Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Ruptur uteri adalah komplikasi peripartum yang jarang terjadi pada sekitar 7/10000
individu, tetapi angka kejadian penyakit ini meningkat menjadi 20-80/10.000 pada ibu
dengan defek pada uterus dan sebagian besar sebagai akibat dari riwayat operasi caesar
sebelumnya. Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan
lanjut dan persalinan yaitu robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada saat
umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Penggunaan operasi caesar meningkat di seluruh dunia,
dan dengan demikian tingkat ruptur uteri juga diperkirakan akan meningkat. Ruptur uteri
merupakan komplikasi peripartum jarang, sering dikaitkan dengan yang bencana hasil untuk
ibu dan anak. Rahim yang terluka, sebagian besar karena sebelumnya mempunyai riwayat seksio
sesarea (SC), hal tersebut secara substansial meningkatkan risiko ruptur uteri. Pendarahan masih
merupakan penyebab utama kematian maternal (ibu) tertinggi, disamping preeklamsi/eklamsi dan
infeksi. Pendarahan dalam bidang obstetri dibagi menjadi 3 yaitu, pendarahan pada kehamilan muda
(kurang dari 22 minggu), pendarahan pada kehamilan lanjut, pendarahan saat persalinan, dan
pendarahan pasca persalinan (masa nifas). Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk pendarahan
pada kehamilan lanjut dan pada saat persalinan selain dari plasenta previa, solusio plasenta, dan
gangguan pembekuan darah. Pendarahan pada keahmilan lanjut yaitu pendarahan yang terjadi pada
kehamilan yang lebih dari 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan. Pendarahan pada persalinan
pendarahan intrapartum sebelum kelahiran (proses kelahiran bayi).Penyumbang kematian terbesar
bayi dalam kandungan adalah faktor dari ibu yaitu partus lama akibat ruptur uteri. Maka hal ini
menandakan bahwa ruptur uteri memberikan dampak negatif pada kematian ibu atau bayi.
Meskipun ruptur uteri adalah peristiwa yang jarang terjadi di negara-negara berkembang,
itu masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di negara-negara
berkembang yang membahayakan kehidupan banyak ibu. Tinjauan sistematis WHO atas
kematian maternal dan morbiditas sekunder akibat ruptur uterus menunjukkan bahwa prevalensi
ruptur uterus cenderung lebih rendah di negara maju daripada negara berkembang dengan
tingkat prevalensi 0,006%. Rupture uteri di negara- negara maju sebagian besar terjadi
komplikasi sekunder dari seksio sesarea sebelumn.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ruptur Uteri

Yang dimaksud dengan ruptura uteri komplit ialah keadaan robekan pada rahim dimana
telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale
dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagian atau seluruh tubuhnya
telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen.
Pada ruptur uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh peritoneum

viserale2 .

2.2 Epidemiologi Ruptur Uteri

Ruptura di negara berkembang masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan di negara maju.
Angka kejadian ruptura uteri di negara maju dilaporkan juga semakin menurun. Sebagai contoh dari
salah satu penelitian di negara maju dilaporkan kejadian ruptura uteri dari 1 dalam 1.280 persalinan

menjadi 1 dalam 2.250 persalinan 2 .

Angka kejadian ruptur uteri di Indonesia masih tinggi yaitu berkisar antara 1:92 sampai
1:428 persalinan. Angka-angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-
negara maju yaitu antara 1:1250 sampai 1:2000 persalinan. Angka kematian ibu akibat ruptur uteri
juga masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9% sampai 62,6%, sedangkan angka kematian anak pada
ruptur uteri berkisar antara 89,1% sampai 100%2.

2.3 Etiologi Ruptur Uteri³

Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya,
karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering
terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada

2
uterus yang demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau
sejenis.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain persalinan yang mengalami distosia, grande
multipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan pasien hamil
yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah sesar atau operasi lain pada rahimnya, pernah
histerofia, pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea dan sebagainya.
Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik berlaku
adagium Once Caesarean Section always Caesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti ini
dapat dipilih elective caesarean section (ulangan) untuk mencegah ruptura uteri dengan syarat janin
sudah matang. Eksplorasi pascakelahiran pada persalinan yang sukar dengan perdarahan yang
banyak atau pascapartus dengan kemungkinan dehisens perlu dilakukan untuk memastikan tidak
adanya ruptura uteri.

2.4 Klasifikasi Ruptur Uteri2

2.4.1 Berdasarkan Keadaan robek

a. Ruptur uteri inkomplit ( subperitoneal )

Ruptur uteri yang hanya dinding uterus yang robek sedangkan lapisan serosa (peritoneum) tetap
utuh.

b. Ruptur uteri komplit ( transperitoneal)

Ruptur uteri yang selain dinding uterusnya robek, lapisan serosa (peritoneum) juga robek sehingga
dapat berada di rongga perut.2

2.4.2. Berdasaran kapan terjadinya

a. Ruptur uteri pada waktu kehamilan (ruptur uteri gravidarum)

Ruptur uteri yang terjadi karena dinding uterus lemah yang dapat disebabkan oleh :

- Bekas sectio sesaria

3
- Bekas enukleasi mioma uteri

- Bekas kuretase/plasenta manual

- Sepsis post partum

- Hipoplasia uteri

b. Ruptur uteri pada waktu persalinan (ruptur uteri intrapartum)

Ruptur uteri pada dinding uterus baik, tapi bagian terbawah janin tidak maju/turun yang dapat
disebabkan oleh :

- Versi ekstraksi

- Ekstraksi forcep

- Ekstraksi bahu

2.4.3. Berdasarkan Etiologinya

a. Ruptur uteri spontan (non Violent)

Ruptur uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa penyebab yang
menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang tidak maju ini dapar terjadi karena adanya
rintangan misalnya panggul sempit, hidrosefalus, makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi
bokong, hamil ganda dan tumor pada jalan lahir.

b. Ruptur uteri traumatika ( violent )

Faktor utama pada uterus meliputi kecelakan dan tindakan. Kecelakaan sebagai faktor trauma pada
uterus berarti tidak berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya trauma pada
abdomen. Tindakan berarti berhubungan dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi
ekstraksi, ekstraksi forcep, alat-alat embriotomi, manual plasenta dan ekspresi/dorongan.

c. Ruptur uteri jaringan parut

4
Ruptur uteri yang terjadi karena adanya locus minoris pada dinding uterus sebagai akibat adanya
jaringan parut bekas operasi pada uterus sebelumnya, enukleasi mioma atau miomektomi,
histerektomi, histerotomi, histerorafi dan lain-lain. Seksio sesarea klasik empat kali lebih sering
menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh
karena luka pada segmen bawah uterus yang merupakan daerah uterus yang lebih tenang dalam
masa nifas dapat sembuh dengan baik, sehingga parut lebih kuat.

2.4.4. Berdasarkan lokasinya

a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi,
seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju). SBR
tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur.
c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap
d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.

2.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur uteri yang membakat, yaitu
didahului his yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat diperut bagian bawah, nyeri waktu
ditekan gelisah, nadi dan pernapasan cepat. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan,
lingkaran retraksi (van bandle ring) meinggi sampai mendekati pusat dan ligamentum rotunda
menegang.

Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita dapat merasa sangat kesakitan dan seperti ada robek
dalam perutnya. Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai syok (nadi
filipormis, pernapasan cepat dangkal, dan tekanan darah turun).2

5
2.6 Patofisiologi Ruptur Uteri4

2.7 Penatalaksanaan Ruptur Uteri5

1. Perbaiki Keadaan Umum


a. Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah
b. Berikan Antibiotik
c. Oksigen
2. Laparotomi
a. Histerektomi

6
Histerektomi dilakukan, jika :
- Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
- Kondisi buruk yang membahayakan
b. Repair Uterus (Histerorafi)
Histerorafi dilakukan jika :
- Masih mengharapkan fungsi reproduksinya
- Kondisi klinis ibu stabil
- Ruptur tidak berkomplikasi

2.8 Jenis anastesi pada Obstetri6 ,7

a) Infiltrasi langsung di sekitar luka Inervasi saraf disekitar perineum berasal dari nervus pudendus.
Untuk luka perineum tingkat pertama dan kedua, cukup dilakukan infiltrasi lokal di sekitar lokasi
jahitan luka.Bahan analgesia yang lazim dipergunakan adalah lidokain (2-3 ampul, untuk sisi kanan
dan kiri). Selanjutnya ditunggu dua menit, dan jahitan terhadap luka episiotomi dapat dilakukan
dengan aman dan tenang.

b)Blok nervus pudendus


Nervus pudendus mensyarafi otot levator ani, dan otot perineum profunda serta superfisialis.
Dengan memblok saraf pudendus, akan tercapai anestesi setempat sehingga memudahkan operator
untuk melakukan reparasi terhadap perineum yang mengalami robekan. Teknik blok saraf pudendus

•Siapkan 10 cc larutan lidokain 0,5-1% untuk anestesia.

•Tangan kanan dimasukkan kedalam vagina untuk mencapai spina iskiadika.

•Jarum suntik ditusukkan sampai menembus ujung ligamentum sakrospinarium, tepat dibelakang
spina iskiadika.

•Kemudian jarum diarahkan agak ke inferolateralis, dilakukan aspirasi, untuk menghindarkan


masuknya hambatan anestesi lokal ke dalam pembuluh darah.

•Suntikan diberikan sebanyak 10 cc dan ditunggu selama 2-5 menit sehingga efek anestesi tercapai.

c)Blok servikal

7
Lidokain 1% sebanyak 10 cc disuntikkan di bagian kanan dan kiri (pada jam 3 & 9), sehingga
didapat elek anestesi yang bersitat singKat. Setelan penyuntikan dilakukan,tunggulah beberapa saat
(3-5 menit) untuk mencapai keadaan anestetik, kemudian tindakan intrauterin dapat dilakukan.

2.Anestesi Umum

Tindakan anestesi mum digunakan untuk persalinan per abdominal / sectio cesarea.

Indikasi:

1.Gawat janin

2. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional

3.Diperlukan keadaan relaksasi uterus

Langkah- Langkah Teknik Anestesi Umum :

1. Diskusikan rencana dengan multidisiplin tim

2. Lakukan penilaian preanestesi dan informed consent

3. Persiapkan alat dan obat

4. Pasien diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.

5. Pasang line infus dengan diameter besar 16 atau 18 gauge. Kirim spesimen darah untuk penilaian
laboratorium dan pertimbangkan crossmatch jika ada resiko perdarahan post partum

6. Berikan Metoclopramide 10 mg dan ranitidine 30 mg intravena lebih dari 30 menit sebelum


induksi jika memungkinkan

7. Berikan non particulate antacid oral kurang dari 30 menit sebelum induksi

8. Pemberian antibiotic profilaksis dalam 60 menit sampai insisi

9. Memulai monitoring

8
10. Melakukan time out untuk mengidentifikasi pasien, posisi dan tempat operasi serta prosedur
yang akan dilakukan

11. Dilakukan preoksigenasi dengan 02 100% melalui face mask selama 3 menit atau lebih jika
memungkinkan, tau pasien diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 4 sampai 8 kali sebelum
induksi

12. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,

13. Memulai rapid sequence induction

a. Dilakukan penekanan krikoid 10 N ketika masih bangun dan ditingkatkan sampai 30 N ketika
sudah hilang kesadaran

b. dilakukan induksi dengan 4-5 mg/kgBB thiopental atau propofol 2-2.8 mg/kgbb dan 1.5
mg/kgBB suksinilkolin, tunggu selama 30-40 detik

14. Melakukan intubasi, periksa endotracheal tube sudah terpasang dengan benar

15. Maintenans anesthesia:

a. Penggunaan isoflurane, sevoflurane atau desflurane dengan 1 MAC dalam 100% oksigen atau
oxygen/N20 perbandingan 50%

b. Hipotensi diterapi dengan phenylephrine atau ephedrine

c. Jika membutuhkan pelumpuh tot tambahan, rocuronium dan vecuronium dapat diberikan secara
titrasi sesuai dengan peripheral nerve stimulator

16. Observasi saat bavi lahir

17. Pemberian bolus tau continous infus oksitosin. Pertimbangkan agen uterotonik lain seperti
metilergometrin, misoprostol jika tonus uterus tidak adekuat

18. Mengatur maintenas anestesi setelah bayi lahir

a. Menurunkan konsentrasi agen volatile halogenated 0.5-0.75 MAC

9
b. Penambahan anestesi dengan N20 dan opiod intravena

c. Pertimbangkan benzodiazepine untuk mencegan pasien terbangun

19. Ekstubasi dilakukan ketika efek obat pelumpuh tot sudah habis dan pasien terbangun dan
mengikuti perintah

20. Evaluasi masalah postoperasi seperti nyeri dan muntah

Macam-macam anestesi intravena

a) Pentotal

Penggunaan pentotal dalam bidang obstetri dan ginekologi banyak ditujukan untuk induksi
anestesia umum dan sebagai anestesia singkat. Dosis pentotal yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB
dalam larutan 2,5% dengan pH 10.8, tetapi sebaiknya hanya diberikan 50-75 mg.

Keuntungan pentotal

-Cepat menimbulkan rasa mengantuk (sedasi) dan tidur (hipnotik).

-Termasuk obat anestesia ringan dan kerjanya cepat.

-Tidak terdapat delirium

-Cepat pulih tanpa iritasi pada mukosa saluran napas.

Komplikasi pentotal

•Lokal (akibat ekstravasasi), dapat menyebabkan nekrosis

•Rasa panas (bila pentotal langsung masuk ke pembuluh darah arteri)

•Depresi pusat pernapasan

•Reaksi vertigo, disorientasi, dan anfilaksis

Kontraindikasi pentotal

10
Pentotal merupakan kontraindikasi pada pasien-pasien yang disertai keadaan berikut:

-Gangguan pernafasan

-Gangguan fungsi hati dan ginjal

-Anemia

-Alergi terhadap pentotal. Apabila dilakukan anestesi intravena menggunakan pentotal, sebaiknya
pasien dirawat inap karena efek pentotal masih dijumpai dalam waktu 24 jam, dan hal ini
membahayakan bila pasien sedang dalam perjalanan.

b) Ketamin

Ketamin termasuk golongan non barbiturat dengan aktivitas "rapid setting general anaesthesia", dan
diperkenalkan oleh Domine dan Carses pada tahun 1965.

Sifat ketamin :

O Efek analgetiknya kuat

O Efek hipnotiknya ringan

O Efek disosiasinya berat, shingga menimbulkan disorientasi dan halusinasi oMengakibatkan


disorientasi (pasien gaduh, berteriak) oTekanan darah intrakranialmeningkat

O Terhadap sistem kardiovaskuler, tekanan darah sistemikmeningkat sekitar 20-25% menyebabkan


depresi pernapasan yang ringan (vasodilatasi bronkus)

Premedikasi pada anestesia umum ketamin

Pada anestesi umum yang menggunakan ketamin, perlu dilakukan premedikasi dengan obat-obat
sebagai berikut:

• Sulfas atropin, untuk mengurangi timbulnya rasa mual / muntah

• Valium, untuk mengurangi disorientasi dan halusinasi.

11
Dosis ketamin

Dosis ketamin yang dianjurkan adalah 1-2 mg/kg BB, dengan lama kerja sekitar 10-15 menit. Dosis
ketamin yang dipakai untuk tindakan D & K (dilatasi dan kuretase) atau untuk reparasi luka
episiotomi cukup 0,5 - 1 mg/Kg BB.

Indikasi anestesi ketamin :

- Pada operasi obstetri dan ginekologi yang ringan dan singkat

-Induksi anastesia umum

Kontra indikasi anastesia ketamin (ketalar)

• Hipertensi yang melebihi 150 / 100 mmHg

• Dekompensasi kordis

• Kelainan jiwa

Komplikasi anastesia ketamin

- Mual / muntah, diikuti aspirasi yang dapat membahayakan pasien dan dapat menimbulkan
pneumonia.

- Untuk menghindari terjadinya komplikasi karena tindakan anastesia sebaiknya dilakukan dalam
keadaan perut / lambung kosong

-Setelah pasien dipindahkan ke ruangan inap, pasien diobservasi dan posisi tidurnya dibuat miring
(ke kiri / kanan), sedangkan letak kepalanya dibuat sedikit lebih rendah.

c) Anastesi analgesi dengan valium

Valium tergolong obat penenang (tranquilizer), yang bila diberikan dalam dosis rendah bersifat
hipnotis. Obat ini jarang digunakan secara sendiri (tunggal), dan selalu diberikan secara IV bersama
dengan ketamin, dengan tujuan mengurangi efek halusinasi ketamin.

12
-Dosis Valium

Dosis Valium 10 g IV atau IM. Bila digunakan untuk induksi anastesi, dosisnya sebesar 0,2 - 0,6
mg/kgBB.

3.Anestesi Regional

Pelaksanaan blok epidural (blok spinal) bersifat spesialistik,sehingga sebaiknya diserahkan kepada
dokter ahli anastesia.

Obat anastesia yang banyak dipakai adalah :

• Lidonest

• Bupivacain (Marcain)

• Lidokain

Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan kembali luka
episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk melakukan anastesia secara intravena
(lebih mudah dan aman). Dinegara yang sudah maju, kebanyakan kasus persalinannya memerlukan
tindakan anastesia lumbal, sakral, atau kaudal.

-Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan per vaginam.

-Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan per abdominam/sectio

• Keuntungan:

1. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat


dicegah/dikurangi.

2.Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.

3. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)

4. Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional sudah siap.

13
• Kerugian :

1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)

2. Waktu mulai kerja (time of onset) lebih lama

3. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi.

4.Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun, sehingga kemajuan
persalinan dapat menjadi lebih lambat.

Kontraindikasi :

a) Insufisiensi utero-plasenta

b) Syok hipovolemik

c) Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi

d) Sepsis e) Gangguan pembekuan

e) Kelainan SSP tertentu

•Observasi tanda vital

• Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan punks antara
vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum/trokard. Ruang epidural dicapai dengan perasaan
"hilangnya tahanan" pada saat jarum menembus ligamentum flavum.

• Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di
daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum
flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai
ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik
perlahan-lahan

14
• Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid.

• Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum halus
atau kapas

• Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup dengan kasa dan
plester.

• Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.

-Obat anestetik yang digunakan

Lidocain 1-5%, chlorprocain 2-3% atau bupivacain 0.25-0.75%. Dosis yang dipakai untuk anestesi
epidural lebih tinggi dari pada untuk anestesi spinal.

2.9 Komplikasi Ruptur Uteri7

Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua
komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik terjadi bila pasien tidak
segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat
digantikan dengan transfusi darah segar. Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan
darah yang hilang juga mengandung semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih
bermanfaat demi mencegah dan memngatasi koagulopati dilusional akibat pemberian cairan
kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau mencegah gangguan
keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam menghadapi syok
hipovolemik. Dikarenakan rupture uterus adalah tindakan emergensi yang memerlukan tidakan
operasi segera, penangan terbaik aalah histerektomi. Komplikasi dari tindakan ini adalah adanya
infertilitas dari organ reproduksi dari 90-100 % dikarenakan total histerektomi .

Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptura uteri telah terjadi
sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang
berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika
yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca
bedah. Sayangnya hasil pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien
baru diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi biasanya

15
diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-
sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik.

Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya anak hidup
meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan keluar bagi kasus ini untuk
mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui assisted reproductive technology termasuk
pemanfaatan surrogate mother yang hanya mungkin dikerjakan pada rumah sakit tertentu dengan
biaya tinggi dan dengan keberhasilan yang belum sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik.
Kematian maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi sosial
yang sulit mengatasinya.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Abrar S, Abrar T, Sayyed E, Naqvi SA. Ruptured uterus: Frequency, risk factors and feto-
maternal outcome. PLoS One [Internet]. 2022;17(4 April):1–13. Available from:
http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0266062
2. Obgyn. Uterine Rupture. Teach Me Obgyn [Internet]. 2022 [cited 2023 Aug 17];1.
Available from: https://teachmeobgyn.com/labour/emergencies/uterine-rupture/
3. Soedigdomarto MH, Prabowo RP. Ruptura Uteri. Dalam : Prawihardjo S, Wiknjosastro H,
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawihardjo; 2014
4. Butterworth, J. F., dkk. Postanesthesia Care. Dalam: Morgan GE, Mikhail M,penyunting.
Clinical anesthesiology. Edisi ke-5. New York: McGraw Hill;2021. Halaman: 1257–1275.
5. Butwick, A. J. (2020) Intra Operative Forced Air-Warming During Cesarean Delivery
Under Spinal Anesthesia Does Not Prevent Maternal Hypothermia, Anesthesia And
Analgesia, Vol. 105, Issue 5. Page: 1413-1419.
6. Koeshardiandi, M. (2020). Efektifitas Ketamin Dosis 0,25mg/kg Berat Badan Intravena
sebagai Terapi Menggigil Selama Anestesi Spinal pada Pembedahan Sectio Caesaria.
Journal Anestheia of Emergency: Volume 2, No 3
7. Latief, S. (2007). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2 FKUI. Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai