Anda di halaman 1dari 50

BAB I PENDAHULUAN Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang wanita yang dapat menyebabkan kondisi

yang gawat bagi wanita tersebut. Keadaan gawat ini dapat menyebabkan suatu kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh setiap dokter, dengan gambaran klinik yang sangat beragam. Hal yang perlu diingat adalah bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah dapat mengalami kehamilan ektopik terganggu.1 Berbagai macam kesulitan dalam proses kehamilan dapat dialami para wanita yang telah menikah. Namun, dengan proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter saat ini bisa meminimalisir berbagai macam penyakit tersebut. Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada cornu uteri. Jika dibiarkan, kehamilan ektopik dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat berakhir dengan kematian.2 Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih banyak dipakai. Diantara kehamilan-kehamilan ektopik, yang terbanyak terjadi di daerah tuba, khususnya di ampulla dan isthmus. Pada kasus yang jarang, kehamilan ektopik disebabkan oleh terjadinya perpindahan sel telur dari indung telur sisi yang satu, masuk ke saluran telur sisi seberangnya.3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kehamilan Ektopik 1. Definisi Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar kata dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik dapat diartikan berada di luar tempat yang semestinya. Apabila pada kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut kehamilan ektopik terganggu. 4,7 Pembagian menurut lokasi : a. Kehamilan ektopik tuba : pars interstisialis, isthmus, ampulla, infundibulum, fimbria. b. Kehamilan ektopik uterus: kanalis servikalis, divertikulum, kornu, tanduk rudimenter. c. Kehamilan ektopik ovarium. d. Kehamilan ektopik intraligamenter. e. Kehamilan ektopik abdominal. f. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus (Speroff et al, 2009). Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah di tuba (98%), hal ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan ovum yang telah dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan karena : a. Adanya sikatrik pada tuba. b. Kelainan bawaan pada tuba. c. Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal (Saymonds et al, 2002).

Gambar 1 Lokasi Kehamilan Ektopik 2. Etiologi Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung telur (ovarium) ke rahim (uterus). Dari beberapa studi faktor resiko yang diperkirakan sebagai penyebabnya adalah 3,4,6: a. Infeksi saluran telur (salpingitis), dapat menimbulkan gangguan pada motilitas saluran telur. b. Riwayat operasi tuba. c. Cacat bawaan pada tuba, seperti tuba sangat panjang. d. Kehamilan ektopik sebelumnya. e. Aborsi tuba dan pemakaian IUD. f. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom. g. Bekas radang pada tuba; disini radang menyebabkan perubahanperubahan pada endosalping, sehingga walaupun fertilisasi dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat. h. Operasi plastik pada tuba. i. Abortus buatan. 3

3. Patofisiologi Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat dari hal ini 3,4,5: a. Kemungkinan tubal abortion, lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal (fimbria) dan ke rongga abdomen. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla, darah yang keluar dan kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba. b. Kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat dari distensi berlebihan tuba. c. Faktor abortus ke dalam lumen tuba. Ruptur dinding tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada kehamilan muda. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena trauma koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadangkadang sedikit hingga banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian.1 4. Insiden Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20 40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Namun, frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas 1.

5. Variasi Kehamilan Ektopik a. Kehamilan Abdominal Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata (DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin dekat dengan dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh lebih baik daripada USG. Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%, namun angka malformasi kongenital pada 5

bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya 50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur. Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organorgan ibu di sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati mengalami proses mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari 15 tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia, dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat, umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam 4 bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar 6

plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi plasenta dimonitor dengan -hCG serum. Pemberian pencitraan ultrasonografi dan pengukuran kadar methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik. b. Kehamilan Ovarium Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878, Spiegelberg merumuskan criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui ligamentum ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi klinik kehamilan ovarium menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum terganggu. c. Kehamilan Serviks Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang. Etiologinya masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan bahwa kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai 7

oleh belum siapnya endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik. Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan antara kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman. Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi, memiliki angka kehamilan serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks, endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa dinding serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus, dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya, adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien Beberapa ingin mempertahankan kemampuan yang reproduksinya. metode-metode nonradikal

digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi arteri hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter 8

segera dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya vagina ditampon dengan kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis (hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri uterina adalah teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti pada sebuah laporan kasus kehamilan serviks di Itali. Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut, perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba, methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun intraamnion. d. Kehamilan Ektopik Heterotipik Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan heterotipik adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang telah meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknik-teknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasuskasus sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau meningkat setelah dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya yang sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin. 6. Manifestasi Klinik 9

Gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu sangat berbeda-beda; dari perdarahan yang banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas sehingga sukar membuat diagnosanya. Gejala dan tanda tergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin. Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala-gejala yang samar-samar sehingga sulit untuk membuat diagnosanya.1 7. Diagnosis Walaupun diagnosanya agak sulit dilakukan, namun beberapa cara ditegakkan, antara lain dengan melihat 5,6,8: a. Anamnesis dan gejala klinis Riwayat terlambat haid, gejala dan tanda kehamilan muda, dapat ada atau tidak ada perdarahan per vaginam, ada nyeri perut kanan / kiri bawah. Berat atau ringannya nyeri tergantung pada banyaknya darah yang terkumpul dalam peritoneum. b. Pemeriksaan fisik i. Didapatkan rahim yang juga membesar, adanya tumor di daerah adneksa. ii. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu hipotensi, pucat dan ekstremitas dingin, adanya tanda-tanda abdomen akut, yaitu perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen. iii. Pemeriksaan ginekologis

10

Pemeriksaan dalam: seviks teraba lunak, nyeri tekan, nyeri pada uteris kanan dan kiri. c. Pemeriksaan Penunjang i. Laboratorium : Hb, Leukosit, urine B-hCG (+). Hemoglobin menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat. ii. USG : Tidak ada kantung kehamilan dalam kavum uteri Adanya kantung kehamilan di luar kavum uteri Adanya massa komplek di rongga panggul

iii. Kuldosentesis : suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah. iv. Diagnosis pasti hanya ditegakkan dengan laparotomi. 8. Penanganan a. Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, diameter kantong gestasi < 4 cm, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakitpenyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis. i. Methotrexate 11

Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu. ii. Actinomycin Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya. iii. Larutan Glukosa Hiperosmolar Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate 12

tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan. b. Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin.

i. Salpingostomi Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. ii. Salpingotomi Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi. 13

iii. Salpingektomi Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika dipertahankan. mesosalping. iv. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan. 9. Komplikasi diligasi, Tuba sedangkan yang arteria uteroovarika dari direseksi dipisahkan

14

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu 4,7: a. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila kehamilan ektopik terganggu telah lama berlangsung (4-6 minggu), terjadi perdarahan ulang, Ini merupakan indikasi operasi. b. Infeksi c. Sterilitas d. Pecahnya tuba falopii e. Komplikasi juga tergantung dari lokasi tumbuh berkembangnya embrio 10. Prognosis Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1 kematian dari 826 kasus, dan Willson dkk (1971) 1 diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali. Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Hanya 60% wanita yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu dapat hamil lagi, walaupun angka kemandulannya akan jadi lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah sekitar 50%. 1,2,7 11. Diagnosa Banding Diagnosa banding 6,7,8: a. Infeksi pelvic b. Kista folikel c. Abortus biasa 15

d. Radang panggul, e. Torsi kita ovarium, f. Endometriosis

B. Anemia 1. Definisi dan Etiologi Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya kurang dari 12 gr%.12 Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar Hb dibawah 11 gr% pada trimester I dan III atau kadar <10,5 gr% pada trimester II.11 Darah akan bertambah banyak dalam kehamilan yang lazim disebut Hidremia atau Hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel darah kurang dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Perbandingan tersebut adalah sebagai berikut: plasma 30%, sel darah 18% dan haemoglobin 19%. Bertambahnya darah dalam kehamilan sudah dimulai sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu.12 Secara fisiologis, pengenceran darah ini untuk membantu meringankan kerja jantung yang semakin berat dengan adanya kehamilan. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi.11 Menurut Mochtar (1998) penyebab anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:10 a. Kurang gizi (malnutrisi) b. Kurang zat besi dalam diit c. Malabsorpsi d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lain-lain e. Penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-lain 16

2. Gejala Gejala anemia pada kehamilan yaitu ibu mengeluh cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, malaise, lidah luka, nafsu makan turun (anoreksia), konsentrasi hilang, nafas pendek (pada anemia parah) dan keluhan mual muntah lebih hebat pada hamil muda. 3. Klasifikasi Klasifikasi anemia dalam kehamilan menurut Mochtar (1998), adalah sebagai berikut:10 a. Anemia Defisiensi Besi Adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Pengobatannya yaitu, keperluan zat besi untuk wanita hamil, tidak hamil dan dalam laktasi yang dianjurkan adalah pemberian tablet besi. 1) Terapi Oral adalah dengan memberikan preparat besi yaitu fero sulfat, fero glukonat atau Na-fero bisirat. Pemberian preparat 60 mg/ hari dapat menaikan kadar Hb sebanyak 1 gr%/ bulan. Saat ini program nasional menganjurkan kombinasi 60 mg besi dan 50 nanogram asam folat untuk profilaksis anemia.11 2) Terapi Parenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan zat besi per oral, dan adanya gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan atau masa kehamilannya tua.12 Pemberian preparat parenteral dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 mg) intravena atau 2 x 10 ml/ IM pada gluteus, dapat meningkatkan Hb lebih cepat yaitu 2 gr% .9 Untuk menegakan diagnosa Anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesa. Hasil anamnesa didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang dan keluhan mual muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sachli, dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III. Hasil pemeriksaan Hb dengan sachli dapat digolongkan sebagai berikut: 1) Hb 11 gr% : Tidak anemia 17

2) Hb 9-10 gr% : Anemia ringan 3) Hb 7 8 gr%: Anemia sedang 4) Hb < 7 gr% : Anemia berat Kebutuhan zat besi pada wanita hamil yaitu rata-rata mendekatai 800 mg. Kebutuhan ini terdiri dari, sekitar 300 mg diperlukan untuk janin dan plasenta serta 500 mg lagi digunakan untuk meningkatkan massa haemoglobin maternal. Kurang lebih 200 mg lebih akan dieksresikan lewat usus, urin dan kulit. Makanan ibu hamil setiap 100 kalori akan menghasilkan sekitar 810 mg zat besi. Perhitungan makan 3 kali dengan 2500 kalori akan menghasilkan sekitar 2025 mg zat besi perhari. Selama kehamilan dengan perhitungan 288 hari, ibu hamil akan menghasilkan zat besi sebanyak 100 mg sehingga kebutuhan zat besi masih kekurangan untuk wanita hamil.9 b. Anemia Megaloblastik Adalah anemia yang disebabkan oleh karena kekurangan asam folik, jarang sekali karena kekurangan vitamin B12. Pengobatannya: 1) Asam folik 15 30 mg per hari 2) Vitamin B12 3 X 1 tablet per hari 3) Sulfas ferosus 3 X 1 tablet per hari 4) Pada kasus berat dan pengobatan per oral hasilnya lamban sehingga dapat diberikan transfusi darah. c. Anemia Hipoplastik Adalah anemia yang disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel darah merah baru. Untuk diagnostik diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan diantaranya adalah darah tepi lengkap, pemeriksaan pungsi ekternal dan pemeriksaan retikulosi. d. Anemia Hemolitik Adalah anemia yang disebabkan penghancuran atau pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan kelainan-kelainan gambaran 18

darah, kelelahan, kelemahan, serta gejala komplikasi bila terjadi kelainan pada organ-organ vital. Pengobatannya tergantung pada jenis anemia hemolitik serta penyebabnya. Bila disebabkan oleh infeksi maka infeksinya diberantas dan diberikan obat-obat penambah darah. Namun pada beberapa jenis obat-obatan, hal ini tidak memberi hasil. Sehingga transfusi darah berulang dapat membantu penderita ini. 4. Efek Anemia pada Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas Anemia dapat terjadi pada setiap ibu hamil, karena itulah kejadian ini harus selalu diwaspadai. Anemia yang terjadi saat ibu hamil Trimester I akan dapat mengakibatkan: Abortus, Missed Abortus dan kelainan kongenital. Anemia pada kehamilan trimester II dapat menyebabkan: Persalinan prematur, perdarahan antepartum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia aintrauterin sampai kematian, BBLR, gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa mengakibatkan kematian. Saat inpartu, anemia dapat menimbulkan gangguan his baik primer maupun sekunder, janin akan lahir dengan anemia, dan persalinan dengan tindakan yang disebabkan karena ibu cepat lelah. Saat post partum anemia dapat menyebabkan: tonia uteri, rtensio placenta, pelukaan sukar sembuh, mudah terjadi febris puerpuralis dan gangguan involusio uteri.

C. Prosedur Anestesia Umum Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Trias anestesi yaitu hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom (Latief, S.A., 2002). Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri: 1. hipnotik 2. analgesia 19

3. relaksasi otot Keadaaan anestesi biasanya disebut anestesi umum, ditandai oleh tahap tidak sadar diinduksi, yang selama itu rangsang operasi hanya menimbulkan respon reflek autonom. Jadi pasien tidak boleh memberikan gerak volunteer, tetap perubahan kecepatan pernapasan dan kardiovaskuler dapat dilihat. Keadaan anestesi berbeda dengan keadaan analgesia, yang didefinisikan sebagai tidak adanya nyeri. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh agen narkotika yang dapat menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar. Sebaliknya, barbiturate dan penenang tidak menghilangkan nyeri sampai pasien sama sekali tidak sadar (Latief, S.A., 2002). Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu: Anestesia aman Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral (Boulton, 1994). 1. Penilaian Prabedah 20

Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Tujuan kunjungan pra anestesi adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (Dachlan, R dkk. 2002). Semua pasien yang masuk di bagian kebidanan kemungkinan akan membutuhkan anestesi, baik elektif maupun emergensi. Perlu dibuat anamnesis yang lengkap mengenai umur, paritas, usia kehamilan, dan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan komplikasi. Pada kasus elektif biasanya dilakukan satu sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada kasus darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik secara optimal, merencanakan dan memilih tehnik serta obat obat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology) (Boulton, 1994). Macam-macam teknik anestesi : No. Teknik Resevoir bag _ + + + Valve _ + + + Rebreathin g _ _ + + Soda lime _ _ + +

1. Open 2. Semi open 3. Semi closed 4. Closed Keterangan : Rebreathing ( - ) Rebreathing ( + ) Rebreathing ( + )

= CO2 langsung ke udara kamar. = CO2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap lagi. = CO2 dihisap lagi.

Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai beberapa keuntungan : 1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan. 2). Konservasi panas dan uap. 3). Menurunkan polusi kamar. 21

4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology), yaitu : (Latief, S.A., 2002). ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka mortalitas mencapai 2 %. ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang karena penyakit bedah maupun proses patofisiolgis. Angka mortalitas mencapai 16 %. ASA 3 ASA 4 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas mencapai 36 %. : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya dan tidak selalu sembuh dengan operasi. Angka mortalitas mencapai 68 %. ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi hampir tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %

2. Tatalaksana Saat Anestesia Tahapan tahapan yang harus dilakukan selama anestesia umum. a. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia. Diantaranya sebagai berikut : (Latief, S.A., 2002). 1. Meredakan kecemasan dan ketakutan. 2. Memperlancar induksi anestesia. 3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus. 4. Meminimalkan jumlah obat anestesi. 5. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah. 22

6. Menciptakan amnesia. 7. Mengurangi isi cairan lambung. 8. Mengurangi refleks yang membahayakan. b. Obat-Obat Premedikasi i. Sulfas atropin 0,25 mg : Antikolinergik Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainnya adalah melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme gastrointestinal. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum (Dobson, 2009). Setelah penggunaan obat ini (golongan baladona) dalam dosis terapeutik ada perasaan kering dirongga mulut dan penglihatan jadi kabur. Karena itu sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional atau lokal. Pemberiannya harus hati-hati pada penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya fibrilasi aurikuler. Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak (Dobson, 2009). ii. Hipnoz 2 mg (Midazolam) : obat penenang(transquilaizer) Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahanbahan psikokimia dari obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan dengan benzodiazepin lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih poten daripada diazepam karena peningkatannya pada reseptor benzodiazepun (Dobson, 2009). 23

Dosis biasa intramuskuler adalah 0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg pada intravena. Tidak ada iritasi atau phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek samping setelah masuknya obat rendah, meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang diharapkan, terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan dengan depresan system saraf pusat lain. Ada onset yang cepat pada kerja dan absobrsi yang diperkirakan setelah injeksi intramuskular midazolam daripada diazepam. Waktu onset setelah injeksi intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset setelah masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit. Ditambahkan onset yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul setelah masuknya midazolam dibandingkan dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai hasil kelarutan midazolam pada lemak dan distribusi yang cepat pada jaringan perifer dan biotransformasi metabolic (Dobson, 2009). Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan dalam waktu 1 jam induksi. Midazolam dimetabolisme dengan enzim mikrosomal hepatic untuk mencapai metabolisme hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2 antagonis tidak mempengaruhi metabolisme. Eliminasi waktu paruh midazolam kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua. Percobaan menunjukkan fungsi mental biasanya kembali ke normal dalam 4 jam masuknya obat. Setelah masuknya 5 mg, amnesia berakhir dari 20-32 menit. Masuknya obat intramuskuler dapat menghasilkan periode amnesia lebih panjang. Hilangnya ingatan dapat diakibatkan oleh masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan midazolam membuat hal ini ideal untuk prosedur yang pendek. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB (Dobson, 2009). 24

iii. Cedantron 4 mg (Ondansentrone) Suatu antagonis reseptor serotonin 5 HT 3 selektif. Baik untuk pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa ipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewasa 2-4 mg (Dobson, 2009). iv. Antagonis Receptor Histamin (Antagonis reseptor H2) Cimetidin, Ranitidin, Famotidin and Nizatidin mengurangi sekresi asam gaster. Mereka memblok kemampuan histamine untuk menginduksi sekresi asam gaster dengan konsentrasi ion hydrogen yang tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin meningkatkan pH gaster. Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara yang selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat bahwa obat-obatan ini tidak dapat diperkirakan tergantung dari volume gaster. Dibanding dengan premedikasi, mereka relatif memiliki efek samping yang lebih sedikit. Karena efek sampingnya yang relatif sedikit dan karena banyak pasien elektif memiliki resiko aspirasi pneumonitis, beberapa anesthesiologists menyarankan penggunaan antagonis reseptor H2. Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam meningkatkan pH gaster dibanding dosis tunggal sebelum operasi pada hari operasi. Antagonis H2 juga dapat diberikan pada pasien alergi (Dobson, 2009).

3. Induksi Anestesia Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi (Muhiman, 2008). Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. 25

Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik (Muhiman, 2008). Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5- 10 menit. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,51 mikrogram/ kgbb). Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg). Menggunakan anestesia topikal pada airway (Muhiman, 2008). Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi (Muhiman, 2008). 4. Obat - Obat Induksi a. Profofol Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh 26

GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik (Pramono, A., 2008). Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat (Pramono, A., 2008). b. Petidin Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metilfenilpiperidin-4-karboksilat. Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi (Pramono, A., 2008). c. Atracurium Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Pramono, A., 2008). Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit. Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) au obat antikolinergik lainnya. Penawar 27

pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa (Pramono, A., 2008). d. Fentanyl Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia. a. Farmakokinetik Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. b. Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml. c. Efek samping Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat 28

mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol. 5. Pemeliharaan a. N2O N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240C (NH4 NO3 2H2O + N2O). N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100% selama 5-10 menit (Dachlan, R dkk. 2002). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti (Dachlan, R dkk. 2002). b. Halothan/fluothan Halothane adalah obat anestesi inhalasi berbentuk cairan bening tak berwarana yang mudah menguap dan berbau harum. Pemberian halothane sebaiknya bersama dengan oksigen atau nitrous okside 70%-oksigen dan sebaiknya menggunakan vaporizer yang khusus dikalibrasi untuk halothane agar konsentrasi uap dihasilkan itu akurat dan mudah dikendalikan. Pada nafas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan pada nafas kendali sekitar 0,5-1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien. Kelebihan dosis menyebabkan depresi pernafasan, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer, depresi 29

vasomotor, depresi miokard dan inhibisi refleks baroreseptor. Paska pemberian halothane sering menyebabkan pasien menggigil. Sifatnya tidak berwarna, mudah menguap, tidak mudah terbakar/meledak dan berbau harum tetapi mudah terurai cahaya. Efeknya tidak merangsang traktus respiratorius, menghambat salivasi, nadi cepat, ekskresi airmata dan asodilatasi pembuluh darah otak (Dachlan, R dkk. 2002). c.Sevofluran Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh sodalim namun belum ada laporan membahayakan terhadap tubuh manusia (Dachlan, R dkk. 2002). 6. Intubasi Setelah dilakukan induksi anestesia yaitu tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, maka memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dilakukan secara intrvena, intramuskular, inhalasi dan rektal. Sebelum dilakukan induksi sebaiknya disiapkan terlebih dahulu peralatan dan obat-obatan yang diperlukan. Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS: (Pramono, A., 2008). S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo- Scope T = Tubes Pipa trakea. Usia <>5 tahun dengan balon (cuffed) A = Airway Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang digunakan untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas T = Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut 30

I = Intro Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan C = Connector Penyambung pipa dan perlatan anestesia S = Suction Penyedot lendir dan ludah Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal (Anonim, 1996) : a. Mempermudah pemberian anestesia. b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan. c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk). d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial. e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama. f. Mengatasi obstruksi laring akut. g. Obat.

7. Tatalaksana Pasca Anestesia Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya (Dobson, 2009). Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena 31

spasme laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan hiperkarbi.Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung (Dobson, 2009). Tabel 2.1. Aldrette Scoring System Kriteria Aktivitas Dapat bergerak volunter atau atas perintah 4 anggota gerak 2 anggota gerak Recovery score In 15 30 2 2 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 45 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 60 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 Out 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0 2 1 0

Respirasi

Sirkulasi

Kesadaran Warna kulit

0 anggota gerak Mampu benafas dan batuk secara bebas Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas Apnea Tensi Pre Tensi 20 opmmHg mmHg preop Tensi 2050 mmHg preop Tensi 50 mmHg preop Sadar Penuh Bangun waktu dipanggil Tidak ada respon Normal Pucat kelabu Sianotik 32

Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya (Dobson, 2009).

BAB III KASUS 3.1 Identitas Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan Terakhir Alamat Agama Suku Bangsa Status : Ny. S : 33 tahun : Perempuan : SD : Mantri Anom RT/RW 01/01 Bawang : Islam : Jawa : Menikah 33

Pekerjaan Nama Suami Umur Jenis Kelamin Pendidikan Terakhir Pekerjaan Alamat Agama Tanggal masuk RSMS Tanggal periksa

: Ibu Rumah Tangga : Tn. D : 35 tahun : Laki-Laki : SMA : Buruh : Mantri Anom RT/RW 01/01 Bawang Palembang : Islam : 14 Desember 2012 : 14 Desember 2012

3.2 PRIMARY SURVEY Pemeriksaan 1. Airway Clear, Mallampati 2, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu. 2. Breathing Napas spontan, gerak dada simetris, RR 32x per menit, reguler, tidak terdapat retraksi, trakea terletak di median, tidak terdengar suara ronki dan suara wheezing. 3. Circulation Kulit hangat, TD 90/45 mmHg, nadi 60x per menit, ireguler, isi dan tegangan cukup. 4. Disability Keadaan umum tampak lemah, kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6 = 15, pupil bulat, isokor, 3mm/3mm dan reflek cahaya +/+. 3.3 SECONDARY SURVEY (Anamnesis) A. Keluhan Utama

Nyeri perut sebelah kanan bawah

34

B. C.

Keluhan Tambahan RPS

Mual, muntah, keputihan

Pasien baru datang ke IGD RSMP dengan surat pengantar Puskemas Lengkal pada tanggal 14 Desember 2012 pukul 21.10 WIB dengan keluhan nyeri perut hebat pada daerah kanan bawah yang dirasakan sejak pukul 18.00 WIB. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah dan disertai bercak darah keluar dari liang senggama. Pasien tidak mengeluhkan keluar lendir dari jalan lahir. Pasien mengatakan bahwa dia tidak tahu sedang hamil. Pasien terus melakukan suntik KB per 3 bulan. D. RPD
1. Penyakit Jantung

: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

2. Penyakit Paru 3. Penyakit Diabetes Melitus 4. Penyakit Ginjal


5. Penyakit Hipertensi 6. Riwayat Alergi 7. Riwayat Asma

E.

RPK
1. Penyakit Jantung

: disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

2. Penyakit Paru 3. Penyakit Diabetes Melitus


4. Penyakit Ginjal

5. Penyakit Hipertensi 6. Riwayat Alergi 7. Riwayat Asma F. Riwayat Menstruasi


1. Menarche

: 13 tahun : 7 hari : teratur : tidak ada 35

2. Lama haid 3. Siklus haid 4. Dismenorrhoe

5. Jumlah darah haid kali) G. G4P3A0 Riwayat Obstetri

: normal (sehari ganti pembalut 2-3

I : laki-laki/bidan/spontan/3000 gr/ 11 thn II : perempuan/bidan/spontan/2700 gr/ 8 thn III: laki-laki/bidan/spontan/3200 gr/ 4 thn IV : Hamil ini HPHT : 20 oktober 2011 HPL UK H. : 27 Juli 2012 : 8 minggu

Riwayat ANC Pasien tidak pernah kontrol kehamilan teratur ke bidan puskesmas,

karena tidak mengetahui dirinya hamil I. Riwayat Ginekologi 1. Riwayat Operasi 2. Riwayat Kuret 3. Riwayat Keputihan : ada : tidak ada : tidak ada

J.

Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan ibu rumah tangga dan suaminya bekerja sebagai

buruh. Kesan sosial ekonomi keluarga adalah golongan menegah ke bawah. Pasien menggunakan Jamkesmas dalam masalah kontrol kehamilan dan persalinan. 3.4 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Vital Sign : Lemah : GCS E4M6V5 ( Compos Mentis) : TD : 90/60 mmHg 36

N S Tinggi Badan Berat Badan Status Gizi : 65 kg : cukup

: 60 x/menit : 36,4 0C

RR : 32 x/menit : 155 cm

A. Status Generalis 1. Pemeriksaan kepala Bentuk kepala Mata : mesocephal, simetris : simetris, konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+ normal, isokor, diameter 3/3 mm, edema palpebra -/Telinga Hidung Mulut Trakea Gld Tiroid JVP : discharge -/: discharge -/-, nafas cuping hidung -/: sianosis (-), lidah kotor -/: deviasi (-) : ttb : 5+2 cm H2O

2. Pemeriksaan leher

Limfonodi Colli : ttb

3. Pemeriksaan Toraks a. Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi b. Jantung 37 : dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi intercosta (-), pulsasi epigastrium (-), pulsasi parasternal (-) : Vokal fremitus paru kanan = paru kiri Ketinggalan gerak (-) : sonor pada seluruh lapang paru : SD vesikuler, RBH -/-, RBK -/-, Wh -/-

Inspeksi Palpasi Perkusi

: ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS : ictus cordis tampak SIC V 2 jari medial LMCS ictus cordis kuat angkat (-) : batas jantung Kanan atas SIC II LPSD Kiri atas SIC II LPSS Kanan bawah SIC IV LPSD Kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS

Auskultasi Inspkesi Auskultasi Perkusi Palpasi Hepar Lien Superior Inferior 6. Status Lokalis Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-) : cembung, venektasi (-) : Bising usus (+) N : pekak, pekak sisi (-), pekak alih (-) : nyeri tekan (+) di suprapubic dan illiaca dextra : tidak teraba : tidak teraba : edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/: edema (-/-), jari tabuh (-/-), pucat (-/-), sianosis -/-

4. Pemeriksaan Abdomen

5. Pemeriksaan ekstermitas

: Cembung : Ballotement -, Nyeri tekan + : tympani : BU + N

3.5 Diagnosis G4P3A0, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 minggu, dengan Kehamilan Ektopik Terganggu. 3.6 Pemeriksaan Penunjang 38

Lab 14/12/2012 Darah lengkap Hb Ht : 4,8 g/dl : 14 % (12-16 g/dl) (4800-10800/ul) ( 37-47 %) ( 4,2-5,4/ul) ( 150.000-450.000/ul) (0-1%) (2-4%) (2-5%) (40-70%) (25-40%) (2-8%) (11,5-15,5) (30-40) Leukosit : 12360/ul Eritrosit : 1,5/ul Trombosit: 176.000/ul Hitung jenis Basofil Batang Segmen : 0,1 % : 0,00 % : 81,9 % Eosinofil : 0,2 %

Limfosit : 15,0 % Monosit : 2,8% PT APTT : 15,6 : 28

Kimia Klinik SGOT SGPT : 11 : 20

Ureum darah : 13,5 Kreatinin darah : 0,69 GDS Urinalisis Fisis Warna Kejernihan Bau Kimia Berat Jenis 1.01 39 1.010-1.010 Hasil Kuning muda Jernih Khas Nilai normal Kuning muda- tua Jernih Khas : 128

pH Leukosit Nitrit Protein Glukosa Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit Sedimen Eritrosit Leukosit Silinder Hialin Silinder Lilin Granuler Halus Granuler Kasar Kristal Bakteri Trikomonas

8 Negatif Negatif Normal Normal Negatif Normal Negatif Negatif 1-3 4-5 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif +1 Negatif

4,6-7,8 Negatif Negatif Negatif Normal Negatif Normal Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif

3.7 Diagnosis Diagnosis Pre-operasi : Kehamilan Ektopik Terganggu +Anemia Diagnosis Post-operasi : Kehamilan Ektopik Terganggu + Anemia Klasifikasi Status Operasi 3.8 Terapi Ginekologi - Drip Ketorolac 10 mg - Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 g - Metronidazole 2 x 1 fls - Licafex 3 x 1 mg 40 : ASA III E

- actinamin 2x1 mg - Tranfusi WB 300 cc Tranfusi PRC 452 cc 3.9 Rencana Anestesi 1. Persiapan Operasi a. Persetujuan operasi tertulis ( + ) b. Puasa > 6 jam c. Pasang IV line d. Sedia darah 4 kolf Whole blood dan PRC 452 cc e. Premedikasi di OK 2. Jenis Anestesi : General anestesi 3. Teknik Anestesi : Semi closed balance anesthesia, inhalasi, respirasi terkontrol dengan Nasotracheal Tube no. 7. 4. Premedikasi 5. Induksi 7. Maintenance 8. Monitoring : Fentanyl 50 mcg IV : Propofol 130 mg : N2O/O2 = 2L/2L, Sevofluran 1-2 vol% : Tanda vital selama operasi tiap 3 menit, kedalaman

6. Pelumpuh otot : Atracrium 35 mg IV

anestesi, cairan, perdarahan, dan produksi urin. 9. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar.

3.10 Tatalaksana Anestesi Persiapan anestesi : Pukul 10.30 WIB dilakukan pemeriksaan kembali identitas pasien, persetujuan operasi (melakukan informed consent), lembar konsultasi anestesi, obat-obatan dan alat-alat yang diperlukan serta dilakukan pemeriksaan tanda vital. - Infus RL terpasang pada tangan kanan. - Kateter urin terpasang. - Mengganti pakaian pasien dengan pakaian operasi dan penutup kepala. 41

Jenis anestesi : General Anestesi Teknik anestesi Premedikasi - Pukul 11.00 WIB penderita ditidurkan di ruang operasi dengan posisi terlentang. - Pengukuran tekanan darah terpasang di tangan kiri dan pengukur SpO2 terpasang di jari ke-1 tangan kanan. - Diberikan obat-obatan premedikasi berupa dexamethason 10 mg dan fentanyl 50 microgram, ondansetron 8 mg. - Mempersiapkan alat alat STATICS dan melakukan pengecekan. - Menjelaskan tindakan/prosedur yang akan dilakukan pada pasien dan memberitahu mengenai obat-obat yang akan diberikan dan efeknya. Induksi : - Induksi dimulai pukul 11.00 WIB. - Induksi dilakukan dengan pemberian propofol 130 mg IV. - Kemudian melihat refleks bulu mata pasien, jika sudah tidak ada, berikan pre-oksigenasi 10 liter, posisi kepala ekstensi. - Lakukan face mask, gunakan sungkup muka yang pas, lakukan 3-5 menit. - Kemudian pemberian obat pelumpuh otot yaitu atracurium 35 mg IV. - Setelah itu dilakukan pemasangan ET, mulut di buka dengan laringoskop lalu ET di masukkan ke trakea. Cuff dikembangkan agar ET terfiksasi. - Ambu bag di pompa, dinding dada mengembang. Dengan menggunakan stetoskop, kita mendengar sama di semua lapang paru. - Intubasi ET berhasil dilakukan. ET dan pipa difiksasi dan dihubungkan dengan mesin anestesi. Maintenance : - Pukul 11.10 anestesi sudah cukup dalam, kemudian leher pasien di beri bantalan agar tetap dalam posisi ekstensi,dan operasi mulai di lakukan. - Untuk mempertahankan status anestesi digunakan N2O 2 L/menit, O2 2L/menit, halothane 2-2,5 vol%, injeksi tramadol 100 mg. 42 : ET no. 7 nafas kendali kedalaman 20

- Pasien di monitoring (Tanda vital, SpO2, kedalaman anestesi, cairan dan perdarahan). - Pukul 12.25 operasi selesai. - Operasi berlangsung selama 1 jam 25 menit. - Pasien diberi reverse 3 : 2, IV - kemudian dilakukan ekstubasi, saat ekstubasi dilakukan suction dan jaw trust untuk membangunkan pasien, setelah pasien sudah dapat bernafas dengan adekuat dan terdapat refleks bulu mata, diberikan oksigen murni menggunakan sungkup sebanyak 2L/menit selama 10 menit. Tabel Monitoring Selama Anestesi

Laporan Operasi
05.00 DI IGD TD 90/60 mmHg, N 60x/mnt, RR 30 x/mnt, Maintenance : O2, IV line+Loading RL 1000 cc Sedia darah 4 kolf WB + PRC 452 cc TD 90/55 mmHg, N 68x/mnt, RR 28x/mnt, TD 95/60 mmHg, N 68x/mnt, RR 28x/mnt, TD 104/73 mmHg, N 76/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 95 Pemasangan IV Line kedua untuk jalur tranfusi darah. Premedikasi : Ondansentron 8 mg, Fentanyl 50 mcg, dexamethason 10 mg. Induksi : Propofol 130mg Relaksasi : Atracarium 35 mg Intubasi ET no 7 Operasi dimulai pukul 11.00

10.15 10.30 10.45 Masuk OK

43

11.15 11.30 11.45 12.00 12.15 12.30

Maintenance halothene TD 100/72 mmHg, N 70x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 Transfusi darah WB (threeway) kolf pertama TD 90/60 mmHg, N 74x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 Diberi tramadol 100mg TD 95/60 mmHg, N 70x/mnt, RR 28x/mnt,SpO2 99 TD 105/73 mmHg, N 76/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99 Diberi Asam traneksamat 2 amp TD 100/72 mmHg, N 78x/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99 Operasi selesai TD 100/65 mmHg, N 78x/mnt, RR 20x/mnt,SpO2 99 Pasien dibawa ke ICU

Kebutuhan Cairan Pasien : M : 2 x 65 = 130 cc So : M x 6 = 780 cc PP : M x 8 = 1040 cc I : PP + M + So =1430 cc : PP + M + So = 1170cc : 65 x 65 = 4225 cc : EBV/5 = 845 cc Keadaan Postoperasi dan Perawatan pasca anestesi di RR : Kesadaran Infus Tensi Nadi Respirasi Saturasi O2 Pukul 12.30 WIB pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Pasien diberikan oksigen 2 L/menit kanul nasal. Kemudian diobservasi aktivitas motorik, pernapasan, dan kesadaran sbb: : somnolen : RL : 100/60 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 99 % Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan observasi. Vital sign terakhir pasien saat di 44 II/III EBV ABL

bawa ke ICU adalah TD 100/65 mmHg, N 78x/mnt, RR 22x/mnt,SpO2 99. Penilaian pasien ini menggunakan Skor Aldrete dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan darah, denyut nadi. Catatan Perkembangan Pasien ICU
Tanggal 15-12-2011 Subjektif - Nyeri perut - Pusing - BAB - BAK DC 1000 cc Objektif KU/kes : sedang/ composmentis TD : 100/70 mmHg N : 98 x/menit RR: 22 x/menit S : 36,8C Status Generalis: - Mata : CA -/-, SI :-/- C: dbn - P: SDV, Rbh -/-Wh -/Status Lokalis : Reg. Abdomen : Inspeksi : Datar, terdapat luka oprasi yang ditutup perban elastis, rembes Palpasi : - Supel - NT Auskultasi : - BU (+) N Reg. Genitalia : - DC (+) - PPV (-) Assesment P3A, 32 tahun, post laparotomi explorasi H+1 e.c Kehamilan Ektopik Terganggu. Planning - IVFD RL 20 tpm - Inj Ketorolac 3x30 mg - Diet lunak

45

BAB IV PEMBAHASAN Kasus Pasien datang dengan diagnosis G4P3A0, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan KET, pro laparotomy cito. Pasien usia 32 tahun datang dengan keluhan nyeri perut sejak 3 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah dan disertai bercak darah. Pasien tidak mengeluhkan keluar lendir dari jalan lahir. Pasien tidak mengetahui sedang hamil. Dari riwayat penyakit dahulu seperti riwayat hipertensi, DM ,alergi obat, trauma, operasi sebelumnya disangkal, sesak napas/asma, riwayat penyakit jantung dan gangguan perdarahan disangkal. Pemeriksaan Dalam V/U tenang, dinding vagina licin, serviks utuh mencucu, slinger pain (+), darah (+) Diagnosis Diagnosis pre operatif : G4P3A0, 32 tahun, Umur Kehamilan 8 mg, dengan KET. Status operatif : ASA III E. Status operatif ASA III E ini karena terdapat pendarahan masif dan anemia yang dapat mempengaruhi sistemik. Tindakan emergency dilakukan karena mengancam nyawa pasien. Kunjungan Pre-operasi Tekanan darah pasien saat kunjungan pre operatif adalah 90/60 mmHg.. Pasien memiliki riwayat Asma, riwayat jantung, DM, hipertensi, alergi disangkal pasien. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit yang dicurigai, maka dilakukan pemeriksaan darah rutin (Hb, leukosit, masa perdarahan, masa pembekuan) dan urinalisis. Pada pasien dilakukan pemeriksaan EKG dan foto toraks. Pada pasien diperoleh Hb : 4,8 g/dl, angka leukosit 12360/uL, Limfosit 15 %, netrofil St 0,00 netrofil Sg 81,9 % PT : 15,6 APTT : 28 ureum : 13,5 , kreatinin 0,69 mg/dL GDS 121, Tes kehamilan (+). Berdasarkan perhitungan Whole Blood, maka pasien membutuhkan Whole Blood sebanyak 2000 cc sehingga disediakan Whole Blood 4 kolf. Pada pasien ini diberikan whole blood karena terjadi perdarahan akut dan masif. 46

Saat hemodinamik pasien belum stabil yang ditandai TD 90/60 mmHg, N 60 x/mnt, RR 20 x/mnt maka dilakukan tindakan yakni pemberian O2 dan pemasangan infus line dimana berisi RL 1000 cc. Setelah dimonitoring hemodinamik pasien mulai stabil dimana TD 104/73 mmHg, N 76 x/mnt, RR 22 x/mnt, untuk selanjutnya pasien dibawa ke ruang OK. Berdasarkan status fisik, pasien digolongkan pada ASA III E, maka jenis anestesi yang paling baik digunakan dalam operasi laparotomi ini adalah anestesi umum dengan respirasi terkendali menggunakan endotrakheal tube. Terapi Dilakukan laparotomi menggunakan general anestesi dengan respirasi terkendali menggunakan endotrakheal tube (ETT). 1. Keadaan Pre-operasi : Pasien puasa selama 4 jam sebelum operasi. Keadan umum dan vital sign pasien lemah dan presyok, gelisah. Pasien distabilisasi di VK IGD, diberikan O2 nasal 4 l/m, IVFD 2 line, Loading cairan RL 1000 cc . Pasien diusahakan darah 4 kolf WB dan PRC 452 cc. 2. Jenis Anestesi : general anestesi dengan teknik semi closed intubation, respirasi terkontrol dengan endotrakeal Tube No. 7. 3. Premedikasi yang diberikan : Ondansentron 4 mg, Fentanil 50 mcg diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit sebelum induksi anestesi. 4. Induksi anestesi: Pasien diberi O2 murni selama 1 menit sebelum dilakukan intubasi. Setelah terjadi relaksasi, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal (No. 7). Induksi anestesi pada pasien ini dengan menggunakan Propofol 130 mg, relaksasi menggunakan Atracarium 35 mg. 5. Maintenance Status anestesi dipertahankan dengan pemberian kombinasi O2 4 liter / menit, N20 3 liter / menit, dan sevoflurane 2 vol%. Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah dan denyut nadi diukur setiap menit menggunakan SpO2. Tekanan darah setelah pasien diberikan transfusi darah WB kolf pertama (three way), sistole berkisar antara 90-100 mmHg, sedangkan tekanan darah diastole berkisar antara 60-72 mmHg, dan denyut nadi berkisar antara 70-74 kali / menit. 47

2. Keadaan post operasi Operasi selesai dalam waktu 1 jam, 1500cc. Sesaat sebelum operasi selesai, N2O dimatikan sedangkan pemberian O2 masih dipertahankan. Diberikan anti dotum, prostigmin 1,5 mg dan atropine sulfate 0,5 mg. Ekstubasi dilakukan setelah operasi selesai, sebelumnya rongga mulut dan trakea pasien dibersihkan dengan menggunakan suction untuk menghilangkan lendir yang dapat menghalangi jalan napas. 3. Ruang pemulihan (Recovery Room) Pasien dipindahkan ke ruang Intensive Care Unit untuk dilakukan observasi. Vital sign terakhir pasien saat di bawa ke ICU adalah TD 100/65 mmHg, N 78x/mnt, RR 22x/mnt,SpO2 99. Penilaian pasien ini menggunakan Skor Aldrete dan diberikan O2 2-3 liter / menit, serta diobservasi tekanan darah, denyut nadi. Pembahasan farmakologi 1. Fentanil Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam anestesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan anestesi narkotik total pada pembedahan jantung (Wiria, 2005). Pada pasien ini menggunakan Fentanyl 50 mg. 2. Profofol Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual. Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik (Pramono, A., 2008).

48

3.Atracurium Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru dengan struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltatum. Keunggulan atracurium adalah : - metabolisme terjadi di dalam darah - tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang - tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang bermakna Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. 7,8 Dosis intubasi Dosis relaksasi otot Dosis pemeliharaan : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV : 0,5 0,6 mg / Kg BB / IV : 0,1 0,2 mg / Kg BB / IV

Monitoring Post Operasi Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR, dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Lockherte/Aldrete lebih dari tujuh. Kesimpulan Berdasarkan status fisik pasien ASA III E dengan kehamilan ektopik terganggu, jenis anastesi yang paling baik digunakan dalam laparotomi adalah general anastesi. Teknik general anastesi yang dipilih adalah semi open closed, nafas kendali dengan endotracheal tube nomor 7. Untuk premedikasi diberikan ondansentron 4 mg, Fentanil 50 mcg dan induksi diberikan propofol 130 mg , relaksasi Atracarium 30 mg, serta pemeliharaan dengan O2 4 L/menit, N2O 3 L/menit, sevoflurane 2 % volume. 49

DAFTAR PUSTAKA

- Boulton, T.B., Blogg, C.E., 1994. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta. - Dachlan, R dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : bagian Anesteiologi dan terapi Intensif. FK UI - Dobson Michael B, Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2009. - Latief, FK UI. - Muhiman, M. 2008. Anastesiologi. Jakarta : bagian Anestesiologi dan terapi Intensif. FK UI. - Morgan E, Mikhail MS, Clinical Anesthesiology, Prentice Hall International Inc, Connecticut, 1996. - Muhardi, M, dkk. Anastesiologi, bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, CV Infomedia, Jakarta, 1999. - Pramono, A., 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK UMY. - Sood, Jayashere. Laringeal Mask Airway and Its Variants. Indian Journal Anesthesia. 2005; 49(4): 275-280 - Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5 S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta:

50

Anda mungkin juga menyukai