Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perlukaan pada jalan lahir dapat terjadi pada wanita yang telah melahirkan bayi setelah
masa persalinan berlangsung. Persalinan adalah proses keluarga seorang bayi dan plasenta dari
rahim ibu. Jika seseorang ibu setelah melahirkan bayinya mengalami perdarahan. Maka hal ini
dapat diperkirakan bahwa perdarahan tersebut disebabkan oleh retensio plasenta atau plasenta
lahir tidak lengkap. Pada keadaan ini di mana plasenta lahir lengkap dan kontraksi uterus
membaik, dapat dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan dari jalan lahir.
Perlukaan ini dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu memimpin suatu persalinan, pada
waktu persalinan operatif melalui vagina seperti ekstraksi cunem, ekstraksi vakum, embrotomi
atau traume akibat alat-alat yang dipakai. Selain itu perlukaan pada jalan lahir dapat pula terjadi
oleh karena memang disengaja seperti pada tindakan episiotomi. Tindakan ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya robekan perinium yang luas dan dalamnya disertai pinggir yang tidak rata,
di mana penyembuhan luka akan lambat dan terganggu.
Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi yang berasal dari faktor ibu adalah
penyulit kehamilan seperti ruptur uteri. Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan
yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan
gangguan pembekuan darah. Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena
faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan ruptur uteri.
Terjadinya ruptura uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu
bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinnya kematian ibu dan anak karena ruptur uteri
masih tinggi. Insidens dan angka kematian yang tertinggi kita jumpai di negara-negara yang
sedang berkembang, seperti Afrika dan Asia. Angka ini sebenernya dapat diperkecil bila ada
pengertian dari para ibu dan masyarakat. Prenatal care, pimpinan partus yang baik, disamping
fasilitas pengangkutan dari daerah-daerah perifer dan penyediaan darah yang cukup juga
merupakan faktor yang penting.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian Ruptur Uteri.

1
b. Bagaiman prevalensi Ruptur Uteri.
c. Bagaimana Patofisiologi dari Ruptur Uteri.
d. Apa Etiologi dari Ruptur Uteri.
e. Apa saja Klasifikasi dari Ruptur Uteri.
f. Bagaiman gejala klinis dari Ruptur Uteri.
g. Apa saja komplikasi dari Ruptur Uteri.
h. Bagaiman Penatalaksanaan dari Ruptur Uteri.

1.3 Tujuan

1. Tujuan umum
Mahasiswa kebidanan mampu memahami tentang rupture uteri dan penangnannya
2. Tujuan khusus
Mahasiswa kebidanan mampu :
a. Menjelaskan pengertian Ruptur Uteri.
b. Mengetahui prevalensi Ruptur Uteri.
c. Menjelaskan Patofisiologi dari Ruptur Uteri.
d. Menjelaskan Etiologi Ruptur Uteri.
e. Menjelaskan Klasifikasi dari Ruptur Uteri.
f. Mengetahui gejala klinis dari Ruptur Uteri.
g. Mengetahui komplikasi dari Ruptur Uteri.
h. Mengetahui Penatalaksanaan dari Ruptur Uteri.

1.4   Manfaat

Untuk menambah pengetahuan tentang rupture uteri agar bias memberikan pelayanan yang baik
kepada pasien

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ruptur Uteri

Ruptur uteri adalah robekan di dinding uterus, dapat terjadi selama periode ante natal saat
induksi, selama persalinan dan kelahiran bahkan selama stadium ke tiga persalinan(Chapman,
2006;h.288).

 Ruptur uteri adalah robekan yang dapat langsung terhubung dengan rongga peritonium
(komplet) atau mungkin di pisahkan darinya oleh peritoneum viseralis yang menutupi uterus oleh
ligamentum latum (inkomplit) (Cunningham,2005;h.217)

2.2 Prevalensi
Angka kejadian rupture uteri di Indonesia masih tinggi yaitu berkisar antara 1 : 92- 1 :
428 persalinan, angka angka tersebut masih sangat tinggi jika di bandingkan Negara Negara
maju yaitu antara 1 : 1.250 – 1 : 2000 persalinan, angka kematian ibu akibat rupture uteri
juga masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9 % - 62,6 %, sedangkan angka kematian anak
pada rupture uteri berkisar antara 89,1 % - 100 %.

2.3 Patofisiologi
a. Ruptur uteri spontan : Ruptur uteri ini terjadi secara spontan pada uterus yang utuh
(tanpa parut). Faktor pokok disini adalah bahwa persalinan tidak dapat berjalan dengan
baik karena ada halangan misalnya: panggul yang sempit, hidrosefalus, janin yang letak
lintang, dll. Sehingga segmen bawah uterus makin lama makin diregangkan. Pada suatu
saat regangan yang terus bertambah melampaui batas kekuatan jaringan miometrium,
maka terjadilah ruptur uteri.
b. Faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya ruptur uteri adalah multiparitas,
stimulus oksitosin, dll. Disini ditengah-tengah miometrium sudah terdapat banyak
jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga
regangan lebih mudah menimbulkan robekan.

3
c. Pada persalinan yang kurang lancar, dukun-dukun biasanya melakukan tekanan keras
kebawah terus-menerus pada fundus uterus, hal ini dapat menambah tekanan pada
segmen bawah uterus yang sudah regang dan mengakibatkan terjadinya ruptur uteri.
d. Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlalu tinggi / indikasi yang tidak tepat bisa
menyebabkab ruptur uteri.
e. Ruptur uteri traumatic. Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena
jatuh, kecelakaan. Robekan ini yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan,
jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar. Yang
lebih sering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur uteri violenta. Disini
karena dystosia sudah ada regangan segmen bawah uterus dan usaha vaginal untuk
melahirkan janin mengakibatkan timbulnya ruptur uteri.
Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan
bertentangan dengan syarat. Kemungkinan besar yang lain adalah ketika melakukan
embriotomi. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk
mengetahui terjadinya ruptur uteri..
f. Ruptur uteri pada luka bekas parut.
Diantar parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik
lebih sering menimbulkan ruptur uteri dari pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal
ini disebabkan karena luka pada segmen bawah uterus yang menyerupai daerah uterus
yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut
lebih kuat. Ruptur uteri pad bekas parut sesarea klasik juga lebih sering terjadi pad
kehamilan tua sebelum persalinan dimulai, sedang peristiwa tersebut pada parut bekas
seksio sesarea profunda umumnya terjadi waktu persalinan. Ruptur uteri pasca seksio
sesarea bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi
bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak
terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka
menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya
peritoneum tidak ikut serta sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta. Pada peristiwa ini
ada kemungkinan arteri besar terbuka dan timbul perdarahan yang sebagian berkumpul
di ligametum dan sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his
kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada

4
perabaan tempet bekas luka. Jika arteria besar terluka, gejal-gejal perdarahan, anemia
dan syok, janin dalam uterus meningggal pula.

2.4 Etiologi
 Rupture uterus spontan (Fraser dab Cooper,2009;h.593)

a. Paritas tinggi
b. Penggunaan oksitosin yang tidak tepat, terutama pada ibu paritas tinggi
c. Pengunaan prostaglandin untuk menginduksi persalinan
d. Persalinan macet; rupture uteri terjadi akibat penipisan yang berlebihan pada segmen
bawah uterus.
e. Persalinan terabaikan, dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
f. Perluasan laserasi serviks yang berat ke atas menuju segmen bawah uterus –hal ini dapat
terjadi akibat trauma selama pelahiran dan tindakan.
g. Trauma akibat cedera ledakan atau kecelakaan.
h. Perforasi uterus non-hamil , mengakibatkan rupture uteri pada kehamilan
berikutnya;perforasi dan rupture terjadi pada segmen atas uterus.

2.5 Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1. Ruptur Uteri Gravidarum
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2. Ruptur Uteri Durante Partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak.

Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:


1. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio sesarea
klasik (korporal) atau miomektomi.
2. Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah
regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.

5
3. Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi, sedang
pembukaan belum lengkap.
4. Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.

Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:


1. Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga terdapat
hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.
2. Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi subperitoneal dan
bisa meluas sampai ke ligamentum latum.

Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat dibedakan:


1. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC
miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta secara manual.
Dapat juga pada graviditas pada kornu yang rudimenter dan graviditas interstisialis, kelainan
kongenital dari uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim, misalnya
mola destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding
rahim tipis dan regang.
2. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada panggul  sempit atau kelainan
bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan
grandemultipara. Juga dapat karena kelainan kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum,
torakofagus, anensefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan
presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang ubun-ubun dan
putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan lahir; rigid cervix:
conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi;
grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga pimpinan partus yang salah.

6
Ruptur Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:
 Ekstraksi Forsep
 Versi dan ekstraksi
 Embriotomi
 Versi Braxton Hicks
 Sindroma tolakan (Pushing syndrome)
 Manual plasenta
 Kuretase
 Ekspresi Kristeller atau Crede
 Pemberian Pitosin tanpa indikasi dan pengawasan
 Trauma tumpul dan tajam dari luar.

Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:


1. Ruptur Uteri Iminens (membakat=mengancam)
2. Ruptur Uteri sebenarnya.

2.6 Gejala Klinis


1. Diagnosis dan gejala klinis:
Gejala rupture uteri mengancam:
a. Dalam tanya jawab dikatakan telah ditolong atau didorong oleh dukun atau bidan,  partus
b. Sudah lama berlangsung.
c. Pasien nampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut. Pada setiap
datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan,bahkan  meminta
supaya  anaknya secepatnya dikeluarkan.
d. Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasanya
e. Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged laboura), yaitu mututkering, lidah
kering dan halus badan panas (demam)
f. His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus menerus.
g. Ligamentum rotundum teraba seperrti kawat listrik yang tegang, tebal dan kerasterutama
sebelah kiri atau keduannya.

7
h. Pada waktu datangnya his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan sbrteraba tipis
dan nyeri kalau ditekan.
i. Penilaian korpus dan sbr nampak lingkaran bandl sebagai lekukan melintang yang bertambah
lama bertambah tinggi, menunjukkan sbr yang semakin tipisdan teregang.sering lingkaran
bandel ini dikelirukan dengan kandung kemih yangpenuh untuk itu lakukan kateterisasi
kandung kemih. Dapat peregangan dan tipisnya sbr di dinding belakang sehingga tidak dapat
kita periksa. Misalnya terjadi pada asinklintismus posterior atau letak tulang ubun-ubun
belakang
j. Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang keatas, terjadi
robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada kateterisasi ada hematuria. 
k. Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia).
l. Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, sepertiedema portio,
vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.

2. Gejala-gejala ruptur uteri:


1) Anamnesis dan infeksia
a. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,menjerit seolah-olah
perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,pucat, keluar keringat dingin sampai
kolaps.
b. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
c. Muntah-muntah karena rangsangan peritoneum
d. Syok nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak teratur
e. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tidak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian
terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir.
f.  kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ketungkai bawah dan dibahu.
g. Kontraksi uterus biasanya hilang.
h. Mula-mula terdapat defans muskuler kemudian perut menjadi kembung dan meteoristis
(paralisis khusus).
2) Palpasi
a. Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan.
b. Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari PAP.

8
c. Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada dirongga perut, makateraba bagian-
bagian janin langsung dibawah kulit perut, dan di sampingnya kadang-kadang teraba uterus
sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
d. Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek 
3) Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit setelah rupture,
apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk kerongga perut.

4) Pemeriksaan dalam
a. Kepala janin yang  tadinya sudah  jauh turun  kebawah, dengan mudah dapat didorong  keatas, dan ini
disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak.
b. Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan kalau jari
atau tangan kita dapat melalui robekan tadi maka dapat diraba usus,omentum dan bagian-
bagian janin
5) Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
6) Catatan
 Gejala ruptur uteri inkompleta tidak sehebat kompleta
 Ruptur uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus yang biasanya tidak didahului oleh
ruptur uteri mengancam.

2.7 Komplikasi
1. Gawat janin
2. Syok hipovolemik
Terjadi kerena  perdarahan yang hebat dan  pasien tidak segera mendapat infus
cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu cepat digantikan dengan
tranfusi darah. 
3. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri telah
terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk
periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera

9
memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis
yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah.  
4. Kecacatan dan morbiditas.
a. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum punya anak hidup
akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam.
b. Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi
sosial yang sulit mengatasinya.

2.8 Penatalaksanaan atau Penanganan


Ditinjau dari patofisiologi ruptur uteri apakah terjadi dalam masa kehamilan atau
persalinan, apakah terjadi pada rahim yang utuh atau pada rahim yang cacat, dsb. Tinjauan
tersebut bisa mempengaruhi pilihan operasi, apakah dilakukan histerektomi atau histerorafia.
Tinjauan tersebut terdiri dari berbagai aspek, yaitu :
1. Aspek anatomi
Berdasarkan lapisan dinding rahim yang terkena ruptur uteri (ruptur uteri inkomplit dan
komplit)
2. Aspek sebab
Berdasarkan penyebab terjadinya robekan pada rahim (ruptur uteri spontan, ruptur uteri
violenta, ruptur uteri traumatika).
3. Aspek keutuhan rahim
Ruptur uteri dapat terjadi pada rahim yang masih utuh, tetapi bisa terjadi pada uterus yang
cacat misalnya pada parut bekas bedah sesar atau parut jahitan ruptur uteri yang pernah terjadi
sebelumnya (histerorafia), miomektomi yang dalam sampai ke rongga rahim, akibat kerokan
yang terlalu dalam, reaksi kornu atau bagian interstisial dari rahim, metroplasti, rahim yang
rapuh akibat tealh banyak meregang misalnya pada grandemultipara, pernah hidramnion, hamil
ganda, uterus yang kurang berkembang kemudian menjadi hamil.
4. Aspek waktu
Yang dimaksud adalah dalam masa hamil atau pada waktu bersalin. Ruptur uteri dapat
terjadi dalam masa kehamilan misalnya karena trauma atau pada rahim yang cacat, sering pada
bekas bedah sesar klasik. Kebanyakan ruptur terjadi dalam masa persalinan kala I dan kala II dan
pada partus percobaan bekas seksio sesarea, terlebih pada kasus yang hisnya diperkuat dengan
oksitosin atau prostaglandin dan yang sejenisnya.

10
5. Aspek sifat
Rahim robek bisa tanpa menimbulkan gejala yang jelas (silent) seperi pada parut bedah
sesar klasik dalam masa hamil tua. Parut itu merekah sedikit demi sedikit (dehiscence) dan pada
akhirnya robek tanpa menimbulkan perdarahan yang banyak dan rasa nyeri yang
tegas.sebaliknya, kebanyakan ruptur uteri terjadi dalam waktu yang cepat dengan tanda-tanda
serta gejala-gejala yang jelas (overt) dan akut, misalnya ruptur uteri yang terjadi dalam kala I dan
kala II akibat dorongan atau picuan oksitosin. Kantong kehamilan ikut robek dan janin terdorong
masuk ke dalam rongga peritoneum. Terjadi perdarahan internal yang banyak dan perempuan
besalin tersebut merasa sangat nyeri sampai syok. 

6. Aspek paritas
Ruptur uteri dapat terjadi pada perempuan yang baru pertama kali hamil (nulipara)
sehingga sedapat mungkin diusahakan histerorafia apabila lukanya rata dan tidak da infeksi.
Terhadap ruptur uteri pada multipara pada umumnya lebih baik dilakukan histerektomi atau jika
keadaan umumnya jelek dan luka robekan pada uterus tidak luas dan tidak compang-camping,
robekan pada uterus dijahit kembali (histerorafia) dilanjutkan dengan tubektomi. 
7. Aspek gradasi
Kecuali akibat kecelakan, ruptur uteri tidak terjadi mendadak. Peristiwa robekan yang yang
umumnya terjadi pada segmen bawah rahim didahului oleh his yang kuat tanpa kemajuan
dalam  persalinan sehingga batas antara korpus dan SBR yaitu lingkaran retraksi yang fisiologik
naik bertambah tinggi menjadi lingkaran bandel yang patologik, sementara ibu yang melahirkan
itu sangat merasa cemas dan ketakutan oleh karena menahan nyeri his yang kuat. Pada saat ini
penderita berada dalam stadium ruptur uteri imminens (membakat). Apabila keadaan yang
demikian berlanjut dan tidak terjadi atonia uteri sekunder, maka pada gilirannya dinding SBR
yang sudah sangat tipis itu robek. Peristiwa ini disebut ruptur uteri spontan.

Penanganan Oleh Bidan


1. Observasi persalinan : memastikan tanda dan gejala klinis
2. Merujjuk penderita saat ruptur uteri
3. Lakukan persiapan rujukan
 Berikan infus-cairan

11
 Berikan antibiotic dan antipiretik
 Ikut menemani pasien ke tempat rujukan

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ruptur Uteri merupakan suatu robekan atau diskontinuita dinding rahim akibat
dilampauinya daya regang miomentrium. ( buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal
dan neonatal ) dimana yang menjadi penyebabnya adalah riwayat pembedahan terhadap fundus
atau korpus uterus, induksi dengan oksitosin yang sembarangan atau persalinan yang lama serta
presentasi abnormal ( terutama terjadi penipisan pada segmen bawah uterus ) ( Helen, 2001 )
dengan Tanda dan gejala ruptur uteri dapat terjadi secara dramatis atau tenang.
Ruptur uteri dapat dibagi menurut beberapa cara yaitu : Menurut waktu terjadinya, Menurut
lokasinya, Menurut robeknya peritoneum, Menurut etiologinya, dan Menurut simtoma klinik

3.2 Saran

Diharapkan kepada akademi agar dapat lebih memperbanyak buku-buku yang dapat
menunjang perkuliahan, khususnya mata kuliah Keperawatan Maternitas  dan mata kuliah
lainnya.
Untuk Mahasiswa dapat membaca dan memberikan masukan tentang makalah ini serta
dapat mempergunakan makalah ini sebagai bahan penunjang materi pembelajaran.
Untuk pembaca agar dapat membaca makalah dan menggunakan makalah ini sebagai
bahan bacaan yang bermanfaat bagi si pembaca dan juga yang lainnya.

13
Daftar Pustaka

Fraser, Margareth A. Cooper. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Jakarta: EGC


Johnson, Ruth. 2005, Buku Ajar Praktik Kebidanan, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG
Rohani, SST, dkk. 2011. Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta: Salemba medika.
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Wirakusumah, Firman F.dkk. 2011, Obstetri Fisiologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG

14

Anda mungkin juga menyukai