Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
REFLEKSI KASUS
Oktober 2018

RUPTUR UTERI

OLEH :
Fitra Kemalasari Badrun
N 111 17 076

Pembimbing :
dr. Daniel Saranga , Sp.OG (K)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Ruptur uteri atau peristiwa robeknya uterus merupakan peristiwa yang sangat
berbahaya, yang umumnya terjadi pada saat persalinan, dan kadang-kadang juga pada
kehamilan tua. Insidensi terjadinya ruptur uteri pada ibu hamil cukup tinggi. Frekuensi ruptur
uteri di rumah sakit-rumah sakit besar di Indonesia berkisar antara 1:92 sampai 1:294
persalinan. Angka insidensi ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju
1
(antara 1:1250 sampai 1:2000 persalinan)

Penyebab insidensi ruptur uteri sering terjadi adalah karena etiologi dari ruptur uteri
merupakan hal yang multifaktorial. Penyebab ruptur uteri yang paling sering adalah
terpisahnya jaringan parut akibat seksio sesarea sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan
semakin sering terjadi bersamaan dengan timbulnya kecenderungan untuk memperbolehkan
partus percobaan pada persalinan dengan riwayat seksio sesarea. Faktor predisposisi ruptur
uteri lain yang sering dijumpai adalah riwayat manipulasi atau operasi traumatik, misalnya
kuretase, perforasi, dan miomektomi. Stimulasi uterus yang berlebihan atau tidak tepat dengan
oksitosin juga dapat menjadi penyebabnya, meskipun hal ini sekarang sudah sangat jarang
1,3.
terjadi

Prognosis pada pasien yang mengalami ruptur uteri ini juga buruk. Pada ruptur uteri
dan ekspulsi janin kedalam rongga peritoneum, kemungkinan kelangsungan hidup janin sangat
suram. Angka kematian berdasarkan berbagai studi dilaporkan berkisar antara 50 sampai 75
2
persen .

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada
saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk
perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa,
solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan
lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi
dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum
kelahiran.

B. Epidemiologi
Angka kejadian ruptur uteri di Indonesia masih tinggi yaitu berkisar antara 1:92 sampai
1:428 persalinan. Angka-angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan
negara-negara maju yaitu antara 1:1250 sampai 1:2000 persalinan. Angka kematian ibu
akibat rupture uteri juga masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9% sampai 62,2%,
sedangkan angka kematian anak pada rupture uteri berkisar antara 89,1% sampai 100%.
Janin umumnya meninggal pada rupture uteri. Janin hanya dapat ditolong apabila pada
saat terjadinya rupture uteri janin masih hidup dan segera dilakukan laparotomy untuk
melahirkannya. Angka kematian janin pada rupture uteri mencapai 85%.

A. Klasifikasi
Menurut terjadinya, ruptur uteri dibedakan menjadi 2, yaitu ruptur uteri tanpa jaringan
parut, dan ruptur uteri dengan jaringan parut.
1) Ruptur Uteri Tanpa Jaringan Parut
Ruptur uteri tanpa jaringan parut dibagi menjadi 2, yaitu rupture uteri spontan, dan
ruptur uteri traumatik.
 Ruptur Uteri Spontan
Ruptur uteri spontan ialah ruptur uteri yang terjadi pada uterus yang utuh (tanpa
jaringan parut). Faktor utama yang menjadi penyebab hal ini ialah persalinan yang
tidak maju karena adanya hambatan, misalnya panggul sempit (CPD), hidrosefalus,
janin letak lintang, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan segmen
bawah uterus makin lama makin teregang. Ruptur uteri terjadi saat regangan terus
3
bertambah melampaui kekuatan jaringan miometrium. Faktor predisposisi
terjadinya rupture uteri spontan salah satunya ialah multiparitas. Pada multipara,
pada miometriumnya sudah banyak terdapat jaringan ikat yang menyebabkan
kekuatan dinding uterus menjadi kurang, sehingga regangan yang sedikit lebih
mudah menimbulkan robekan. Pemberian oksitosin dalam dosis yang terlampau
tinggi, atau atas indikasi yang tidak tepat, juga dapat menyebabkan ruptur uteri
spontan 1,2.
 Ruptur Uteri Traumatik
Ruptur uteri traumatik merupakan ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma.
Hal ini dapat terjadi karena pasien jatuh, kecelakaan lalu lintas seperti tabrakan,
dan lain sebagainya. Ruptur uteri traumatik dapat terjadi setiap saat dalam
kehamilan, namun pada dasarnya ruptur uteri traumatik jarang terjadi karena otot
uterus cukup kuat untuk menahan trauma yang berasal dari luar. Walaupun uterus
ternyata sangat tahan terhadap trauma tumpul, wanita hamil yang mengalami
trauma tumpul pada abdomen harus mewaspadai timbulnya tanda-tanda ruptur
uteri. Miller dan Paul (1996) hanya melaporkan tiga kasus yang disebabkan oleh
trauma pada lebih dari 150 wanita dengan ruptur uteri. Trauma tumpul lebih besar
kemungkinannya menyebabkan solusio plasenta. Sebaliknya, luka tembus
abdomen cenderung mengenai uterus yang sedang hamil besar. Dahulu, ruptur
traumatik sewaktu persalinan sering disebabkan oleh ekstraksi atau versi poladik
interna. Kausa lain ruptur uteri traumatik adalah persalian dengan forceps yang
sulit, ekstraksi bokong, dan pembesaran janin yang tidak lazim, misalnya pada
hidrosefalus 5. Yang lebih sering terjadi ialah ruptur uteri violenta. Ruptur uteri
violenta biasanya disebabkan oleh karena distosia, karena adanya regangan segmen
bawah uterus dan usaha vagina untuk melahirkan janin,sehingga terjadi ruptur
uteri. Ruptur uteri violenta ini biasanya terjadi pada versi ekstraksi letak lintang
yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat dilakukannya, tindakan tersebut,
kemudian bisa juga terjadi pada proses embriotomi dan ekstraksi dengan cunam
yang sukar 1.
2) Ruptur Uteri dengan Jaringan Parut
Ruptur uteri tipe ini lebih sering terjadi pada bekas parut seksio sesarea. Peristiwa
ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma
(miomektomi), dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang
terlampau dalam pada dinding uterus, seperti pada kuretase. Diantara jenis parut bekas
4
seksio sesarea, parut yang terbentuk post seksio sesarea tipe klasik lebih sering
menyebabkan ruptur uteri dibandingkan bekas parut seksio sesarea tipe profunda.
Perbandingan insidensinya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada
segmen bawah uterus menyerupai daerah uterus yang lebih tenang, dan dalam masa
nifas dapat sembuh dengan baik, sehingga jaringan parut yang terbentuk setelah masa
penyembuhan menjadi lebih kuat dibandingkan dengan jaringan parut yang terbentuk
pada post seksio sesarea tipe klasik. Ruptur uteri pada parut post seksio sesarea klasik
juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua, sebelum persalinan dimulai. Sedangkan
pada parut post seksio sesarea profunda umumnya terjadi saat persalinan 1,2.
Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 1,4:
 Korpus Uteri
Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti
seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi.
 Segmen Bawah Rahim
Biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama
tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.
 Serviks Uteri
Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan
ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.
 Kolpoporeksis-Kolporeksis
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut waktu terjadinya, etiologi ruptur uteri dapat dibagi menjadi 2, yaitu akibat
cedera atau anomali yang terjadi sebelum kehamilan sekarang, dan akibat cedera atau
anomali yang terjadi selama kehamilan sekarang. Penyebab-penyebab tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut ini.

Klasifikasi Kausa Ruptur Uteri 4

Cedera atau Anomali Uterus yang Terjadi Cedera atau Kelainan Uterus Selama
Sebelum Kehamilan Sekarang Kehamilan Sekarang
1. Pembedahan yang melibatkan 1. Sebelum persalinan
miometrium  Kontraksi persisten, intens,
 Seksio sesarea atau histerektomi spontan
 Riwayat reparasi ruptur uteri  Stimulasi persalinan (oksitosin
sebelumnya atau prostaglandin)
 Insisi miomektomi melalui atau  Instilasi intra-amnion (saline atau
sampai endometrium prostaglandin)

5
 Reseksi kornu dalam tuba falopii  Perforasi oleh kateter pengukur
interstisial tekanan uterus internal
 Metroplasti  Trauma eksternal (tajam atau
2. Trauma uterus yang terjadi tanpa tumpul)
disengaja  Versi luar
 Abortus dengan instrumentasi  Overdistensi uterus (hidramnion,
(kuret, sondase) gemelli)
 Trauma tajam atau tumpul 2. Selama persalinan
(kecelakaan, pisau, peluru)  Versi interna
 Ruptur asimtomatik (silent ruptur)  Pelahiran dengan bokong yang
pada kehamilan sebelumnya sulit
3. Anomali kongenital  Ekstraksi bokong
 Kehamilan di kornu uterus yang  Anomali janin yang meregangkan
tidak berkembang bagian bawah
 Penekan yang berlebihan pada
uterus selama persalinan
 Pengeluaran plasenta secara
manual yang sulit
3. Didapat
 Plasenta akreta atau perkreta
 Neoplasia trofoblastik gestasional
 Sakulasi uterus retroversi yang
terperangkap
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat dibedakan 1,2,6:
 Ruptur Uteri Kompleta
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga
terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis.
 Ruptur Uteri Inkompleta
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi
subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.
Menurut gejala klinis, ruptur uteri dapat dibedakan:
 Ruptur uteri iminens (membakat/mengancam)
Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal betul gejala dari ruptur
uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab dalam hal ini kita dapat
bertindak secepatnya supaya tidak terjadi ruptur uteri yang sebenarnya.
Gejala ruptur uteri iminens/mengancam :
o Dalam anamnesa dikatakan telah ditolong/didorong oleh dukun/bidan, partus
sudah lama berlangsung
o Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut

6
o Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
o Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
o Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut
kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
o His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
o Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan keras
terutama sebelah kiri atau keduanya.
o Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
o Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang
yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR yang semakin tipis
dan teregang. Sering lengkaran bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih
yang penuh, untuk itu dilakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan
dan tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun
belakang.
o Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang
ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada
kateterisasi ada hematuri.
o Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
o Pada pemriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, seperti
oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar.
 Ruptur uteri sebenarnya 1,4
Bila ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan
terjadilah ruptur uteri sebenarnya.
1.) Anamnesis dan Inspeksi
o Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
o Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
o Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
o Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.

7
o Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih
kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan
lahir.
o Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan
dibahu.
o Kontraksi uterus biasanya hilang.
o Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi kembung
dan meteoristis (paralisis usus)
2.) Palpasi
o Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema
subkutan.
o Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul.
o Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut, maka
teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
o Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3.) Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa menit
setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke rongga
perut.

4.) Pemeriksaan Dalam


o Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah dapat
didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak
banyak
o Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim
dan kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba
usus, omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang
didalam kita temukan dengan jari luar maka terasa seperti dipisahkan oleh
bagian yang tipis seklai dari dinding perut juga dapat diraba fundus uteri.
5.) Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.

8
B. Patomekanisme 1,2,6,7
Pada umumnya uterus dibagi atas dua bagian besar: Korpus uteri dan servik uteri. Batas
keduanya disebut ismus uteri (2-3 cm) pada rahim yang tidak hamil. Bila kehamilan sudah
kira-kira ± 20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih besar dari ukuran kavum uteri,
maka mulailah terbentuk SBR ismus ini.
Batas antara korpus yang kontraktil dan SBR yang pasif disebut lingkaran dari Bandl.
Lingkaran Bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat pada 2-3 jari diatas simfisis, bila
meninggi maka kita harus waspada terhadap kemungkinan adanya ruptur uteri
mengancam. Ruptur uteri terutama disebabkan oleh peregangan yang luar biasa dari
uterus. Sedangkan kalau uterus telah cacat, mudah dimengerti karena adanya lokus minoris
resistens
Rumus mekanisme terjadinya ruptur uteri:
R=H+O
Dimana: R = Ruptur, H = His Kuat (tenaga), O = Obstruksi (halangan)

Pada waktu in-partu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetap pasif dan
cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu sebab partus tidak
dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus dengan hebatnya (his kuat),
maka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas menjadi bertambah regang dan tipis.
Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu terjadilah robekan pada SBR tadi.
Dalam hal terjadinya ruptur uteri jangan dilupakan peranan dari anchoring apparatus untuk
memfiksir uterus yaitu ligamentum rotunda, ligamentum latum, ligamentum sacrouterina
dan jaringan parametra.

C. Penatalaksanaan 1,8,9
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus dilakukan dengan
cermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan distosia, dan pada wanita yang
pernah mengalami sectio sesarea atau pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus
diamati terjadinya regangan segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu,
persalinan harus segera diselesaikan.
Keselamatan wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering bergantung pada
kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan perdarahan.
Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa dipulihkan kembali dengan
cepat sebelum perdarahan arteri dapat dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam
memulai pembedahan tidak akan bisa diterima.

9
Bila keadaan umum penderita mulai membaik, selanjutnya dilakukan laparotomi
dengan tindakan jenis operasi:
 Histerektomi, baik total maupun subtotal.
 Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
 Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup.

Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara lain:
 Keadaan umum
 Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
 Jenis luka robekan
 Tempat luka
 Perdarahan dari luka
 Umur dan jumlah anak hidup
 Kemampuan dan keterampilan penolong

D. Prognosis 4,10
Harapan hidup bagi janin sangat suram. Angka mortalitas yang ditemukan dalam
berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga 70 persen. Tetapi jika janin masih hidup pada
saat terjadinya peristiwa tersebut, satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin
adalah dengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan lewat laparotomi.
Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan meninggal karena perdarahan atau
mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan spontan pernah
pula ditemukan pada kasus-kasus yang luar biasa. Diagnosis cepat, tindakan operasi
segera, ketersediaan darah dalam jumlah yang besar dan terapi antibiotik sudah
menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar dan terapi antibiotik sudah
menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan ruptura pada
uterus yang hamil.

10
BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal pemeriksaan : 21 Agustus 2018


Jam : 02.04 WITA
Ruangan : IGD RSUD UNDATA

ANAMNESIS

Identitas Pasien

Nama : Ny.S
Umur : 23 Agustus 1983 ( 35 Tahun )
Alamat : Desa Sipayo, Kabupaten Parigi
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana
Menarche : 12 tahun

HPHT : 22 Desember 2017 Perkawinan : Pertama


TP : 29 September 2018
BB : 77 Kg
TB : 145 Cm

Keluhan Utama : Nyeri perut bagian bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien perempuan rujukan dari RS Anutaloko dengan diagnosis G6P4A1 Gravid 32-34
minggu dengan anemia masuk dengan keluhan nyeri perut bagian bawah yang dirasakan sejak
2 hari SMRS disertai pusing (+), mual(+), muntah (+) >10x berisi air. Sesak napas (+), nyeri
dada (-). Demam (-). Pelepasan darah (-), lendir (-), air (-). BAK (-) Sulit. BAB (-) Riwayat
urut pada dukun hampir setiap bulan saat kehamilan.

11
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah menderita sakit yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit darah
tinggi (-), riwayat penyakit diabetes mellitus (-), riwayat penyakit asma dan alergi (-), riwayat
penyakit infeksi organ reproduksi (-)

Riwayat Obstetri :

Tempat Persalinan Jenis Jenis Keadaan


Persalinan Kelami Anak
Keha Tahun BBL Penyulit
n
milan

I Dirumah (dukun) 2009 Normal LK - - Hidup

II Dirumah (dukun) 2011 Normal LK - - Hidup


ABORTUS 2013 - - - - -
III
IV Dirumah (dukun) 2014 Normal PR - - Hidup

V RS Anutaloko 2016 SectioCaesarea LK - - Hidup

VI
Hamil sekarang

Riwayat Menstruasi :
Menarche usia 12 tahun. Siklus haid biasanya 28 hari dan lamanya haid 3-4 hari dan
menghabiskan hingga 1-2 pembalut sehari. Riwayat nyeri berlebihan saat menstruasi
disangkal.

12
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Menurut pasien, di keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien.
Riwayat penyakit hipertensi (+). Riwayat jantung, ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, dan
asma disangkal.

Riwayat Alergi :
Pasien mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat-obatan dan makanan.

PEMERIKSAAN FISIK

KU : Sakit Berat
Kesadaran : Kompos mentis

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 100/60 mmHg


Nadi : 120 x/menit
Pernapasan : 40 x/menit
Suhu : 36,5 ºC

 Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterus (-/-), pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-).

 Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas jantung
dalam batas normal
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
Bunyi jantung I/II murni Regular

13
 Abdomen
I : Tampak cembung normal kesan hamil, sikatriks (+), gambaran bandl ring (+)
A : Peristaltik usus (-)
P : Timpani pada umbilikus, epigastrik. Redup pada hyocondrium dextra et sinistra.
P : Nyeri tekan abdomen (+) seluruh kuadran, massa teraba (-), distensi abdomen (+)

 Ekstremitas :
Edema ekstremitas bawah -/-
Edema ekstremitas atas -/-
Akral dingin ekstremitas bawah +/+
Akral dingin ekstremitas atas +/+

Pemeriksaan Ginekologi :

Leopold 1 : setinggi processus xyphoideus


Leopold II : teraba kembung seperti papan dan tegang
Leopold III : letak terbawah kepala
Leopold 4 :U
BJF :-
VT : pembukaan 2-3 cm

14
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Tanggal 21 Agustus 2018

WBC 22,6 109/L (4,8 – 10,8)

RBC 2,87 1012/L (4,7 – 6,1)

HGB 6,2 g/dl (12 – 16)

PLT 569 109/L (150 – 450)

HCT 21,7 % (37 – 52)

MCV 76 Fl (80 – 99)

MCH 21,7 Pg (27 – 31)

MCHC 28,7 g/dl (33 – 37)

NEUT% 77,0 % (40 – 74)

15
PEMERIKSAAN USG

16
Pemeriksaan Radiologi

17
RESUME

Pasien perempuan rujukan dari RS Anutaloko dengan diagnosis G6P4A1 Gravid 32-33
minggu dengan anemia masuk dengan keluhan nyeri perut bagian bawah yang dirasakan sejak2
hari SMRS disertai pusing (+), mual(+), muntah (+) >10x berisi air. Sesak napas (+), nyeri
dada (-). Demam (-). Pelepasan darah (-), lendir (-), air (-). BAK (-) Sulit. BAB (-) Riwayat
urut pada dukun hampir setiap bulan saat kehamilan.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda vital: tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 120
x/m, pernapasan 40 x/m, suhu 36,5 ºC. Didapatkan konjutiva anemis (+/+), pada pemeriksaan
abdomen Inspeksi gambaran bandl ring (cincin retraksi patologis) pada abdomen, sikatriks (+).
Auskultasi Peristaltik usus (-) Perkusi timpani pada umbilikus dan epigastrik, Redup pada
hyocondrium dextra et sinistra, Palpasi Nyeri tekan abdomen (+) seluruh kuadran, massa
teraba (-), distensi abdomen (+), Ekstremitas akral dingin (+). status obstetri didapatkan leopold
1 setinggi prossecus xhypoideus, leopold 2 teraba kembung seperti papan dan tegang, Leopold
4 bagian terbawah sudah masuk dalam pintu atas panggul dan VT ada pembukaan 2-3cm,
Pelepasan lendir, darah, air tidak ada.
Pada pemeriksaan Lab didapatkan Hb : 6,2 g/dL, WBC : 22,6 x 109/L, PLT : 569 x 106/L.

DIAGNOSIS

G6P4A1 UK 32-33 minggu + KDJR + susp. Ruptur Uteri + Anemia

PENATALAKSANAAN

 O2 nasal canul 4-5 lpm


 IVFD RL guyur 2 kolf, 1 kolf maintenance 28 tpm
 Pasang Kateter
 Injeksi ranitidine 1 amp/iv/8 jam
 Injeksi ketorolac 1 amp/12jam
 Injeksi Ondansentron 1 amp/iv/12 jam
 Drips Metronidazol 500mg/iv
 Injeksi Cefotaxim 1 gr/iv/12 jam
 Siapkan 5 kantong darah
 Observasi KU, TTV, DJJ, urine output
 Rencana SC cito

18
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
Dari laporan kasus yang telah dipaparkan, didapatkan diagnosa akhir yaitu berupa
G6P4A1 UK 32-33 minggu + KDJR + susp. Ruptur Uteri + Anemia. Diagnosa tersebut
didasarkan dari temuan telah terdapat kecurigaan dari pemeriksaan awal pasien berupa
anamnesa dimana keluhan utama pasien berupa nyeri perut hebat dan sesak nafas. Untuk
selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Teori Kasus

Faktor Resiko : Faktor Resiko


 Riwayat SC  Pasien memiliki riwayat melakukan pijat
 Penekanan berlebihan pada uterus urut pada dukun setiap bulan
 Trauma saat proses pelahiran  Pasien memiliki riwayat SC 2 tahun yang
 riwayat manipulasi atau operasi lalu a/i CPD
traumatic
 Stimulasi uterus yang berlebihan atau
tidak tepat dengan oksitosin

Manifestasi klinis : Manifestasi Klinis :

 Nyeri perut dan nyeri tekan. Pasien  Pasien datang dengan keluhan nyeri
dapat mendeskripsikan terasa seperti seluruh lapangan perut
“terobek” terutama saat pasien  Pasien merasakan sesak nafas
mengalami HIS.  Pada inspeksi terlihat adanya gambaran
 Nyeri dada. Nyeri dirasakan antara bandl ring (cincin retraksi patologis) pada
scapula, atau nyeri saat inspirasi akibat abdomen.
iritasi dari perdarahan di bawah  Pada pemeriksaan fisik :
diafragma o Keadaan umum : sakit berat
 Syok hipovolemik. o Kesadaran :
 Dapat ditemukan perdarahan massif composmentis
per vaginam o Vital sign : Tekanan darah :
 Gawat janin 100/60 mm Hg, Nadi 120 kali

19
 Teraba janin sangat mengambang di per menit, Suhu 36,5oC,
luar uterus dan denyut jantungnya Pernafasan 40 kali per menit.
tidak dapat ditemukan dengan o Akral dingin (+)
pemeriksaan Doppler Pemeriksaan Obstetri :
 Ditemukan gambaran Ring Bandl o Pemeriksaan Leopold
Leopold I : setinggi prossecus
xhypoideus
Leopold II : teraba kembung
seperti papan dan tegang
Leopold III : letak terbawah
kepala
Leopold IV : divergen (sudah
masuk PAP) Hodge II
o DJJ :-
o His/kontraksi : tidak ada.
o Vaginal touché:v/v pembukaan 2-
3cm

Diagnosa
Diagnosa
 VT tertera di atas
 Pada pemeriksaan panggul didapatkan
 USG dilakukan
hilangnya penurunan janin (loss of station)
 Pemeriksaan dalam (vaginal touche)
berguna untuk meraba robekan di dinding
uterus yang dapat dilewati oleh jari untuk
mencapai rongga peritoneum (tidak
terdeteksinya robekan bukan berarti
bahwa tidak terjadi ruptur uteri)
 Pemeriksaan USG

 Untuk menegakkan diagnosa pasti


dilakukan laparotomy, bahkan setelah
persalinan pervaginam.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
 Pemberian infuse IV cairan (Nacl 0,9%
Dilakukan resusitasi cairan
atau RL) sebelum tindakan pembedahan
Transfusi darah
 Lakukan sc dan lahirkan plasenta segera
setelah kondisi stabil
 Jika uterus dapat diperbaiki dengan resiko
operasi lebih rendah daripada risiko pada

20
histerektomi dan ujung rupture uterus
tidak nekrosis  histerorafi.
 Jika uterus tidak dapat diperbaiki, lakukan
histerektomi supravaginal atau
histerektomi total jika didapatkan robekan
smpai serviks dan vagina

B. Analisa Kasus
Berdasarkan anamnesa pasien, didapatkan bahwa kemungkinan ruptur uteri terjadi
berdasarkan faktor resiko penekanan pada uterus yang lama dan berulang seperti pijat urutan
pada dukun dan adanya riwayat SC sehingga menghasilkan scar pada segmen bawah rahim
dan bagian mediana uterus. Selain itu pasien juga memiliki riwayat CPD yang merupakan
indikasi operasi seksio sesarea terdahulu.
Dari manifestasi klinis yang didapatkan pada pasien terutama nyeri seluruh lapangan perut
dan dada terasa sesak dan sakit memungkinkan adanya kecurigaan terjadinya perdarahan yang
masif dalam peritoneum sehingga mengiritasi n.diafragma dan menyebabkan rasa nyeri pada
dada atau ulu hati. Selain itu, kedatangan pasien dengan tachikardia dapat menjadi suatu tanda
adanya syok yang terkompensasi. Pada inspeksi abdomen terlihat adanya gambaran cincin
retraksi patologis (bandl ring) yang merupakan ciri khas ruptur uteri bagian anterior.
Pemeriksaan DJJ tidak terdengar.
Diagnosa definitif pada pasien ini berupa “G6P4A1 + KDJR + Anemia + Susp. Ruptur
Uteri”. Pada pemeriksaan VT didapatkan kepala sudah turun ke hodge II, hal ini dapat
menjelaskan kenapa tidak ditemukan perdarahan pervaginam sebagai manifestasi klinis. Hal
tersebut akibat tertutupnya pintu panggul oleh kepala bayi sehingga tidak memungkinkan darah
mengalir keluar.
Penatalaksanaan yang telah dilakukan pasien ini telah tepat, dimana sebelum dilakukan
operasi pasien sempat direhidrasi dengan RL 2 kolf, karena tidak diketahui riwayat rehidrasi
sebelumnya. Kemudian sesuai hasil follow up sebelum dilakukan operasi pasien mengalami
penurunan kesadaran disertai tanda-tanda syok hipovolemik kemudian dilakukan resusitasi
cairan dan transfusi darah tetapi respon semakin memburuk sehingga terjadi henti napas dan
henti jantung dan pasien dinyatakan meninggal.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Martohoesodo S, Marsianto. Perlukaan dan Peristiwa Lain pada Persalinan. Dalam :


Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Winkjosastro GH, editor. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta
: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008: 668-672.

2. Nagaya K, Fetters MD, Ishikawa M, Kubo T, Konayagi T, Saito Y, Seishima H, Sugimoto


M, Takagi K, Chiba Y, Honda H, Mukubo M, Kawamura M, Satoh S, Neki R. Causes of
maternal mortality in Japan. JAMA, 2000; 283:2661.

3. Eden, RD, Parker RT, Gall SA. Rupture of the pregnant uterus: A 53-years review. AMJ
Obstet Gynecol, 2007; 68:671.

4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD.
Perdarahan Obstetri. Dalam : Profitasari, Hartanto H, Suyono YJ, Yusna D, Kosasih AA,
Prawira J, dkk, editor. Obstetri Williams Vol 1. Edisi 21. Jakarta : EGC; 2006: 716-23.

5. Miller DA, Paul RH. Rupture of the unscarred uterus. AMJ Obstet and Gynecol, 2000;
174:345.

6. Fedorkow DM, Nimrod CA, Taylor PJ. Ruptured uterus in pregnancy: A Canadian
hospital’s experience. CMAJ, 2008; 137:27.

7. American College of Obstetricians and Gynecologist: Vaginal birth after previous


cesarean delivery. 5th ed. 2002, p 125.

8. Levrant SG, Wingate M. Midtrimester uterine rupture. J Reprod Med, 2000; 41:186.

9. I, Al-Zirqi. Uterine rupture after previous caesarean section. Norway : BJOG, 2010;
145:25.

10. Chapman S, Crispens MA, Owen J, Savage K. Complications of mid-trimester pregnancy


terminations: The effect of prior cesarean delivery. AMJ Obstet and Gynecol, 2009;
174:356.

22

Anda mungkin juga menyukai