Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

HIPOKSIA ISKEMIK ENSEFALOPATI

Pembimbing:
dr. Meiriani Sari, Msc, SpA

Penyusun:
Rana Rick Winotho G
406171002

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
PERIODE 13 AGUSTUS 2018 – 21 OKTOBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
1
BAB 1
PENDAHULUAN

Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau neonatus mengalami


kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai
macam organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan
biokimia sehingga dalam jaringan timbul laktik asidosis. Pengaruh hipoksia dan
iskemia tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih.
Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia.1-7 Asfiksia dapat terjadi pada waktu
pre, peri dan postnatal.1-7 American Academy of Pediatrics (AAP) and the
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) membuat definisi
asfiksia perinatal sebagai berikut: (1) adanya asidosis metabolik atau mixed
acidemia (pH<7.00) pada darah umbilikus atau analisa gas darah arteri apabila
fasilitas tersedia; (2) adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit; (3)
manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang,
hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik iskemik; dan (4) adanya gangguan
fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal.8 Tidak ada satu tes darah yang
spesifik untuk mendiagnosis asfiksia perinatal.4 Nilai yang pasti untuk
menentukan adanya asidemia yang merusak organ tidak diketahui dengan pasti.
Pada pH<7.0 secara klinis menimbulkan asidosis, tetapi belum pasti cedera
hipoksik telah terjadi. Nilai apgar berguna untuk menilai status keadaan bayi baru
lahir, tetapi nilai apgar saja adalah paramater yang tidak dapat menentukan
adanya asfiksia.8 Nilai apgar saja menurut AAP/ACOG tidak bisa digunakan
sebagai bukti bahwa kerusakan neurologi karena hipoksia yang diakibatkan
cedera saraf atau penatalaksanaan intrapartum yang tidak optimal.8
Istilah ensefalopati hipoksik iskemik perinatal sering ditulis ensefalopati
hipoksik iskemik, sehingga istilah ensefalopati hipoksik iskemik lebih banyak
digunakan dan dikenal orang.1-7 Ensefalopati adalah istilah klinis tanpa
menyebutkan etiologi di mana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada
waktu dilakukan pemeriksaan.1-5 Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah
suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium

2
yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena
asfiksia.1-6 Diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik dibuat berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak ada satupun test yang spesifik untuk
menyingkirkan atau menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik.1-3
Semua pemeriksaan dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang
terjadi dan memonitor fungsi dari organ sistemik lainnya.1-7

3
BAB II
ISI

2.1 Definisi
Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi
oksigen dalam darah arteri. Iskemia adalah istilah yang menggambarkan penurunan
aliran darah ke sel atau organ (perfusi) yang menyebabkan insufisiensi fungsi
pemeliharaan organ tersebut.1 Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau
neonatus mengalami hipoksia dan atau iskemia ke berbagai macam organ. Keadaan
ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam
jaringan timbul asidosis. Pengaruh hipoksia dan iskemia tidak sama, tetapi
keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih. Kedua faktor tersebut
menyebabkan asfiksia.
Ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana
bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.10
Hipoksik iskemik Ensefalopati perinatal (HIE) adalah suatu sindroma yang ditandai
dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera
pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.1-6 Hipoksik iskemik
Ensefalopati merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada
susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa
palsi cerebral atau defisiensi mental Diagnosis HIE dibuat berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis. Tidak ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan
atau menegakkan diagnosis HIE. Semua pemeriksaan dikerjakan untuk mengetahui
beratnya cedera otak yang terjadi dan memonitor fungsi dari organ sistemik
lainnya.2
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,0- 1,5% bayi lahir hidup.1
Insiden semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir.1-
7
Insiden HIE di Amerika Serikat terjadi pada 2-9 per 1000 bayi aterm yang

lahir hidup.1 Angka kejadian di negara berkembang per 1.000 bayi aterm lahir

4
hidup, Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265,3 di Rumah Sakit Dr.
Soetomo Surabaya 12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita
asfiksia9 Angka kematiannya tinggi sekitar 50%, angka kecacatan berhubungan
dengan beratnya penyakit10 Anggapan bahwa penyebab utama CP dan
kemunduran mental karena asfiksia perinatal adalah tidak benar, hanya 8,2% kasus
CP yang terbukti karena asfiksia perinatal1-4 Penanganan yang utama adalah
pencegahan karena tidak ada satupun obat yang dapat memperbaiki sel syaraf yang
telah mati1-7 Di samping mengatasi kejang, pengobatan suportif dengan resusitasi
dan penanganan organ lainnya yang mengalami kelainan sangat diperlukan1-7,11,12.
Saat ini sedang dilakukan penelitian pemberian obat neuroprotektif untuk
mencegah atau mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.1-7 Penanganan harus
cepat, tepat dan adekuat1-11

2.3 Etiologi
Bermacam-macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal
yaitu1-4: 1)gangguan oksigenasi pada ibu hamil, 2)penurunan aliran darah dari ibu
ke plasenta atau dari plasenta ke fetus, 3)gangguan pertukaran gas yang melalui
plasenta atau fetus, 4)peningkatan kebutuhan fetal oksigen.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor
maternal, plasenta-tali pusat dan fetus/neonatus:1-3
- Kelainan maternal: hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug
abuse, penyakit jantung, paru, dan susunan syaraf pusat, hipotensi,
infeksi, ruptura uteri, tetani uteri, panggul sempit.
- Kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio
plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah
umbilikus
- Kelainan fetus atau neonatus: anemia, perdarahan, hidrops,
infeksi, pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth
retardation), serotinus.

5
2.4 Patogenesis

Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan pada


dewasa.1-2 Hal ini dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus
berusaha mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi)
dari paru-paru, gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot, dan kulit,
menuju ke otak, jantung, dan adrenal (diving reflex). Pada fetal distress maka
peristaltik usus meningkat, spinchter ani terbuka, mekonium akan keluar
bercampur dengan air ketuban, skuama, lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-
paru, sehingga tubuhnya berwarna hijau dan atau kekuningan. Kombinasi antara
fetal hypoxia yang kronis dengan cedera hipoksik iskemik akut setelah lahir
mengakibatkan kelainan neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya.
Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun,
meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak,
meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut
dengan hipoksia yang berat, dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun,
curah jantung yang menurun, dan menurunnya tekanan darah sebagai akibat
gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan energi. Selama asfiksia
timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek,
maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik,
maka asam laktat akan dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan
perbaikan perfusi. Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif serebral
sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan
proses glikolisis anaerobik tidak efektif dan produksi ATP berkurang. Jaringan
otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya
asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis, hilangnya autoregulasi
serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung, menyebabkan iskemia dan
menurunnya distribusi glukosa pada setiap jaringan. Cadangan glukosa menjadi
berkurang, cadangan energi berkurang, dan timbunan asam laktat meningkat.
Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak
menurun, dan adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan
kegagalan sekunder dari oksidasi fosforisasi dan produksi ATP menurun. Karena
6
kekurangan energi, maka ion pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+,
Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+, glutamat, dan aspartate ekstraseluler.1,2
Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonatus yang mengalami asfiksia
sekarang masih dalam penelitian.1 Teori yang dianut kematian sel otak melalui
proses apoptotis dan nekrosis, tergantung perjalanan prosesnya akut atau kronis,
lokasi, dan stadium perkembangan parensim otak yang cedera.1, 2
Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik ditandai
dengan sekelompok sel neuron edema, disentegrasi dari membran, pecahnya sel,
isi sel tumpah ke rongga ekstraselular yang memberikan reaksi inflamasi dan
fagositosis. Apoptosis terjadi pada sel individu, sel mengerut/mengecil, kromatin
kelihatan piknotik, membran sel membentuk gelembung-gelembung
(“blebbing”), inti sel berfragmentasi dan sel terbelah-belah dengan masing-
masing pecahan (yang mengandung pecahan nukleus dan organella) terbungkus
oleh membran sel yang utuh, ini disebut “apoptotic bodies”. Apoptotic bodies
ini kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag ataupun sel sekitarnya.
Kematian sel nekrotik terjadi segera setelah adanya injury (immediately cell death)
dan terutama terjadi pada sel neuron yang mature. Sebaliknya kematian sel
apoptotic terjadinya lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel
neuron yang immature.2

Nekrosis2

Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx


Ca2+ ke dalam sel dan ekspresi gluatamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh
hilangnya keseimbangan potensial membran dan terbukanya saluran ion yang
“voltage-dependent” (VDCC = Voltage Dependent Calcium Channels).
Metabolisme glukosa beralih ke proses yang anaerobik, ATP terkuras dan
terjadinya lactic acidosis. Glutamat memicu reseptor NMDA (N-Methyl-D-
Aspartate) dengan efek membuka reseptor tersebut untuk Ca2+ masuk. Ion
Calcium yang masuk di dalam neuron mengaktifkan enzim-enzim seperti
protease, lipase, endonuclease dan berakibat pada fosfolipid sebagai konstituen sel
membran. Terjadi mobilisasi asam arakidonat yang diproses oleh lipoksigenase

7
dan siklo-oksigenase dalam sitosol menjadi leukotrienes, prostaglandin
dan tromboksan. Proses ini diserta pelepasan radikal oksigen bebas yang
berakibat terjadinya proses peroksidasi membran sel yang kemudian pecah dan
isi sel mengalir keluar. Neuron mengalami kematian akibat nekrosis. Proses
peroksidasi diperberat dengan terbentuknya NO (nitric oxide) sebagai akibat
enzim Nitric Oxide Syntase diaktifkan oleh kadar ion Ca2+ intra-selullar yang
meningkat tajam, NO dengan radikal oksigen bebas membentuk peroksinitrit
suatu senyawa yang sangat reaktif (merusak) karena memacu proses peroksidasi
lipid. Reaksi peradangan dan ekspresi sitkin pro-inflamasi berakibat mobilisasi
lekosit polymorphonuclear dan timbulnya intercellular adhesion molecules
(ICAM), lekosit beraggregasi di dinding kapiler dan efek menyumbat ini
berakibat no-reflow phenomena yang menyebabkan secondary ischemia.
Proses reperfusi yang terjadi spontan maupun karena upaya terapetik membuat
pembentukan radikal oksigen bebas (Reactive Oxygen Species = ROS) meningkat
karena pengaliran kembali darah ke jaringan di mana taraf ekstraksi oksigen
sudah meningkat tajam. Kedua hal ini menyebabkan meningkatnya kerusakan
jaringan yang dikenal sebagai “reperfusion injury”.

Apoptosis2

Influx Ca2+ berakibat mitokondria menjadi “overloaded” dalam usaha


mengatasi influx tersebut, terjadi kegagalan metabolik pada mitokondria.
Akibatnya cytocrome-c bocor dari ruang intermembran mitokondria dan
berikatan membentuk suatu kompleks dengan apaf-1 (Apoptotic Protease
Activating Factor) dan pro-caspase9, yang disebut: “Apoptosome”. Apoptosome
mengaktifkan caspase (Cysteine aspartic acid-specific protease)9, yang
selanjutnya mengaktifkan pro-caspase3 menjadi caspase3 yang aktif. Caspase 8
dan 9 adalah “initiator caspase” sedangkan caspase 3,6, dan 7 disebut “effector
caspases” karena mengeksekusi proses apoptosis, yaitu merombak enzim, unsur
protein rangka sel (ßl-actin, lamins, fodrin, dan lain-lain), ICAD (Inhibitor of
Caspase Activated DNAse) yang berakibat DNAse menjadi aktif dan merusak
DNA nukleus dan protein-protein lainnya yang terlibat dalam regulasi

8
(ketahanan) “survival” sel seperti Bcl-2, Bcl- xL, phospholipase A2, dan protein
kinase Co, hingga akhirnya mengakibatkan apoptosis, atau sering juga disebut:
“programmed Cell Death”. Bcl-2, Bcl-xL, Bax, Bid, dan Bad adalah protein
yang tergolong “Bcl2-family” dan bersifat pro-apoptotik (Bax, Bid, dan Bad)
dan anti-apoptotik (Bcl-2, Bcl-xL). Bax dan Bid mengakibatkan terjadinya
Permeability Transition Pore (PTP) pada membran luar mitokondria sehingga
cytochrome-c bisa bocor keluar dengan akibat apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-xL
mencegah terjadinya PTP ini. Bax bisa bekerja dengan membuat saluran untuk
Ca atau meningkatkan Bcl-2 sehingga efek anti-apoptotik Bcl-2 terhalang,
demikian pula Bad mengikat Bcl-xL. Kerusakan pada DNA terjadi karena
antara lain: AIF (Apoptosis Inducing Factor) yang berasal dari ruang
intermembran mitokondria, bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan
kerusakan, aktifnya endonucleases seperti Endonuclease G, PARP (Poly-ADP
Ribose Polymerase) memicu kematian sel melalui apoptosis dengan menempuh
berbagai jalur. Salah satu jalur melibatkan (protein) reseptor CD95 atau FAS
receptor (yang tergabung dalam TNF receptor family) beserta Fas ligand, yang
disebut TRAIL (TNF Receptor Apoptosis Inducing Ligand) yang membentuk
jalur menuju apoptosis yang disebut jalur ekstrinsik atau juga “Death Receptor
Pathway”. Dibedakan dengan jalur mitokondria yang disebut jalur intrinsik,
keduanya melibatkan caspase. Disamping itu masih ada satu jalur yang tidak
melibatkan caspase, dinamakan: “Caspase- independent Pathway” yang dipicu
oleh keluarnya AIF dari mitokondria, dan karena pengaruh aktivasi PARP
bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan fragmentasi DNA, diikuti
apoptotic death.

2.5 Manifestasi klinis


Ensefalopati hipoksik iskemik adalah merupakan sindroma dengan
manifestasi klinisnya mulai dari yang ringan sampai yang berat.1,3,6 Sarnat dan
Sarnat membagi ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus yang umur
kehamilannya >36 minggu.10 American Medical Association pada tahun 1976
menerbitkan modifikasi pembagian ensefalopati hipoksik iskemik menurut Sarnat

9
dan Sarnat pada bayi aterm yang sampai sekarang masih dipergunakan.6

Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3


Tanda Klinis (Ringan) (Sedang) (Berat)
Tingkat kesadaran Hyperalert/irritable Letargi Stupor, koma
Tonus otot Normal Hipotonik Flacid
Postur Normal Flexi Decerebrate
Reflek tendon/klonus Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak
Reflek moro Kuat Lemah Tidak ada
Tidak sama, reflek
Pupil Midriasis Miosis cahaya lemah
Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi
Voltase rendah sampai Burst suppression
EEG Normal bangkitan kejang ke isoelektrik

Lamanya <24 jam 24 jam sampai 14 hari Beberapa hari - minggu


Hasil Baik Bervariasi Meninggal atau cacat berat

Tabel 1. Pembagian ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm.6


(Dikutip dari Stoll BJ, Kliegman RM..Nervous System Disorders. In Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-
68).

Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ yaitu:
otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna, dan sumsum tulang.1-7 Didapatkan
satu atau lebih organ yang mengalami kelainan pada 82% kasus asfiksia perinatal.
Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling sering terkena (72%), ginjal 42%
kasus, jantung 29%, gastrointestinal 29%, paru-paru
26%.13 Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah sebagai berikut: 1-7, 13,
14

10
1. Ginjal
Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Waspadailah kemungkinan timbul
acute tubular necrosis (ATN), dan gagal ginjal akut.
2. Sistem kardiovaskuler
Hipotensi, tricuspid insufficiency, nekrosis, iskemik miokardial, disfungsi
ventrikuler, syok, gagal jantung congesif
3. Paru
Edema paru-paru, pendarahan paru-paru (shock lung), respiratory
distress syndrome, meconeal aspiration syndrome, dan persistent
pulmonary hypertension.
4. Sistem saluran cerna
Fungsional intestinal obstruction, paralytic ileus, ulkus, perforasi
atau necrotizing enterocolitis.
5. Metabolik
Asidosis, hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremi, syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone (SIADH),
6. Hepar
Gangguan fungsi liver, pembekuan darah, metabolisme bilirubin, albumin
dan shock liver.
7. Hematologi
Pendarahan-pendarahan, disseminated intravascular coagulation (DIC).
8. Kematian otak (brain death).
Belum ada kesepakatan umum yang mendefinisikan kematian otak pada
neonatus, apalagi pada neonatus yang umurnya <7 hari.1-7 AAP membuat
kriteria diagnosa kematian otak pada bayi yang umurnya >7 hari pada bayi
aterm dan prematur dengan umur kehamilan >32 minggu sebagai berikut:15
a. Apnea dan koma: tidak responsif terhadap nyeri, rangsangan
sinar/penglihatan.

b. Hilangnya reflek batang otak (dilatasi pupil yang tidak ada respon
terhadap rangsangan sinar, hilangnya gerakan spontan mata,
11
hilangnya gerakan otot bulbar termasuk otot facial dan
oropharyngeal, reflek kornea, batuk, menghisap, dan rooting,
hilangnya gerakan pernapasan di mana penderita tanpa respirator).

c. Penderita tidak hipotermi maupun hipotensi.

d. Tonusnya flacid dan hilangnya gerakan spontan atau rangsangan.

e. Observasi 2 kali pemeriksaan klinis dan EEG dalam waktu 48 jam


Rekomendasi yang spesifik pada bayi umur <7 hari tidak ada karena tidak
adanya data. Ada perbedaan yang mendasar antara evolusi kematian otak pada
neonatus dan bayi yang umurnya lebih tua. Pada neonatus struktur suturanya
paten dan fontanela yang masih terbuka membuat tidak terjadinya kenaikan
tekanan intrakarnial dan menurunnya perfusi serebral. Reflek batang otak dan
apnea yang dipakai sebagai dasar klinis untuk menentukan kematian otak sulit
dievaluasi pada neonatus yang umur kehamilannya <32 minggu.16
Kriteria klinis 2 hari pada neonatus aterm dan 3 hari pada bayi prematur
untuk memprediksi adanya kematian batang otak masih menjadi perdebatan.1,3-7
Sebetulnya untuk menentukan kematian otak pada neonatus diperlukan
pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan EEG dan atau isotop aliran darah otak.1,3
Peranan EEG untuk menentukan kematian otak pada neonatus masih belum jelas.2
Tidak adanya cerebral blood flow pada radionuclide scans dan aktivitas elektrik
pada EEG adalah tidak konsisten didapatkan pada neonatus yang secara klinis
mengalami kematian otak.1 Diagnosis kematian batang otak pada pada neonatus
cukup berdasarkan klinis di mana penyebab koma sudah diketahui dan semua
pengaruh obat-obatan dan keadaan yang bersifat reversibel sudah disingkirkan.16
Jika secara klinis tidak ada perubahan selama 24 jam, maka dapat dibuat diagnosis
kematian batang otak.16 Pada neonatus, sebagai tambahan petunjuk klinis
kematian otak adalah fixed heart rate tanpa deselerasi atau akselerasi.1, 2

2.5 Diagnosa Banding


Perlu dipikirkan penyakit atau keadaan lain yang manifestasi klinisnya berupa
neonatal ensefalopati, yaitu:1-7 1)Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan
analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan, 2) Infeksi virus, sepsis atau
12
meningitis, 3) Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru,
4)Penyakit neuromuskular, 4)Trauma persalinan, 5) Kelainan metabolisme bawaan.
Hal ini perlu dikomunikasikan kepada orang tua. Kalau neonatus nilai apgarnya
rendah, beritahu pada keluarganya kalau bayinya nilai apgarnya rendah atau bayi
dalam keadaan jelek, hindari kata-kata asfiksia sebelum penyebab asfiksia
diketahui.3 Sebaliknya kalau nilai apgarnya baik jangan katakan bayinya dalam
keadaan baik, tetapi katakanlah nilai apgarnya baik, bayi ini masih dalam masa
transisi kehidupan intrauterine ke ekstrauterine antara 6 sampai 72 jam pertama.1,3

2.5 Pemeriksaan Laboratorium


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk menyingkirkan atau
menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik. Pemeriksaan laboratorium
dikerjakan untuk memonitor fungsi maupun kelainan organ sistemik dan cedera
otak.1-7 Pemeriksaan antara lain:
1. Pemeriksaan darah lengkap.
2. Gula darah.
3. Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
4. Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg).
5. BUN dan serum kreatinin.
6. Faal pembekuan darah.
7. Faal hati.
8. Analisa gas darah.
9. Foto torak.
10. Pungsi lumbal dikerjakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya
pendarahan intrakarnial atau menyingkirkan adanya meningitis.2,7
11. Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan
dan prognosis penderita.2,3,4
12. Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sangat membantu
pada bayi yang prematur. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya
<30 minggu, minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14 hari, dan diperiksa
kembali pada umur kronologisnya 36-40 minggu. Cara ini dapat
13
mengidentifikasi pendarahan intraventrikuler dan necrosis basal ganglia dan
thalamus.4-5

13. Computed tomography (CT) scan kepala. Pada bayi yang aterm yang
mengalami cedera hipoksik iskemik biasanya dilakukan pemeriksaan CT
scan kepala pada usia 2-5 hari, di mana pada waktu tersebut timbul edema
cerebri yang maksimal. Proses perdarahan akut dan klasifikasi intrakranial
akan lebih baik divisualisasi dengan pemeriksaan CT scan dibandingkan
dengan pemeriksaan MRI. Pada bayi prematur yang mengalami
hypoxic ischemic injury, pemeriksaan dengan CT scan kepala kurang
memberikan hasil yang memuaskan karena pada bayi prematur struktur
jaringan otaknya masih imatur dan lebih banyak mengandung cairan.2,4,
5

14. Magnetic resonance imaging (MRI) kepala. Pemeriksaan ini dapat


mengidentifikasi bayi prematur maupun aterm yang mengalami cedera
hipoksik iskemik yang mungkin tidak bisa divisualisasi dengan cara neuro
imaging lainnya. Jika pemeriksaan CT scan telah dilakukan dan tidak
menghasilkan kesimpulan, maka MRI dikerjakan antara umur 2-10 hari.
Tetapi karena kesulitan teknik, membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk pemeriksaan dan sulitnya monitoring bayi yang mengalami cedera
hipoksik iskemik, maka penggunaannya dibatasi.2, 4, 5

2.6 Penatalaksanaan

A. Upaya yang optimal adalah pencegahan.1-7 Tujuan utama, yaitu


mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai resiko
mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga persalinannya.
B. Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan atau
ensefalopati hipoksik iskemik.1-7
1. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2
dalam kadar yang fisiologis. Hypercarbia akan menyebabkan acidosis
cerebral dan vasodilatasi pembuluh darah cerebral yang menyebabkan
aliran perfusi pada daerah yang tidak terkena menjadi meningkat

14
dengan relatif iskemia merusak jaringan tersebut (steal phenomenon)
memperluas infark, dan menimbulkan pendarahan intrakranial.
Sebaliknya hipokarbia (Paco2 < 20-25 mm Hg) akan menyebabkan
menurunnya aliran darah otak dengan akibat ischemic injury.
2. Oksigenasi yang adekuat. Hypoxia akan menyebabkan pressure-passive
circulation dan neuronal injury yang disebabkan karena adanya
gangguan autoregulasi vaskuler serebral. Sebaliknya hyperoxia akan
menyebabkan neuronal injury karena berkurangnya aliran darah otak
dan adanya perubahan vaso-obliterative yang menyebabkan
retinopathy of prematurity. Di samping itu, hyperoxia akan
menyebabkan kerusakan jaringan bertambah berat karena adanya
peningkatan radikal bebas.
3. Perfusi yang adekuat. Mempertahankan tekanan darah arterial dalam
batas normal sesuai dengan umur kehamilan dan beratnya. Jika terlalu
rendah akan menyebabkan iskemik, bila terlalu tinggi akan
menyebabkan pendarahan pada daerah germinal matrix dan
intraventrikular pada bayi prematur. Hindarilah hematrocrit lebih dari
65% (hiperviskositas)

yang dapat menyebabkan menurunnya cerebral blood flow velocity dan


timbul ischemic dan pendarahan dengan gejala-gejala klinis neurologi
kejang, letargi, atau apnea.
4. Koreksi asidosis metabolik. Tujuan utama untuk memelihara
keseimbangan asam basa dalam jaringan tetap normal. Perfuse or lose
gunakan bikarbonat hanya bila resusitasi kardiopulmonar
berkepanjangan dan bayi tidak ada respon serta ventilasi sudah baik.
Diberikan NaBic 4,2% dosis 1-2 mEq/Kg BB atau 2 ml/Kg BB.
Penggunaan bikarbonat mungkin menyebabkan hypercarbia dan asidosis
intraselular dan meningkatnya asam laktat.
5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL,
untuk menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak.
Hindarilah hyperglycemia untuk mencegah hyperosmolality dan
15
kemungkinan meningkatnya kadar asam laktat dalam otak. Hal ini
dapat menyebabkan edema cerebri dan mengganggu autoregulasi
vaskuler sehingga timbul pendarahan. Bila kadar glukosa rendah dapat
menimbulkan neuronal injury dan memperluas daerah yang mengalami
infark.
6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.
Hypocalcemia adalah suatu kelainan elektrolit yang sering dijumpai
pada sindroma postasfiksia neonatal dengan gejala kejang. Diberikan Ca
glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan
dalam aquades sama banyak diberikan secara intravena dalam waktu 5
menit.

7. Atasi kejang. Bila ada kejang maka phenobarbital adalah obat pilihan.1-7,
11, 12
Dosis 20 mg/kg diberikan iv dalam 10-15 menit.1-7 Dosis ini dapat
mencapai kadar dalam darah 20 g/ml. Sayangnya di Indonesia belum
tersedia preparat phenobarbital yang diberikan intravena. Phenobarbital
dapat diberikan secara intramuskuler.2 Dosis intramuskuler yang
diberikan adalah 10-15% lebih tinggi dari pemberian intravena.2 Jika
kejangnya hilang diberikan dengan dosis rumatan 3-4 mg/kg BB/hari
dengan selisih waktu 12 jam kemudian.1, 2 Secara teoritis, bila penderita
masih kejang dapat diberikan tambahan phenobarbital dengan dosis 5
mg/kg BB setiap 5 menit sampai kejang berhenti, atau sampai dosis 40
mg/kg BB sudah tercapai. Tetapi kenyataannya pada neonatus yang
mengalami asfiksia di mana telah mendapatkan phenobarbital dosis 20
mg/kg BB akan menyebabkan ngantuk dan sulit menganalisa
neorologisnya. Oleh karena itu apabila neonatus yang mengalami asfiksia
dan kejang yang telah diberikan phenobarbital dosis sampai 20 mg/kg BB
tidak memberikan respon, maka diberikan fenitoin dengan dosis 20 mg/kg
BB intravena dalam waktu 30 menit atau 1 mg/kg BB/menit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 5-10 mg/kg/BB/hari diberikan setiap 8 jam.2 Perlu
diperhatikan obat harus masuk dalam intravena karena pH larutannya 12
sehingga menyebabkan vena perifer mudah pecah. Di samping itu perlu
diwaspadai kemungkinan timbulnya kardiak aritmia.2 Pada umumnya
16
dengan pengobatan kombinasi penobarbital dengan fenitoin maka 85%
kejang dapat diatasi. Bila tetap kejang maka diberikan lorazepam.2
Lorazepam adalah suatu anti convulsan golongan benzodiazepim
diberikan dengan dosis 0,05-0,10 mg/kg BB intravena dalam waktu
beberapa menit. Dengan pengobatan ini, 95-100% kejang akan berhenti.2
Keuntungan lorazepam efek sampingnya terhadap depresi pernafasan
dan hipotensi lebih ringan dibandingkan diazepam. Disamping itu
pengeluarannya dari jaringan otak lebih lambat, tetapi preparat ini
belum tersedia di Indonesia. Pemberian diazepam pada asfiksia perinatal
yang mengalami kejang tidak begitu disukai apalagi dikombinasikan
dengan pemberian phenobarbital.1, 3
Secara teoritis, pemberian
diazepam dalam beberapa menit sudah dikeluarkan dari otak,
menyebabkan depresi kardio pulmonar apabila dikombinasikan dengan
phenobarbital, adanya Na-benzoate sebagai vehikulum akan terjadi
kompetitif inhibitor terhadap ikatan kompleks albumin bilirubin sehingga
bayi menjadi ikterus.2 Tetapi kenyataannya masih dapat diberikan pada
neonatus yang mengalami asfiksia berat dengan dosis 0,3 mg/kg BB/jam
secara continous infusion.2 Pemberian obat antikonvulsan dapat
menghentikan kejang secara klinis, tetapi belum tentu menghilangkan
kejang elektrografik.1, 2
Jadi hilangnya kejang secara klinis belum
menunjukkan keberhasilan pengobatan.2 Perlu dilakukan pemeriksaan
EEG.1-7 Bila saat pulang pemeriksaan EEG normal maka antikonvulsan
diberhentikan. Jika EEG saat pulang masih abnormal, terapi
antikonvulsan phenobarbital 3-4 mg/kg/hari dilanjutkan 1
bulan, jika menggunakan antikonvulsan fenitoin, maka dosis
rumatannya 3-4 mg/kg/hari. Apabila pemeriksaan EEG setelah 1 bulan
normal, pengobatan dihentikan, tetapi bila hasil pemeriksaan EEG tetap
abnormal, terapi dilanjutkan sampai 3 bulan, kemudian dilakukan
pemeriksaan EEG lagi. Bila pemeriksaan EEG tetap abnormal, terapi
dilanjutkan sampai umur 1 tahun.2
8. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah

17
timbulnya edema cerebri dengan cara mencegah overload dari cairan.
Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah
bayi kemungkinan timbul SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Deuretic
Hormon). Penggunaan glucocorticoids dan osmotic agents tidak
direkomendasikan.1-7, 11, 12
C. Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat
(delayed neural death).1-7 Secara estimasi, ada celah waktu (window of
opportunity) 6-12 jam untuk mengurangi atau mencegah kerusakan otak
pada neonatus yang timbul asfiksia dengan cara memberikan suatu
neuroprotektif.2, 4 Mencegah otak dari kerusakan tergantung dari status
dasar otak fetus. Banyak cara yang masih dalam penelitian, antara lain:1-7
1. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan
memberikan allopurinol, superoxide dismutase, vitamin E, resusitasi
dengan udara ruangan.1-5, 7

2. Hipotermi. Dengan cara selective head cooling, atau mild systemic


hypothermia, atau selective head cooling dan mild systemic hypothermia
dapat mencegah kerusakan otak17-20 dengan cara:2

a. Mengurangi proses metabolisme dan energi yang hilang.

b. Mengurangi pelepasan glutamat (excitatory transmitter).

c. Mengurangi ion Ca yang masuk dalam sel.

d. Menghambat produksi radikal bebas dan sintesis nitric


oxide.

3. Pemberian phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg BB intravena


dalam waktu 1 jam.21

4. Ca2+ channel blockers.1-7

5. Magnesium sulfat.1-7
Saat ini, di antara beberapa macam cara pengobatan di atas, yang banyak
menjadi perhatian untuk penelitian, yaitu dengan cara mencegah pembentukan
radikal bebas yang berlebihan dan hipotermi yang titik kerjanya di beberapa
18
tempat.1-2
Saat ini, di antara beberapa macam cara pengobatan di atas, yang banyak menjadi
perhatian untuk penelitian, yaitu dengan cara mencegah pembentukan radikal
bebas yang berlebihan dan hipotermi yang titik kerjanya di beberapa tempat.1-2
D. Pengobatan supportive untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan.
Pada asfiksia perinatal pada umumnya terjadi kelainan dari berbagai organ.
Pengobatan ensefalopati hipoksik iskemik perinatal secara holistik
menyeluruh dan utuh, karena kelainan satu organ akan mempengaruhi organ
lainnya.1-7

2.6 Prognosis
Penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik prognosisnya
bervariasi, ada yang sembuh total, cacat, atau meninggal dunia.1-7 Di Amerika
Serikat angka kematian bayi secara keseluruhan pada bayi dengan ensefalopati
hipoksik iskemik ringan sampai berat adalah 12,5%1, di Rumah Sakit Dr. Soetomo
angka kematian 18,85%.9 Pada stadium ringan pada umumnya sembuh total, pada
stadium sedang, 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya tetap ada
lebih dari 5-7 hari.10 Pada abad 19 di Amerika Serikat ada anggapan bahwa
penyebab utama dari CP dan retardasi mental adalah asfiksia intrapartum.22
Pendapat ini adalah keliru.3,5, 22 Hanya 8% penderita CP yang terbukti disebabkan
karena asfiksia perinatal.23 Pada anak yang menderita serebral palsi, 80% nilai
apgarnya normal. 80% palsi serebral terjadi antepartum.22-28 Menurut data dari
National Collaborative Perinatal Project (NCPP) dan British National Child
Development Study (BNCDS), faktor persalinan perinatal memberikan dampak
yang kecil terhadap timbulnya retardasi mental dan kejang.1 Hanya 3-13% anak
yang menderita palsi serebral terbukti menderita asfiksia intrapartum.1
Dikatakan CP menyebabkan asfiksia perinatal.22 CP yang disebabkan
oleh karena asfiksia perinatal pada umumnya berupa serebral palsi quadri plegia
spastik atau diskinetik.2,3
Ada beberapa faktor atau keadaan yang dapat dipakai untuk menilai prognosis.
Prognosisnya jelek apabila:1-4,10
1. Asfiksia berat yang berkepanjangan (Apgar score =3 pada umur 20
19
menit).
2. Ensefalopati hipoksik iskemik stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat,
50% meninggal dunia, sisanya timbul gejala sisa yang berat.
3. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan
kelainan multi organ.
4. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat
dipulangkan, 50% akan timbul epilepsi.
5. Adanya oliguria persisten (produksi urine <1 ml/kg BB per jam selama
36 jam pertama).
6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio
lingkaran kepala yang didapatkan pada waktu lahir dibandingkan dengan
usia 4 bulan dibagi rerata lingkaran kepala pada usianya kali 100% >
3,1% merupakan cara untuk memprediksi timbulnya mikrosefali sebelum
usia 18 bulan.29
7. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat.1,2,5-7 Adanya EEG yang
normal atau ringan yang terjadi pada hari pertama setelah lahir
merupakan tanda outcome yang normal, Adanya EEG yang normal atau
mendekati normal yang terjadi pada hari pertama setelah lahir walaupun
bayinya koma, merupakan prediksi yang kuat outcome neurologik yang
baik. Pemulihan EEG yang normal pada hari ke-7 biasanya disertai
dengan outcome yang normal.2
8. Adanya kelainan CT scan yang berupa pendarahan yang berat,
periventrikuler leukomalasi (PVL) atau nekrosis.
9. Kelainan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir.
Sebaliknya pemeriksaan MRI yang normal pada 24-72 jam setelah lahir
hampir selalu menghasilkan prediksi outcome yang baik, walaupun pada
neonatus yang mengalami asphyxia berat.1, 2

20
BAB III
KESIMPULAN

Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau neonatus mengalami


kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke
berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan
perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul laktik asidosis. Diagnosis
ensefalopati hipoksik iskemik dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Tidak ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan atau
menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik Semua pemeriksaan
dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang terjadi dan memonitor
fungsi dari organ sistemik lainnya. Orang tua atau keluarga penderita perlu
diberi penjelasan kemungkinan yang terbaik dan yang terburuk akibat
ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan fisik, rehabilitasi medis
dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit, penderita yang
mengalami ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi secara
berkesinambungan di poliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian
disiplin ilmu, seperti neonatologi, pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh
kembang anak, rehabilitasi medis, orthopedi, dan lain-lainnya. Diperlukan
kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita
ensefalopati hipoksik iskemik.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Stark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 2004; 536-55.
2. Volpe J.J. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In:Volpe J.J.eds. Neurology of
the Newborn 4thed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds.
Roberton's Textbook of Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited,
2005; 1128-48.
4. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal
Asphyxia.In:Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE eds.
Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs
5th ed. New York, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004; 208- 11.
5. Hill A. Neurogical and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald MG, Mullett
MD, Seshia MMK eds. Avery's Neonatalogy Pathophysiology & Management
of the Newborn 6th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2005;
1384-409.
6. Stoll BJ, Kliegman RM..Nervous System Disorders. In: Behrman RE,
Kliegman RM Jenson HB eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed.
Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
7. Scher MS.Brain Disorders of the Fetus and Neonate. In: Klaus MH, Fanaroff
AA eds. Care of The High Risk Neonate 5th ed. Philadelphia, WB Saunders
Co., 2001; 481-527.
8. American Academy of Pediatrics Committee on Fetus and Newborn and
American College ofObstetrics and Gynecologists Committee on Obstetric
Practice: Use and abuse of the Apgar score. Pediatrics 1996(98):141-2.
9. Laporan Tahunan Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya
Tahun 2004.
10. Sarnat HB,Sarnat MS. Neonatal encephalopathy following fetal distress. A
clinical and electroencephalographic study. Arch Neurol 1976(33):696-705.
22
11. Vannuci RC. Current and potentially new management strategies for perinatal
hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 1990(85):961-8.
12. Vannuci RC, Perlman JM. Interventions for perinatal hypoxic-ischemic
encephalopathy. Pediatrics 1997(100):1004-14.
13. Martin-Ancel A, Garcia-Alix A, Cabanas FGF. Multiple organ involvement in
perinatal asphyxia. J Pediatr 1995(127):786-93.
14. Perlman J.M., E.D. Tack, T. Martin, G. Shackelford, E. Amon. Acute systemic
organ injury in term infants after asphyxia.Am J Dis Child 1989(143): 617-20.
Ad Hoc Task Force. Guidelines for the determination of brain death in children
American Academy of Pediatrics Task Force on Brain Death in Children.
Pediatrics 1987(80): 298-300.
15. Ashwal S, Schenider S. Brain death in the newborn. Pediatrics 1989(84): 429-
37.
16. Gunn AJ,Gluckman PD,Gunn TR. Selective head cooling in newborn infants
after perinatal asphyxia: A safety study. Pediatric 1998(102):885-92.
17. Battin MR,Dezoete JA,Gunn TR,Gluckman PD,Gunn AJ. Neurodevelopmental
outcome of infants treated with head cooling and mild hypothermia after
perinatal asphysia. Pediatrics 2001(107):480-4.
18. Rutherford MA,Azzopardi D,Whitelaw A,S.Renowden FC,Edwards
AD,Thoresen M. Mild hypothermia and the distribution of cerebral
lesions in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics
2005(116):1001-6.
19. Battin MR,Penrice J,Gunn TR,Gunn AJ. Treatment of term infants with head
cooling and mild systemic hypothermia (35.00C and 34.50C) after asphyxia.
Pediatrics 2003(111): 244-51.
20. Hall RT,Hail FK,Daily DK. High-dose phenobarbital therapy in term newborn
infants with severe perinatal asphyxia: A randomized,prospective study with
three-year follow-up. J.Pediatr 1998(132):345-8.
21. Perlman JM. Intrapartum hypoxic-ischemic cerebral injury and subsequent
cerebral palsy: medicolegal issues. Pediatrics 1997(99): 851-9.

23
22. Blair E,Stanley FJ. Intrapartum asphyxia: A rare cause of cerebral palsy.
J.Pediatr 1998;112:515-9.
23. Freeman JM, Avery G, Brann AW. National Institutes of Health Report on
Causes of Mental Retardation and Cerebral Palsy. Pediatrics 1985(76) :457-8.
24. Torfs CP, Van den Berg BJ, Oechsli FW, Cummins S. Prenatal and perinatal
factors in the etiology of cerebral palsy. J Pediatr 1990: 615-9.
25. Freeman JM, Nelson KB. Intrapartum asphyxia and cerebral palsy. Pediatrics
1988(82):240-9.
26. Scher MS, Belfar H, Martin J, Painter MJ. Destructive brain lesions of
presumed fetal onset: Antepartum causes of cerebral palsy. Pediatrics
1991(88): 898-906.
27. Lupton BA, Hill A, Roland EH, Whitfield MF, Flodmark O. Brain swelling in
the asphyxiated term newborn: Pathogenesis and outcome. Pediatrics
1988(82):139-46.
28. Cordes I,Roland EH,Lupton BA,Hill A.Early Prediction of the development of
microcephaly after hypoxic-ischemic encephalopathy in the full-term newborn.
Pediatrics 1994(93):703-7.

24

Anda mungkin juga menyukai