iskemik oleh karena/ hipoksik sistemik dan penurunan aliran darah ke otak. Tidak
terdapat terapi spesifik pada ensefalopati hipoksik iskemik.
Definisi
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda.
Ikatan Dokter Anak Indonesia: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir
yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis. WHO: Asfiksia
neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah
lahir.7 ACOG dan AAP: Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila
memenuhi kondisi sebagai berikut:8 Nilai Apgar menit kelima 0-3, adanya
asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0) Gangguan neurologis
(misalnya: kejang, hipotonia atau koma), a danya gangguan sistem
multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi,
pulmoner, atau sistem renal).
Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal
yang menyebabkan penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis
dan kegagal
kelainan neurodevelopmental
permanent(2).1,2,3,4
Etiologi dan Faktor Resiko
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan
dan melahirkan atau periode segera setelah lahir.9 Janin sangat bergantung pada
pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa
sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu
akan menyebabkan asfiksia. 9,10
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum,
intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa
gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari sebelum kelahiran
memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat
asfiksia neonatorum. Gejala-gejala tersebut adalah demam selama kehamilan;
perdarahan pervaginam; pembengkakan tangan,wajah atau kaki; kejang;
kehamilan ganda juga berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum.
Bayi yang lahir dari wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia
neonatorum yang lebih tinggi
Partus lama
Pertumbuhan janin
terhambat Kelainan
traumatik
kongenital
kehamilan
Anemia
Diabetes mellitus
Penyakit hati dan ginjal
Penyakit kolagen dan
pembuluh darah
Perdarahan antepartum
Riwayat kematian
neonatus sebelumnya
Penggunaan sedasi,
anelgesi atau anestesi
Faktor-faktor resiko HIE : 1,2,3,4
1.
2.
3.
Terlepasnya plasenta
4.
Anemia fetus
5.
Postmaturitas
6.
7.
Asfiksia
Patofisiologi
Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darahjanin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang
bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.13
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber
utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,
dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan
oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.1,2,3,5,6
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan
pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan
udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. 1,2,3,5,6
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di
vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh
paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 1,6,13
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas
yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan
berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.1,2,3,6
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.
Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder
sebagaimana diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi
kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada
fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini
dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai
berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik
tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon
pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi
keadaan yang membahayakan itu.13
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu
adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan
apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam
keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai
pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir
sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat
cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. 13
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang
membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah
jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan
obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi.13
10
kaitan yang erat antara beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran
darah serta meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika
superior. Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus. 10 Perubahan
resistensi vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi
curah jantung pada penderita, hipoksia dan iskemia neonatus. Faktor lain yang
dianggap turut pula mengatur redistribusi vaskular antara lain timbulnya
rangsangan vasodilatasi serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon
dioksida, meningkatnya aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor
yang diikuti pelepasan vasopresin.17
Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada
aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini
dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir ke
batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.18
Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis
anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat)
menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH
darah
sehingga
terjadilah
asidosis
metabolik.
Perubahan
sirkulasi
dan
11
Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan
keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal,
serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa
penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah
susunan saraf pusat.20,21 Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf
pusat hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain
(multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan
fungsi organ lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.22
Tabel 3. Pengaruh Asfiksia23
Sistem
Sistem Saraf
Pusat
Kardiovaskular
Pulmonal
Pengaruh
Ensefalopati Hipoksik-Iskemik, infark, perdarahan
intrakranial, kejang-kejang, edema otak, hipotonia,
hipertonia
Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek, bising
jantung, insufisiensi trikuspid, hipotensi
Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru, sindrom
kegawatan pernafasan
Ginjal
Adrenal
Perdarahan adrenal
Saluran Cerna
Metabolik
Kulit
Hematologi
DIC
Penegakan Diagnosis
Anamnesis
12
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir dan lahir
tidak bernafas/menangis.Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko
Tubuh merah,
Merah seluruh
ekstremitas biru
tubuh
Tidak Ada
<100x/ menit
>100x/menit
Tidak Ada
Gerakan sedikit
Batuk/ Bersin
Lunglai
Fleksi ekstremitas
Gerakan aktif
Biru Pucat
Rangsangan
Refleks
(Grimace)
Tonus Otot
(Activity)
Menangis lemah/
Pernafasan
(Respiratory)
Tidak Ada
terdengar seperti
meringis atau
Menangis kuat
mendengkur
Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah
kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan
refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara
menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.
1. Skor APGAR 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa.
13
Postnatal
Pemeriksaan Penunjang
14
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis
pada darah tali pusat:
Tatalaksana
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam
mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil
membutuhkan berbagai derajat resusitasi.
15
fungsi organ multipel yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih
lanjut, bayi dirawat di ruang rawat lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital,
dan antisipasi terhadap komplikasi.13 Bayi juga memerlukan nutrisi baik dengan
cara pemberian oral atau parenteral tergantung kondisinya. Bila bayi menderita
asfiksia berat dapat diberikan nutrisi parenteral dengan dextrosa 10%. Pemantauan
terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, kadar
gula darah, elektrolit dan analisa gas darah juga perlu dilakukan.
Tabel 5. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi
yang dilakukan13
Sistem organ Komplikasi yang mungkin
Otak
Apnu
Pemantauan apnu
Kejang
Paru-paru
Hipertensi pulmoner
Pneumonia
Pertimbangkan antibiotika
Pneumotoraks
Takipnu transien
Defisiensi surfaktan
Kardiovaskul Hipotensi
er
frekuensi jantung
Pertimbangkan inotropik(misal
dopamin) dan/atau cairan penambah
volume darah
16
Ginjal
nal
nekrotikans
nutrisi parenteral
Metabolik/
Hipoglikemia
hematologik Hipokalsemia,
hiponatremia
Pemantauan hematokrit
Anemia Trombositopenia
Pemantauan trombosit
Pencegahan
Pencegahan secara Umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan
atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak
mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya
derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu
dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar
tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan
situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap
anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat
menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi
17
Prognosis
Hasil akhir asfiksia neonatorum tergantung pada ada tidaknya komplikasi
metabolic dan kardiopulmonal (hipoksia, hipoglikemia, syok), pada umur
kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat
keparahan ensefalopati hipoksi-iskemik. Ensefalopati berat derajat 3 ditandai
dengan koma flaccid, apnea, refleks okulosefalik tidak ada, dan kejang refrakter,
dihubungkan dengan prognosis yang jelek12. (Tabel 6)
Score APGAR rendah pada menit ke -20 dan tidak ada respirasi spontan
pada usia 20 menit, dan menetapnya tanda-tanda kelainan neurologis pada usia 2
minggu juga meramalkan kematian atau adanya deficit kognitif dan motorik yang
berat5
Pada HIE derajat I
: kematian 1,6%
: kematian 24%
: kematian 78%
18
Kematian
otak
pasca
ensefalopati
hipoksik-iskemikf123q
neonatus
19
Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah
lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada
usia kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks
(lebih lanjut akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi
kurang bulan akan terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status
marmoratus basal ganglia dan IVH. Pada bayi cukup bulan lebih sering terjadi
infark fokal atau multifokal pada korteks yang menyebabkan kejang fokal dan
hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi kurang bulan. Identifikasi infark
terbaik dilakukan dengan CT Scan atau MRI. Edema serebral menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, dan sering terjadi pada HIE berat.Excitatory
asam amino mempunyai peran penting dalam patogenesis cedera asfiksia otak. 2,3
Manifestasi klinis :
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga
beberapa hari sebelum persa linan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan
peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Penurunan
detak jantung janin dengan variasi irama jantung juga sering dijumpai. Pencatatan
detak jantung janin secara terus menerus memperlihatkan pola deselerasi yang
bervariasi atau melambat dan analisa darah dari kulit kepala janin menunjukkan
pH<7,2. Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama
pada bayi menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk
memberikan oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera
mengakhiri kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung
mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya
terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa
jam kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat
atau tonus tampak normal.,2,3,4
Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau
kecacatan berat tergantung pada derajat HIE. Derajat 1 : 1,6%,Derajat 2 : 24%,
20
Derajat 3 : 78%, Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi
terjadi kecacatan neurologi berat.
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka
rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1.
95%
2.
: 64%
3.
: 3,3%
21
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi
juga merupakan tanda-tanda HIE. Cerebral edema dapat berkembang dalam 24
jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering
timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis
standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE,
kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan hipoglikemia 1,2,3,4
Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi persisten pulmonary, sindromadistress nafas, perforasi gastrointestinal,
hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada
masa perinatal.
Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas
dan insufisiensi sirkulasi.
Pemeriksaan penunjang lain :
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan
pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada
fase lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.: Kelainan USG: Dapat
mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi kerusakan kortikal.
Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan. CT Scan: Hipodensitas baru
tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko terjadi kematian atau kecacatan
neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang memperlihatkan hipodensitas berat
atau perdarahan berat. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan
struktur otak dan fungsinya dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis
penyakit. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil
22
akhir dengan SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP
yang normal pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia <
4 hari akan mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya. 1,2,3,4,7
Terapi :
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan
sistim organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk
mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah
dilakukan (Martin AA, 1995).Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang
yang diberikan dengan dosis awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat
ditambahkan 10mg/kg hingga 40-50mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis
awal 20mg/kg atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang
bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam
setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari.
Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik berkisar 20-40mg/mL. 1,2,4
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam
menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,
allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral coolingsebagai
neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan
penggunaan allopurinol pada neonatus dengan HIE. 1,2,4
Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat
menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya
menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil
akhir penderita dengan HIE.
Terapi Hipotermia1,2:
Terapi hipotermia bertujuan untuk menurunkan temperature struktur dalam otak
yang rentan, yaitu ganglia basal, hingga suhu 32-34C selama 72 jam yang
23
diterapkan segera setelah resusitasi atau maksimal 6 jam setelah terjadi hipoksik
iskemik. 1,2
a
Prognosis :
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan
kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat HIE.
Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya pernafasan spontan pada
20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang menetap pada usia 2
minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi kemungkinan
kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang berat. Mati
otak yang terjadi setelah diagnosis HIE ditegakkan berdasarkan penurunan
24
kesadaran berat (koma), apnea dengan PCO2 yang meningkat dari 40 hingga >60
mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil, okulocephalic, oculovestibular,
kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis tersebut ditunjang dengan hasil
EEG
Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka
rata-rata kematian atau kecacatan berat :
1.
95%
2.
: 64%
3.
: 3,3%
DAFTAR PUSTAKA
1. Harthaway, W.E et all, Pediatrics Diagnosis & Treatment, A Lange Medical Book, by
Appleton & Lange, 2010.
2. Zanelli, et al. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. Emedicine Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/976034
3. Kosim et al. Buku Ajar Neonatologi. UKK IDAI. Jakarta 2008
4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, , Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2007.
5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 2010.
25