Anda di halaman 1dari 10

I.

KASUS
Pasien laki-laki, berinisial IMD, berusia 6 tahun, BB 20 kg dan TB 110 cm, datang
ke IGD RSUD Sanjiwani dengan keluhan demam yang dirasakan sejak pagi SMRS
(5 Oktober 2016, pukul 16.00 WITA). Demam timbul mendadak dan dirasakan di
seluruh tubuh. Pasien juga mengalami kejang 1 kali SMRS (5 September 2016 ),
dengan durasi < 1 menit, kejang pada seluruh tubuh, tipe kejang dikatakakan
menghentak-hentak (tonik klonik) sebelum kejang pasien diawali demam (39,5C),
keluhan kejang berhenti sendiri tanpa diberikan pengobatan, dan saat sampai di IGD
RSUD Sanjiwani Pasien tidak dalam keadaan kejang. Keluhan lain pasien yaitu
batuk, pilek dan nafsu makan dan minum yang berkurang. Pasien baru pertama kali
mengalami Demam disertai kejang. Di keluarga pasien dikatakan tidak ada anggota
keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat penyakit kronis
dan penyakit keturunan disangkal.
Pasien didiagnosis dengan Kejang demam Plus dan dirawat selama 5 hari.
Selama pengobatan pasien dirumah sakit, pasien diberikan terapi suportif dan
medikamentosa, terapi suportif berupa 02 nasal 2 lmp, pemberian cairan maintenance
harian sebanyak 1500 ml/ hari, sedangkan terapi medikamentoa yang diberikan yaitu
paracetamol 20 cc tiap kenaikan suhu temperatur axila 38 C, antibiotik ceftriaxon 2
X 750 mg (iv), pasien juga diberikan pengobatan intermiten untuk mecegah kejang
berupa stesolid syr sebanyak 2,5 ml tiap 8 jam atau tiap kenaikan suhu temperatur
axila 38 C. Selama 5 hari pengobatan pasien mengalami perbaikan, dimana
keluhan demam dan kejang membaik dan tidak ada disertai keluhan tambahan. Pada
refleksi kasus ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai terapi obat konvulsi Kejang
demam Plus, mengiat terapi kejang memiliki efek samping yang cukup tinggi pada
pasien yang menggunakan obat rumatan, sehingga pemakaian obat rumatan harus
sesuai indikasi.

II. TEORI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial yang
berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat,
tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang simptomatik
lainnya (Arief R, 2015), sering terjadi pada sekitar 2-4% anak berusia 3 bulan sampai
5 tahun, kejang demam pada anak 6 tahun disebut Febrile seizure plus (FS+)
(Sarah R, 2016). Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang
dari 15 menit), tonik-klonik. dan terjadi kurang dari 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang demam
kompleks durasinya lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang
selama 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali, dan di antara bangkitan kejang kondisi anak tidak
sadarkan diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8% kejang demam. Kejang berulang
adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang
berulang terjadi pada 16% kejang demam (PPM RSUP Sanglah, 2010).
Pada kasus kejang demam terdapat tiga hal penting dalam tatalaksana, yaitu
menghentikan kejang, mencari dan mengobati penyebab, serta pengobatan
profilaksis terhadap berulangnya kejang demam disertai edukasi kepada orang tua
(Sarah R, 2016) .Bagan Tata laksana kejang dapat dilihat pada lampiran (Arief R,
2015). Saat pasien datang dengan kejang disertai demam, pikirkan tiga kemungkinan,
yaitu: (1) kejang demam, (2) pasien epilepsi terkontrol dengan demam sebagai
pemicu kejang epilepsi, (3) kejang disebabkan infeksi sistem saraf pusat atau
gangguan elektrolit akibat dehidrasi.
Tujuan terapi anti kejang adalah untuk menghentikan kejang, komplikasi dari
kejang, dan kejang mencegah kejang berulang. Pada fase akut dimana terjadi kejang,
tujuan terapi adalah menghentikan kejang, saat pasien kejang yang harus dilakukan
adalah melepas pakaian ketat dan pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi
apabila muntah. Pada fase akut, untuk menghentikan kejang, obat yang diberikan
pertama kali adalah diazepam. Diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam
2

rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10
mg untuk berat badan lebih dari 10 kg, atau jika anak di bawah usia 3 tahun dapat
diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam
rektal 7,5 mg, lalu jika kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis
yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. Pemilihan diazepam
pada kejang, diazepam berfungsi untuk mencegah kejang saat demam sedangkan
phenobarbital tidak bermanfaat untuk mencegah kejang saat demam, sehingga
pemberian diazepam lebih dianjurkan pada kondisi demam disertai kejang.
Pengobatan diazepam intravena

dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB dapat

diberikan pada pasien yang dirawat dirumah sakit. Jika kejang tetap belum berhenti,
maka diberikan phenytoin intravena dengan dosis awal 10- 20 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1 mg/ kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti,
maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif. Jika setelah pemberian obat kejang pada fase akut kejang berhenti
atau tanpa pemberian obat kejang berhenti, maka terapi selanjutnya adalah
pemberian profilaksis terhadap kejang, pemberian profilaksis bertujuan untuk
mencegah kejang berulang, selain pemberian profilaksis antikejang juga disertai
mencari sumber infeksi yang memicu demam, pemberian profilaksis terhadap kejang
dapat menurunkan rekurensi kejang demam dalam waktu 6 bulan - 2 tahun, namun
belum ada cukup bukti penelitian yg menunjukan akan mengurangi risiko terjadinya
epilepsy (Febrile seizures American academy of pediatrics, 2012)
Pemberian profilaksis untuk pasien kejang dapat berupa profilkasis
intermiten atau rumatan, pemilihan profilaksis antikejang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Profilaksis intermiten seperti diazepam untuk mencegah atau mengurangi
frekuensi kejang demam dapat berupa pemberian diazepam oral atau rektal dengan
dosis 0,4-0,5 mg/kgBB per kali tiap 8 jam, pemberian obat diazepam memiliki efek
samping berupa ataksia, iritabel, sedasi pada 25-39% kasus (Dev & Sugai , 2010).
Pada kejang demam sederhana profilaksis kontinyu tidak diberikan, profilaksis
kontinyu hanya diberikan pada kondisi dimana pemberian obat profilaksis intermiten
gagal, episode kejang demam berulang, dan adanya kekhawatiran orang tua yang
3

sangat tinggi (indikasi sosial), Kejang lama dengan durasi >15 menit, ada kelainan
neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang (anak yang memiliki kormobid)
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, dan
hidrosefalus, global delay development
Kejang demam >15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat/kontinyu.
Pengobatan rumat pada Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan
perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi. Pengobatan rumat/ kontinyu hanya
diberikan dengan selektif dan dalam jangka pendek. Pemilihan terapi rumatan harus
selektif sebab efek samping pengobatan rumatan seperti Phenobarbital dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 4050% kasus. Pada
sebagian kecil kasus, terutama pada usia kurang dari 2 tahun, penggunaan valproic
acid dapat menyebabkan gangguan fungsi hati (Arief R, 2015). Terapi
kontinyu/rumatan berupa Fenobarbital 4-6 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis atau Asam
valproat 15-40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis yang diberikan selama 1 tahun.
Penelitian yang dilakukan Sung-Pa pada tahun 2008 membandingkan penggunaan
obat rumatan seperti Phenobarbital,phenitoin, dan pirimidone, valproat acid pada
pasien ditemukan bahwa penggunaan carbamazepin dan valproat acid memiliki efek
negative pada kognitif pasien, dan Phenobarbital memiliki efek samping lebih tinggi
dari

carbamazepine

dan

valproat

acid.

carbamazepine, gabapentine, valproat acid,

Diantara

obat

rumatan,

seperti

memiliki efek anti depresi rendah

sedangkan Phenobarbital phenitoin memiliki efek depresi tinggi. Efek perburukan


kognitif yang rendah pada penggunann obat valvroat acid, sedangkan efek
perburukan kognitif yang tinggi pada penggunaan Phenobarbital dan carbamazepin.
Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak
jarang orang tua menganggap anaknya akan meninggal, oleh karena itu edukasi pada
orangtua sangat penting, Pertama, orang tua perlu diyakinkan dan diberi penjelasan
tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut. Lembaran tertulis dapat
membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga; penjelasan terutama pada:
Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik, orang tua

diberikan penjelasan cara penanganan kejang, memberi informasi mengenai risiko


berulang. Pemberian informasi pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif,
tetapi harus diingat pemberian penejlaan risiko efek samping obat khususnya obat
4

anti kejang, seperti efek pemberian diazepam, yang memiliki efek samping berupa
ataksia,

iritabel,

sedasi.

Sedangkan

Phenobarbital

memiliki

efeksamping

mengakibatkan gangguan perilaku, dan depresi, penurunan kognitif, cemas namun


efek ini

akan ditemukan setelah penggunaan obat rumatan dalam satu tahun

(Palanisamy dkk, 2011; Rosman, 2002; Arief R, 2015)

III.

PEMBAHASAN

Pada anamnesis Pasien memiliki usia 6 tahun, pasien didapatkan hasil berupa
demam yang timbul mendadak dan dirasakan di seluruh tubuh. Pasien juga
mengalami kejang 1 kali SMRS (5 September 2016 ), dengan durasi < 1 menit,
kejang pada seluruh tubuh, tipe kejang dikatakan menghentak-hentak (tonik klonik)
sebelum kejang pasien diawali demam (39,5 C), keluhan kejang berhenti sendiri
tanpa diberikan pengobatan. Setelah kejang pasien langsung sadar. Keluhan lain
pasien yaitu batuk, pilek dan nafsu makan dan minum yang berkurang. Pasien baru
pertama kali mengalami demam yang disertai kejang, lama kejang < 15 menit.
Berdasarkan. Berdasarkan anamnesis tersebut pasien didiagnosa kejang demam plus
karena kondisi yang dialami pasien sudah sesuai dengan teori kejang demam plus.
Terapi yang diberikan pada pasien yaitu terapi suportif berupa 02 nasal 2
lmp, pemberian cairan maintenance harian sebanyak 1500 ml/ hari, sedangkan terapi
medikamentosa yang diberikan yaitu paracetamol 20 cc tiap kenaikan suhu
temperatur axila 38 C, pasien juga diberikan pengobatan intermiten untuk mecegah
kejang berupa stesolid syr sebanyak 2,5 ml tiap 8 jam atau kenaikan tiap kenaikan
suhu temperatur axila 38 C, Ceftriaxon 2 x 750 mg. Pemberian terapi yang
didapatkan pasien sesuai dengan teori, dimana pada fase akut terapi fokus pada
penghentian kejang, profilaksis kejang, antipiretik dan terapi sumber infeksi pencetus
demam
.
Terapi yang diberikan pada pasien selama pengobatan sudah sesuai dengan
teori,dimana pada pasien dengan kejang diberikan pilihan pengobatan antikonvulsan
yang intermiten, seperti pemberian stesolid, secara teori stesolid (diazepam) terbukti
menurunkan angka kerjadian kejang, jika tidak berhasil pemberian diazepam setelah
2 kali maka dipikirkan pemberian phenetoin pada pasien. Setelah pasien diberikan
obat diazepam pasien mengalami keadaan mengatuk yang merupakan efek dari
pemberian diazepam. Pada pasien diberikan diazepam karena memiliki efek
pencegahan dan terapi pada kejang sedangkan Phenobarbital tidak memiliki efek
pada kondisi kejang yang akut. Pemilihan obat rumatan seperti Phenobarbital, tidak
diberika pada pasien sebab tidak ada indikasi pemberian obat rumatan, selain hal
tersebut pemberian obat rumatan harus diberikan secaras selektif, mengingat efek
6

samping yang cukup tinggi pada pasien, sehingga hanya diberikan jika efek terapi
lebih

menguntungkan

dibandingkan

efek

samping

yang

mungkin

dapat

terjadi.Selama terapi pasien tidak mengalami keadaan kejang dan tidak diberikan
pengobatan rumatan dikarenakan pasien masih merespon terhadap pengobatan
intermiten.
Secara umum terapi antikejang yang didapatkan oleh pasien sudah sesuai
dengan teori yaitu pemilihan obat rumatan hanya diberikan pada kondisi tertentu, dan
pada pasien pemilihan obat rumatan tidak diindikasikan, hanya diberikan obat
antikejang intermiten.

IV.

SIMPULAN
7

Pada kasus kejang demam terdapat tiga hal penting dalam tatalaksana, yaitu
menghentikan kejang, mencari dan mengobati penyebab serta pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam. Pada kasus pemilihan terapi kejang demam
sudah sesuai dengan teori, dimana pasien dengan kejang demam plus diberikan terapi
anti kejang intermiten (diazepam) tanpa disertai pemberian pengobatan rumatan,
antipiretik (parasetamol), antibiotik spektrum luas (ceftrixon), serta yang tidak kalah
penting adalah edukasi pada orangtua mengenai efek samping jangka panjang dari
pemberian terapi anti kejang.
Dalam pemilihan obat anti kejang harus selektif , hal ini dikarenakan
pengobatan anti kejang rumatan memiliki efek samping jangka panjang, sehingga
pemilihan obat kejang intermiten merupakan pilihan pertama pada kejang demam
anak yang tanpa disertai cormobid.

LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Arief R, 2015
Penatalaksanaan Kejang Demam, Continuing Medical Education, Jakarta pusat
vol. 42 pp 658-661
Sarah R. 2016
Manajemen kejang demam sederhana, jurnal medula unila, fakultas kedokteran
universitas lampung. Vol 4. pp. 147-152
The FASEB Journal 2010 Vol; 23(1) pp 703
Pedoman Pelayanan Medis RSUP Sanglah Denpasar. 2010. Kejang Demam. pp. 311
- 314
Newton ROffringa M, 2012
Febrile seizures American academy of pediatrics, Vol 4.pp 32-42
Strenggel E, Uhari M.Tarkka R, 2009
Arch Pediatr Adolesc Med, Vol 4. pp 163-799
Wong V, Rosman NP, 2002
HK Journal Pediatr Vol 7. pp 143-51.

10

Anda mungkin juga menyukai