Intan Kekesuara Sakina, Saviera Salsabila Putri Edison, Feby Widya Pramitha,
Farraskya Pradhany Rizaldi
Program Pendidikan Profesi Dokter, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang terus dikaji oleh
pemerintah terutama di negara-negara berkembang. WHO menyatakan terdapat 10
juta orang di dunia yang mengalami TB pada tahun 2019. TB sering dijumpai
pada usia produktif dengan insiden dan prevalensi banyak pada laki-laki. Gizi
kurang juga sering kali dijumpai pada penderita TB. Prevalensi gizi kurang pada
pasien TB dewasa masih tinggi, khususnya negara berkembang termasuk
Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui gambaran
karakteristik dan perubahan status gizi pasien TB Puskesmas Lembang.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang dilaksanakan di
Puskesmas Lembang. Sumber data berasal dari data sekunder dari formulir TB 01
dan TB 03. Pengambilan sampel menggunakan total populasi penderita TB yang
berjumlah 64 orang dan yang memenuhi kriteria penelitian berjumlah 54 orang.
Berdasarkan penelitian ini, karakteristik pasien TB berdasarkan usia di Puskesmas
Lembang paling banyak berusia 25-34 tahun (29,6%), dengan distribusi jumlah
penderita yang sama pada laki-laki dan perempuan. Sebelum menjalani
pengobatan, pasien TB di Puskesmas Lembang mayoritas memiliki status gizi
kurang (40,7%) dengan kelompok usia 15-24 tahun yang paling banyak (50%).
Sedangkan setelah pengobatan fase intensif, terjadi penurunan jumlah pasien TB
dengan gizi kurang dan obese sedangkan terjadi peningkatan jumlah pasien TB
dengan gizi normal dan overweight. Dari 54 responden, terdapat 43 orang (80%)
yang mengalami perubahan berat badan setelah pengobatan. Namun hanya 11
orang (20%) yang mengalami perubahan status gizi karena walaupun terjadi
perubahan berat badan, responden masih berada di kelompok status gizi
berdasarkan IMT yang sama dengan sebelum pengobatan.
Kata Kunci : status gizi, tuberkulosis.
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan yang terus dikaji oleh
pemerintah terutama di negara-negara berkembang. World Health Organization
1
(WHO) menyatakan bahwa terdapat 10 juta orang di dunia yang mengalami TB
dan terdapat 1,4 juta kematian pada tahun 2019. Berdasarkan jenis kelamin,
terdapat 5,6 juta pasien laki-laki dan 3,2 juta pasien perempuan. Sedangkan kasus
TB anak berjumlah 1,2 juta kasus.1
Indonesia berada diurutan kedua negara dengan angka kejadian TB tertinggi di
dunia setelah India. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 menyatakan
bahwa terdapat 845.000 kasus TB di Indonesia dengan 70.341 di antaranya
merupakan kasus TB anak dan 12.015 di antaranya merupakan kasus TB HIV.
Dari total kasus TB, 83% di antaranya berhasil diobati. Sedangkan terdapat
12.469 kasus kematian akibat TB. Dari 845.000 kasus TB di Indonesia, 127.000
kasus berada di Jawa Barat dan baru 50% kasus yang dapat diobati.2
Asupan makanan dalam jumlah dan jenis zat gizi yang sesuai kebutuhan
sangat penting bagi orang yang sedang mengalami sakit. Asupan zat gizi yang
tidak sesuai kebutuhan sangat berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit
maupun komplikasinya. Selain itu terdapat kecenderungan peningkatan kasus
yang terkait gizi baik, pada individu maupun kelompok. Hal ini memerlukan
asuhan gizi yang bermutu guna mempertahankan status gizi yang optimal dan
untuk mempercepat proses penyembuhan.3
Gizi kurang sering kali dijumpai pada pasien yang menderita TB. Prevalensi
gizi kurang pada pasien TB dewasa masih tinggi, khususnya negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Diseluruh dunia terdapat 25% pasien TB yang
terdokumentasi dalam kasus baru TB mengalami gizi kurang. Penelitian
menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami TB aktif menyebabkan
penurunan asupan nutrisi, sehingga dapat menyebabkan penurunan berat badan.4,5
Kecenderungan penurunan berat badan penderita TB merupakan akibat dari
gejala anoreksia. Infeksi TB mengakibatkan penurunan asupan dan malabsorpsi
nutrien serta perubahan metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan
massa otot dan lemak (wasting) sebagai manifestasi malnutrisi energi protein.
Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya status gizi buruk apabila tidak
diimbangi dengan diet yang tepat. Malnutrisi yang terjadi akan memperberat
penyakit infeksinya, sehingga status gizi menjadi penyebab utama terjadinya
2
kegagalan konversi pengobatan pada penderita infeksi TB. Gizi kurang pada
pasien TB jika tidak teridentifikasi segera akan menyebabkan permasalahan
kesehatan yang lebih serius seperti peningkatan angka mortalitas.4,6,7
Perbaikan gizi juga dapat terjadi pada pasien TB yang sedang melakukan
pengobatan. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena berbagai alasan termasuk
peningkatan nafsu makan dan meningkatnya asupan makanan, kebutuhan energi
berkurang, dan adanya peningkatan efisiensi metabolik. Kebanyakan terjadi
perbaikan, namun, terbatas pada peningkatan massa lemak.8
Saat ini masih sedikit pembuktian ilmiah yang menyatakan adanya perbaikan
berat badan pasien TB sebelum dan sesudah pengobatan fase intensif. Selain itu,
penelitian di Indonesia yang menunjukkan gambaran asupan makanan pada pasien
TB sebelum dan sesudah terapi juga masih sedikit. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk meneliiti gambaran karakteristik dan status gizi pasien TB karakteristik dan
status gizi pasien TB di Puskesmas Lembang.8
3
perubahan status gizi. Penelitian ini dimulai dengan penentuan judul, kemudian
dilanjutkan dengan penyusunan bab 1 sampai bab 3, penentuan sampel,
pengumpulan dan pencatatan data-data dari formulir TB01 dan TB03 dan diakhiri
dengan rekapitulasi dan analisis data.
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah responden yang berada dalam
kelompok usia 15-24 tahun sebanyak 14 responden (26,0%), kelompok usia 25-
34 tahun memiliki penderita terbanyak yaitu 16 responden (29,6%). Pada
kelompok usia 35-44, kelompok usia 45-54 tahun dan kelompok usia >55 tahun
masing-masing sebanyak 8 responden (14,8%). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pasien TB terbanyak berada pada kelompok usia 25-34 tahun dan termasuk
ke dalam usia produktif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan data dari Profil Kesehatan Indonesia pada
tahun 2016 yaitu pasien TB paling banyak berada pada kelompok usia 25-34
4
tahun. Hal ini disebabkan usia dewasa muda adalah usia produktif dimana usia
produktif mempengaruhi risiko tinggi untuk terkena TB karena kecenderungan
untuk berinteraksi dengan orang banyak diwilayah kerja lebih tinggi dibandingkan
dengan bukan usia produktif sehingga insidensi TB banyak mengenai dewasa
muda. Risiko tertular oleh orang yang mengalami TB akan lebih tinggi. Namun,
hasil ini tidak sesuai dengan data prevalensi TB paru berdasarkan riwayat
diagnosis dokter nemurut karakteristik yang tercantum dalam Riskesdas tahun
2018. Data tersebut menunjukkan bahwa kelompok usia > 55 tahun memiliki
prevalensi terbesar. Tubuh manusia memiliki sistem pertahanan tubuh untuk
menghadapi infeksi mikroorganisme, namun kemampuan tersebut akan menurun
sejalan dengan pertambahan usia. Hal ini dapat menjelaskan mengapa responden
yang lebih tua yang lebih banyak yang menderita penyakit TB.28,30
Berdasarkan Tabel 4.2 pada penelitian ini terdapat 27 orang responden (50%)
berjenis kelamin perempuan dan 27 orang responden lainnya (50%) berjenis
kelamin laki-laki, tidak ada perbedaan jumlah responden dengan jenis kelamin
perempuan atau laki-laki.
Hasil ini tidak sesuai dengan data dari WHO yang menyebutkan bahwa
insiden dan prevalensi TB banyak pada laki-laki karena merokok tembakau dan
minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga
mudah terpapar dengan agen penyebab TB Paru.10,30
5
N %
Status Gizi Awal
Kurang (<18,5) 22 40,7%
Normal (18,5-22,9) 20 37,2%
Overweight (23,0-24,9) 7 12,9%
Obesitas (≥25) 5 9,2%
Total 54 100%
Tabel 4.4 Status Gizi Sebelum Pengobatan berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
IMT Usia (n %) Jenis Kelamin (n %)
Kurang (<18,5): 22 15-24 tahun: 11 (50%) Perempuan: 11 (50%)
(40,7%) 25-34 tahun: 3 (13,6%) Laki-laki: 11 (50 %)
35-44 tahun: 3 (13,6%)
45-54 tahun: 2 (9,2%)
>55 tahun: 3 (13,6%)
Normal (18,5-22,9): 15-24 tahun: 1 (5%) Perempuan: 7 (35%)
20 (37,2%) 25-34 tahun: 8 (40%) Laki-laki: 13 (65%)
35-44 tahun: 2 (10%)
45-54 tahun: 5 (25%)
>55 tahun: 4 (20%)
Overweight (23,0- 15-24 tahun: 1 (14,3%) Perempuan: 5 (71,4%)
24,9): 7 (27,9%) 25-34 tahun: 2 (28,6%) Laki-laki: 2 (28,6%)
35-44 tahun: 2 (28,6%)
6
45-54 tahun: 1 (14,3%)
>55 tahun: 1 (14,3%)
Obesitas (≥25): 5 15-24 tahun: 1 (20%) Perempuan: 4 (80%)
(9,2%) 25-34 tahun: 2 (40%) Laki-laki: 1 (20%)
35-44 tahun: 2 (40%)
45-54 tahun: 0
>55 tahun: 0
Berdasarkan tabel 4.4, responden dengan gizi kurang paling banyak berusia
15-24 tahun (50%) dan tidak ada perbedaan jumlah responden laki-laki dengan
perempuan. Sedangkan responden dengan gizi normal paling banyak berusia 25-
34 tahun (40%) dan jumlah responden laki-laki (65%) lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan (35%). Responden overweight paling banyak berusia 25-34
tahun (28,6%) dan 35-44 tahun (28,6%) dan jumlah responden perempuan
(71,4%) lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (28,6%). Responden obesitas
juga paling banyak berusia 25-34 tahun (40%) dan 35-44 tahun (40%) dan jumlah
responden perempuan (80%) lebih banyak dibandingan dengan laki-laki (20%).
Gizi kurang akan menyebabkan penurunan kekebalan tubuh seseorang
sehingga akan mudah terkena penyakit, Pada kasus TB dengan gizi kurang, terjadi
penurunan Cell-Mediated Immunity (CMI) yang merupakan kunci utama dalam
melawan TB. Gizi kurang juga dapat menyebabkan peningkatan risiko perburukan
TB dari enam hingga sepuluh kali lipat dan dapat meningkatkan terjadinya
kekambuhan. Terdapat beberapa penelitian menunjukkan IMT rendah juga
berkaitan dengan peningkatan risiko kematian pada pasien TB.13,14,31
Tabel 4.5 Perbandingan Status Gizi Sebelum Pengobatan dan Setelah Fase
Intensif
Setelah Fase
Variabel Sebelum Pengobatan
Intensif
n % n %
Kurang (<18,5) 22 40,7% 18 33,3%
Normal (18,5-22,9) 20 37,2% 25 46,2%
7
Overweight (23,0-24,9) 7 12,9% 8 15%
Obesitas (≥25) 5 9,2% 3 5,5%
Total 54 100% 54 100%
Dari tabel 4.4.1 diketahui status gizi pada akhir fase intensif, pada kelompok
status gizi kurus (<18,5) terdapat 18 responden (33,3%) dan terjadi penurunan
jumlah responden sebanyak 4 orang. Pada kelompok status gizi normal (18,5-
22,9) terdapat 25 responden (46,2%) dan terjadi peningkatan jumlah responden
sebanyak 5 orang. Pada kelompok status gizi overweight (23,0-24,9) terdapat 8
responden (15%) dan terjadi peningkatan jumlah responden sebanyak 1 orang.
Sedangkan pada status gizi obesitas (≥25) terdapat 3 responden (5,5%) dan terjadi
penurunan jumlah responden sebanyak 2 orang.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dodor, rata-rata IMT pasien TB
sebelum pengobatan adalah 18,7 dan setelah melakukan pengobatan fase intensif
selama 2 bulan, rata-rata IMT pasien meningkat menjadi 19,5 sehingga di akhir
fase intensif, terdapat 60% pasien yang memiliki status gizi normal.30,32
8
yang mengalami peningkatan berat badan memiliki probabilitas keberhasilan
pengobatan yang lebih baik dan risiko kekambuhan yang lebih rendah.33
Pada tabel 4.7, dilihat dari perubahan berat badan dan status gizi berdasarkan
IMT sebelum dan sesudah pengobatan fase intensif, hanya ada 11 responden
(20%) yang mengalami perubahan status gizi. Sedangkan 43 responden (80%)
tidak mengalami perubahan status gizi karena walaupun responden mengalami
perubahan berat badan, responden masih berada di kelompok status gizi
berdasarkan IMT yang sama dengan sebelum pengobatan.
Perbaikan gizi dapat terjadi pada pasien TB yang sedang melakukan
pengobatan. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena berbagai alasan termasuk
peningkatan nafsu makan dan meningkatnya asupan makanan, kebutuhan energi
berkurang, dan adanya peningkatan efisiensi metabolik. Pengobatan yang
diberikan menyebabkan proses infeksi berkurang sehingga terjadi penurunan
kadar IL-1B, IL-6, dan TNF-A. Proses ini meningkatkan sintesis asam lemak dan
penurunkan proses lipolisis lemak di jaringan sehingga terjadi peningkatan massa
lemak dan IMT. 30,34
9
4. Sebagian besar pasien TB di Puskesmas Lembang tidak mengalami perubahan
status gizi karena walaupun pasien mengalami perubahan berat badan, pasien
masih berada di kelompok status gizi berdasarkan IMT yang sama dengan
sebelum pengobatan.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian lebih
lanjut mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perbaikan IMT pada pasien TB
di wilayah kerja Puskesmas Lembang.
10
DAFTAR PUSTAKA
22. (Yung-Feng Yen, Pei-Hung Chuang, Muh- Yong Yen, Shu-Yi Lin, Pei-
Chuang, Mei-Jen Yuan, dkk. 2016. Association of Body Mass Index with
Tuberculosis Mortality. Medicine – Wolters Kluwer Health.95(1)
23. United States Agency International Development (USAID). 2010.
Nutrition and tuberculosis. A review of the Literature and Considerations
for TB control program. Washington: USAID Africa’s Health;
24. Faurholt-Jepsen D, Range N, PrayGod G, Jeremiah K, Faurholt-Jepsen M,
Aabye MG, dkk. 2013. Diabetes is a strong predictor of mortality during
tuberculosis treatment: a prospective cohort study among tuberculosis
patients from Mwanza, Tanzania. Trop Med Int Health. 18(7):822–9
12
25. Depkes RI. Situasi epidemiologi TB Indonesia 2010; 2010 (cited 2011 july
19); Available from : http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Data_tb_1_2
010.pdf
26. Pusponegoro H.D, Sri Rejeki S.H, Dody F, Bambang T.A, Antonius H.P,
M.Sholeh K, dan K.Rusmil. 2005. Standar pelayanan medis kesehatan
anak. Edisi Ke-1. Jakarta : IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia
27. Kementerian Kesehatan RI. Pengobatan Pasien TB. Direktorat Jenderal
Pencegahan dna Pengedalian Penyakit. Jakarta. 2017.
28.Kementerian Kesehatan RI. Data dan informasi profil kesehatan Indonesia
2016. Kementeri Kesehat RI. 2016.
29. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. 2018
30. Puspita E, Christianto E, Yovi I. Gambaran status gizi pada pasien TB
paru (tb paru) yang menjalani rawat jalan di rsud arifin achmad pekanbaru.
2016. 3(2).
31. Ernawati K, Ramdhagama NR, Ayu LAP, Wilianto M, Dwianti VTH,
Alawiyah SA. Perbedaan status gizi penderita TB paru antara sebelum dan
pengobatan dan saat pengobatan fase lanjutan di johar baru Jakarta pusat.
Majalah Kedokteran Bandung. 2018. 50(2)
32. Dodor A. Evaluation of nutritional status of new tuberculosis patients at
the Effia-Nkwanta regional hospital. Ghana Medical Journal. 2008 fall. 42
No 1.
33. Tama TD, Adisasmita AC, Burhan E. Indeks massa tubuh dan waktu
terjadinya konversi sputum pada pasien tuberkulosis paru bta positif di
rsup persahabatan tahun 2012. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia.
2016. November:1(1)
34. Pratomo I Putra, Burhan E, Tambunan V. Malnutrisi dan TB. J Indon Med
Assoc. 2021. June:62(6):231
13
14