Anda di halaman 1dari 27

CASE PRESENTATION SESSION (CPS)

RINITIS ALERGI DENGAN TONSILITIS KRONIK HIPERTROFI

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Bagian Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas


Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Disusun oleh :

Jovy Yudha Tamba 4151181498


Shiva Valeska Ardhaniswari 4151181480

Pembimbing:
Nurbaiti Nazarudin, dr., Sp.THT-KL., M.Kes.,MMRS

BAGIAN ILMU PEYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNJANI - RS TK.II DUSTIRA

CIMAHI

2021

1
BAB I

IDENTIFIKASI KASUS

Nama : Nn. Syuri Khodijah


Umur : 27 Tahun
Tanggal Pemeriksaan : 30 April 2021
Alamat : Jalan Cihanjuang, Cimahi
Pekerjaan : Pegawai Swasta

Keluhan utama : Hidung tersumbat

Anamnesis Khusus :

Pasien datang ke Poliklink THT RS Dustira mengeluhkan keluhan hidung


tersumbat sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai pasien sering bersin-bersin,
keluar cairan encer dan berwarna putih dari hidung, dan hidung terasa gatal.
Pasien juga mengeluhkan kemampuan mencium pasien terasa berkurang namun
pasien masih dapat bernapas dengan baik. Pasien mengeluhkan keluhan bersifat
hilang timbul. Keluhan hidung tersumbat sebelumnya sudah pernah dirasakan
oleh pasien terakhir 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan membaik setelah pasien
mengkonsumsi obat yang diresepkan oleh dokter di puskesmas. Pasien
menyatakan keluhan seperti ini sudah dialami oleh pasien sejak umur 3 tahun dan
dirasakan timbul setiap 1-2 bulan sekali.

Keluhan dirasakan terutama pada pagi hari atau saat pasien terpapar debu.
Pasien masih dapat bekerja, tidur dan melakukan aktivitas harian lainya pada saat
keluhan timbul. Keluhan tidak disertai demam, sesak napas, batuk, mata merah,
dan tidak bisa merasakan makanan, dan buang air besar lebih dari 4 kali. Pasien
tidak ada riwayat bepergian ke daerah atau tempat tertentu dalam waktu 14 hari
terakhir, pasien hanya bekerja dari rumah dan beraktivitias disekitar rumah.
Riwayat pemakaian obat-obatan dan obat semprot hidung tidak ada. Riwayat
adanya keluar cairan berwarna merah dari hidung pasien tidak ada. Pasien juga
tidak mengeluhkan adanya benjolan di hidung. Tidak ada riwayat kecelakaan,
benturan, atau dipukul di kepala dan hidung. Tidak ada Riwayat pemasangan
tampon atau NGT.

Keluhan tidak disertai adanya mata merah yang terasa gatal, nyeri kepala,
nyeri disekitar daerah hidung dan pipi terutama bila menunduk, rasa tidak
nyaman ditelinga, telinga terasa penuh, keluar cairan dari telinga, pendengaran
berkurang, mengorok saat tidur, batuk yang terus menerus dalam jangka waktu
lama, suara menjadi serak, nyeri tenggorokan, dan nyeri dada yang terasa seperti
terbakar disertai sendawa asam

2
Pasien memiliki riwayat penyakit asma dan sudah diobati ke dokter.
Keluhan hidung tersumbat, bersin-bersin, hidung terasa gatal, dan keluar cairan
dari hidung yang bersifat hilang timbul juga dirasakan oleh ibu pasien.

Pasien sudah berobat berulang kali ke dokter di puskesmas untuk keluhan


hidung tersumbat dan sering membeli obat flu sendiri untuk mengobati jika
keluhan timbul, tetapi keluhan hanya hilang sesaat dan kemudian muncul kembali

Status Generalis:

Keadaan Umum

• Kesadaran : Composmentis

• Kesan Sakit : Tampak sakit ringan

Tanda Vital

• Tekanan darah : 110/80 mmHg

• Nadi : 80 x/menit

• Respirasi : 19 x/menit

• Suhu : 36,2 oC

Status Generalis

Dalam batas normal.

Status Lokalis:

Bagian Kelainan Auris Dextra Auris Sinistra


Fistula Tidak ada Tidak ada
Kista Brakhialis Tidak ada Tidak ada
Tragus Tidak ada Tidak ada
Assesorius Tidak ada Tidak Ada
Preaurikula
Abses kista brakhialis Tidak ada Tidak ada
Parotitis Tidak ada Tidak ada
Tumor parotis Hematom Tidak ada Tidak ada
Laserasi Tidak ada Tidak ada
Mikrotia Tidak ada Tidak ada
Aurikular Makrotia Tidak ada Tidak ada
Anotia Tidak ada Tidak ada

3
Perikondritis Tidak ada Tidak ada
Melanoma Tidak ada Tidak ada
Basal cell carcinoma Tidak ada Tidak ada
Hematom aurikula Tidak ada Tidak ada
Abses subkutan Tidak ada Tidak ada
Retroaurikular Mastoiditis Tidak ada Tidak ada
Battle sign Tidak ada Tidak ada
CAE Tenang Tenang
Serumen Tidak ada Tidak ada
Otoskopi
Sekret Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Intak Intak Intak
Membran timpani
Refleks cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Gambar membran timpani:
AD AS

AD AS
Tes suara Jarak 1 m: mendengar Jarak 1 m: mendengar
bisikan bisikan
Tes Rinne Positif Positif
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Tes Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Kesan Normal

Pemeriksaan Hidung Luar


Bentuk Simetris
Deformitas Tidak ada
Krepitasi Tidak ada
Inflamasi Tidak ada

Rinoskopi Anterior :

4
Dextra Sinistra
Vestibulum Nasi Tenang Tenang
Mukosa cavum nasi Pucat Pucat
Sekret (+) Serosa (+) Serosa
Massa/benda asing Tidak ada Tidak ada
Konka inferior Hipertrofi/Pucat Hipertrofi/Pucat
Konka Media Sulit dinilai Sulit dinilai
Septum Deviasi (-)
Pasase udara Menurun Menurun

Pemeriksaan Orofaring:
Kavum Oris Trismus (-)
Mukosa Tenang
Lidah Atrofi (-)
Palatum durum Tidak ada kelainan
Gigi geligi 87654321 12345678
87654321 12345678

Tonsil Mukosa Tenang/Tenang


Besar T2-T3
Kripta Melebar
Detritus Tidak ada

Faring Mukosa Tenang


Granula Tidak ada
Post nasal drip Tidak ada
Refleks muntah +
Rinoskopi Posterior Sekret (-)
Koana Terbuka/ terbuka
Muara Tuba Eustachius Terbuka/ terbuka
Torus Tubarius Tenang/ tenang
Fossa Rosenmuller Massa (-)/ massa (-)

5
Laringoskopi Indirek:
Laring Epiglotis Tenang, massa (-)
Kartilago arytenoid Tenang/ tenang
Plica aryepiglotica Tenang/ tenang
Plica vokalis Simetris, massa -/-,
tenang/ tenang
Rima glotis terbuka
Cincin trakea di tengah
Pemeriksaan Maksilofasial
Bentuk : Simetris
Parese Nervus Cranialis : Tidak ada
Sinus paranasal
Sinus Frontalis : Nyeri tekan -/-
Nyeri ketok -/-

Sinus maksilaris : Nyeri tekan


-/+
Nyeri ketok -/+
Sinus Ethmoidalis : Nyeri tekan -/-
Nyeri ketok -/-
Allergic salute (-), allergic crease (-), allergic shinner (-/-)

Pemeriksaan Transluminasi

Leher:
KGB : Tidak teraba
Massa : Tidak ada

6
Case Overview
Data Pasien Keterangan

• Perempuan, usia 27 tahun • Insidensi penyakit pada wanita usia


• KU : Hidung Tersumbat remaja
DD/ :
Congenital :
Coana atresia
Inflamasi :
Polip Nasi
Rinitis akut
Rinitis kronik
Rinitis alergi
Rinitis medikamentosa
Rinitis hipertrofi
Rinosinusitis akut
Sinusitis akut
Sinusitis kronik
Infeksi Covid-19
Neoplasma :
Karsinoma nasofaring
Tumor sinonasal
Trauma :
Deviasi septum
Hematoma septum
Cerebrospinal fluid rhinorea
Another :
Benda asing dalam hidung
Rhinitis Vasomotor
Rhinitis Hipertrofi
Anamnesis:

7
• Sejak 3 hari yang lalu • Keluhan saat ini bersifat akut
• Keluhan penyerta : sering bersin- • Reaksi inflamasi yang menyebabkan
bersin, Rinore, hidung terasa gatal peningkatan sekresi mukus dan
• Pasien juga mengeluhkan pengeluaran mediator radang
kemampuan mencium pasien • Hiposmia Akibat gangguan sensoris
terasa berkurang namun pasien pada N. Olfaktorius
masih dapat bernapas dengan baik • Keluhan berulangkali dan bersifat
• Keluhan hidung tersumbat hilang timbul
sebelumnya sudah pernah • Perjalanan penyakit bersifat kronik
dirasakan oleh pasien terakhir 1
bulan yang lalu. Keluhan
dirasakan membaik setelah pasien
memakan obat yang diresepkan
oleh dokter di puksesmas
• Pasien mengeluhkan keluhan • Keluhan sudah dialami sejak kecil :
seperti ini sudah dialami oleh Faktor resiko paparan sejak dini
pasien sejak umur 3 tahun dan • Timbul 1-2 bulan sekali : Bersifat
dirasakan hilang timbul setiap 1-2 intermiten
bulan sekali.
• Keluhan dirasakan terutama pada Keluhan timbul jika terpapar alergen,
pagi hari atau saat pasien terpapar kemungkinan alergen saat ini dingin dan debu
debu.
• Pasien masih dapat bekerja, tidur Keluhan tidak menganggu aktivitias sehari-hari
dan melakukan aktivitas harian DD :
lainya pada saat keluhan timbul.
• Keluhan tidak disertai demam, Rinitis akut ec bakteri, virus, jamur, infeksi
sesak napas, batuk, dan tidak bisa covid-19 disingkirkan
merasakan makanan, dan buang
air besar lebih dari 4 kali. Pasien
tidak ada riwayat bepergian ke
daerah atau tempat tertentu dalam
waktu 14 hari terakhir, pasien
hanya bekerja dari rumah dan
beraktivitias disekitar rumah.
• Riwayat pemakaian obat-obatan • Rhinitis medikamentosa disingkirkan
dan obat semprot hidung tidak
ada.
• Riwayat adanya keluar cairan • Riwayat epistaksis dan benojalan tidak
berwarna merah dari hidung ada menyingkirkan kemungkinan DD
pasien tidak ada. Pasien juga tidak neoplasma
mengeluhkan adanya benjolan di
hidung.
• Tidak ada riwayat kecelakaan,
benturan, atau dipukul di kepala • Menyingkirikan DD trauma pada
dan hidung. hidung

8
• Tidak ada Riwayat pemasangan • Menyingkirkan DD benda asing dalam
tampon atau NGT hidung

• Keluhan tidak disertai adanya • Komplikasi konjungtivitis alergika


mata merah yang terasa gatal, disingkirkan
• Tidak disertai nyeri kepala, nyeri • Komplikasi Rinosinusitis disingkirkan
disekitar daerah hidung dan pipi •
terutama bila menunduk • Komplikasi OME dan Hipertrofi
• Tidak disertai rasa tidak nyaman adenoid, dan disfungsi tuba
ditelinga, telinga terasa penuh, disingkirkan
keluar cairan dari telinga,
pendengaran berkurang, disertai
mengorok saat tidur • Komplikasi batuk kronik disingkirkan
• Tidak disertai batuk yang terus
menerus dalam jangka waktu
lama
• Komplikasi laringitis disingkirkan
• Tidak disertai suara menjadi
serak, nyeri tenggorokan
• Tidak disertai nyeri dada yang
terasa seperti terbakar disertai • Komplikasi GERD disingkirkan
sendawa asam
• Pasien memiliki riwayat penyakit • Faktor resiko alergi : riwayat atopik
asma dan sudah diobati ke dokter. pada pasien
• Keluhan hidung tersumbat,
bersin-bersin, hidung terasa gatal,
dan keluar cairan dari hidung • Faktor risiko alergi : Riwayat alergi
yang bersifat hilang timbul juga pada ibu pasien
dirasakan oleh ibu pasien.
• Pasien sudah berobat berulang
kali ke dokter di puskesmas untuk • Riwayat pengobatan yang berulang
keluhan hidung tersumbat dan tetapi penyakit tidak hilang oleh karena
sering membeli obat flu sendiri etiologi tidak diselesaikan
untuk mengobati jika keluhan • (Pengobatan hanya simtomatik)
timbul, tetapi keluhan hanya • Penyebab alergi
hilang sesaat dan kemudian
muncul kembali

Status Generalis : Dalam batas normal


Status Lokalis:

Pemeriksaan Rinoskopi Anterior

9
 Mukosa Cavum nasi : Pucat/Pucat

 Sekret: (+) Serosa / (+) Serosa

 Konka Inferior: Hipertrofi pucat /Hipertrofi pucat

 Pasase udara: menurun / menurun

Pemeriksaan orofaring

 Tonsil T2-T3 mukosa tenang, kripta melebar, detritus (-)

 Faring post nasal drip (-)

 Granul (-)

Pemeriksaan Maksilofasal:

 Nyeri tekan dan ketok sinus paranasal dan frontalis -/-

 Nyeri tekan dan ketok sinus maksilaris -/-

 Nyeri tekan dan ketok sinus ethmoidalis -/-

Pemeriksaan Transluminasi:

Normal

10
Diagnos banding:
1. Suspek rinitis alergi intermiten ringan + Tonsilitis kronik hipertrofi
2. Rinitis kronik ec rinitis hipertrofi + Tonsilitis kronik hipertrofi

Diagnosis kerja:

Suspek rinitis alergi intermiten ringan + Tonsilitis kronik hipertrofi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Peta Konsep

11
12
2.1 Anatomi Hidung
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior
hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior. Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan
kavum oris dipisahkan oleh palatum durum. Ke arah posterior berhubungan
dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus
externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita: sinus maksilaris,
sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides.

Gambar 2.1 Anatomi Cavum Nasi.

A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal
os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, dan tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os
etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung
adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina
perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex
nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan
kartilago alaris major.
B) Dinding lateral

13
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior
terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os
maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding
lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka
media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema.
Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara konka-
konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan
dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media, dan
superior. Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Resesus sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di
depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat
bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah satu celah
yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian
anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit
yang disebut sebagai infundibulum. Muara atau fisura berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel
etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Meatus nasi inferior adalah
yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang
batas posterior nostril.
C) Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri.

14
Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian
anterior oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa.
Bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina
dan krista sfenoid. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada
anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan


dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung
tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Gambar 2.2 Vaskularisasi Cavum Nasi.

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal
dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan

15
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
2.2 Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)
fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna
untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara
sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)
refleks nasal.
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Alergen yang terdapat di
lingkungan merangsang respon imun pada penderita yang secara genetik telah
memiliki kecenderungan alergi. Alergen adalah protein asing yang bisa
merangsang respon imun yang diperantarai oleh IgE. Sebagian besar alergen
memiliki diameter 5- 20 μm dengan berat molekul 10 dan 40 kD.2
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas alergen inhalan, ingestan,
injektan dan kontaktan. Alergen inhalan adalah alergen yang masuk bersama
dengan udara pernafasan misalnya tungau debu rumah seperti D.pteronnysinus,
D.farinae, B.tropicalis; kecoa; serpihan epitel kulit binatang seperti kucing dan
anjing; rerumputan serta jamur seperti Aspergilus dan Alternaria. Alergen
ingestan adalah alergen yang masuk ke saluran cerna berupa makanan seperti susu

16
sapi, telur, kacangkacangan. Alergen injektan adalah yang masuk melalui suntikan
atau tusukan misalnya penisilin dan sengatan lebah. Alergen kontaktan adalah
yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik.2

Gambar 2.3 Faktor Risiko Rinitis Alergi

2.4 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang prevalensinya terus
meningkat dan diperkirakan mengenai 10-25% populasi di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat 1 dari 5 orang atau sekitar 60 juta orang terkena rinitis alergi.
Prevalensinya pada orang dewasa 10-30% dan lebih dari 40% pada anak-anak.1,3,7
Anak-anak yang mengidap satu komponen atopi yaitu rinitis alergi, asma atau
ekzema memiliki risiko tiga kali lipat untuk terkena komponen atopi lainnya. rasio
penderita rinitis alergi lakilaki dan perempuan adalah 1:1,1 dengan distribusi
terbanyak pada umur 18-30 tahun. Soediro melaporkan rasio laki-laki dan
perempuan adalah 1:1,3.8
2.5 Klasifikasi
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun
2007, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE. Rinitis alergi dahulu dibedakan menjadi dua macam berdasarkan sifat
berlangsungnya yaitu rinitis alergi musiman dan rinitis alergi sepanjang tahun atau
perenial. Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang mempunyai empat
musim. Alergen penyebabnya spesifik yaitu serbuk sari dan spora jamur3
Rinitis alergi perenial timbul intermiten atau terus menerus tanpa variasi
musim. Penyebab paling sering adalah alergen inhalan dan ingestan. Alergen
inhalan utama adalah alergen dalam rumah seperti tungau dan alergen diluar rumah.
Sedangkan klasifikasi rinitis alergi menurut WHO ARIA berdasarkan pada sifat
berlangsungnya dan berat ringannya penyakit. Berdasarkan sifat berlangsungnya,

17
dapat dibagi menjadi dua yaitu intermiten bila gejala terjadi kurang dari empat
hari/minggu atau kurang dari empat minggu dan persisten atau menetap bila gejala
lebih dari empat hari/minggu atau lebih dari empat minggu. Berdasarkan berat
ringannya penyakit dibagi menjadi dua yaitu ringan bila tidak ditemukan gangguan
tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, berolahraga, bersantai, bekerja, sekolah dan
berat bila terdapat satu atau lebih gangguan.3,4

Gambar 2.4 Klasifikasi Rinitis Alergi (WHO ARIA 2007).3

2.6 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi dapat
dibagi menjadi dua yaitu reaksi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase lambat.
Reaksi alergi fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga satu jam
setelahnya sedangkan reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam setelah paparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.2,3
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit berperan sebagai sel penyaji atau Antigen Presenting Cell (APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida pendek dan bergabung
dengan molekul Human Leucocyte Antigen atau HLA kelas II membentuk
komplek peptida Major Hystocompatibility Complex atau MHC kelas II yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper yaitu Th0. Kemudian APC akan
melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2.1,4 Th2 akan menghasilkan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5
dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi imunoglobulin E atau IgE.
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitisasi. Pada proses ini dihasilkan sel mediator yang

18
tersensitisasi.1,4
Jika mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang sama maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi sel
mastosit dan basofil. Mediator kimia yang sudah terbentuk atau disebut juga
preformed mediator seperti histamin akan terlepas. Selain itu juga dikeluarkan
newly formed mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4,
bradikinin, platelet activating factor dan berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5,
IL6, Granulocyte Macrofage Colony Stimulating FactorI (GM-CSF). Reaksi ini
disebut reaksi alergi fase cepat.1,4 Histamin akan merangsang reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-
bersin; hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore; vasodilatasi sinusoid sehingga
menimbulkan hidung tersumbat; menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1,4
Pada reaksi alergi fase cepat, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan
target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncak setelah 6-8 jam. Reaksi ini
disebut reaksi alergi fase lambat.3,4
Reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, GM-CSF dan ICAM 1
pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic
Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein
(MBP), Eosinophilic Peroxidase (EPO).1,4

Gambar 2.5 Patofisiologi Rinitis Alergi.5

19
1.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Gejala rinitis alergi yang sering dikeluhkan pasien antara lain bersin
berulang, rinore encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang
kadang disertai dengan lakrimasi. Gejala nasal dan okuler menjadi petunjuk untuk
membedakan rinitis alergi dan rinitis kronis lainnya. Gejala tambahan yang
didapatkan pada penderita merupakan akibat dari inflamasi pada tuba Eustachius,
telinga tengah dan sinus paranasal, nyeri kepala, dan post nasal drip yang
menyebabkan nyeri tenggorok dan batuk kronis.4.5
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai sekret encer dan banyak. Bila gejala persisten, tampak mukosa
inferior hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah allergic shiner yaitu
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung, allergic salute yaitu anak tampak menggosok-
gosok hidung karena 8 gatal dengan punggung tangan, allergic crease yaitu
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian bawah akibat menggosok
hidung, mulut sering terbuka dengan lengkung langit yang tinggi sehingga
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi atau disebut juga fasies adenoid,
dinding posterior faring tampak edema atau cobblestone appearance, lidah tampak
seperti gambaran peta atau geographic tongue.1,5
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas
yang ada. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain skin
prick test (SPT/tes cukit kulit), IgE serum total, IgE serum spesifik, maupun
pemeriksaan histologis. SPT merupakan tes yang paling sesuai karena mudah
dilakukan, dapat ditoleransi oleh sebagian besar penderita termasuk anak. Tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE
spesifik. Sekitar 12-18 ekstrak alergen terstandar digunakan dalam setiap
pemeriksaan SPT bergantung pada jenis kit SPT komersial yang digunakan.
Beberapa ekstrak alergen merupakan alergen yang telah dicampur, sehingga total
jumlah alergen yang diuji mencapai 50. Histamin hidroklorin (10mg/Ml) dan
saline gliserol digunakan berturut-turut sebagai kontrol positif dan kontrol

20
negatif.4
SPT dilakukan pada permukaan volar kulit yang sehat lengan bawah pasien, 5
cm dibawah siku dan 5 cm diatas pergelangan tangan, dengan jarak alergen
masingmasing 20-30 mm. Pada permukaan kulit diteteskan masing-masing 1 tetes
dari setiap ekstrak alergen, kemudian ditusuk menggunakan lanset steril. Dua
puluh menit kemudian weal dihitung diameternya. Pemeriksaan diaggap valid
apabila ukuran kontrol positif ≥ 4mm dan kontrol negatif ≤ 3 mm. Reaksi
dianggap positif apabila diameter weal lebih besar > 2mm dibanding kontrol
negatif. Diameter weal ≤ 3mm dianggap negatif. Adapun pemeriksaan IgE serum
total dinilai kurang bermanfaat sedangkan IgE serum spesifik tergolong
mahal.Pemeriksaan histologis dilakukan bila ingin menentukan jenis rinitis antara
alergi/non alergi dan rinitis akibat infeksi dan menindaklanjuti respons terhadap
terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung.5
Foto polos sinus paranasal dapat dikerjakan bila ada indikasi keterlibatan sinus
paranasal. CT Scan sinus paranasal dilakukan untuk menentukan adakah
komplikasi seperti sinusitis, tidak ada respons terhadap terapi dan direncanakan
tindakan operatif.4,6

2.8 Pentalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan rinitis alergi adalah meningkatkan kualitas hidup
penderita diantaranya tidak ada gangguan tidur, dapat melakukan aktivitas sehari-
hari tanpa ada hambatan baik saat di sekolah, bekerja, olahraga maupun saat
bersantai, tidak ada gejala yang mengganggu dan efek samping dari obat yang
diberikan tidak ada atau minimal. Penatalaksanaan rinitis alergi adalah dengan
menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi, medikamentosa,
operasi dan imunoterapi. Meskipun pengendalian lingkungan tidak dapat
dilakukan dengan sempurna, mengurangi pencetus alergi dapat secara signifikan
menurunkan gejala.7,8
Pilihan farmakoterapi pada rhinitis alergi yang dapat dipakai antara lain
Antagonis histamin H-1, Glukokortikoids intranasal, dan Antagonist
LeukotrienReseptor. Antagonis Histamin H-1 merupakan terapi yang sering

21
dipakai sebagai
lini pertama dalam pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi
atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Obat diberikan
selama 2-4 minggu, kemudian di evaluasi ulang, ada atau tidaknya respons.
Bila terdapat perbaikan, obat diteruskan lagi 1 bulan. Preparat
kortikostreoid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topikal seperti beklometason,
budesonid, flunisoid, flutikasin, mometason furoat dan triamsinolon.
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktfitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Penghindaran
allergen dan kontrol lingkungan merupakan terapi yang paling ideal dengan
cara menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan eliminasi
alergen. Bersamaan dengan pemberian obat, pasien di edukasi untuk
menghindari atau mengurangi jumlah allergen pemicu di lingkungan sekitar.
Apabila tidak dapat perbaikan setelah farmakoterapi optimal dan
penghindaran alergen yang optimal, maka dipertimbangkan untuk
pemberian
imunoterapi secara subkutan atau sublingual. Imunoterapi diberikan selama
3-5
tahun untuk mempertahankan efektifitas terapi jangka panjang. Tujuan
dari
imunoterapi adalah pembentukan igG Blocking antibody dan penurunan
IgE.

22
Gambar 2.6 Alur Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi.3

Gambar 2.7 Dosis Antihistamin.4

23
Resep :
- Antihistamin :
cetirizine 1 x 10mg

R/ Cetirizine tab 10 mg No. X


S 2 dd1

Total Nasal Skor Sistem


Total Skor Gejala Hidung (TNSS) adalah jumlah skor untuk setiap hidung
tersumbat, bersin, gatal pada hidung, dan rinore pada setiap titik waktu,
menggunakan skala empat titik (0–3), di mana 0 menunjukkan tidak ada
gejala, skor dari 1 untuk gejala ringan yang mudah ditoleransi, 2 untuk
kesadaran gejala yang menyusahkan tetapi dapat ditoleransi dan 3
dicadangkan untuk gejala parah yang sulit untuk ditoleransi dan mengganggu
aktivitas sehari-hari. TNSS dihitung dengan menambahkan skor untuk setiap
gejala menjadi total dari 12.

24
Gambar 2.8 Total Nasal Symptom Score.10

Kuisioner Skrining untuk rhinitis alergika WHO-Aria 2007:


Untuk mengevaluasi kemungkinan rinitis alergi, mulailah dengan
mengajukan
pertanyaan di bawah ini kepada pasien dengan gejala hidung.
Kuisioner ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan gejala rinitis
alergi yang telah diidentifikasi dalam literatur peer-review memiliki nilai
diagnostik terbesar. Ini tidak akan menghasilkan diagnosis pasti, tetapi dapat
memungkinkan Anda untuk menentukan apakah diagnosis rinitis alergi harus
diselidiki lebih lanjut atau tidak mungkin.

Gambar 2.9 Kuesioner WHO-ARIA Rinitis Alergi.

2.9 Komplikasi
Rinitis alergi merupakan manifestasi penyakit alergi tipe I yang paling sering
ditemui di masyarakat, jika tidak mendapatkan penanganan dapat terjadi
komplikasi berupa rinosinusitis, konjungtivitis alergi, polip hidung, hipertrofi
adenoid, otitis media dengan efusi, disfungsi tuba, laringitis, GERD, dan Chronic
cough.4
2.10 Prognosis
Rinitis alergi pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya
usia. Kadangkala rinitis alergi dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan
mengetahui faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan
timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga
dapat mengurangi gejala yang timbul. Rinitis Alergi adalah penyakit kronik yang
gejalanya akan hilang timbul. Komunikasi dengan pasien dan orangtua diperlukan

25
agar pemeriksaan berkala dilakukan dan pemberian obat dapat disesuaikan dengan
fluktuasi gejala. Bila alergen penyebab diketahui, maka penghindaran alergen
pencetus perlu terus menerus dilakukan. Pada gejala yang menetap dan berat,
diperlukan penilaian menyeluruh dan tatalaksana lanjut, antara lain imunoterapi.
Pada kasus: QAV : Ad bonam QAF : Dubia ad bonam
2.11 PBHL
1 Medical Indication
Kaidah dasar moral yang digunakan dalam medical indication adalah beneficence,
dokter menerapkan Golden Rule Principle dimana dokter melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai kebutuhan
sehingga mendapatkan diagnosis kerja. Selain menegakkan diagnosis dokter juga
mencari faktor penyebab dari sinusitis maksilaris sehingga dapat memberikan
edukasi untuk mencegah rekurensi dan melakukan tatalaksana. Tatalaksana yang
diberikan bertujuan untuk menghilangkan gejala dan mencegah komplikasi pada
pasien.
2 Patient Preference
Kaidah dasar autonomi, pasien diberikan informasi mengenai penyakit dan
tatalaksananya, lalu setiap tindakan yang akan diberikan dilakukan berdasarkan
informed consent dari pasienya sendiri karena pasien sudah berusia lebih dari 21
tahun.
3 Quality of Life
Kaidah dasar moral yang digunakan adalah non maleficence, dokter
melakukan tatalaksana yang sesuai, agar mencegah komplikasi yang akan terjadi
pada pasien sehingga pasien dapat menjalani aktivitas sehari-harinya tanpa
terganggu oleh penyakit yang di deritanya.
4 Contextual Feature
Kaidah dasar moral justice, dokter mempunyai kewajiban mendistribusikan
keuntungan dan kerugian atas tindakan medis kepada pasien serta menjaga
kelompok yang rentan dan dokter juga tidak boleh membeda-bedakan pasien dari
status sosial dan ras.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi
VII. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2014: 106-112.
2. ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), 2016. ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) Report 2016. Canada: World Health
Organization.
3. Klimek, et al. ARIA Guideline 2019: Treatment of Allergic Rhinitis in
German health system. National Institutes of Health 2019; 3 (1): 22-50.
4. J. Bousquet, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
2008 Update (in collaboration with the World Health Organization.
Allergy 2008: 63 (Suppl. 86): 8–160
5. Ghaffari J, Ranjabar A, Quade A. Vitamin D Deficiency and Allergic
Rhinitis in Children: A Narrative Review. Journal of Pediatrics Review
2015.
6. Wheatley, LM; Togias, A (29 January 2015). Clinical practice: Allergic
rhinitis. The New England Journal of Medicine.
7. Drake Richard, Vogl A. Wayne, Mitchell Adam. Regiones Capitis dan
Cervicales/Kepala dan Leher. Edisi I. Singapore, Elsevier, 2012;572-3
8. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002
9. Berger W, Gupta N, McAlary, Taylor AF. Evaluation of long-term
safety of the anti-IgE antibody in children with allergic asthma and
rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. 2003;91:182-8.
10. Keith PK, Desrosiers M, Laister T, Schellenberg RR, Waserman S.
The burden of allergic rhinitis (AR) in Canada: perspectives of
physicians and patients. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.
2012;8(7):1-11.

27

Anda mungkin juga menyukai