KONSEP MEDIS
A. RUPTUR UTERI
1. Definisi
Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim
akibat dilampauinya daya regang miometrium. Bisa terjadi pada saat
kehamilan atau dalam persalinan dengan atau tanpa robeknya
perioneum visceral (Triana,2015).
Ruptur uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus
dan rongga peritonium dapat berhubungan. Ruptur uteri merupakan
salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan
persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan
pembekuan darah (Simpson,2008).
2. Etiologi
Ruptur uteri mungkin merupakan bencana bagi wanita dan janin,
berhubungan dengan pecahnya bekas luka rahim dari operasi rahim
sebelumnya, hiperstimulasi, trauma atau kejadian yang jarang yaitu
ruptur spontan rahim. Ruptur uterus paling sering terjadi pada wanita
dengan sayatan uterus sebelumnya melalui miometrium dan biasanya
terjadi selama persalinan, meskipun hal itu dapat terjadi pada periode
antepartum. Hiperstimulasi atau hipertonus rahim oleh pemberian
oksitosin atau prostaglandin dapat menyebabkan ruptur uterus bahkan
pada rahim yang tidak terbuka. Trauma invasif atau tumpul, terlihat
pada wanita setelah kecelakaan, jatuh, atau dengan luka pisau atau luka
tembak, merupakan penyebab tambahan ruptur rahim. Ruptur uterus
juga bisa terjadi secara spontan tanpa riwayat operasi rahim atau
penghentian kehamilan (Simpson, 2008).
Faktor yang berhubungan dengan ruptur uterus :
a. Persalinan yang terhambat
Persalinan terhambat tetap menjadi penyebab utama pecahnya
rahim, biasanya terjadi pada pasien multiparasi dengan janin
makrosomik atau abnormal atau saat malpresensi terjadi.
b. Operasi rahim sebelumnya
Risiko ruptur uteri pada pasien yang sedang dalam percobaan
persalinan normal setelah operasi caesar sebelumnya secara
signifikan lebih tinggi ketika PGE2 vagina digunakan.
c. Tindakan intervensi
Pecahnya uterus sering dikaitkan dengan intervensi kebidanan.
Ini termasuk penggunaan obat uterotonik untuk induksi atau
augmentasi persalinan, Persalinan foreceps midcavity, atau
ekstraksi sungsang dengan versi podalic internal. Kerja paksa
dengan adanya disproporsi, malpresentasi, atau maloskopi nekrosis
juga dapat menyebabkan ruptur uterus.
d. Trauma abdomen tumpul atau tembus
Trauma eksternal dapat menyebabkan ruptur uterus pada
kehamilan. Grand multiparity juga meningkatkan risikonya.
e. Riwayat sering melahirkan
f. Riwayat abortus sebelumnya
g. Tekanan kuat pada rahim saat melahirkan
Faktor Predisposisi
a. Multiparitas/grandemultipara
b. Pemakaian oksitosin untuk induksi atau stimulasi persalinan yang
tidak tepat.
c. Kelainan letak dan implantasi plasenta misalnya pada plasenta
akreta, plasenta inkreta/plasenta perkreta.
d. Kelainan bentuk uterus misalnya uterus bikornis.
e. Hidramnion
3. Patofisiologi
Sudah diketahui bahwa risiko ruptur rahim meningkat dengan
penggunaan prostaglandin untuk induksi persalinan. Namun,
patofisiologi yang tepat tidak sepenuhnya jelas. Meskipun salah satu
faktor penyebabnya adalah meningkatnya kontraktilitas rahim,
diyakini bahwa ada juga beberapa perubahan biokimia di dalam
komponen kolagen dari jaringan parut. Hal ini diilustrasikan dengan
pengamatan bahwa wanita yang diobati dengan prostaglandin lebih
mungkin mengalami ruptur di tempat bekas luka lama, sedangkan
wanita yang diobati dengan oksitosin mengalami ruptur uterus pada
tempat yang jauh dari bekas luka yang lama. Prostaglandin dapat
menyebabkan perubahan kolagen dan glycosaminoglycans dari bekas
luka rahim, yang merupakan predisposisi peningkatan kejadian ruptur
(Arulkumaran, 2016).
4. Manifestasi Klinis
Biasanya ruptur uteri di dahului oleh his yang kuat dan terus
menerus, rasa nyeri yang berat di perut bagian bawah dan nyeri waktu
ditekan, gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernapasan cepat,
cincin van bandl meninggi. Cincin Van Bandl (Van Bandl Ring) dapat
terjadi saat persalinan Kala II apabila bagian terbawah tidak
mengalami kemajuan sementara segmen atas rahim terus berkontraksi
dan makin menebal, maka segmen bawah rahim makin tertarik ke atas
dan menjadi tipis sehingga batas antara segmen bawah rahim dan
segmen atas rahim akan naik ke atas. Apabila batas tersebut sudah
melampaui pertengahan antara pusat dan simfisis maka menjadi
lingkaran retraksi patologis (Bandl Ring). Apabila persalinan tetap
tidak ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama makin teregang
sehingga akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini
melampaui batas kekuatan jaringan miomentrium sehingga terjadilah
ruptur uteri (Albar, 2007).
Setelah terjadi ruptur uteri dijumpai gejala-gejala syok,
perdarahan (bisa keluar melalui vagina ataupun kedalam rongga
perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernapasan cepat dan dangkal,
tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian- bagian janin dapat
diraba langsung di bawah dinding perut, ada nyeri tekan, dan di perut
bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya
janin sudah meninggi. Jika kejadian ruptur uteri telah lama terjadi,
akan timbul gejala-gejala meteorismus dan defence musculare
sehingga sulit untuk dapat meraba bagian janin (Triana, 2015).
5. Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
a. Ruptur Uteri Gravidarum
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
b. Ruptur Uteri Durante Partum
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR.
Jenis inilah yang terbanyak.
Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
a. Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami
operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
b. Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju).
SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah
ruptur uteri.
c. Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau
versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
d. Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan:
a. Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya
(perimetrium), sehingga terdapat hubungan langsung antara
rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya peritonitis.
b. Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek.
Perdarahan terjadi subperitoneal dan bisa meluas sampai ke
ligamentum latum.
Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi :
a. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat, misalnya pada bekas
SC miomektomi, perforasi waktu kuretase, histerorafia, pelepasan
plasenta secara manual. Dapat juga pada graviditas pada kornu
yang rudimenter dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital
dari uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit
pada rahim, misalnya mola destruens, adenomiosis dan lain-lain
atau pada gemelli dan hidramnion dimana dinding rahim tipis dan
regang.
b. Karena peregangan yang luar biasa dari rahim, misalnya pada
panggul sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti
janin penderita DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan
grandemultipara. Juga dapat karena kelainan kongenital dari janin
: Hidrosefalus, monstrum, torakofagus, anensefalus dan shoulder
dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan presentasi
rangkap; atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang
ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor
pada jalan lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis, hanging
cervix, retrofleksia uteri gravida dengan sakulasi;
grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau juga
pimpinan partus yang salah.
c. Ruptur Uteri Violenta (Traumatika) karena tindakan dan trauma
lain seperti kuretase,trauma tumpul dan tajam dari luar.
Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:
a. Ruptur Uteri Iminens (mengancam)
b. Ruptur Uteri sebenarnya.
6. Komplikasi
a. Gawat janin
b. Syok hipovolemik
c. Terjadi kerena perdarahan yang hebat dan pasien tidak segera
mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya
dalam waktu cepat digantikan dengan tranfusi darah.
d. Sepsis
Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur
uteri telah terjadi sebelum tiba di Rumah Sakit dan telah
mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang
berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera
memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien
akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca
bedah.
e. Kecacatan dan morbiditas.
f. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus belum
punya anak hidup akan meninggalkan sisa trauma psikologis yang
berat dan mendalam.
g. Kematian maternal /perinatal yang menimpa sebuah keluarga
merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya
(Prawirohardjo, 2017).
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Umum. Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi
dari kehilangan darah akut, biasanya perdarahan eksterna dan
perdarahan intra abdomen
b. Pemeriksaan Abdomen. Sewaktu persalinan, kontur uterus yang
abnormal atau perubahan kontur uterus yang tiba-tiba dapat
menunjukkan adanya ekstrusi janin. Fundus uteri dapat
terkontraksi dan erat dengan bagian-bagian janin yang terpalpasi
dekat dinding abdomen diatas fundus yang berkontraksi. Kontraksi
uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin
tiba-tiba menghilang. Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen
sering sangat lunak, disertai dengan nyeri lepas mengindikasikan
adanya perdarahan intraperitoneum
c. Pemeriksaan Pelvis. Menjelang kelahiran, bagian presentasi
mengalami regresi dan tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila
janin telah mengalami ekstrusi ke dalam rongga peritoneum.
Perdarahan pervaginam mungkin hebat.
d. Laparoscopy : untuk menyikapi adanya endometriosis atau
kelainan bentuk panggul / pelvis.
e. Pemeriksaan laboratorium : HB dan hematokrit untuk mengetahui
batas darah HB dan nilai hematikrit untuk menjelaskan banyaknya
kehilangan darah. HB < 7 g/dl atau hematokrit < 20% dinyatakan
anemia berat.
f. Urinalisis : hematuria menunjukan adanya perlukaan kandung
kemih (Supriyadi, 1994)
8. Penatalaksanaan
Tindakan pertama adalah memberantas syok, memperbaiki
keadaan umum klien dengan pemberian infus cairan dan transfusi
darah, kardiotinika, antibiotika, dsb. Bila keadaan umum mulai baik,
tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan tindakan
jenis operasi:
a. Histerektomi baik total maupun sub total
b. Histerorafia, yaitu luka di eksidir pinggirnya lalu dijahit sebaik-
baiknya
c. Konservatif: hanya dengan temponad dan pemberian antibiotika
yang cukup
Tindakan yang akan dipilih tergantung pada beberapa faktor,
diantaranya adalah:
a. Keadaan umum pasien
b. Jenis ruptur incompleta atau completa
c. Jenis luka robekan : jelek, terlalu lebar, agak lama, pinggit tidak
rata dan sudah banyak nekrosis
d. Tempat luka: serviks, korpus, segmen bawah rahim
e. Perdarahan dari luka: sedikit, banyak
f. Umur dan jumlah anak yang hidup
g. Kemampuan dan ketrampilan penolong
9. Pencegahan
Uterus normal dan utuh memiliki resiko mengalami ruptura uteri
paling kecil (0.013% atau 1:7449 kehamilan).
Pencegahan rupture uteri yaitu dengan:
a. Penilaian klinis yang baik, yang mencakup observasi dan rujukan
secukupnya sesuai kebutuhan.
Mencegah ruptur uterus dimulai dengan mendeteksi dan
mendiagnosis faktor risiko pada ibu. Begitu petugas medis
mendiagnosis faktor risiko pecahnya rahim, mereka dapat
melakukan tindakan pencegahan dengan seksama.
1) Disparitas Cephalopelvic (CPD): Anjurkan untuk melakukan
persalinan di rumah sakit.
2) Grand multipara: Menganjurkan untuk menjaga jarak
kehamilan.
3) Penggunaan pitocin yang tidak terkontrol (oksitosin):
Penyalahgunaan Pitocin (oksitosin) adalah penyebab utama
pecahnya rahim yang tidak terngawat. Oksitosin dapat
menyebabkan kontraksi menjadi terlalu kuat dan terlalu sering,
yang menyebabkan banyak ketegangan pada rahim. Maka
jangan memberikan oksitosin sebelum janin lahir.
4) Pelepasan plasenta: Inilah saat lapisan plasenta terlepas dari
rahim. Hal ini dapat menyebabkan bayi menjadi terputus
sebagian atau seluruhnya dari sirkulasi ibu.
5) Malpresentation: Ini adalah saat bayi tidak berada dalam posisi
normal terlebih dahulu sebelum melahirkan dimulai.
Malpresentations meliputi presentasi alis, presentasi wajah,
presentasi sungsang dan presentasi bahu. Maka coba lakukan
reposisi.
6) Operatif: Dengan menggunakan perangkat melahirkan, seperti
forceps atau versi internal, dapat menyebabkan ruptur uterus.
Versi internal adalah saat dokter memasukkan tangan ke dalam
rahim dan menggenggam bayi dengan satu atau kedua kakinya
untuk mengubahnya.
7) Uterus cacat karena miomektomi, curetage, manual uri, maka
dianjurkan bersalin dirumah sakit dengan pengawasan yang
teliti
8) Rupture uteri di kelahiran sebelumnya. Tindakan yang dapat
dilakukan adalah mengatasi syok, memperbaiki keadaan umum
penderita dengan pemberian infus cairan dan tranfusi darah,
kardiotonika, antibiotika. Bila keadaan umum mulai baik,
tindakan selanjutnya adalah melakukan laparatomi dengan
tindakan jenis operasi.
b. Kepercayaan terhadap hal yang normal bukan patologi kelahiran
yang diberikan pada wanita melahirkan.
c. Dukungan terhadap gaya hidup sehat dan gizi yang baik.
Memperhatikan nutrisi wanita pada masa prenatal dapat
mengurangi kemungkinan adanya kondisi buruk yang mungkin
timbul saat melahirkan atau pascapersalinan. Misalnya, sayuran
berdaun hijau direkomendasikan untuk kandungan mineral dan
vitaminnya yang tinggi, termasuk vitamin K. Vitamin K, tentu saja
merupakan komponen penting dari kemampuan pembekuan darah
dan membantu mengurangi kehilangan darah saat lahir. Nutrisi
juga mempengaruhi faktor risiko lain untuk fetal macrosomia dan
diabetes mellitus gestasional (GDM). Seorang wanita dengan
GDM lebih cenderung menjalani operasi caesar karena
kekhawatiran akan ukuran bayi. Dengan mengkonsumsi lebih
banyak sayuran dan buah segar, mengurangi asupan karbohidrat
olahan dan berolahraga lebih banyak, seorang wanita akan
cenderung memiliki gula darah yang lebih baik.
d. Pendidikan klien dan pilihan informasi.
Pendidikan dan keterlibatan ibu mempengaruhi peluang ruptur
uteri. Pada saat kelahiran atau pada hari-hari menjelang itu, bayi
dapat berada dalam posisi yang dapat menyebabkan kerja lebih
lama atau lebih sulit. Dengan mengenali ketidaknyamanan dan rasa
sakit di tubuhnya sendiri dan dengan melakukan latihan tertentu
atau perawatan lain yang membantu reposisi bayi, ibu mengurangi
kemungkinan terjadinya sesar atau ruptur uterus. Dalam semua
kasus ini, ibu aktif dalam membuat pilihannya dan mempengaruhi
hasilnya.
Selain masalah diatas, kriteria pasien dengan resiko tinggi ruptura
uteri adalah:
a. Persalinan dengan SC lebih dari satu kali
b. Riwayat SC classic (midline uterine incision)
c. Riwayat SC dengan jenis “low vertical incision “
d. LSCS (lower segment cesarean section) dengan jahitan uterus
satu lapis
e. SC dilakukan kurang dari 2 tahun
f. LSCS (lower segment cesarean section) pada uterus dengan
kelainan kongenital
g. Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan per vaginam
h. Induksi atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC
i. Riwayat SC dengan janin makrosomia
j. Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotomi
Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas akan memiliki resiko 200 kali
lebih besar dibandingkan ibu hamil umumnya.
Maka dapat dikatakan lebih sedikit operasi caesar, lebih baik.
Kelahiran sesar adalah melahirkan bayi melalui insisi (pemotongan
bedah) yang dibuat di dinding perut dan melalui rahim, bukan melalui
vagina ini berarti terdapat risiko yang ditimbulkan oleh operasi besar
lainnya, seperti infeksi atau komplikasi dari anestesi (pembiusan).
Kelahiran normal setelah sesar mempunyai resiko komplikasi
seperti ruptur uterus (pecah rahim), infeksi lapisan rahim, kekurangan
oksigen ke otak bayi, dan kematian bayi. Namun penelitian
membuktikan angka kejadian komplikasi ini sangatlah kecil. Ruptur
uterus terjadi ketika luka di otot rahim akan terbuka. Pecahnya rahim
dapat mengakibatkan sebagian atau seluruh dari bayi dan plasenta
mungkin meninggalkan rahim, yang dapat menyebabkan kelainan
denyut jantung janin dan bahkan kematian janin. Penggunaan obat-
obatan untuk mempercepat proses kelahiran, justru dapat
meningkatkan resiko rupture uterus ini. Apabila parah, dapat
mengakibatkan perdarahan berat, yang dapat membahayakan jiwa ibu
dan bayi. Dalam beberapa kasus, perdarahan mungkin begitu parah
sehingga histerektomi perlu dilakukan.
Kontrol kehamilan yang baik, kemajuan teknologi, dan obat-
obatan menurunkan resiko-resiko yang dapat terjadi saat
VBAC/TOLAC. Riset terbaru membuktikan kalau VBAC (vaginal
birth after cesarean) tidak menaikkan resiko pendarahan paska
kelahiran, sobekan vagina, atau komplikasi pada bayi. Pendapat ini
didukung juga oleh ACOG, asosiasi obstetrik dan ginekologi dari
Amerika. Kerusakan otak atau kematian bayi karena VBAC terjadi
pada 1 dari 2000 kelahiran. Semua resiko sama besarnya dengan ibu
yang melahirkan normal sebelumnya. Ketakutan akan ruptur uterus
terjadi pada masa lalu, sebab pada jaman dahulu insisi yang digunakan
adalah secara vertikal. Saat ini insisi sesar dilakukan secara melintang
dan letak nya rendah, sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi
rahim adalah rendah.
Risiko infeksi dan komplikasi bedah lainnya tampaknya lebih
besar pada wanita yang menjalani ulang kelahiran sesar dibandingkan
dengan mereka yang sukses dengan kelahiran vagina setelah bedah
sesar. Mengulangi kelahiran sesar dapat mempersulit kehamilan
berikutnya. Terkadang dapat menyebabkan penempelan plasenta pada
leher rahim, sehingga mengganggu proses kelahiran. Sesar
sebelumnya juga meningkatkan kemungkinan bahwa plasenta akan
tumbuh ke dalam dinding rahim, menyebabkan kesulitan pelepasan
plasenta setelah melahirkan. Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan
berat selama kelahiran, dan dapat memerlukan operasi pengangkatan
rahim.
Keputusan untuk mencoba kelahiran normal, atau mengulang
sesar haruslah diputuskan secara hati-hati oleh sang calon ibu dan
sang dokter. Segala macam resiko perlu dipertimbangkan matang-
matang. VBAC dapat dipertimbangkan oleh ibu karena:
a. Lebih sedikit komplikasi (infeksi dan kehilangan darah)
b. Energi dan stamina lebih cepat pulih kembali
c. Inisiasi menyusui dini pada bayi dapat dilakukan
d. Memberi efek positif dan lebih mudah untuk kelahiran berikutnya
a . Tidak ada indikasi seksio sesar pada kehamilan saat ini seperti
janin lintang,sungsang, bayi besar, plasenta previa.
b. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio se
sar sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama
perawatan).
c. Pasien sesegera mungkin untuk dirawat di RS setelah terdapat
tanda-tanda persalinan.
d. Tersedia darah untuk transfusi.
e. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun
risikonya
f. Usia kehamilan cukup bulan (37 minggu – 41 minggu).
g. Presentasi belakang kepala (verteks) dan tunggal
h. Ketuban masih utuh atau sudah pecah tak lebih dari enam jam
i. Tidak ada tanda-tanda infeksi
j. Janin dalam keadaan sejahtera dengan pemeriksaan Doppler atau
NST.
a. Kehamilan post-term
b. Bayi yang besar
c. Sudah pernah menjalani operasi sesar lebih dari 1x
d. Obesitas
1) Usia maternal
Ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun
sampai 35 tahun. Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas
35 tahun digolongkan berisiko tinggi. Dari penelitian yang
didapat wanita yang berumur lebih dari 35 tahun memiliki
angka seksio sesar yang lebih tinggi. Wanita yang berumur
lebih dari 40 tahun dengan bekas seksio sesar memiliki risiko
kegagalan untuk persalinan pervaginam lebih besar tiga kali
dari pada wanita yang berumur kurang dari 40 tahun (Caughey
AB & Mann S, 2001).
2) Riwayat persalinan pervaginam
Selamat ulang tahun persalinan pervaginam baik sebelum
dan sesudah seksi VBAC (Cunningham FG, 2001). Pasien
dengan bekas seksio sesar yang pernah menjalani persalinan
pervaginam memiliki angka keberhasilan persalinan
pervaginam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
tanpa persalinan pervaginam (Caughey AB & Mann S, 2001).
Menurut Benedetti TJ (1982) dalam Toth PP (1996), pada
pasien bekas seksio sesar yang terakhirnya pernah berhasil
dengan persalinan pervaginam, makin berkurang kemungkinan
ruptur uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan datang.
3) Keadaan serviks saat partus
Penipisan serviks dan dilatasi serviks mencapai
keberhasilan VBAC (Flamm BL, 1997). Menurut Guleria dan
Dhall (1997) menyatakan adanya laju dilatasi seviks berkelahi
dengan keberhasilan VBAC. Dari 100 pasien bekas seksio sesar
segmen bawah rahim didapat 84% berhasil persalinan
pervaginamakang sisanya seksio sesar darurat. Gambaran laju
dilatasi serviks pada bekas seksio sesar yang berhasil
pervaginam pada fase laten rata-rata 0,88 cm / jam manakala
fase aktif 1,25 cm / jam. Harga diri rata-rata 0,44 cm / jam dan
fase aktif adalah 0,42 cm / jam.
4) Keadaan selaput ketuban
Menurut Carrol (1990) dalam Miller (1994) melaporkan
pasien dengan ketuban pecah dini pada usia kehamilan diatas
37 minggu dengan bekas seksio sesar (56 kasus) proses
persalinannya dapat pervaginam dengan menunggu lahir
inpartu spontan dan didapat angka keberhasilan yang tinggi
yaitu 91% dengan g Induksi persalinan dengan oksitosin,
dengan rata-rata lama waktu antara ketuban pecah dini sampai
sakit persalinan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi
baik.
Pathway
Korpus uteri
kontraksi saat HIS Janin terlalu besar Lingkaran retraksi
fisiologis semakin
Dinding korpus uteri
SBR tertarik ke atas meninggi
menebal
Ruptur Uteri
Jalan masuk
kuman/bakteri MK : Resiko Tinggi
Kurangnya pengetahuan
mengenai penyebab Syok Hipovolemik
penyakit MK : Resiko
Tinggi Infeksi Mempengaruhi
MK :Ansietas kondisi janin
b. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan leher
- Rambut: tidak rontok, kulit kepala bersih tidak ada ketombe
- Mata: konjungtiva anemis
- Wajah: adanya kloasma
b. Thorak
- Inspeksi frekuensi nafas dangkal dan cepat
- Tidak ada nyeri dada, irama jantung normal
- Payudara: simetris, tidak ada nyeri tekan.
c. Abdomen
- Inspeksi: adanya striae
- Palpasi: HIS, nyeri tekan pada perut, janin tunggal, kepala
masuk PAP
- Auskultasi: DJJ (+) tidak teratur
d. Genitalia
- Keluar darah
- VT : pembukaan berapa
e. Ekstremitas
- Edema, varises
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemi
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan
3. Resiko gangguan maternal-fetal dyad berhubungan dengan komplikasi
kehamilan
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (terputusnya
kontinuitas jaringan dan syaraf pada dinding uterus)
Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Intervensi
KONSEP MEDIS
A. Hemorrhage Post Partum
1. Definisi
Faktor Predisposisi
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
b. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan
peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak
hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak
hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak
hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
c. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca
partum
d. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
e. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen
: masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial
(APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
f. Pemeriksaan USG : untuk menentukan adanya sisa jaringan
konsepsi intrauterin
g. Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan
(Manuaba, 2007)
7. Penatalaksanaan
a. Atonia Uteri
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah
melakukan penanganan kala tiga secara aktif, yaitu:
1) Menyuntikan Oksitosin
Memeriksa fundus uteri untuk memastikan
kehamilan tunggal.
Menyuntikan Oksitosin 10 IV secara
intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3
atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu
untuk memastikan bahwa ujung jarum tidak
mengenai pembuluh darah.
2) Peregangan Tali Pusat Terkendali
Memindahkan klem pada tali pusat hingga
berjarak 5-10 cm dari vulva atau menggulung tali
pusat.
Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan
bagian bawah uterus, sementara tangan kanan
memegang tali pusat menggunakan klem atau kain
kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva.
Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat
dengan tangan kanan sementara tangan kiri
menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorso-
kranial.
3) Mengeluarkan plasenta
Jika dengan penegangan tali pusat terkendali tali
pusat terlihat bertambah panjangdan terasa
adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk
meneran sedikit sementara tangan kanan menarik
tali pusat ke arah bahwa kemudian ke atas sesuai
dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak
pada vulva.
Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta
belum lahir, pindahkan kembali klem hingga
berjarak ± 5-10 dari vulva.
Bila plasenta belum lepas setelah mencoba
langkah tersebut selama 15 menit.
Suntikan ulang 10 IU Oksitosin i.m – Periksa
kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh.
Tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan
tindakan plasenta manual
4) Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan
plasenta dengan hati-hati. Bila terasa ada tahanan,
penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan
sabar untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
5) Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase
pada fundus uteri denganmenggosok fundus secara
sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan
kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras)
6) Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan pasca
persalinan
7) Kelengkapan plasenta dan ketuban
8) Kontraksi uterus
9) Perlukaan jalan lahir
b. Retensio Plasenta dengan separasi Parsial
1) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan
dengan tindakan yang akan diambil
2) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan,
bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali
pusat
3) Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan
tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan
misoprotol 400 mg per rektal
4) Bila traksi terkontrol gagal melhirkan plasenta, lakukan
manual plasenta secara hati-hati dan halus
5) Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia
6) Lakukan transfusi darah bila diperlukan
7) Berikan antibiotik profilaksis (ampicilin 2 gr IV per oral
+ metronidazole 1 g supp/oral).
c. Plasenta Inkaserata
1) Tentukan diagnosis kerja
2) Siapkan alat dan bahan untuk menghilangkan konstriksi
serviks yang kuat
3) Siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan
konstriksi serviks yang kuat
4) Siapkan infus oksitosin 20 untuk 500 NS atau RL untuk
mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin
timbul
5) Bila bahan anastesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup
untuk melahirkan plasenta
6) Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta
tampak jelas
7) Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4, dan 8 dan
lepaskan spekulum
8) Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat, dan plasenta
tampak jelas
9) Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta
disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta
asisten untuk memegang klem tersebut
10) Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
11) Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah
jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan
d. Ruptur Uteri
1) Berikan segera cairan isotonic(ringer lakta atau garam
fisiologi) 500ml dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomy.
2) Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta.
3) Bila konservasi uterus masih di perlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan,lakukan reparasi uterus.
4) Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkawatirkan lakukan histerektomi.
5) Lakukan bilasan peritoneal dan pasang drai dari kavum
abdomen.
6) Anti biotik dan serum anti tetanus.
7) Bila terdapat tanda-tanda infeksi (demam, mengigil, darah
bercampur cairan ketuban berbau, hasil apusan atau biakan
darah). segera berikan anti biotika sefektrum luas Bila
terdapat tanda- tanda trauma alat genetalia atau luka yang
kotor,tanyakan saat terakir mendapat tetanus toksoid.Bila
hasil anamnesis tidak dapat memastikan perlindungan
terhadap tetanus,berikan serum anti tetanus 1500 IU/IM dan
TT 0,5 m IM.
e. Sisa Plasenta
1) Penemuan secara dini, mengecek kelengkapan plasenta
setelah dilahirkan
2) Beri antibiotika karena memungkinkan ada endometriosis
3) Lakukan eksplorasi digital atau bila serviks terbuka dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya
dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuret
4) Hbv 8gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus
600mg per hari selama 10 hari
f. Ruptur Peritonium dan Robekan Dinding Vagina
1) Lakukan eksplorasi untuk megidentifikasi lokasi laserasi dan
sumber perdarahan
2) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan
antiseptik
3) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat
dengan benang yang dapat diserap
4) Lakukan penjahitan luka dari bagian paling distal
5) Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan
lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum
6) Berikan jahitan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan
antibiotika untuk terapi
g. Robekan Serviks
1) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi
terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral
bawah kiri dan kanan porsio
2) Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek
sehingga perdarahan dapat segera dihentikan
3) Setelah tindakan, periksa tanda-tanda vital, kontraksi uterus,
tinggi fundus uteri, dan perdarahan pasca tindakan
4) Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui
tanda-tanda infeksi
5) Bila terjadi defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb
dibawah 8gr% berikan transfusi darah
8. Pencegahan
a. Antenatal Care
Penanganan terbaik perdarahan postpartum adalah
pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga
pada kasus-kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah
penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu
bersalin, namun sudah dimulai sejak wanita hamil dengan
antenatal care yang baik. Pengawasan antenatal memberikan
manfaat dengan ditemukannya berbagai kelainan secara dini,
sehingga dapat diperhitungkan dan dipersiapkan langkah-langkah
dalam pertolongan persalinannya. Kunjungan pelayanan antenatal
bagi ibu hamil paling sedikit 4 kali kunjungan dengan distribusi
sekali pada trimester I, sekali trimester II, dan dua kali pada
trimester III.
Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan
dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang
sudah anemia. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan
yang banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta.
Apabila sebelumnya penderita sudah mengalami perdarahan
postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Di
rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil
mengawasi persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan
obat-obatan penguat rahim (uterus tonikum). Setelah ketuban
pecah kepala janin mulai membuka vulva, infus dipasang dan
sewaktu bayi lahir diberikan ampul methergin atau kombinasi 5
satuan sintosinon (sintometrin intravena) (Mochtar, 1995).
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah
sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin
sangat penting untuk mencegah perdarahan postpartum. Sepuluh
satuan oksitosin diberikan intramuskulus segera setelah anak lahir
untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir
hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin intramuskulus. Kadang-
kadang pemberian ergometrin, setelah bahu depan bayi lahir
dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat dikeluarkan
dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu
kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir
adalah kemungkinan terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi
kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya
(Wiknjosastro, 2005).
Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir dua hal
harus dilakukan, yakni menghentikan perdarahan secepat
mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Setelah plasenta lahir
perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia
uteri atau karena perlukaan jalan lahir. Jika plasenta belum lahir
(retensio plasenta), segera dilakukan tindakan untuk
mengeluarkannya (Wiknjosastro, 2005).
b. Manajemen Aktif Kala III
Manajemen aktif persalinan kala III terdiri atas intervensi
yang direncanakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan
meningkatkan kontraksi rahim dan untuk mencegah perdarahan
pasca persalinan dengan menghindari atonia uteri, komponennya
adalah (Shane, 2002) :
1) Memberikan obat uterotonika (untuk kontraksi rahim) dalam
waktu dua menit setelah kelahiran bayi
Penyuntikan obat uterotonika segera setelah melahirkan
bayi adalah salah satu intervensi paling penting yang
digunakan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan.
Obat uterotonika yang paling umum digunakan adalah
oxytocin yang terbukti sangat efektif dalam mengurangi
kasus perdarahan pasca persalinan dan persalinan lama.
Syntometrine (campuran ergometrine dan oxytocin) ternyata
lebih efektif dari oxytocin saja. Namun, syntometrine
dikaitkan dengan lebih banyak efek samping seperti sakit
kepala, mual, muntah, dan tekanan darah tinggi.
Prostaglandin juga efektif untuk mengendalikan perdarahan,
tetapi secara umum lebih mahal dan memiliki bebagai efek
samping termasuk diarrhea, muntah dan sakit perut.
2) Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan
Pada manajemen aktif persalinan kala III, tali pusat
segera dijepit dan dipotong setelah persalinan, untuk
memungkinkan intervensi manajemen aktif lain. Penjepitan
segera dapat mengurangi jumlah darah plasenta yang
dialirkan pada bayi yang baru lahir. Diperkirakan penjepitan
tali pusat secara dini dapat mencegah 20% sampai 50% darah
janin mengalir dari plasenta ke bayi. Berkurangnya aliran
darah mengakibatkan tingkat hematokrit dan hemoglobin
yang lebih rendah pada bayi baru lahir, dan dapat mempunyai
pengaruh anemia zat besi pada pertumbuhan bayi. Satu
kemungkinan manfaat bagi bayi pada penjepitan dini adalah
potensi berkurangnya penularan penyakit dari darah pada
kelahiran seperti HIV.
3) Melakukan penegangan tali pusat terkendali sambil secara
bersamaan melakukan tekanan terhadap rahim melalui perut
Penegangan tali pusat terkendali mencakup menarik tali
pusat ke bawah dengan sangat hati-hati begitu rahim telah
berkontraksi, sambil secara bersamaan memberikan tekanan
ke atas pada rahim dengan mendorong perut sedikit di atas
tulang pinggang. Dengan melakukannya hanya selama
kontraksi rahim, maka mendorong tali pusat secara hati-hati
ini membantu plasenta untuk keluar. Tegangan pada tali pusat
harus dihentikan setelah 30 atau 40 detik bila plasenta tidak
turun, tetapi tegangan dapat diusahakan lagi pada kontraksi
rahim yang berikutnya.
9. Komplikasi
a. Kematian
b. Syok hipovolemik dan kegagalan organ: gagal ginjal, stroke,
infark miokard, hipopituitarisme postpartum (sindrom Sheehan),
yang sering muncul dengan kegagalan menyusui atau sulit
menyusui.
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan
menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal
ini menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan
dapat menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak
ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan
kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan selanjutnya meruak
bagian korteks renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal
ini terus terjadi maka akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan.
c. Sindrom Sheehan
1) Terjadi atropi dan nekrosis dari master of gland, kelenjar
hipofisis dengan berbagai tingkatannya.
2) Gambaran gejala penuh digambarkan pertama kali oleh
Sheehan dan Murdoch 1938, yaitu amenorea, gagal
memberikan laktasi karena payudara atropi, hilangnya bulu
sebagai tanda seksual sekunder pada pubis, ketiak, gangguan
kelenjar lainnya seperti hipotiroidisme, insufisiensi kelenjar
adrenal.
3) Patogenesisnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi terjadi
gangguan dalam sekresi hormon tropik pada kelenjar
sehingga mengalami gangguan.
4) Gangguan klinik sesuai dengan fungsi hormonalnya.
d. Kelebihan cairan (edema paru, diligasi koagulopati)
e. Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan
menyebabkan perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk
hematokrit darah. Anemia dapat berlanjut menjadi masalah
apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga
akan berdampak juga pada asupan ASI bayi.
f. Sepsis, infeksi luka dan puerpuralis, pneumonia karena daya
tahan tubuh penderita melemah.
g. Trombosis vena atau emboli
h. Sindrom Asherman (terkait dengan kuretase jika dilakukan untuk
produk konsepsi yang dipertahankan) (A. Jacobs, 2011).
Pathway
Primer Sekunder
Hemoragic post
partum
Perubahan Kurang Kehilangan
hipovolemi volume cairan banyak darah Merangsang Adanya Memudahkan
k reseptor syaraf perlukaan jalan masuk
mikroorganisme
MK: MK:
Ketidakefektifan Nyeri akut
perfusi jaringan
BAB II
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 : Breathing
Peningkatan suhu dan nadi menyebabkan pernafasan juga manjadi
tidak normal.
2) B2 : Blood
Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi
hipovolemia yang semakin berat. Tekanan darah biasanya stabil.
Keluar darah pervaginam, robekan, lochea (jumlah dan jenis).
3) B3 : Brain
Kesadaran normal atau turun.
4) B4 : Bowel
Observasi terhadap nafsu makan dan defekasi. Fundus
uteri/abdomen lembek/keras, subinvolusi.
5) B5 : Bladder
Diobservasi setiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi
lancar atau tidak, spontan dan lain-lain.
6) B6 : Bone
Pola aktifitas sehari-hari seperti makan dan minum, istirahat atau
tidur dan personal hygiene.
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
2) Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan
peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-
16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak hamil:37%-47%, saat
hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3.
saat hamil 5.000-15.000)
3) Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum
4) Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
5) Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk
split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa
tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial
(APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
6) Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan post partum
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post partum
c. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau kematian
3. Intervensi Keperawatan
Domain IV
Class 4 Cardiovascular or pulmonary responses
00204 Penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
perdarahan pasca persalinan
NOC NIC
1.Perfusi jaringan adekuat atau 1. Monitor keadaan umum, dan
efektif TTV
2. Monitor adanya paretese.
3. Monitor adanya tanda-tanda
hipoksia.
4. Batasi aktivitas / anjurkan untuk
bedrest.
5. Berikan cairan parenteral :
infuse.
6. Kolaborasi pemberian obat
sesuai advis.
Domain II
Class 4 Hydration
00027 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan post
partum
NOC NIC
1. Kekurangan volume cairan 1. Pantau jumlah, warna dan
akan teratasi frekuansi kehilangan cairan
2. Keseimbangan elketrolit dan 2. Pantau perdarahan yang
asam-basa akan tercapai dikeluarkan melalui daerah vagina
3. Pantau status hidrasi
4. Berikan cairan sesuai dengan
kebutuhan
Domain IX
Class 2 Coping Responses
00146 Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau
kematian
NOC NIC
1. Perasaan cemas bekurang atau 1. Kaji respon psikologis klien
hilang terhadap perdarahan paska
persalinan
2. Bantu klien mengidentifikasi rasa
cemasnya
3. Bantu klien memahami dan
memilih koping adaptif
4. Berikan informasi tentang
perawatan dan pengobatan
DAFTAR PUSTAKA
Caughey A.B & Mann S. 2001. Vaginal Birth After Cesarean [Online],
https://www.emedicine.com/med/topic3434.html, diakses tanggal 20 Mei
2017.
Cunningham, F.G, Giant, N.F, & Leveno, K.J. 2001. Cesarean Section and St
Peripartum Hysterectomy. In: Williams Obstetrics. 21 ed. USA: Mc Graw-
Hill Companies: 537-563
Flamm BL, Geiger AM. 1997. Vaginal Birth After Cesarean Delivery: an
Admission Scoring System. USA: Obset Gynecol. 90: 907-10
Miller DA. 1994. Vaginal Birth After Cesarean: a 10 Year Experience. USA:
Obstet Gynecol. 84: 255-8
Mochtar, MPH, Prof. Dr. Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC