Anda di halaman 1dari 25

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

HIE Pada Asfiksia


Referat Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak, RSMC - FKUPH
Alrein Putrananda Wajong
07120100103

1 Pendahuluan (Asfisksia & HIE)


Anoksia adalah istilah yang menunjukkan akibat tidak adanya suplai oksigen yang
disebabkan oleh beberapa sebab primer. Hipoksia merupakan istilah yang

menggambarkan turunnya konsentrasi oksigen dalam darah arteri, sedangkan


iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ yang
menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut. Defisit saturasi
oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan sebab defek
serebral berujung menjadi Ensefalopati hipoksik iskemik (HIE)
Ensefalopati hipoksik iskemik terutama

di picu oleh keadaan hipoksik otak,

iskemik oleh karena/ hipoksik sistemik dan penurunan aliran darah ke otak. Tidak
terdapat terapi spesifik pada ensefalopati hipoksik iskemik.
Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda.
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir
yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. WHO: Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir.7 ACOG dan AAP: Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila
memenuhi kondisi sebagai berikut:8 Nilai Apgar menit kelima 0-3, adanya
asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0) Gangguan neurologis
(misalnya: kejang, hipotonia atau koma), a danya gangguan sistem
multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi,
pulmoner, atau sistem renal).
Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal
yang menyebabkan penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis
dan kegagal

an fungsi minimal 2 organ (paru, jantung, hati, otak, ginjal dan

hematologi) yang konsisten. 1,2,3,4


Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan
ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami
episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari
berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.4

Hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) merupakan penyebab penting


kerusakan permanen sel-sel pada Susunan Saraf Pusat (SSP), yang berdampak
pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental.
(1)Angka kejadian HIE berkisar 0,3-1,8%. Australia (1995), angka kematian
antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian
intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian kematian masa
neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar Score 1-3 pada menit pertama
terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5 pada 0,3% bayi lahir
hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal,
25-30% yang bertahan hidup mempunyai

kelainan neurodevelopmental

permanent(2).1,2,3,4
Etiologi dan Faktor Resiko
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan
dan melahirkan atau periode segera setelah lahir.9 Janin sangat bergantung pada
pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa
sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu
akan menyebabkan asfiksia. 9,10
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum,
intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa
gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari sebelum kelahiran
memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat
asfiksia neonatorum. Gejala-gejala tersebut adalah demam selama kehamilan;
perdarahan pervaginam; pembengkakan tangan,wajah atau kaki; kejang;
kehamilan ganda juga berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum.
Bayi yang lahir dari wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia
neonatorum yang lebih tinggi

sedangkan adanya riwayat kematian bayi

sebelumnya tidak bermakna dalam memperkirakan kematian akibat asfiksia


neonatorum. Partus lama dan ketuban pecah dini juga meningkatkan risiko
asfiksia neonatorum secara bermakna. Pada penelitiannya. 1,2,3

Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat


asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia
kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 5.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34
minggu.4 Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum kelahiran hingga paling
lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk meningkatkan maturasi paru fetus. Pada
suatu studi kohort dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid antenatal adalah
faktor protektif terhadap sindroma distres respirasi. Dikatakan pula bahwa
kemungkinan seorang neonatus pada populasi studi dari ibu yang tidak melakukan
pemeriksaan antenatal untuk meninggal di rumah sakit adalah 1.98 kali lebih
tinggi daripada anak dari ibu yang melakukan pemeriksan antenatal empat kali
atau lebih.11
Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus
daripada kontrol. Usia terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua (> 40 tahun),
anemia (Hb< 8 g/dL), perdarahan antepartum dan demam selama kehamilan
berhubungan kuat dengan asfiksia neonatorum. Tanda-tanda gawat janin seperti
denyut jantung janin abnormal, pewarnaan mekoneum dan partus lama juga
memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya asfiksia neonatorum.12
Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum
Faktor risiko antepartum
Primipara

Faktor risiko intrapartum


Malpresentasi

Faktor risiko janin7,8


Prematuritas BBLR

Penyakit pada ibu:

Partus lama

Pertumbuhan janin

Demam saat kehamilan


Hipertensi dalam

Persalinan yang sulit dan

terhambat Kelainan

traumatik

kongenital

kehamilan
Anemia
Diabetes mellitus
Penyakit hati dan ginjal
Penyakit kolagen dan

Mekoneum dalam ketuban

pembuluh darah
Perdarahan antepartum
Riwayat kematian

Ketuban pecah dini


Induksi Oksitosin
Prolaps tali pusat

neonatus sebelumnya
Penggunaan sedasi,
anelgesi atau anestesi
Faktor-faktor resiko HIE : 1,2,3,4
1.

Hipertensi selama kehamilan atau pre-eklampsia

2.

Restriksi pertumbuhan intra-uterin

3.

Terlepasnya plasenta

4.

Anemia fetus

5.

Postmaturitas

6.

Persalinan non fisiologis

7.

Malpresentasi termasuk vasa previa

Asfiksia

Patofisiologi
Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darahjanin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.13
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.1,2,3,5,6
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan

udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. 1,2,3,5,6
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 1,6,13
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.1,2,3,6

Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi


Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau
setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama
persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta
atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.
Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan
nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing
seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia
akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu

kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan


mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan
aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus,
arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi
dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn,
disingkat menjadi PPHN).13
Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam
paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan
insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan
menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol
pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri
sistemik tidak mendapat oksigen.13
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada
organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung
dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organorgan vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka
terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,
penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan
berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi
jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan
organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan
memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena
kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena
otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena
kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena
kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran
darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu

(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis


karena kekurangan oksigen di dalam darah.13
Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di dalam
kandungan atau pada masa perinatal
Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital
pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode
awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer
(gambar 1).
Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan
menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus
berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan
kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan
kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan
untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.13

Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu


(Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku
panduan resusitasi neonatus.)

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder
sebagaimana diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi
kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada
fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini

dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai
berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik
tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon
pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi
keadaan yang membahayakan itu.13
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu
adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan
apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam
keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai
pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir
sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat
cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. 13
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang
membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah
jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan
obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi.13

Komplikasi Pasca Hipoksia


Patofisiologi komplikasi pasca hipoksia
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan
dapat pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan
hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti
otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak
dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ
rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus
gastrointestinal.5
Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi
vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular
di perifer.11 Hal ini dapat terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.(1994)
yang melaporkan bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler ditemukan

10

kaitan yang erat antara beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran
darah serta meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika
superior. Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus. 10 Perubahan
resistensi vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi
curah jantung pada penderita, hipoksia dan iskemia neonatus. Faktor lain yang
dianggap turut pula mengatur redistribusi vaskular antara lain timbulnya
rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon
dioksida, meningkatnya aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor
yang diikuti pelepasan vasopresin.17
Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada
aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini
dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir ke
batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.18
Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis
anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat)
menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH
darah

sehingga

terjadilah

asidosis

metabolik.

Perubahan

sirkulasi

dan

metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik


sementara ataupun menetap.
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat
dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor
redistribusi aliran darah terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya
gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian
pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan
payah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila pada hipoksia berat,
angka kernatian bayi kurang bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah yang
mengalami hipoksia berat dapat mencapai 43-58%.19
Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia

11

Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan
keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal,
serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa
penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah
susunan saraf pusat.20,21 Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf
pusat hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain
(multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan
fungsi organ lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.22
Tabel 3. Pengaruh Asfiksia23
Sistem
Sistem Saraf
Pusat
Kardiovaskular
Pulmonal

Pengaruh
Ensefalopati Hipoksik-Iskemik, infark, perdarahan
intrakranial, kejang-kejang, edema otak, hipotonia,
hipertonia
Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek, bising
jantung, insufisiensi trikuspid, hipotensi
Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru, sindrom
kegawatan pernafasan

Ginjal

Nekrosis tubuler akut atau korteks

Adrenal

Perdarahan adrenal

Saluran Cerna

Perforasi, ulserasi, nekrosis

Metabolik

Sekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,


hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria

Kulit

Nekrosis lemak subkutan

Hematologi

DIC

Penegakan Diagnosis
Anamnesis

12

Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir dan lahir
tidak bernafas/menangis.Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko

terhadap terjadinya asfiksia neonatorum.


Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat
ringannya asfiksia (Tabel 3)
Tabel 3. APGAR Score
Klinis
Warna Kulit
(Appearance)
Frekuensi Jantung
(Pulse)

Tubuh merah,

Merah seluruh

ekstremitas biru

tubuh

Tidak Ada

<100x/ menit

>100x/menit

Tidak Ada

Gerakan sedikit

Batuk/ Bersin

Lunglai

Fleksi ekstremitas

Gerakan aktif

Biru Pucat

Rangsangan
Refleks
(Grimace)
Tonus Otot
(Activity)

Menangis lemah/
Pernafasan
(Respiratory)

Tidak Ada

terdengar seperti
meringis atau

Menangis kuat

mendengkur
Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah
kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan
refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara
menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.
1. Skor APGAR 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa.

13

2. Skor APGAR 4-6 (Mild-moderate asphyxia) - Asfiksia sedang. Pada


pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus
otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. A. Asfiksia berat. Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat
frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
B. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung
ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit
sebelum ;ahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum.
Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada
penderita asfiksia berat.
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai
skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi baru
lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi
dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis.
Pemeriksaan Sejak Dini
Prenatal/Dini

Tanda-tanda gawat janin


pemeriksaan DJJ < 120 x/m atau >100 x/m
gerak janin berkurang
air ketuban bercampur mekoneum untuk bayi presentasikepala

Postnatal

Bayi tidak bernafas atau menangis


Pucat atau sianosis
Denyut jantung kurang dari 100x/menit
Tonus otot menurun
Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa

mekonium pada tubuh bayi


BBLR

Pemeriksaan Penunjang

14

Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis
pada darah tali pusat:

PaO2 < 50 mm H2O


PaCO2 > 55 mm H2
pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan


penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :

Darah perifer lengkap


Pemeriksaan radiologi/foto dada
Analisis gas darah sesudah lahir
Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
Gula darah sewaktu
Pemeriksaan USG Kepala
Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
Pemeriksaan EEG
Ureum kreatinin
CT scan kepala
Laktat

Tatalaksana
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam
mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil
membutuhkan berbagai derajat resusitasi.

Perawatan terhadap komplikasi


Hampir 90 % bayi yang memerlukan resusitasi akan membaik setelah
diberikan VTP yang adekuat, sementara 10 % bayi memerlukan kompresi dada
dan obat-obatan, atau meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak membaik
walau telah dilakukan resusitasi mungkin mengalami komplikasi kelahiran atau
komplikasi resusitasi seperti tercantum di tabel 3.13
Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi
dada sangat mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan

15

fungsi organ multipel yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih
lanjut, bayi dirawat di ruang rawat lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital,
dan antisipasi terhadap komplikasi.13 Bayi juga memerlukan nutrisi baik dengan
cara pemberian oral atau parenteral tergantung kondisinya. Bila bayi menderita
asfiksia berat dapat diberikan nutrisi parenteral dengan dextrosa 10%. Pemantauan
terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, kadar
gula darah, elektrolit dan analisa gas darah juga perlu dilakukan.
Tabel 5. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi
yang dilakukan13
Sistem organ Komplikasi yang mungkin
Otak

Tindakan pasca resusitasi

Apnu

Pemantauan apnu

Kejang

Bantuan ventilasi kalau perlu


Pemantauan gula darah, elektrolit
Pencegahan hipotermia
Pertimbangkan terapi anti kejang

Paru-paru

Hipertensi pulmoner

Pertahankan ventilasi dan oksigenasi

Pneumonia

Pertimbangkan antibiotika

Pneumotoraks

Foto toraks bila sesak napas

Takipnu transien

Pemberian oksigen alir bebas

Sindrom aspirasi mekonium

Tunda minum bila sesak

Defisiensi surfaktan

Pertimbangkan pemberian surfaktan

Kardiovaskul Hipotensi

Pemantauan tekanan darah dan

er

frekuensi jantung
Pertimbangkan inotropik(misal
dopamin) dan/atau cairan penambah
volume darah

16

Ginjal

Nekrosis tubuler akut

Pemantauan produksi urin Batasi


masukan cairan bila ada oliguria dan
volume vaskuler adekuat
Pemantauan kadar elektrolit

Gastrointesti Ileus Enterokolitis

Tunda pemberian minum Berikan

nal

cairan intravena Pertimbangkan

nekrotikans

nutrisi parenteral
Metabolik/

Hipoglikemia

hematologik Hipokalsemia,

Pemantauan gula darah


Pemantauan elektrolit

hiponatremia

Pemantauan hematokrit

Anemia Trombositopenia

Pemantauan trombosit

Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku


panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006.

Pencegahan
Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan
atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak
mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya
derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu
dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar
tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan
situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap
anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat
menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi

17

gawat.12Pada bayi dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk


meningkatkan maturitas paru janin.
Antisipasi dini perlunya dilakukan resusitasi pada bayi yang dicurigai
mengalami depresi pernapasan untuk mencegah morbiditas dan mortilitas
lebih lanjut
Pada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi
pada bayi baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tibatiba. Karena alasan inilah, setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang
tenaga terlatih dalam resusitasi neonatus, sebagai penanggung jawab pada
perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan diperlukan pada kasus-kasus
yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks.
Dengan pertimbangan yang baik terhadap faktor risiko, lebih dari separuh
bayi baru lahir yang memerlukan resusitasi dapat diidentifikasi sebelum lahir,
tenaga medis dapat mengantisipasi dengan memanggil tenaga terlatih tambahan,
dan menyiapkan peralatan resusitasi yang diperlukan.

Prognosis
Hasil akhir asfiksia neonatorum tergantung pada ada tidaknya komplikasi
metabolic dan kardiopulmonal (hipoksia, hipoglikemia, syok), pada umur
kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat
keparahan ensefalopati hipoksi-iskemik. Ensefalopati berat derajat 3 ditandai
dengan koma flaccid, apnea, refleks okulosefalik tidak ada, dan kejang refrakter,
dihubungkan dengan prognosis yang jelek12. (Tabel 6)
Score APGAR rendah pada menit ke -20 dan tidak ada respirasi spontan
pada usia 20 menit, dan menetapnya tanda-tanda kelainan neurologis pada usia 2
minggu juga meramalkan kematian atau adanya deficit kognitif dan motorik yang
berat5
Pada HIE derajat I

: kematian 1,6%

Pada HIE derajat II

: kematian 24%

Pada HIE derajat III

: kematian 78%

18

Kematian

otak

pasca

ensefalopati

hipoksik-iskemikf123q

neonatus

didiagnosis dengan penemuan-penemuan klinis, yaitu koma yang tidak responsive


terhadap rangsang nyeri, pendengaran atau penglihatan; apnea dengan kenaikan
PCO2 dari 40 sampai lebih dari 60 mmHg, dan refleks batang otak tidak ada.
Menetapnya kriteria klinis selama 2 hari pada bayi cukup bulan dan 3 hari pada
bayi preterm meramalkan kematian batang otak pada kebanyakan bayi baru lahir
yang mengalami asfiksia12.

3HIE (Hypoxic Ischaemic Encephalopathy)


PATOFISIOLOGI DAN PATOLOGI HIE:
Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia,
hipotensi, turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis
respiratorius. Respon sistim sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan
aliran pintas melalui duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan
tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung dan adrenal, hati, ginjal dan usus
secara sementara
Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat ringan
hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel
endotel merupakan tanda nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan
petekie tampak pada perikardium, pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen.
Hipoksia intrauterin yang memanjang dapat menyebabkan PVL dan hiperplasia
otot polos arteriole pada paru yang merupakan predesposisi untuk terjadi
hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan gasping, dapat
akibat aspirasi bahan asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo dan
skuama)(4). 2,4

19

Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah
lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada
usia kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks
(lebih lanjut akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi
kurang bulan akan terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status
marmoratus basal ganglia dan IVH. Pada bayi cukup bulan lebih sering terjadi
infark fokal atau multifokal pada korteks yang menyebabkan kejang fokal dan
hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi kurang bulan. Identifikasi infark
terbaik dilakukan dengan CT Scan atau MRI. Edema serebral menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, dan sering terjadi pada HIE berat.Excitatory
asam amino mempunyai peran penting dalam patogenesis cedera asfiksia otak. 2,3
Manifestasi klinis :
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga
beberapa hari sebelum persa linan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan
peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Penurunan
detak jantung janin dengan variasi irama jantung juga sering dijumpai. Pencatatan
detak jantung janin secara terus menerus memperlihatkan pola deselerasi yang
bervariasi atau melambat dan analisa darah dari kulit kepala janin menunjukkan
pH<7,2. Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama
pada bayi menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk
memberikan oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera
mengakhiri kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung
mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya
terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa
jam kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat
atau tonus tampak normal.,2,3,4
Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau
kecacatan berat tergantung pada derajat HIE. Derajat 1 : 1,6%,Derajat 2 : 24%,

20

Derajat 3 : 78%, Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi
terjadi kecacatan neurologi berat.
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka
rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1.

Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik)

95%
2.

Kelainan sedang (slow wave activity)

: 64%

3.

Kelainan ringan atau tanpa kelainan

: 3,3%

Tabel 1 :Gradasi HIE pada bayi cukup bulan

21

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi
juga merupakan tanda-tanda HIE. Cerebral edema dapat berkembang dalam 24
jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering
timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis
standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE,
kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan hipoglikemia 1,2,3,4
Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi persisten pulmonary, sindromadistress nafas, perforasi gastrointestinal,
hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada
masa perinatal.
Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas
dan insufisiensi sirkulasi.
Pemeriksaan penunjang lain :
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada
fase lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.: Kelainan USG: Dapat
mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi kerusakan kortikal.
Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan. CT Scan: Hipodensitas baru
tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko terjadi kematian atau kecacatan
neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang memperlihatkan hipodensitas berat
atau perdarahan berat. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan
struktur otak dan fungsinya dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis
penyakit. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil

22

akhir dengan SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP
yang normal pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia <
4 hari akan mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya. 1,2,3,4,7
Terapi :
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistim organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah
dilakukan (Martin AA, 1995).Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang
yang diberikan dengan dosis awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat
ditambahkan 10mg/kg hingga 40-50mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis
awal 20mg/kg atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang
bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam
setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari.
Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik berkisar 20-40mg/mL. 1,2,4
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam
menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,
allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral coolingsebagai
neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan
penggunaan allopurinol pada neonatus dengan HIE. 1,2,4
Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat
menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya
menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil
akhir penderita dengan HIE.
Terapi Hipotermia1,2:
Terapi hipotermia bertujuan untuk menurunkan temperature struktur dalam otak
yang rentan, yaitu ganglia basal, hingga suhu 32-34C selama 72 jam yang

23

diterapkan segera setelah resusitasi atau maksimal 6 jam setelah terjadi hipoksik
iskemik. 1,2
a

Selective Head Cooling with Mild Systemic Hypothermia


Tujuan dari terapi pendinginan selektif pada kepala adalah untuk mencapai
proses penurunan suhu yang adekuat pada temperature serebral yang akan
berefek pada pendinginan sistemik ringan (suhu inti tubuh). Ini dilakukan
dengan melakukan pendinginan pada permukaan kepala.

b Whole Body Cooling


Pendinginan seluruh tubuh (whole body cooling) memfasilitasi proses
pendinginan yang homogen pada seluruh struktur otak, termasuk regio
perifer maupun sentral.
Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti
kipas atau cold packs yang ditaruh di sekitar bayi, atau yang lebih
terpercaya dengan menggunakan selimut atau matras pendingin.
Terapi hipotermia bersifat neuroprotektif dengan cara mengurangi laju
metabolism otak, melemahkan pelepasan zat eksitatorik (glutamate, dopamine),
memperbaiki cedera iskemik, menaikkan reuptake glutamate dan menghambat
produksi nitrit oksida yang bersifat toksik dan radikal bebas sehingga mengurangi
kerusakan sel saraf dan memperbaiki fungsi saraf, mencegah kejadian kecacatan
dan menurunkan angka mortalitas. 1,2

Prognosis :
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat HIE.
Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya pernafasan spontan pada
20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang menetap pada usia 2
minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi kemungkinan
kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang berat. Mati
otak yang terjadi setelah diagnosis HIE ditegakkan berdasarkan penurunan

24

kesadaran berat (koma), apnea dengan PCO2 yang meningkat dari 40 hingga >60
mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil, okulocephalic, oculovestibular,
kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis tersebut ditunjang dengan hasil
EEG
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka
rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1.

Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik)

95%
2.

Kelainan sedang (slow wave activity)

: 64%

3.

Kelainan ringan atau tanpa kelainan

: 3,3%

DAFTAR PUSTAKA
1. Harthaway, W.E et all, Pediatrics Diagnosis & Treatment, A Lange Medical Book, by
Appleton & Lange, 2010.
2. Zanelli, et al. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. Emedicine Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/976034
3. Kosim et al. Buku Ajar Neonatologi. UKK IDAI. Jakarta 2008
4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, , Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2007.
5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 2010.

25

6. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.


Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.)
7. Arif Masjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Jilind 2, Media Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2010.
8. Standar Pelayanan Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA, FKUNSRI/RSMH. 2010
9. Lawn J, Shibuya K, Stein C. No cry at birth: global estimates of intrapartum
stillbirths and intrapartum-related neonatal deaths. Bull World Health Organ 2005;
83:409-17.
10. Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern
Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics 2008; 121:e1381e1390 (doi:10.152/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
11. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 278-9.
12. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical GuideRevision. Geneva: World Health Organization;. Diunduh dari:
www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.html.
13. McGuire W. Perinatal asphyxia. Clin Evid 2006;11:12.

Anda mungkin juga menyukai