggal untuk pencegahan adhesi. 17

16
BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal pemeriksaan : 11 juni 2019


Ruangan : Sando Husada/Kelas I
Jam : 14.00 WITA

3.1 IDENTITAS

Nama : Ny. NA
Umur : 36 tahun
Alamat : Jln tinggede
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Status perkawinan : Menikah

3.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

G2P1A0

HPHT : 2-9-2018

TP : 9-6-2019

A. KELUHAN UTAMA
Nyeri perut tembus belakang

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang ke Rumah Sakit wirabuana dengan keluhan nyeri perut


bagian bawah tembus kebelakang yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu.
Nyeri perut disertai pelepasan lendir (+),sejak pagi sebelum masuk rumah
sakit, pelepasan darah (-), pelepasan air tidak ada, pusing (-), mual tidak ada
dan muntah tidak ada, pasien mengeluh sulit BAB dan BAK biasa

17
B. RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU

a. Riwayat operasi caecar 1 tahun lalu 2018 di Rs Wirabuana.


b. Riwayat operasi kista ovarium 2016 di Rs Wirabuana

C. RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA


Tidak ada

D. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Tidak ada

E. RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien pernah di rawat di RS dengan Kista 2016 dan operasi sectiosecaria

F. RIWAYAT MENSTRUASI
Pertama kali haid saat berusia 13 tahun, durasi haid 5 hari, siklus 28 hari. Haid
terakhir 2-9-2018. Riwayat ganti pembalut 3kali dalam sehari

G. RIWAYAT ALERGI
Tidak memiliki alergi terhadap suhu, makanan, minuman, obat, dll.

H. RIWAYAT OPERASI
- Riwayat operasi caecar 2018 di RS Wirabuana
- Riwayat operasi kista 2016 di RS Wirabuana

I. RIWAYAT KB
Tidak ada

18
3.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. KEADAAN UMUM : Sakit sedang


B. KESADARAN : Compos mentis
C. TANDA VITAL :
TekananDarah : 110/70 mmHg
Nadi : 81kali/menit
Pernapasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,6ºC
D. STATUS GENERALISATA
Kepala :
Bentuk : Normochepal
Mata : Eksoftalmus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera
Ikterik (-/-)
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Paru paru :
- Inspeksi : Simetris bilateral (+/+)
- Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezzing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavivula sinistra
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : Bunyi jantung 1 & 2 murni regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Tampak datar
- Auskultasi : Peristaltik kesan normal
- Palpasi : Nyeri tekan pada regio lumbar sinistra

19
- Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas
- Superior : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
- Inferior : Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Genitalia
- Pemeriksaan luar : Neri tekan di region lumbar sinistra
- Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan pemeriksaan dalam
- Pengeluaran : Lendir (-), darah (-)

F. HASIL LABORATORIUM

Selasa, 11 Juni 2019

Parameter Nilai Normal Hasil


WBC 3.6-11 x 103/ µL 8,3
RBC 4.5-5.1 x 106/ µL 4.13
HGB 12.3-15.3 g/Dl 12.8
HCT 36-45% 37.5
PLT 150-440 x 103/µL 250
CT 3-8 menit 6 menit
BT 1-3 menit 3 menit
HbsAg Negatif

20
Hasil Ultrasonografi Transvaginal 09/06/2019

G. RESUME
Pasien perempuan 36 tahun datang ke Rumah Sakit wirabuana dengan
keluhan nyeri perut bagian bawah tembus kebelakang yang dirasakan sejak 1
minggu yang lalu. Nyeri perut disertai pelepasan lendir (+),sejak pagi sebelum
masuk rumah sakit, pelepasan darah (-), pelepasan air tidak ada, pusing (-),
mual tidak ada dan muntah tidak ada, pasien mengeluh sulit BAB dan BAK
biasa
Pasien memiliki riwayat operasi kista pada tahun 2016 di rumah sakit
wirabuana dan operasi caecar pada tahun 2018 di rumah sakit wirabuana.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, tanda-
tanda vital; tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 81 x/menit, pernapasan 20
x/menit, dan suhu 36,6 ºC. Konjungtiva anemis (-/-).pada pemeriksaan luar
didapatkan leopold 1 : 31 cm, leopold 2 : punggung kiri, leopold 3 : presentasi
letak lintang, leopold 4 : belum masuk PAP (Pintu Atas Panggul ). Pada
pemeriksaan genitalia (pemeriksaan dalam) didapatkan belum ada pembukaan.
Pada pemeriksaan laboratorium WBC 8,3 x 103/ µL, RBC 4,13 / µL, HGB 12.8
gr/dL, HCT 37.5 % . Pemeriksaan USG obstetri kesan letak lintang pada bayi.

21
H. DIAGNOSIS

G2P1A0 Gravid Aterm + Letak Lintang + Post Sc 1 kali.

I. PENTALAKSANAAN

a. Medikamentosa

 IVFD RL 28 tpm
 Dextrose 5%
 Inj. Cefotaxim 1 gram/12jam/IV
 Inj. Ketorolac 40 mg/8jam/IV
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
 Drips Metronidazole 500 mg/8 jam/IV
b. Operasi
Rencana SCTP (Sectio Caesaria Transperitoneal profunda)

Operasi Pada Hari Selasa 11/05/2019


Laporan operasi
1. Pasien dibaringkan dengan posisi supine di meja operasi dibawah
pengaruh spinal anastesia
2. Disinfeksi dan drapping procedure dengan kassa steril dan betadine
3. Pasang dook steril
4. Lakukan insisi dengan metode pranenstiel, lapisan demi lapisan
menembus rongga perut secara tajam dan tumpul, menembus kulit,
lemak, otot, fascia dan peritoneum , kontrol pendarahan
5. Eksplorasi cavum abdomen, insisi uterus dengan segmen bawah rahim
lapis demi lapis menembus plika vesikauterina, miometrium,
endometrium secara tajam dan tumpul, kontrol pendarahan
6. Pecahkan ketuban, tampak ketuban putih keruh dengan volume cukup
7. Bayi dilahirkan dalam keadaan hidup persentasi bokong
8. Plasenta dilahirkan secara normal dan lengkap
9. Eksplorasi dan bersihkan cavum uteri dengan kasa steril dan betadine

22
10. Jahit uterus lapis demi lapis, kontrol pendarahan, dan melepaskan
perlengketan antara uterus bagian fundus dan usus (adhesiolisis)
11. Dilakukan eksplorasi dan bersihkan cavum abdomen, kontrol
pendarahan
12. Jahit abdomen lapis demi lapis dari peritoneum, otot, fascia, lemak,
kulit dan kontrol pendarahan
13. Bersihkan luka dan tutup menggunakan kasa steril dan betadine
14. Operasi selesai

Adhesi Pada Uterus dan Usus

Instruksi post operasi Caesar


- IVFD RL 28 tpm
- Inj. Cefotaxim 1 gram/24 jam/IV
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
- Inj. Ondansentron 4 mg/24 jam/IV
- Asam tranexamat 500 mg/12 jam/IV
- Drips Metronidazole 500 mg/12 jam/IV

23
J. FOLLOW UP
1. Perawatan hari pertama, Rabu 12 /05/2019
S. Nyeri perut post operas (+), keluar darah dari jalan lahir (+) minimal,
pusing (+), mual (-), muntah (-), BAB belum dan BAK perkateter
O. Keadaan umum : sakit sedang
Konjungtiva: anemis-/-
TD : 110/70 mmHg P : 20 x/ menit
N : 78 x/menit S : 36.6 º C
Abdomen : Tinggi fundus uteri setinggi umbilikus
A. P2A0 Post Sc + Adhesio Uterus dengan Usus
P. IVFD RL 28 tpm
Inj. Cefotaxim 1 gram/12 jam/IV
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Inj. Dexametason 5 mg/8 jam/IV
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
Metronidazole 500 mg/8 jam/IV
Hasil laboratorium Rabu, 12 juni 2019

Parameter Nilai Normal Hasil


WBC 3.6-11 x 103/ µL 14,2
RBC 4.5-5.1 x 106/ µL 3.39
HGB 12.3-15.3 g/Dl 10.1
HCT 36-45% 30.3
PLT 150-440 x 103/µL 154

2. Perawatan hari kedua, Kamis, 13/06/2019


S. Nyeri perut post op (+), keluar darah dari jalan lahir (+) minimal , pusing
(+), mual (-), muntah (-), BAB belumdan BAK biasa
O. Keadaan umum : sakit sedang

24
Konjungtiva: anemis-/-
TD : 110/80 mmHg P : 20 x/ menit
N : 80 x/menit S : 36.7 º C
Abdomen : Tfu setinggi 1 jari dibawah umbilikus (+)
A. P2A0 Post Sc + Adhesio Uterus dengan Usus
P. IVFD RL 28 tpm
Inj. Cefotaxim 1 gram/12 jam/IV
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Inj. Asam Tranexamat /8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
Drips Metronidazole 500 mg/8 jam/IV

3. Perawatan hari ketiga, Jumat 14/06/2019


S. Nyeri perut post op (+), keluar darah dari jalan lahir (+) minimal , pusing
(-), mual (-), muntah (-), BAB belumdan BAK biasa
O. Keadaan umum : sakit sedang
Konjungtiva: anemis-/-
TD : 120/80 mmHg P : 20 x/ menit
N : 82 x/menit S : 36.7 º C
Abdomen : Tfu 2 jari dibawah umbilikus (+)
A. P2A0 Post Sc + Adhesio Uterus dengan Usus
P. IVFD RL 28 tpm
Inj. Cefotaxim 1 gram/12 jam/IV
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV
Inj. Asam Tranexamat /8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
Drips Metronidazole 500 mg/8 jam/IV

25
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien perempuan berumur 36 tahun datang ke Rumah Sakit dengan
keluhan nyeri perut bagian bawah tembus kebelakang yang dirasakan sejak 5 hari
yang lalu. Pelepasan lendir (+), pelepasan darah (-) sejak pagi sebelum masuk
rumah sakit, pelepasan air tidak ada, pusing (-), BAB dan BAK biasa. Pasien
memiliki riwayat operasi kista pada tahun 2016 di rumah sakit wirabuana dan
operasi caecar pada tahun 2018 di rumah sakit wirabuana.
Pada pasien ini dilakukan operasi caecar atas indikasi bekas operasi caecar
1 tahun yang lalu dimana menurut teori indikasi sectio caesarea apabila kelahiran
melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan janin. Indikasi untuk
secsio caesarea antara lain meliputi indikasi medis ( power,passage, pasangger),
indikasi ibu ( usia, Cephalopelvic disproportion, memiliki riwayat operasi,
hambatan jalan lahir, ketuban pecah dini ), janin ( bayi besar, gawat janin,
plasenta, letak sungsang ).
Pada saat dilakukan operasi caesar dengan metode transperitoneal
profunda dan didapatkan adanya adhesi ( perlengketan ) antara uterus dan segmen
usus, dimana perlengketan terjadi pada area uterus pars profunda dengan usus pars
ileum. Menurut teori, pembentukan adhesi pasca operasi, dapat dibedakan atas
tiga proses: adhesion formation (perlekatan terbentuk pada tempat operatif); de
novo ahesion formation (perlekatan terbentuk tidak pada tempat operatif), dan
adhesion reformation (adhesi yang terbentuk setelah pembebasan adhesi
sebelumnya).
Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi antara lain; infeksi
intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis akut, divertikulitis, penyakit
crohn’s, kolesistitis, penyakit radang pelvis ( PID), abses intraabdomen dan abses
hati, trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar), cedera panas (kauterisasi,
paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang tegang, tebal dan kasar,
kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi), paparan benda-benda asing
seperti bubuk tepung dari sarung tangan, atau potongan benang.

26
Adhesi terbentuk sebagai bagian alami dari proses
penyembuhan tubuh setelah operasi dengan cara yang sama
seperti bekas luka . Istilah "adhesi" diterapkan ketika bekas luka
memanjang dari dalam satu jaringan ke yang lain, biasanya
melintasi ruang virtual seperti rongga peritoneum .
Pembentukan adhesi pasca operasi biasanya terjadi ketika
dua permukaan yang terluka berdekatan satu sama lain. Ini sering
menyebabkan peradangan dan menyebabkan deposit fibrin ke
jaringan yang rusak. Fibrin kemudian menghubungkan dua
struktur yang berdekatan di mana kerusakan jaringan terjadi. Fibrin
bertindak seperti lem untuk menutup luka dan membangun adhesi
yang masih muda, yang pada saat ini dikatakan "fibrinous." Dalam
rongga tubuh seperti rongga peritoneum, perikardial , dan sinovial ,
keluarga enzimfibrinolitik dapat bertindak untuk membatasi tingkat
adhesi fibrinosa awal, dan bahkan dapat melarutkannya. Dalam

27
banyak kasus, produksi atau aktivitas enzim ini terganggu karena
cedera, dan adhesi fibrinous tetap ada. Jika hal ini dibiarkan terjadi,
jaringan memperbaiki sel-sel seperti makrofag, fibroblast dan sel-
sel pembuluh darah menembus ke dalam adhesi fibrinous dan
meletakkan kolagen dan zat matriks lainnya untuk membentuk
adhesi berserat permanen.
Pada pasien ini sulit untuk mendiagnosis berdasarkan gejala
karena bersifat asimptomatik sehingga adanya perlengketan
(adhesi) antara usus dan uterus dapat diidentifikasi saat dilakukan
pembedahan. Dimana menurut teori untuk mendiagnosis adanya
adhesi pada peritonium sangat sulit untuk diidentifikasi dan
kebanyakan bersifat asimptomatik dan dapat ditemukan saat
operasi berlangsung. Namun dalam mendiagnosis adanya adhesi
atau perlengketan pada peritoneum memiliki gejala sebagai berikut
- Memiliki riwayat operasi
- Perlengketan umunya akan terjadi setelah penyembuhan luka
terlewati
- Nyeri abdomen diikuti dengan gangguan mortalitas usu dengan
berbagai gradasi :
a. Kembung
b. Mual dan muntah berlangsung lebih berat
c. Nyeri hebat jika perlengketan dan pergerakan usus melibatkan
pembuluh darah.
Pemeriksaan penunjang imaging seperti Foto polos, USG,
CT SCAN maupun MRI masih sulit untuk mengidentifikasi

28
DAFTAR PUSTAKA

1. H. Van Goor, Consequences and complications of peritoneal adhesions,


Colorectal Dis. 2 (9 Suppl) (2007 Oct)
2. D. Menzies, H. Ellis, Intestinal obstruction from adhesions; how big is the
proble Ann. R. Coll. Surg. Engl. 72 (2015)
3. S.M. Kavic, S.M. Kavic, Adhesions and adhesiolysis: the role of
laparoscopy, JSLS 6 (2) (2015 Apr-Jun)
4. F.J. Montze, C.H. Holschneider, S. Solh, et al., Small bowel obstruction
following radical hysterectomy: risk factors, incidence and operative
findings, Gynecol. Oncol. 53 (1) (2014)
5. S. Szomstein, E. Lo Menzo, C. Simfenendorfer, et al., Laparoscopic lysis of
adhesions, World J. Surg. 30 (4) (2016 Apr)
6. H. Ellis, B.J. Moran, J.N. Thompson, et al., Adhesion related hospital
admissions after abdominal and pelvis surgery: a retrospective cohort study,
Lancet 353 (2016)
7. F.J. Mc bride, Mason ka, C. Davis, et al., Adhesion formation in
experimental chronic radiation enteropathy, Int. J. Oncol. Biol. Phys. 16 (3)
(2016 Mar)
8. J.B. Prystowski, S.J. Stryker, G.T. Ujiki, et al., Gastrointestinal
endometriosis. Incidence and indications for resection, Arch. Surg. 2015
9. S.M. Skoog, A.E. Foxx-Orenstein, M.J. Levy, et al., Intestinal
endometriosis: the great masquerader, Curr. Gastroenterol. Rep. 6 (2018)
10. A. Lodha, T. Klein, D. Elish, et al., Endometriosis: a rare presentation as
hemorrhagic ascites, Pract. Gastroenterol. (October 2017)
11. H. Ellis, Medicolegal consequences of postoperative intra-abdominal
adhesions, J. R. Soc. Med. 94 (2016)
12. A. Moradkhani, L.J. Beckman, J.H. Tabibian, Health-related quality of life
in inflammatory bowel disease: psychosocial, clinical, socioeconomic, and
demographic predictors, J. Crohns Colitis 7 (6) (2015 Jul)

29
13. B. Tingsted, J. Isakson, R. Anderson. 2016. Long term follow up and cost
analysis following surgery for small bowel obstruction caused by intra-
abdominal adhesions, Br. J. Surg. 94
14. Q. Wang, Z.Q. Hu, W.J. Wang, et al., 2016. Laparoscopic management of
recurrent adhesive small bowel obstruction: long term follow up, Surg.
Today 39
15. Y. Sato, K. Ido, M. Kumagai, et al., 2015.Laparoscopic adhesiolysis for
recurrent small bowel obstruction: long term follow up, Gastrointest.
Endosc.
16. J.H. Tabibian, Management of high-grade small-bowel obstruction, Arch.
Surg. 145 (4) (2016 Apr) 404.
17. A.A.W. Peters, e van Dorst, B. Jellis, et al., 2016. A randomized trial to
compare differnt approaches in women with chronic pelvic pain, Obstet.
Gynecol.
18. H. Suleiman, G. Gabella, C. Davis, et al., Presence and distribution of
sensory nerve fibers in human peritoneal adhesions, Ann. Surg. 234 (2014)
256e261.
19. R. Onders, Laparoscopy Effective for Management of Chronic Abdominal
Pain, Gastroenterology and Endoscopy News, August 2018, pp. 14e15.
20. H. Paajanen, K. Julkunen, H. Waris. 2016. Laparoscopy on chronic
abdominal pain. A prospective Nonrandomized long-term follow up study, J.
Clin. Gastroenterol.

30
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGY REFKA
FAKULTAS KEDOKTERAN Juni 2019
UNIVERSITAS TADULAKO

ADHESI UTERUS DAN USUS

OLEH :

NAMA : AZIZAH AZHMI AULIA

NIM : N 111 17 021

PEMBIMBING KLINIK

dr. Abdul Faris Sp.OG (K)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

31

Anda mungkin juga menyukai