Anda di halaman 1dari 91

8

NEUROLOGI
Syarief Darwin, Msy Rita Dewi, RM Indra

1. Kejang Demam
2. Meningitis Bakterialis
3. Meningitis Tuberkulosa
4. Ensefalitis
5. Peningkatan Tekanan Intrakranial
6. Tetanus pada Bayi dan Anak
7. Epilepsi
8. Tata Laksana Kejang Akut dan Status Epileptikus
9. Poliomyelitis Paralitika
10. Myelitis Transversa
11. Sindroma Guillain-Barré
12. Abses Otak
13. Acute Disseminated Encephalo Myelitis (ADEM)
14. Nyeri Kepala pada Anak dan Remaja
15. Trauma Kepada pada Anak
16. Sturge Weber Syndrome
17. Prosedur Pungsi Lumbal
18. Ensefalitis Autoimun

KEJANG DEMAM
Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu
apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.

Keterangan:
 Tidak termasuk kejang demam apabila: terdapat gangguan elektrolit atau metabolik
lainnya, terdapat riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
 Usia anak dengan kejang demam hampir keseluruhan antara 6 bulan sampai 5 tahun.
ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan masih dapat mengalami kejang
demam. Usia < 1 bulan tidak termasuk kejang demam, melainkan kejang neonatus.

Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (80%)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum
(tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.Sebagian besar kejang
demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
2. Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama (>15 menit)
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.

Anamnesis
1. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam.
2. Umumnya serangan kejang tonik-klonik. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi namun
jarang.
3. Riwayat perkembangan, riwayat keluarga kejang atau epilepsi.
4. Adanya penyebab demam misalnya ISPA, diare dan lain-lain

Pemeriksaan fisis
1. Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara teliti dan diulang secara periodik, terutama
untuk menyingkirkan ensefalitis atau meningitis: derajat kesadaran, adanya
meningismus, ubun-ubun besar yang tegang atau membonjol, tanda Kernig atau
Brudzinski, kekuatan dan tonus, harus diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang secara
periodik.

309
2. Adanya tanda-tanda infeksi misalnya faringitis, otitis media dan lain-lain

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, serta telah
menyingkirkan kemungkinan lain seperti ensefalitis, meningitis, epilepsi dan lain-lain

Pemeriksaan penunjang
1. Tanda klinis meningitis yang tipikal biasanya sulit diperoleh pada bayi kurang dari 12-18
bulan, sehingga pungsi lumbal sangat dianjurkan pada bayi berumur kurang dari 12 bulan
dan dianjurkan pada penderita berumur kurang dari 18 bulan.
2. Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
a. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
c. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
3. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan
gula darah.
4. Pemeriksaan EEG tidak diperlukan, dapat dipertimbangkanpada bangkitan fokal
5. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI) tidak rutin dilakukan kecuali terdapat
indikasi seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau
paresis nervus kranialis.

Tata Laksana
A. Terapi saat kejang
Terapi saat kejang dilakukan mengikuti panduan penatalaksanaan kejang akut dan status
epileptikus. Pasien dengan kejang demam dapat dibekali diazepam rektal untuk
mengatasi kejang di rumah.

B. Pemberian obat pada saat demam


1. Antipiretik
Dapat diberikan parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam
atau ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
2. Antikonvulsan
a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten

310
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Obat yang digunakan adalah diazepam
oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12
kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis
maksimal 7,5 mg/kali. Pemberian hanya selama 48 jam pertama
demam.Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah
satufaktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Perlu informasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

b. Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of
evidence 3, derajat rekomendasi D).

Indikasi pengobatan rumat:


1) Kejang fokal
2) Kejang lama >15 menit
3) Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang,misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.

Jenis antikonvulsan dan lama pengobatan rumat

311
1) Obat antikonvulsan yang dianjurkan untuk pengobatan rumatan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis atau fenobarbital
3-4 mg/kg/hari dibagi dalam 1-2 dosis.
2) Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumurkurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
3) Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat
anak tidak sedang demam.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila anak kejang


1. Tetap tenang dan tidak panik.
2. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung.
4. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5. Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7. Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit. Jangan berikan
bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh diberikan satu kali oleh orangtua.
8. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu tubuh
lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal, kejang fokal,
setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

Prognosis
Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi
kejang demam tidak pernah dilaporkan. Dapat terjadi paresis motorik yang bersifat
sementara (Todd’s paresis).

Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung

312
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-
49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan
pada kejang demam.

Kepustakaan
1. Ad Hoc Task Force of LICE Guidelines. Epilepsia.2009 Recommendations for the
management of febrile seizures: 50(1):2-6.
2. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Febrile Seizure. Pediatrics.
2011;127(2):389-94.
3. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmajda I, Handryastuti S.
Rekomendasi penatalaksanaan kejangdemam. UKK neurologi IDAI. Jakarta : Balai
Penerbit IDAI;2016.
4. National Institute of Health. Febrile seizure: Consensus development conference
statementsummary.Pediatrics. 1980;66:1009-12.
5. ILAE Guidelines. Commision on Epidemiology and Prognosis, International League
AgainstEpilepsy. Guidelines for Epidemiologic Studies on Epilepsy. Epilepsia.
1993:34:592-6.
6. American Academy of Pediatrics. Febrile seizure. 2012.
7. Hesdorffer DC, Benn EK, Bagiella E, Nordli D, Pellock J, Hinton V, dkk. Ann
Neurol.2011;70(1):93-100.
8. Berg AT, Shinnar S. Epilepsia. 1996;37(2):126-33.
9. Kesepakatan UKK Neurologi IDAI. 2016.
10. Sugai K. Brain Dev. Recommendations for the management of febrile seizures: Ad Hoc
Task Force of LICE.2010;32:64-70.

MENINGITIS BAKTERIALIS

313
Pengertian (Definisi)
Meningitis bakterialis adalah suatu peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri
patogen, ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan
serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.

Anamnesis
1. Demam
2. Sakit kepala
3. Muntah
4. Penurunan kesadaran
5. Kaku kuduk
6. Kejang
7. Fotofobia
8. High pitch cry pada bayi

Pemeriksaan fisis
1. Suhu febris
2. Penurunan kesadaran ditandaai dengan penurunan GCS
3. Gejala rangsang meningeal
4. Gangguan syaraf otak
5. Poor muscle tone
6. UUB menonjol

Tanda klasik meningitis adalah gejala iritasi meningeal meliputi:


Kaku kuduk : jarang terjadi pada bayi namun menjadi ciri utama meningitis pada
anak yang lebih tua.
Tanda Kernig : paha ditekuk ke arah perut, ekstensi pasif lutut menghasilkan rasa
sakit di belakang dan tidak dapat dilakukan mencapai 135o
Tanda Brudzinski I : fleksi pasif pada leher menghasilkan fleksi pada kedua tungkai
bawah
Tanda Brudzinski II : fleksi pasif pada ekstremitas bawah akan disertai fleksi tungkai di
sebelahnya
Tanda tripod : pada posisi duduk, anak menopang tubuhnya dengan kedua
lengannya
Knee-kiss sign : anak tidak bisa membungkuk untuk mencium lututnya.
Kriteria Diagnosis
1. Gejala klinis

314
2. Pungsi lumbal

Diagnosis
Meningitis bakterialis didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan temuan pada pemeriksaan
LCS.

Differential Diagnosis
1. Meningitis tuberkulosis
2. Meningitis aseptik
3. Ensefalitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi :
a. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri
b. LED meningkat
c. Pemeriksaan CRP positif
2. Liquor cerebrospinal (LCS):

Tabel 8.1. Karakteristik cairan serebrospinal pada anak dengan dan tanpa meningitis
Temuan LCS Normal Bakteri virus Jamur atau TB
Leukosit /μL <5 >500 <500 50-750
Nilai rujukan 0-10 10-20.000 0-1000 10-1500
PMN (%leukosit) 2 >80 <50 <50
Nilai rujukan 0-20 20-100 0-100 0-80
Glukosa (mg/dl) 60 <40 >40 <40
Nilai rujukan 45-65 0-65 30-65 5-50
Nilain LCS/darah(%) ≥60 <30 30-60 <40
Protein, mg/dl/ ≤30 >100 <100 50-200
Nilai rujukan 0-40 40-500 20-200 40-1500
Tes lain yang positif Tidak ada Pewarnaan gram, Polimerase chain Cryptococcal
deteksi antigen reaction antigen, BTA
Lakukan kultur dan resistensi terhadap LCS

3. Lain-lain

a. Kultur darah harus diperoleh dalam semua kasus.


b. Laktat LCS > 4.2mmol / L dapat membedakan antara meningitis bakterialis dan
virus.
c. Procalcitonin (PCT) sersum untuk mendeteksi infeksi bakteri berat karena sebagian
besar meningitis bakterialis terutama pada bayi dan anak-anak kecil diawali dengan
bakteriemia.

315
d. Pencitraan sebelum melakukan pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan defisit neurologis fokal, penurunan kesadaran dalam (GCS ≤ 8) atau fluktuatif.

Tata Laksana
1. Ceftriaxone telah direkomendasikan oleh WHO (1997) sebagai terapi lini pertama untuk
pengobatan meningitis bakterialis.
2. Kombinasi ampisilin (300mg /kg/hari, diberikan setiap 6 jam) dan kloramfenikol
(100mg/kg/hari diberikan setiap 6 jam) dapat digunakan.
3. Antibiotik baru seperti meropenem dan faropenem memiliki penetrasi CSF yang baik dan
efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
4. Rekomendasi standarnya adalah 10-14 hari untuk S.pneumoniae dan H.influenzae, 7 hari
untuk N. meningitidis, dan minimal 3 minggu dalam gram negatif, streptokokus kelompok
B dan Listeria.

Tabel 8.2. Pilihan antibiotik empiris pada Meningitis Bakterialis berdasar usia dan organisme
yang umumnya menjadi penyebab.
Usia Organisme penyebab Pilihan dan dosis antibiotika
< 1 bulan Group B streptococci, gram-negatif Ampicillin 50–100 mg/kg, tiap 6–8 jam,
bacilli (E. coli, Pseudomonas), ditambah
Listeriamonocytogenes aminoglikosida (gentamicin/amikacin)
2–2.5 mg/kg, setiap 8 jam; atau cefotaxime
100 mg/kg,Tiap 8 jam
1– 3 bulan Basil Gram-negatif, Listeria Ceftriaxone 100 mg/kg, tiap 24 jam, atau 50
monocytogenes, Streptococcus mg/kg tiap12 jam; atau cefotaxime 100 mg/kg
pneumoniae tiap 8 jam, ditambah
atau Neissera meningitidis ampicillin 50–100 mg/kg tiap 6-8 jam
>3 bulan Streptococcus pneumoniae, H. Ceftriaxone 100 mg/kg tiap 24 jam, atau 50
influenzae, Neissera meningitidis mg/kg tiap12 jam; atau cefotaxime 75 mg/kg
setiap 6–8 jam, ditambah
vancomycin 15 mg/kg setiap 6 jam Bila
vancomysin tidak tersedia, dapat diberikan
Ampisilin 300-400 mg/kgBB/hari dibagi dalam
4 dosis IV

5. Deksametason pada meningitis karena H.influenzae dan pneumokokus pada anak di


atas 6 bulan, dosis 0.4mg / kg diberikan setiap12 jam selama 2 hari, sama efektifnya
dengan pemberian 0.15 mg / kg yang diberikan setiap 6 jam selama 4 hari. Agar efektif,
steroid harus diberikan sebelum atau dengan dosis antibiotik pertama.
6. Cairan yang cukup harus diberikan untuk menjaga normovolaemia sehingga perfusi
serebral menjadi adekuat.

316
7. Nutrisi yang adekuat
8. Kejang diatasi sesuai dengan penatalaksanaan kejang
9. Bila terjadi kenaikan tekanan intrakranial dengan tanda :
a. Kesadaran menurun progresif
b. Tonus otot meningkat
c. Kejang yang tidak teratasi
d. Fontanella menonjol
e. Bradipnu
f. Tekanan darah meningkat
Diberikan manitol 20% dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB/kali diberikan perinfus selama
30-60 menit, dapat diulangi setelah 8 jam atau NaCl 3%, atau Gliserol (6g / kg / hari
diberikan setiap 6 jam) juga dapat digunakan dan terbukti mengurangi sekuele
neurologis pada anak-anak dengan meningitis bakteralis
g. Pemberian O2.
h. Pembersihan jalan nafas
i. Awasi ketat fungsi vital
j. Perawatan atau follow up yang ketat 24-48 jam pertama untuk melihat adanya
“Sindroma Inapropriate Anti Diuretic Hormone” (SIADH). Apabila ada SIADH
diperlukan monitor kadar elektrolit dan berat badan, manifestasi klinis SIADH sebagai
berikut :
 Retensi air
 Balans cairan positif
 Berat badan naik
 Tidak ada edema perifer
 Pitting edema di daerah sternum
 Gejala sistem gastrointestinalis, anoreksia, nausea, muntah.
 Gejala neurologik, letargi, pusing, kejang, perubahan pada pupil, koma.
 Laboratorium
 Hiponatremia (manifestasi klinis baru terlihat sesudah Na<125 mEq/L)
 Ureanitrogen dan kreatinin darah rendah
 Na urin > 20 mEq/L
 BD urin > 1,012

Tindak lanjut :
1. Mengawasi keseimbangan cairan dan elektrolit
2. Pengukuran lingkaran kepala jika UUB belum menutup

317
3. Setelah 48-72 jam pemberian antibiotika adekuat belum ada perbaikan klinis yaitu berupa
: keadaan umum memburuk, panas tetap tinggi, kesadaran makin menurun, kejang sukar
diatasi, maka harus dipikirkan adanya komplikasi/pemberian antibiotika yang tidak teratur
atau tidak sensitif. Antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur LCS. Dapat
dipertimbangkan juga penyesuaian antibiotika dengan kultur darah apabila kultur LCS
tidak menghasilkan kuman.
4. Kemudian dilanjutkan : lumbal fungsi ulang, funduskopi, transiluminasi, USG kepala jika
UUB belum menutup

Indikasi pulang
1. Setelah pemberian antibiotik selesai
2. Klinis sudah baik
3. Tidak ada peningkatan tekanan intrakranial.

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga bahwa dapat terjadi komplikasi-komplikasi dari
penyakit ini
2. Memberitahu kepada keluarga akan kemungkinan adanya gejala sisa / defisit
neurologis
3. Perlu adanya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat

Prognosis
Tingkat kematian meningitis cukup tinggi, yaitu 15% -20%. Kematian terjadi akibat dari
peningkatan tekanan intrakranial, infark serebral luas, DIC, syok septik, status epileptikus,
hidrosefalus, spastisitas, defisit visual dan kognitif, dan keterlambatan perkembangan
Komplikasi yang dapat segera timbul yaitu berupa :
1. Kenaikan tekanan intrakranial
2. Nekrosis atau infark jaringan otak
3. Ventrikulitis
4. Gangguan nervus kranialis
5. Sindroma inappropriate antidiuretik hormone (SIADH)
6. Subdural empiema
7. Abses serebri
Komplikasi lebih lanjut dapat berupa :
1. Gangguan mental, pendengaran, penglihatan
2. Hidrosefalus komunikan
3. Gangguan tingkah laku
4. Gangguan vestibular
5. Hemiparesis atau kuadriparesis

318
6. Epilepsi

Kepustakaan
1. Singhi P, Singhi S. Acute bacterial meningitis Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infections in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.160-81.
2. Weinberg GA, Thompson-Stone R. Bacterial infections of the nervous system. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric
neurology:principles and practice.Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h. 896-907.
3. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology: a sign and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier-Saunders;2013.
4. Bale JF. Meningitis and encephalitis. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management
in child neurology. Edisi ke-4. Shelton:BC Decker Inc;2009.h.632-7.
5. Newton CR. Central nervous system infections (bacteria and parasites). Dalam:Sejersen
T, Wang CH, penyunting. Acute pediatric neurology. London:Springer-Verlag;2014.h.243-
70.
6. Bale JF, Bonkowsky JL, Filloux FM, Hedlund GL, Nielsen DM, Larsen PD. Pediatric
neurology. Boca Raton:Taylor and Francis Group;2012.
7. Le-Saux N, Canadian Pediatric Society, Infectious Diseases and Immunization Committee.
Guidelines for the management of suspected and confirmed bacterial meningitis in
Canadian children older than one month of age. Paediatr Child Health. 2014;19:141-6.
8. Anon. Infants and children:acute management of bacterial meningitis. Edisi ke-4. North
Sidney:NSW Ministry of Health;2014.

MENINGITIS TUBERKULOSA

319
Definisi
Meningitis tuberkulosa adalah infeksi selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh penyakit
tuberkulosis akibat komplikasi tuberkulosis primer. Fokus primer dapat berasal dari paru atau
tempat lain misalnya getah bening atau tulang.

Anamnesis
1. Riwayat demam tidak terlalu tinggi, rasa lemah, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala ±
2 minggu sebelum timbul manifestasi neurologis.
2. Kejang bersifat umum dan intermiten.
3. Kesadaran menurun.
4. Riwayat kontak TB atau menderita TB.

Pemeriksaan fisis
1. Gejala umum sistemik :
a. demam
b. anoreksia
c. berat badan turun
d. keringat malam
e. malaise
2. Gejala khusus : sesuai dengan organ yang terkena
Gejala klinis meningitis tuberkulosa terdiri beberapa stadium :
a. Stadium I (prodormal) gejala tidak khas
 Kenaikan suhu yang ringan
 Apatis
 Tidak nafsu makan
 Mual, muntah
 Sakit kepala ringan
b. Stadium II (transisi) timbulnya tanda dan gejala neurologis
 Tanda-tanda rangsang meningeal meningkat
 Seluruh tubuh kaku
 Refleks tendon menjadi tinggi
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Kelumpuhan saraf otak
 Gangguan bicara
 Disorientasi
 Hemiplegia

320
 Ataksia
 Gerakan involunter
c. Stadium III (terminus) meningkatnya disfungsi serebral difus
 Penurunan kesadaran sampai koma
 Postur deserebrasi dekortikasi
 Pernafasan tidak teratur (cheyene stokes)
 Dilatasi pupil dan tidak bereaksi sama sekali

Gejala klinis :
1. Ubun-ubun besar membonjol pada bayi
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
3. Gejala rangsang meningeal positif
4. Gangguan syaraf otak

Kriteria Diagnosis
Meningitis tuberkulosa didiagnosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
berupa analisa cairan serebrospinal, BTA cairan serebrospinal, tuberkulin test, CT scan, dan
MRI. Dikarenakan tidak terdapat pemeriksaan tunggal yang spesifik dalam mendiagnosis
meningitis tuberkulosis, dikembangkan berbagai sistim skoring diagnosis. Sistim skoring oleh
Marais dkk berikut ditemukan memiliki spesifisitas yang sangat baik dalam mendiagnosis
meningitis tuberkulosa.

Tabel 8.3. Sistem Skoring Marais dkk untuk mendiagnosis meningitis tuberkulosa.
Kriteria Skor Diagnostik
Kriteria Klinis ( maksimal skor = 6)
Durasi gejala > 5 hari 4
Gejala sugestif sistemik Tb (≥ 1) : penurunan BB / BB tidak naik-naik 2
pada anak, berkeringat malam, batuk persisten > 2 minggu.
Riwayat kontak erat dengan penderita TB Paru atau mantoux 2
test/IGRA positif/IGRA pada anak < 10 tahun.
Defisit neurologis fokal 1
Kelemahan saraf kranial 1
Penurunan kesadaran 1
Kriteria Cairan Serebrospinal ( maksimum skor = 4 )
Cairan jernih 1
Jumlah sel 10 – 500/µL 1
Predominan limfositik ( > 50%) 1
Konsentrasi protein > 1 g/L 1
Ratio glukosa plasma < 50% atau 1
konsentrasi glukosa LCS absolut < 2,2 mmol/L

321
Kriteria Pencitraan ( maksimum skor = 6 )
Hidrosefalus ( CT dan/atau MRI) 1
Penyangatan ganglia basalis (CT dan/atau MRI) 2
Tuberkuloma (CT dan/atau MRI) 2
Infark (CT dan/atau MRI) 1
Hiperdensitas prekontras basal (CT) 1

Bukti dari Tb ekstrapulmoner ( maksimum skor = 4 )


Foto thoraks sugestif TB aktif ( kecuali TB Milier) 2
Foto thoraks sugestif TB milier 4
Bukti dari CT/MRI/USG tuberkulosis diluar sistem neurologis 2
BTA teridentifikasi atau kultur Mycobaterium tuberculosis dari sumber 4
yang lain yaitu sputum, kelenjar limfe, bilasan lambung, urine,
kultur darah.

Skor 12 atau lebih dengan pencitraan atau skor 10 atau lebih tanpa pencitraan memiliki
sensitivitas 86% dan spesifisitas 100% dalam mendiagnosis meningitis tuberkulosa
sedangkan skor 6-11 dengan pencitraan atau 6-9 tanpa pencitraan memberikan sensitivitas
100% dan spesifisitas 56%.

Diagnosis
Meningitis tuberkulosa ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis dan bukti kuman
M.tuberculosis pada cairan serebrospinal. Beberapa temuan pencitraan (misalnya
penyangatan basal) dan skoring klinis memiliki spesifisitas sangat tinggi sehingga juga dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis dan memutuskan untuk memulai pengobatan.

Diagnosis banding
1. Meningitis bakterialis
2. Meningitis aseptik
3. Ensefalitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Cairan serebrospinal
Diagnosis meningitis tuberkulosis dikonfirmasi dengan menemukan kuman pada cairan
serebrospinal. Akan tetapi sentivitas baik pemeriksaan BTA atau kultur umumnya rendah
(masing-masing 37% dan 52%) dan sangat bergantung kualitas laboratorium serta
kecukupan spesimen. Pemeriksaan Xpert MTB/Rif memiliki sensitivitas lebih baik, yaitu
antara 59-90% namun membutuhkan spesimen LCS yang banyak (>6 ml). Pemeriksaan
LCS rutin umumnya menunjukkan cairan berwarna jernih hingga xantochrome,
peningkatan leukosit dengan predominasi limfosit, peningkatan kadar protein dan
penurunan glukosa yang dapat mencapai <0,3 glukosa plasma.

322
2. Pencitraan
Beberapa temuan radiologis sering dijumpai pada meningitis tuberkulosis antara lain
penyangatan basal, tuberkuloma, infark dan hidrosefalus. Penyangatan basal memiliki
spesifisitas diagnostik yang sangat tinggi, penyangatan pada kontras memiliki spesifisitas
94% dan sensitivitas 89% sedangkan apabila tanpa kontras telah ditemukan
penyangatan spesifisitasnya 100% namun hanya ditemukan pada 46% kasus.

Tata Laksana
1. Pengobatan penunjang simptomatik :
a. anti konvulsan
b. antipiretika
c. analgetika
2. Pengobatan suportif :
a. Pemberian cairan
b. Jenis cairan: cairan 2 : 1 (Dekstrosa 5% + NaCI 15%). jumlah cairan pada hari
pertama 70% dari kebutuhan maintenance.
c. Nutrisi yang adekuat
d. Pemberian O2 dan pembebasan jalan nafas
e. Posisi diubah-ubah
f. Bila edema otak diterapi sesuai dengan talaksana edema otak
3. Obat Anti Tuberkulosis (level of evidence I)

Panduan WHO tahun 2010 merekomendasikan regimen terapi berupa isoniazid,


rifampisin, pirazinamid dan etambutol (RHZE) selama dua bulan dan dilanjutkan isoniazid
dan rifampisin (RH) selama 10 bulan sehingga total lama pengobatan satu tahun. Dosis
obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosa sebagai berikut:
a. INH: 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 300 mg
b. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB/hari, maksimum 600 mg/hari, single dose 1 jam sebelum
makan
c. Pirazinamid: 20-35 mg/kgBB/hari, maksimum 2 gram/hari
d. Etambutol: 10-15 mg/kgBB/hari
4. Kortikosteroid (level of evidence I)

Prednison : 1-2 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis secara oral selama 1-3 bulan, kemudian
diturunkan 1 mg setiap 1-2 minggu selama 1 bulan.
5. Fisioterapi

Tindak lanjut

323
1. Hidrosefalus dan tuberkuloma merupakan komplikasi yang sering ditemukan dan
membutuhkan tatalaksana bedah.
2. Kejang yang disertai kerusakan struktur otak membutuhkan antikonvulsan rumatan jangka
panjang.

Indikasi pulang
Penderita dapat pulang setelah 2-4 minggu mendapat steroid full dose dengan syarat:
1. Tanda vital dalam batas normal (tekanan darah terkontrol).
2. Penderita dalam keadaan sadar.
3. Penderita dapat memperoleh dukungan nutrisi dan cairan sesuai dengan kebutuhan
ketika berada di rumah.
4. Kejang teratasi.

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga tentang penyebab penyakit ini.
2. Menyarankan untuk memeriksa anggota keluarga untuk skrining penyakit tuberkulosa.
3. Memberi informasi kepada keluarga tentang kemungkinan adanya gejala sisa, contohnya
tuli sensorineural sehingga penting untuk melakukan pemeriksaan telinga satu bulan
setelah anak pulang dari rumah sakit.
4. Memberitahu tentang kemungkinan komplikasi-kompilkasi yang dapat timbul.
5. Perlunya pemantauan tumbuh kembang anak pasca rawat.
6. Memberitahu keluarga tentang perlunya pengobatan OAT rutin dan efek samping OAT
yang dapat timbul serta lamanya pengobatan.
7. Memberitahu keluarga tentang perlunya mengukur dan mencatat ukuran kepala bayi.
8. Memberitahu keluarga tentang perlunya fisioterapi jika terdapat kerusakan syaraf dan
berikan nasihat sederhana pada orang tua untuk melakukan latihan pasif pada anak di
rumah.

Prognosis
1. Pasien yang tidak diobati biasanya meninggal dunia
2. Mortalitas keseluruhan 10-20%. Prognosis tergantung pada stadium penyakit saat
pengobatan dimulai dan umur pasien, pasien berumur < 3 tahun mempunyai prognosis
yang lebih buruk. Mortalitas pada stadium 3 dapat mencapai 80%
3. Pasien yang bertahan hidup memiliki kemungkinan 50% - 80% untuk mengalami defisit
neurologis menetap yang dapat berupa kebutaan atau tuli, defisit motorik dan
keterlambatan perkembangan.

324
Kepustakaan
1. Weinberg GA, Thompson-Stone R. Bacterial infections of the nervous system. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology:
principles and practice. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h.896-907.
2. Darto S, Siti NH. Infeksi susunan saraf pusat. Dalam: Soetomenggolo SS, Ismael S. Buku
ajar neurologi anak. Jakarta:Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;1999.h.339-85.
3. Schoeman JF, van Toorn R. Tuberculosis. Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyuntung. Central nervous system infections in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.202-18.
4. Ronald VT,Solomons RS. Update on the diagnosis and management of tuberculous
meningitis in children. Semin Pediatr Neurol 2014 ;21:12-1.
5. Solomons RS,Wessels M,Douwe HV,dkk. Uniform research case definition criteria
todifferentiate tuberculous and bacterial meningitis in children. Clin Infect Dis. 2014;59
(11):1574–8.
6. Marais S, Thwaites G, Schoeman JF, dkk. Tuberculous meningitis: a uniform case
definition for use inclinical research. Lancet Infect Dis. 2010; 10: 803–12.
7. Guy E. Thwaites. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculous meningitis.
Curr Opin Neurol 2013;26 (3):295 – 300.
8. Solari L, Soto A, Agapito JC, dkk. The validity of cerebrospinal fluid parameters for the
diagnosis of tuberculous meningitis. Int J Infect Dis. 2013;17: 1111–5.

325
ENSEFALITIS

Definisi
Ensefalitis adalah inflamasi parenkim otak yang menyebabkan gangguan neurologis.

Etiologi
1. Sebagian besar kasus (40-60%) tidak teridentifikasi, namun dengan kemajuan tehnologi,
jumlah ini akan makin berkurang.
2. Di antara kasus-kasus yang penyebabnya teridentifikasi, sekitar 40-60% dikarenakan
infeksi, 70% di antaranya karena virus. Herpes simplex virus (HSV), varicella zooster
virus dan enterovirus diduga merupakan penyebab terbanyak, meski sangat tergantung
musim dan geografis.
3. Ensefalitis karena proses autoimunitas (misalnya acute disseminated encephalomyelitis
dan ensefalitis anti NMDAR) saat ini telah makin banyak dikenali dan diduga menjadi
penyebab pada sekitar sepertiga kasus ensefalitis.

Anamnesis
1. Onset ensefalitis virus sifatnya akut, ditandai dengan adanya demam yang umumnya
tinggi (≥38oC)
2. Gejala-gejala peningkatan tekanan intrakranial berupa sakit kepala, penurunan atau
perubahan kesadaran
3. Kejang yang dapat bersifat fokal atau umum.

Pemeriksaan fisis
1. Demam tinggi (≥38oC) pada ensefalitis virus
2. Defisit neurologis: paresis otot, paresis nervi kranialis, afasia
3. Apabila ensefalitis virus disebabkan oleh enterovirus, measles atau varisela dapat
ditemukan ruam kulit.
4. Adanya kejang fokal dan defisit neurologis fokal dapat menunjukkan kecurigaan ke arah
ensefalitis HSV meski gejala tersebut juga dapat ditemukan pada ensefalitis lain.
5. Gejala neuropsikiatri juga dapat menjadi tanda dari ensefalitis. Sebanyak 80%
manifestasi lupus pada SSP adalah gejala neuropsikiatri. Ensefalitis autoimun (seperti
ensefalitis anti NMDAR) dapat dicurigai apabila ditemukan manifestasi berupa gejala
neuropsikiatri, movement disorder dan penurunan kesadaran.

326
Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS), pencitraan dan pemeriksaan lain seperti
elektroensefalografi.

Diagnosis
International Encephalitis Consortium (2013) merumuskan batasan kasus ensefalitis yang
tercantum pada tabel. Batasan ini harus dibedakan dengan ensefalopati yaitu penurunan
atau perubahan kesadaran tanpa adanya inflamasi jaringan otak.

Tabel 8.4.Kriteria ensefalitis berdasarkan International Encephalitis Consortium (2013)


Kriteria mayor (harus ada):
Pasien datang dengan keluhan perubahan status mental – yaitu penurunan atau perubahan
kesadaran, letargi atau perubahan kepribadian yang berlangsung selama ≥24 jam.
Kriteria minor (harus ada 2 untuk possible encephalitis ; ≥ 3 untuk probable atau confirmed
encephalitis):
1. Demam ≥ 38oC dalam 72 jam sebelum atau setelah gejala.
2. Kejang umum atau fokal yang bukan disebabkan oleh penyakit dengan kejang yang
telah ada sebelumnya pada pasien.
3. Gejala neurologis fokal baru.
4. WBC pada LCS ≥ 5/mm3.
5. Hasil pencitraan menunjukkan abnormalitas parenkim otak yang pada pemeriksaan
sebelumnya belum ada atau diduga bersifat akut.
6. Abnormalitas pada pemeriksaan elektroensefalografi yang konsisten dengan
ensefalitis dan diketahui bukan dikarenakan penyebab lain.

DAN: Bukan merupakan ensefalopati yang dikarenakan trauma, gangguan metabolik, tumor,
penyalahgunaan alkohol, sepsis dan penyebab non infeksius lain.

Pemeriksaan penunjang
1. Cairan serebrospinal/ Liquor Cerebrospinal (LCS)
a. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin harus dilakukan. Pengecatan gram dan BTA
juga sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis berdasarkan gejala
klinis untuk menyingkirkan meningitis
b. Hasil pemeriksaan LCS dapat menunjukkan sel yang meningkat atau normal dengan
predominasi limfosit, protein meningkat atau normal, glukosa normal.

327
c. Pemeriksaan polymerase chain reaction merupakan pemeriksaan penunjang pilihan
dalam mendiagnosis ensefalitis virus. Pemeriksaan PCR apabila tersedia setidaknya
dilakukan terhadap HSV.

2. Pencitraan
a. Pencitraan dengan CT scan atau MRI dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai
ensefalitis dengan gejala neurologis fokal. Pemeriksaan MRI lebih sensitif
dibandingkan CT scan.
b. Pemeriksaan MRI pada ensefalitis HSV dapat menunjukkan adanya peningkatan
sinyal sekuens T2W di lobus temporal dan frontal inferior
c. Japanese encephalitis sebagian besar memberikan gambaran intensitas sinyal
abnormal pada thalamus, substansia nigra dan ganglia basalis.

3. Pemeriksaan elektroensefalografi
a. Gambaran elektroensefalografi (EEG) umumnya berupa perlambatan gelombang
latar belakang secara difus.
b. Pemeriksaan EEG juga ditujukan untuk mendeteksi kejang pada pasien-pasien
dengan penurunan kesadaran
c. Ensefalitis HSV dapat memberikan gambaran EEG berupa perlambatan yang difus
atau fokal dan periodic lateralizing epileptiform discharge.
d. Adanya gambaran delta brush eksesif dapat ditemukan pada sekitar sepertiga pasien
dengan ensefalitis anti NMDAR.

Tata Laksana
1. Tatalaksana suportif dan simtomatik berupa pemeliharaan keseimbangan cairan,
elektrolit, asupan, penatalaksaan terhadap kejang dan peningkatan tekanan intrakranial.
Pasien dengan kejang diberi antikonvulsan yang sesuai, misalnya pemberian fenitoin
atau fenobarbital intravena. Terhadap peningkatan tekanan intrakranial dapat diberikan
manitol atau NaCl hipertonik.
2. Pasien yang dicurigai ensefalitis herpes simpleks, antara lain datang dengan kejang fokal
atau terdapat periodic lateralizing epileptiform discharge dapat diberikan asiklovir
intravena dengan dosis berikut hingga diagnosis dapat dikonfirmasi atau disingkirkan:
a. Usia < 3 bulan: 20 mg/kg/kali tiap 8 jam
b. Usia 3 bulan – 12 tahun: 500 mg/m2 tiap 8 jam
c. Usia >3 bulan: 10 mg/kg/kali tiap 8 jam.

Asiklovir diberikan setidaknya selama 14 hari untuk pasien imunokompeten, 21 hari untuk
pasien dengan gangguan fungsi imun.

328
3. Antibiotik dapat dipertimbangkan apabila meningitis bakterialis masih menjadi salah satu
kemungkinan yang belum dapat disingkirkan (misalnya pada pasien belum dapat
dilakukan pungsi lumbal).
4. Fisioterapi dilakukan secepat mungkin setelah fase akut terlewati.

Prognosis
1. Prognosis tergantung jenis ensefalitis
2. Ensefalitis HSV memilki mortalitas 84% pada kasus yang tidak diobati dengan asiklovir,
dari kasus yang tidak diobati yang hidup, sebanyak 97% memiliki mortalitas menetap.
Dengan pengobatan dini, mortalitas menurun hingga 20-30%.

Kepustakaan
1. Britton PN, Eastwood K, Paterson B, dkk. Consensus guidelines for the investigation and
management of encephalitis in adults and children in Australia and New Zealand. Int Med
J 2015;45:563-76.
2. Bonthius DJ, Bale JF. Viral infections of the nervous system. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology: principles and practice.
Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h.908-19.
3. Griffin DE. Viral encephalitis and meningitis. Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infection in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.99-104.
4. Whitley RJ. Herpes simplex virus infection. Dalam: Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infection in childhood. London:Mac Keith
Press;2014.h.114-24.
5. Falchek SJ. Encephalitis in the pediatric population. Pediatr Rev. 2012;33(3):122-33.
6. Kneen B, Michael BD, Menson E, dkk. Management of suspected viral encephalitis in
children – Association of British Neurologist and British Paediatric Allergy and Immunology
and Infection Group National Guidelines. J Infect. 2012;64:449-77.
7. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology: a sign and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier Saunders;2013.

329
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

Definisi
Tekanan intrakranial (TIK) normal berkisar antara 0-10 mmHg atau 0-136 mmH 2O, pada bayi
berkisar antara 3-7,5 mmHg atau 40-100 mmH 2O. Tekanan intrakranial 20-40 mmHg
dianggap tinggi dan di atas 40 mmHg dianggap sebagai hipertensi intrakranial berat.

Etiologi
Etiologi peningkatan tekanan intrakranial :
1. Gangguan aliran cairan serebrospinal(CSS) seperti obstruksi aliran di luar maupun di
dalam sistem ventrikel, kelainan padapleksus koroid dan gangguan penyerapan CSS.
2. Peningkatan volume otak sepertiedema otak difus dan edema otak setempat
3. Peningkatan volume darah otak
4. Proses desak ruang

Etiologi di atas dapat menyebabkan edema otak, yang dibagi menjadi :


1. Edema vasogenik akibat a) peningkatan permeabilitas kapiler, b) peningkatan tekanan
transmural kapiler, c) retensi cairan ekstravaskuler pada ruangan intersisial. Keadaan ini
dapat terjadi karena tumor otak, lesi traumatik, perdarahan intraserebral, fokus inflamasi
atau hematom sudural kronis.
2. Edema sitotoksik akibat proses intraseluler pada astrosit dan neuron. Proses iskemik
menghasilkan kaskade reaksi biokemikal yang terdiri dari peningkatan kalium
ekstraseluler dan peningkatan kalsium intraseluler menyebabkan kerusakan sel yang
menetap akibat gangguan fungsi membrane sel. Keadaan ini disebabkan iskemi fokal
atau umum dan hipoksia akibat infark serebri.
3. Edema interstisial akibat infiltrasi periventrikuler cairan serebrospinalis pada peningkatan
tekanan hidrosefalus obstruktif, misalnya pada tumor fosa posterior.
4. Edema hidrostatik disebabkan peningkatan tekanan transmural vaskular menyebabkan
penimbunan cairan ekstraseluler. Keadaan ini dapat terjadi pada hematoma subdural
akut pasca evakuasi yang menyebabkan penurunan tekanan intrakranial secara tiba- tiba
dan peningkatan tiba-tiba tekanan transmural pembuluh darah otak.
5. Edema osmotik disebabkan proses kompleks penurunan osmolaritas serum dan
hiponatremia < 125 mEq/L menyebabkan keseimbangan osmotik terganggu dan edema
otak.

330
Sering terjadi lebih dari satu jenis edema serebri pada suatu kondisi, misalnya pada
meningitis bakterialis dapat terjadi edema vasogenik karena inflamasi, namun akibat hipoksia
dan penurunan aliran darah serebral dapat terjadi edema sitotoksik dan akibat obstruksi CSS
dapat terjadi edema interstisiel. Peningkatan TIK fase lanjut karena edema vasogenik
biasanya melibatkan edema sitotoksik.

Tabel 8.5. Beberapa etiologi peningkatan TIK pada anak.


Kelainan pada parenkim/ventrikel Kelainan ekstraserebral
 Neoplasma  Kraniosinostosis primer
 Pseudotumor cerebri  Penyakit Crouzon
 Hidrosefalus obstruktif/nonkomunikan  Sindrom Apert
 Hidrosefalus komunikan  Perdarahan ekstradural
 Meningitis bakterialis  Hematom subdural kronis
 Meningoencephalitis  Cloverleaf skull
 Cidera kepala  Subarachnoid space lesions
 Ensefalopati hipoksik-iskemik 
 Inborn errors of metabolism
 Ketoasidosis diabetikum
 Koma hepatikum

Anamnesis
1. Sakit kepala; sering bertambah saat bangun pagi, batuk, bersin, mengedan, perubahan
posisi kepala tiba-tiba (pada proses lesi desak ruang).
2. Muntah; bersifat proyektil tanpa disertai rasa mual, mulanya hanya timbul saat bangun
pagi kemudian dapat terjadi setiap waktu.
3. Pada anak besar: penurunan kesadaran atau perubahan kepribadian, pada bayi: letargi
dan iritabilitas.
4. Gejala lain (pada proses lesi desak ruang) : penglihatan ganda/diplopia,strabismus,
kelumpuhan, kejang, gangguan keseimbangan/koordinasi.

Pemeriksaan fisis
1. Edema papil
2. Kelumpuhan saraf kranialis keenam
3. Penurunan kesadaran (Skala Koma Glasgow), memakai modifikasi anak.
4. Tanda spesifik peningkatan TIK pada bayi: fontanela membonjol, diastasis sutura,
distensi vena kulit kepala, deviasi mata persisten ke bawah (sunsetting) dan
penambahan lingkar kepala yang cepat.
5. Tanda spesifik peningkata TIK di kompartemen infratentorial (fossa posterior): kaku
kuduk dan head tilt

331
6. Dapat ditemukan defisit neurologis fokal yang dapat mencerminkan letak lesi

Tabel 8.6. Glasgow coma scale pediatrik


Kategori Rincian Nilai
Respon membuka mata Spontan 4
Dengan perintah verbal 3
Dengan nyeri 2
Tidak ada respons 1

Respon motorik Spontan atau menurut perintah 6


Dapat melokalisasi nyeri 5
Fleksi terhadap nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respons 1

Respon verbal Orientasi baik, mengoceh 5


Iritabel, menangis 4
Menangis dengan nyeri 3
Mengerang dengan nyeri 2
Tidak ada respon 1

Skala 12-14 tergolong gangguan kesadaran ringan, nilai skala 9-11 gangguan kesadaran
sedang, nilai <8 tergolong koma.
Peningkatan TIK yang masif dan berkelanjutan dapat menimbulkan pergeseran otak
melewati ekstensi-ekstensi dura (falx serebri, tentorium serebeli) atau barier tengkorak yang
disebut herniasi. Herniasi dapat terjadi di bawah falx (subfalcine), melalui sulkus tentorial
(transtentorial:sentral dan unkal), atau kedalam foramen magnum (tonsilar)

Tabel 8.7. Sindrom herniasi dan mekanismenya


Tipe Mekanisme Temuan klinis
Transtentorial Pergeseran bagian unkus lobus Dilatasi pupil ipsilateral (kompresi serat
temporalis yang terjepit pada insisura pupilokonstriktor); penurunan kesadaran
tentorialis. Terjadi kompresi nervi progresif, penurunan refleks okulosefalik,
kranialis III, midbrain, pedunkulus serebri postur dekortikasi, hemiparesis
dan arteri serebri posterior. Dapat terjadi ipsilateral (tekanan pada pedenkulus
pada stroke, perdarahan atau abses serebri kontralateral).
Sentral Edema kedua hemisfer sehingga  Awal: penurunan kesadaran, konstriksi
menyebabkan penekanan diensefalon pupil (disfungsi saraf simpatis),
dan midbrain. pernapasan Cheyne Stokes
Dapat terjadi pada edema sitotoksik,  Lanjut: hilangnya refleks okulosefalik,
anoksia dan trauma. hiperventilasi neurogenik sentral,
postur deserebrasi.
Tonsilar Tonsil serebeli tertekan pada foramen Penurunan kesadaran mendadak,

332
magnum, sehingga terjadi penekanan opistotonus, kaku kuduk, pernapasan
batang otak dan medulla spinalis servikal ireguler, apnu.
atas.
Sering terjadi pada tumor fossa posterior,
dapat juga terjadi pada massa atau
edema yang difus.
Cingulate Edema gyrus cingulate di bawah ujung Gejala bervariasi. Sering berlanjut
bebas falx serebri. Terjadi kompresi menjadi sindroma herniasi jenis lain,
arteri serebri anterior dan vena serebri sering berhubungan dengan herniasi
interna ipsilateral atau bilateral. unkus.
Tahap lanjut Tahap lanjut herniasi unkus, sentral, dan
tonsilar akan menyebabkan gejala
berupa koma, flaksiditas ekstremitas,
pupil diameter sedang dengan refleks
cahaya negatif, hilangnya refleks kornia
dan okulosefalik, dan apnu yang
ireversibel

Hati-hati bila terdapat tanda-tanda perburukan dari status neurologi yang tiba-tiba, berupa:
penurunan kesadaran, dilatasi pupil unilateral, trias Cushing (peningkatan tekanan darah,
bradikardi dan pernapasan ireguler).

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adanya gejala dan tanda peningkatan tekanan
intracranial
2. Pemeriksaan penunjang untuk mencari etiologi

Diagnosis
1. Pemeriksaan neurologis klinis merupakan cara utama untuk deteksi adanya peningkatan
TIK.
2. Diagnosis pasti adanya dengan pengukuran tekanan intrakranial dengan monitoring
device.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyebab peningkatan TIK
1. USG/CT-Scan/MRI kepala
2. Darah perifer lengkap, analisis gas darah, elektrolit darah

Tata Laksana

333
Tujuan: menurunkan tekanan intrakranial untuk memperbaiki aliran darah ke otak dan
pencegahan atau menghilangkan herniasi, serta mempertahankan TD sistolik dalam batas
normal.

Tata laksana dapat dibagi menjadi :


1. Suportif
a. Elevasi kepala 15-30 derajat dan kepala pada posisi midline (pada pasien dengan
hemodinamik stabil).
b. Menjaga suhu tubuh < 37,5 0C
c. Mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal
d. Mempertahankan saturasi O2> 96%
e. Mempertahankan PaCO2 37±2 mmHg
f. Meminimalkan tindakan seperti pengisapan lendir, pengambilan sampel darah dll.
Jika pasien gelisah/agitasi dapat diberikan sedasi, karena agitasi akan meningkatkan
tekanan intrakranial.

2. Medikamentosa
Tujuan: Mengurangi volume komponen-komponen intrakranial
a. Pengurangan volume cairan serebrospinal. Pada hidrosefalus terjadi edema
interstisiel dengan peningkatan tekanan intraventrikel yang tinggi serta edema
periventrikel. Dapat diberikan asetazolamid 30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Penggunaan asetazolamid hendaknya dengan pemonitoran kadar kalium secara hati-
hati atau dengan penambahan kalium.
b. Pengurangan volume jaringan otak. Pada edema sitotoksik, dapat diberikan manitol
20% dengan dosis 0,25-1 g/kgBB drip IV selama 20-30 menit setiap 8 jam. Selama
pemberian osmoterapi perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit serta
osmolaritas serum 300-320 mosm/L. Natrium hipertonik (NaCl 3%) efektif
menurunkan peningkatan TIK dengan mempertahankan tekanan osmolar parenkim
otak. Digunakan pada pasien dengan keadaan hipotensi dan hipoperfusi. NaCl 3%
diberikan bolus dalam 30-60 menit dengan dosis 2-4 mL/kg IV. Sebaiknya melalui
vena sentral. Dihentikan bila kadar Na > 155 mEq/L. Pemberian diuretik tubular yang
kuat dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan efektif melalui berkurangnya
cairan tubuh total, tonus pembuluh darah, dan produksi CSS. Obat yang dianjurkan
adalah furosemid dengan dosis 1 mg/kgBB/kali IV, dapat diberikan 2 kali sehari.
c. Pada edema vasogenik seperti pada tumor otak atau abses dapat diberikan
kortikosteroid untuk mengurangi edema dan memperbaiki integritas membran dalam
mempertahankan permeabilitasnya. Dapat diberikan deksametason dengan dosis
0,1-0,2 mg/kgBB tiap 6 jam.
3. Tindakan bedah

334
a. Jika peningkatan TIK tidak dapat diatasi dengan medikamentosa maka perlu
dilakukan koreksi dengan tindakan bedah dekompresi (kraniektomi) untuk mengatasi
pergeseran dan herniasi otak. (Level of EBM I)
b. Tindakan bedah lain tergantung dari etiologi (hidrosefalus, perdarahan intrakranial,
abses otak, tumor otak).

Edukasi
1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan penyebab peningkatan tekanan
intrakranial, beserta komplikasi yang mungkin terjadi
2. Memberikan informasi mengenai pengobatan atau tindakan yang akan dilakukan untuk
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial beserta efek samping/komplikasi yang
mungkin timbul
3. Memberikan informasi mengenai prognosis dan pemantauan yang akan dilakukan

Prognosis
1. Tergantung etiologi. Sekitar 30-33%
kematian pada meningitis bakterialis akibat peningkatan tekanan intrakranial
2. Kemungkinan kecacatan atau kelainan
neurologis, terutama pada peningkatan TIK lanjut.

Kepustakaan
1. Antonius HP, Badriul H, Setyo H, dkk. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi II. Jakarta:Balai Penerbit IDAI;2011.
2. Wainwright MS. Disorder of intracranial pressure. Dalam:Swaiman KF,Ashwal S, Ferriero
DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principles and practice.Edisi Ke-6.
Philadelphia: Elsevier;2017.h.827-33.
3. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology: a sign and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier Saunders;2013.
4. Ismail S. Peninggian tekanan intrakranial.Dalam: Soetomenggolo TS, Ismail S,
penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI;2000.h.276-89.

5. Role of hypertonic saline and manitol in the management of raised intracranial pressure
in children: a randomized comparative study. J Pediatr Neurosci 2010; (5):18-21.
6. Lin LM, Sciubba D, Carson BS, Jallo GI. Increased intracranial pressure. Dalam: Maria
Bl, penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-4.Shelton:BC Decker
Inc;2009.h.695-701

335
TETANUS PADA BAYI DAN ANAK

Definisi
1. Tetanus adalah penyakit yang bersifat akut yang diakibatkan eksotoksin bakteri
Clostridium tetani yang ditandai dengan kekakuan seluruh badan dan spasme otot yang
umumnya dimulai pada wajah dan leher kemudian menjadi umum.
2. Tetanus neonatarum adalah tetanus yang terjadi pada 28 hari pertama kehidupan.

Etiologi
Clostridium tetani, merupakan bakteri gram positif, anaerob obligatC tetani hidup di saluran
pencernaan hewan juga manusia dan pada berbagai permukaan lingkungan seperti tanah
yang terkontaminasi kotoran hewan atau besi berkarat.

Klasifikasi
Klasifikasi manifestasi klinis tetanus berdasarkan gejala yaitu:
1. Tetanus lokal : Merupakan gejala yang ringan dengan angka kematian yang rendah.
Gejala meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot
sekitarnya. Ditemukan pada area terjadinya luka
2. Tetanus sefalik : Merupakan bentuk manifestasi tetanus yang jarang. Apabila menyebar
melalui otitis media, dan cedera kepala terdapat gejala nervi kranialis terutama fasialis.
Dapat berkembang menjadi tetanus umum dengan prognosis yang lebih jelek.
3. Tetanus generalisata/ umum :Bentuk tetanus yang tersering (sekitar 80%).
a. Gejala awal berupa trismus, mulut mencucu, rahang kaku dan sulit menelan
paling sering dijumpai
b. Risus sardonikus, opistotonus dan kaku pada dinding perut.
c. Spasme dapat timbul secara spontan atau dengan rangsang, baik sentuhan,
suara, visual atau emosional.
d. Demam, peningkatan tekanan darah, berkeringat dan takikardi.
e. Kematian dapat terjadi bila spasme terjadi pada otot pernapasan.
f. Tetanus neonatal hampir selalu generalisata
Komplikasi yang dapat terjadi berupa laringo spasme, fraktur akibat kuatnya spasme,
hipertensi atau gangguan irama jantung, infeksi nasokomial, emboli paru, pneumonia aspirasi
dan kematian.

336
Tabel 8.8 Skor Tjandra untuk tetanus neonatorum (1974):
Parameter Skor
Usia ≤ 5 hari 4
6 – 10 hari 2
> 10 hari 1
Spasme Paroksismal spontan 2
Dengan rangsangan 1
Sianosis 2
Suhu > 39oC 1
Trismus dan risus sardonicus 1
Skor 2 -5 : Grade 1 (ringan), mortalitas 5,6%
Skor 6 -7 : Grade 2 (sedang), mortalitas 58,1%
Skor 8-10: Grade 3 (berat), mortalitas 91,5%

Anamnesis
1. Ada riwayat luka, infeksi telinga atau infeksi gigi yang terjadi sekitar 3-28 hari sebelum
onset, pada anak umumnya 8 hari dan pada neonatus 6 hari.
2. Pada neonatus terdapat riwayat pemotongan tali pusat dengan menggunakan alat tidak
steril, atau pemberian bahan-bahan tidak steril untuk merawat tali pusat.
3. Kekakuan otot sekitar luka, sulit menelan, mulut sulit membuka,
4. Spasme, dapat spontan dan dapat timbul atau diperberat dengan stimuli(sentuhan,
cahaya, suara, perubahan suhu ruangan).

Pemeriksaan fisis
1. Kekakuan otot dan spasme berupa trismus, risus sardonikus, opistotonus, spasme otot
perut.
2. Gangguan otonom seperti retensi urin dan hiperpireksia pada kasus-kasus yang berat.
3. Refleks fisiologis meningkat, refleks patologis negatif.
4. Manifestasi klinis tetanus bergantung dengan derajat keparahan. Klasifikasi tetanus untuk
anak dan dewasa berdasarkan derajat panyakit menurut klasifikasi Ablett yang
dimodifikasi, yangmembagi tetanus menjadi empat:
a. Derajat I (tetanus ringan)
 Trismus ringan sampai sedang (3cm)
 Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
 Tidak dijumpai disfagia atau ringan
 Tidak dijumpai kejang
 Tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (tetanus sedang)
 Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)

337
 Kekakuan jelas
 Dijumpai spasme rangsang, tidak ada spasme spontan
 Takipneu
 Disfagia ringan
c. Derajat III (tetanus berat)
 Trismus berat (1cm)
 Otot spastis, kejang spontan
 Takipne, takikardia
 Serangan apne (apneic spell)
 Disfagia berat
 Aktivitas sistem autonom meningkat
d. Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :
 Gangguan autonom berat
 Hipertensi berat dan takikardi, atau
 Hipotensi dan bradikardi
 Hipertensi berat atau hipotensi berat

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Indikasi rawat: semua pasien tetanus

Diagnosis
Tetanus anak/ neonatorum dapat ditegakkan cukup berdasarkan gejala klinis

Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Perdarahan intracranial
3. Gangguan vaskular serebral
4. Infeksi dental
5. Rabies
6. Distonia
7. Hiperkalsemia

Terapi
1. Terapi terhadap spasme otot
a. Spasme umumnya memberat dengan stimuli cahaya atau suara.

338
b. Pasien dirawat di ruang khusus yang digelapkan atau minimal perubahan cahaya
yang tiba-tiba dan minim suara.
c. Diazepam diberikan untuk antispasme dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg tiap 4 sampai 6
jam intra vena.
d. Apabila spasme teratasi,ganti dengan rumatan diazepam oral maksimal 40 mg/hari.
e. Apabila tidak teratasi, dapat diberikan midazolam, diawali 0,1 mg/kg/jam, dinaikkan
bertahap. Pasien sebaiknya dirawat di PICU/NICU, bila perlu dengan ventilator.
Sebagai alternatif dapat diberikan vecuronium. Dapat juga ditambahkan
chlorpromazine 5 mg/kg tiap 12 jam intramuskular atau oral melalui tabung
nasogastrik.
f. Spasme dapat bertahan hingga berminggu-minggu

2. Terapi terhadap toksin


a. Human tetanus immunoglobulin hanya mengatasi toksin bebas namun merupakan
pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 U i.m untuk anak dan 500
U i.m untuk neonatus.
b. Apabila tidak tersedia dapat diberikan anti tetanus serum (equine):
 Anak:dosis 20.000 U. Cara pemberian: ½ dosis diberikan seacara intravena dan
½ dosis diberikan secara intra muskuler
 Neonatus:dosis 10.000 U. Cara pemberian: ½ dosis diberikan seacara intravena
dan ½ dosis diberikan secara intra muskuler.

3. Antimikrobial
a. Tujuan: untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif.
b. Metronidazole diberikan dengan dosis awal 15 mg/kg dilanjutkan 30 mg/kg/hari dibagi
empat dosis.
c. Sebagai alternatif dapat diberikan Penicillin G 50.000 IU/kg/hari namun penicillin
dapat bersifat antagonis GABA yang dapat memperberat spasme, sehingga
metronidazole merupakan obat pilihan pertama.

4. Lain-lain
a. Suportif: meminimalkan rangsangan atau kontak dengan keramaian.
b. Perawatan luka yang baik.
c. Monitor elektrolit, suhu, keseimbangan cairan dan nutrisi juga perlu diperhatikan.

Indikasi pulang
1. Keadaan umum baik
2. Kejang teratasi

339
3. Spasme rahang membaik, anak dapat makan lewat oral

Edukasi
1. Perawatan luka secara benar, terutama luka tusuk dan luka kotor.
2. Imunisasi
3. Imunisasi juga dapat dilakukan pada ibu hamil untuk mencegah tetanus neonatorum.

Prognosis
1. Spasme laring dan atau spasme otot pernapasan dapat menyebabkan gagal napas.
2. Kejang dapat menyebabkan fraktur tulang belakang.
3. Hiperaktivitas sistem saraf otonom dapat menyebabkan hipertensi dan atau ritme
abnormal jantung.
4. Sekitar 11% kasus tetanus berakibat fatal dan 20% kasus tetanus berakibat kematian.

Kepustakaan
1. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J Anaesth
2001; 477-87.
2. Cherry JD, Harrison RE. Tetanus. Dalam: Cherry JD, Harrison GJ, Kaplan SL, Steinbach
WJ, Hotez PJ. Feigin and Cherry’s textbook of pediatric infectious diseases. Edisi ke-7.
Philadelphia: Elsevier-Saunders;2014.h.1809-19.e3.
3. Pan American Health Organization. Neonatal tetanus elimination field guide. Edisi ke-2.
Washington DC: Pan American Health Organization;2005.
4. Hamborsky J, Kroger A, Wolfe C. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable
diseases (CDC pinkbook). Edisi ke-13. Washington DC: Centers for Disease Control and
Prevention;2015.
5. Brook I, Dunkle LM. Clostridium tetani. Dalam: McMillan A, Feigin RD, DeAngelis C,
Jones D, Oski’s Pediatrics. Edisi ke-4. Philadelphia:LWW;2006:1030-4.
6. Shann F, Argent AC, Ranjit S. Dalam: Furhman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical
care. Edisi ke-4. Philadelphia:Elsevier-Saunders;2011.h.171-2.
7. Gomes AP, de Freitas BA, Rodrigues DCC, et al. Clostridium tetani infections in
newborn infants: a tetanus neonatorum review.Rev Bras Ter Intensiva 2011;23:484-91.

340
EPILEPSI

Definisi
Menurut ILAE tahun 2005, definisi konseptual epilepsi: suatu gangguan pada otak yang
ditandai adanya predisposisi yang bersifat menetap untuk menghasilkan kejang epileptik,
serta adanya dampak-dampak neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial akibat kondisi
tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan kejang epileptik adalah terjadinya gejala
dan/atau tanda yang bersifat transien yang diakibatkan aktivitas abnormal neuron otak yang
bersifat berlebihan dan tersinkron.

Patogenesis:
Faktor yang berperan dalam epilepsi:
1. Gangguan pada membrane sel neuron.
2. Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan pasca sinaps.
3. Gangguan pada sel glia yang mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar neuron dan
terminal presinaps

Anamnesis:
1. Detil gambaran (semiologi) serangan
2. Kondisi saat terjadinya serangan
3. Pola harian
4. Ada tidaknya faktor pencetus
5. Riwayat keluarga.

Pertama harus ditentukan apakah serangan yang terjadi merupakan serangan kejang atau
bukan.

Tabel 8.9. Perbedaan kejang dan bukan kejang


Klinis Kejang Bukan kejang

Awitan Tiba-tiba Gradual


Kesadaran Terganggu ( pada kejang fokal sederhana Tidak tergangg
kesadaran tidak terganggu)
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Sianosis Sering Jarang
Gerakan abnormal mata Selalu Jarang
Serangan khas
Lama Sering Jarang
Dapat diprovokasi Detik-menit Beberapa menit

341
Abnormalitas EEG (iktal) Jarang Hampir selalu
Selalu Tidak pernah
Kedua, anamnesis untuk menentukan bentuk bangkitan / kejang adalah:
1. Kejang tonik (kaku), klonik (kelojotan), umum atau fokal
2. Kejang umum tonik –klonik (kaku- kelojotan)
3. Tiba- tiba jatuh (atonik)
4. Bengong, tidak berespon ketika di panggil atau ditepuk (absans). Tipe kejang ini dapat
diprovoksasi dengan cukup aman di poliklinik, dengan cara anak diminta untuk
hiperventilasi (meniup kertas) selama 30 kali hitungan. Hiperventilasi akan mencetuskan
serangan absans.
5. Bayi tampak seperti kaget berulang kali (spasme)
6. Gerakan otomatisasi (mengecap-ngecap)
7. Gerakan menyentak (jerks) pada ekstremitas (mioklonik)
8. Episode bingung dan kehilangan kesadaran.
9. Perasaan tiba- tiba merasa mual atau sakit uluhati, halusinasi visual/auditori, rasa
kesemutan dapat ditemukan pada kejang fokal. Keadaan tersebut disebut aura, yang
dideskripsikan sebagai stimulasi sensorik sebelum bangkitan muncul. Aura dapat juga
merasa pernah berada di suatu tempat (de ja vu).

Pemeriksaan fisis:
1. Defisit neurologis dapat menunjukkan adanya gangguan neuroanatomi.
2. Tanda-tanda klinis lain yang menunjukkan kelainan spesifik, misalnya kelompok
sindroma neurokutaneus.

Kriteria Diagnosis:
1. Gejala klinis berupa kejang tanpa provokasi
2. Gambaran EEG yang abnormal dapat membantu menegakkan diagnosis.

Diagnosis:
Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi salah satu kriteria di bawah ini
1. Setidaknya terdapat dua kejang tanpa provokasi (atau kejang refleks) yang terpisah >24
jam
2. Terdapat satu kejang tanpa provokasi (atau kejang refleks) namun memiliki risiko
mengalami kejang lebih lanjut setidaknya 60% yang terjadi pada 10 tahun ke depan
(misalnya dengan gangguan struktural otak berat).
3. Terdiagnosis suatu sindroma epilepsi.

342
Setelah diagnosis ditegakkan, ditelusuri lebih lanjut apakah pasien sesuai dengan sindroma
elektroklinis tertentu.

Tabel 8.10 Jenis sindroma epilepsi.


A. Neonatal Benign familial neonatal epilepsy
Usia gestasi < 44 Early myoclonic encephalopathy
minggu Sindroma Ohtahara

B. Bayi (< 1 tahun) Sindroma West


Myoclonic epilepsy of infancy (MEI)
Benign infantile epilepsy
Benign familial infantile epilepsy
Sindroma Dravet
Ensefalopati mioklonik pada kelainan non progresif
Kejang demam+

C. Anak-anak Kejang demam+


1-12 tahun Sindroma Panayiotopoulos
Epilepsi dengan kejang myotonik atonik
Childhood epilepsy with cetro temporal spikes (sebelumnya disebut
epilepsi Rolandic)
Epilepsi lobus frontalis nokturnal autosomal dominan
Epilepsi oksipital masa kanak-kanak awitan lambat (tipe Gastaut)
Epilepsi dengan absans myoklonik
Sindroma Lennox-Gastaut
Epilepsy with continuous spikes and waves during slow-wave sleep
(CSWS)
Sindroma Landau-Kleffner
Epilepsi absans masa kanak-kanak

D. Remaja Epilepi absans juvenil


12-18 tahun Epilepsi myoklonik juvenil
Epilepsi dengan kejang tonik klonik umum saja
Epilepsi fokal familial dengan fokus bervariasi
Epilepsi reflex

Diagnosis diferensial:
Epilepsi harus dibedakan dengan kejang non-epileptik dan serangan paroksismal bukan
kejang. Kejang non-epileptik adalah kejang demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang
akibat withdrawal alkohol, kejang yang dicetuskan obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya,
kejang pasca trauma, dan kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut.

343
Tabel 8.11. Serangan paroksismal non-epileptik pada anak
Perubahan atau penurunan kesadaran
– Breath holding spells
– Sinkop
Gerakan menyerupai kejang
– Tic/ sindrom Tourette
– Hiperekpleksia/ exaggerated startle
– Spasmus nutans
– Refluks gastroesofagus/sindrom Sandifer
– Diskinesia/gerakan involunter
– Pseudoseizures
– Benign sleep myoclonus
Perubahan perilaku
– Nigh terrors
– Somnambulisme
– Melamun/ day dreaming
Fenomena sensorik atau autonom
– Migren
– Vertigo paroksismal
– Cyclic vomiting
– Hiperventilasi

Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien dengan demam tanpa provokasi. Pemeriksaan
EEG dapat diulang bila pada pemeriksaan pertama hasil tidak jelas. Kelainan pada EEG
dapat ditemukan pada 2%-4% anak yang tidak pernah kejang, sebaliknya EEG interiktal
pertama dapat normal pada 55% anak dengan kejang pertama tanpa provokasi.
EEG abnormal: asimetri baik irama atau voltase, irama gelombang yang tidak teratur,
perlambatan gelombang irama dasar serta adanya gelombang yang biasanya tidak
terdapat pada anak normal seperti gelombang tajam, paku, paku-ombak, paku majemuk
atau gelombang lambat voltase tinggi paroksismal.
2. Pencitraan: MRI, CT-scan.

344
Indikasi: epilepsi disebabkan oleh adanya suatu fokus pada otak (localization related),
pemeriksaan neurologis abnormal, anak berusia kurang dari dua tahun, epilepsi
simtomatik, kejang yang tidak dapat dikendalikan, regresi perkembangan dan epilepsi
yang disertai kedaruratan medis seperti peningkatan tekanan intrakranial.

Tata Laksana
Prinsip tatalaksana adalah tercapainya bebas kejang tanpa mengalami reaksi simpang obat.
Idealnya berupa monoterapi dengan dosis obat terendah yang dapat mengendalikan kejang.
Setelah diputuskan untuk diberikan OAE, obat yang dipilih dititrasi meningkat dari dosis
terendah. Apabila setelah dosis tertinggi yang dianjurkan tercapai dan kejang belum
terkendali, maka dapat ditambahkan atau diganti dengan obat kedua.

Tabel 8.12. Efektifitas obat-obat anti epilepsi utama pada berbagai jenis kejang
Obat anti Kejang fokal Tonik Tonik klonik
epilepsi (simpleks klonik umum Mioklonik Absans
atau umum primer
kompleks) sekunder
Carbamazepine Efektif Efektif Efektif -a -a
Clobazam Efektif Efektif Efektif? Efektif? Efektif?
Clonazepam Efektif Efektif Tidak Efektif Efektif
efektif?
Eslicarbazepine Efektif Efektif Tidak Tidak diketahui Tidak diketahui
diketahui
Ethosuximide - - - Efektif? Efektif
Gabapentin Efektif Efektif - -e Dapat
memperparah
Lacosamide Efektif Efektif Tidak Tidak ketahui Tidak diketahui
diketahui
Lamotrigine Efektif Efektif Efektif Dapat Efektif
memperparahb
Levetiracetam Efektif Efektif Efektif Efektif Efektifc
Oxcarbazepine Efektif Efektif Efektif - -
Phenobarbital Efektif Efektif Efektif - -
Phenytoin Efektif Efektif Efektif - -
Pregabalin Efektif Efektif - Memperparahe -
Tiagabine Efektif Efektif - - Memperparah
Topiramate Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif
Valproate Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif
Vigabatrin Efektif Efektif - - Memperparah
Zonisamide Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif
a
Carbamazepine umumnya tidak efektif untuk kejang absans dan mioklonik, beberapa
penelitian justru menunjukkan perburukan kejang. bLamotrigine dapat memperparah kejang
myoklonik pada juvenile myoclonic epilepsy dan epilepsi myoklonik progresif lainnya. cEfek
levetiracetam pada absans belum banyak diteliti, meski penelitian yang ada menunjukkan

345
d
levetiracetam efektif pada absans. Oxcarbazepin seperti carbamazepine dapat
e
memperparah kejang myoklonik dan absans. Pregabalin dan gabapentin dapat
menimbulkan kejang myoklonus bahkan pada pasien yang sebelumnya tidak mengalami
kejang tersebut.

Jenis obat yang sering diberikan yaitu :


1. Carbamazepine.
a. Dosis : 5-30 mg/kgBB/hari dimulai dengan dosis rendah dibagi dalam 3 dosis.
b. Efek samping :diplopia, ataksia, mengantuk, pusing, ikterus, anemia, sindroma
Stevens Jhonson.
2. Asam Valproat
a. Dosis : 10-60 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis, maksimal 1000 mg/kali dan 3000
mg/hari
b. Efek samping: nyeri perut, rambut rontok, peningkatan berat badan, trombositopenia,
hepatitis.
3. Phenytoin
a. Dosis : 4-10 mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis, maksimal 300 mg/hari
b. Efek samping: hiperplasi gusi .
4. Phenobarbital
a. Dosis : 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.
b. Efek samping:mengantuk, gangguan sifat berupa hiperaktifitas, hiperiritabilitas dan
agresifitas, gangguan kognitif dan daya ingat.

Tindak Lanjut:
Indikasi Rawat:
1. Status epileptikus
2. Frequent/cluster seizures (> 3 kali per hari atau lebih banyak dari biasanya), karena risiko
tinggi untuk mengalami status epileptikus
3. Tanda-tanda kegawatan misalnya peningkatan tekanan intrakranial

Indikasi pulang: pasien dengan keadaan umum baik, tidak ada tanda kegawatan dan telah
bebas kejang >24 jam.
Penghentian obat antiepilepsi:
Penghentian obat antiepilepsi dapat dilakukan dengan mengikuti panduan berikut

346
Tabel 8. 13. Panduan Penghentian Obat Antiepilepsi
Waktu memulai penghentian obat antilepsi
1. Setelah 2 tahun bebas kejang, jika syarat a, b, dan c di bawah ini terpenuhi:
a. Epilepsi idiopatik: tonik-klonik, absans tipikal
b. Pemeriksaan fisik, neurologis dan perkembangan normal
c. Gambaran EEG Normal
(Peringkat bukti 1, rekomendasi A)
2. Setelah tiga tahun bebas kejang, pada kasus:
a. Epilepsi simtomatik
b. Sindrom Epilepsi
c. Gambaran EEG abnormal walau telah dua tahun bebas kejang
(Peringkat bukti 5, rekomendasi C).

Kecepatan tapering off


1. Tapering off selama tiga bulan, jika syarat a dan b di bawah ini terpenuhi:
10. Epilepsi idiopatik yang bebas kejang dengan satu jenis OAE
11. Gambaran EEG sebelum tapering off normal
(Peringkat bukti 3, rekomendasi B)
2. Tapering off selama enam bulan, pada kasus:
a. Epilepsi simtomatik
b. Sindrom epilepsy
c. Gambaran EEG sebelum tapering off masih menunjukkan gelombang
epileptiform
d. Terdapat gangguan perkembangan
(Peringkat bukti 5, rekomendasi C)

Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah.
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
3. Penghentian pengobatan dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang dan secara perlahan –
lahan.
4. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua.

Prognosis

347
1. Kejang yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat menimbulkan kerusakan otak
akibat hipoksia.
2. Prognosis untuk tercapainya pengendalian kejang sangat tergantung dari beberapa
faktor, antara lain:
a. Etiologi: epilepsi simtomatik umumnya lebih sulit mengalami remisi
b. Respon awal terhadap pengobatan: pasien yang mengalami remisi jangka panjang
sebagian besar responsif terhadap obat pertama yang diberikan dengan dosis yang
tidak begitu tinggi.
c. Pasien dengan jenis kejang fokal atau dengan beberapa jenis kejang sekaligus
(misalnya tonik klonik umum dan mioklonik umum) berisiko lebih tinggi untuk
mengalami kejang refrakter.
d. Sindrom epilepsi tertentu memiliki prognosis berbeda, misalnya: absans anak dan
epilepsi dengan paku sentro temporal memiliki prognosis yang baik, sedangkan
spasme infantil, epilepsi mioklonik juvenil dan sindrom Dravet memiliki prognosis lebih
jelek.

Kepustakaan
1. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. Epilepsi pada anak. Edisi pertama.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;2016.
2. Panayiotopoulos CP. A clinical guide to epileptic syndromes and their treatment. Edisi ke-
2. London:Springer; 2013.
3. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric Neurology Principles & Practice. Edisi ke-4. St. Louis:
Mosby; 2006.
4. Shorvon SD. The etiologic classification of epilepsy: etiologic classification of epilepsy.
Epilepsia. 2011;52(6):1052-7.
5. Parisi P, Verrotti A, Paolino MC, dkk. “ Electro-clinical syndromes” with onset in paediatric
age: the highlights of the clinical-EEG, genetic and therapeutic advances. Ital J Pediatr.
2011;37(1):37-58.
6. Stafstrom CE, JM R. Neurophysiology of seizures and epilepsy. Dalam: Swaiman KF,
Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology. Edisi ke-5.
Edinburgh: Elsevier Saunders; 2012.h.711-26.
7. Foldvary-Schaefer N, Wyllie E. Epilepsy. Dalam: Goetz CG, penyunting. Textbook of
clinical neurology. edisi ketiga. Philadelphia: Saunders; 2012.h.1213-44.
8. Rosati A, De Masi S, Guerrini R. Antiepileptic Drug treatment in children with Epilepsy.
CNS Drugs. 2015;29(10):847-63.
9. Arzimanoglou A, Guerrini R, Aicardi J, editors. Aicardi”s epilepsy in children. Edisi ke-3.
Philadelphia : Lippincott, William and Wilkins; 2004.
10. Panayiotopoulos CP. The epilepsies seizures, syndromes and management. Edisi ke-2.
Oxfordshire: Bladon Medical Publishing; 2005.

348
11. Comission of Classification and terminology of the International League Against
Epilepsy.Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of
epielptic seizures. Epilepsia.1981;22:489-501.
TATA LAKSANA KEJANG AKUT DAN STATUS EPILEPTIKUS

Definisi
Status epileptikus adalah bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit terus
menerus atau kejang yang berulang-ulang selama 30 menit tanpa terjadinya pemulihan
kesadaran inter iktal. Kejang yang telah berlangsung lebih dari lima menit berisiko tinggi
untuk menjadi status epileptikus sehingga harus ditatalaksana.

Etiologi
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:
1. Simtomatis: penyebab diketahui
a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma
kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi

2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui

Faktor risiko
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami status
epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status
epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat merupakan manifestasi
epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi SSP,
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama post-operatif ), dan
ensefalopati hipertensi.

Kriteria diagnosis

349
Bangkitan kejang harus dibedakan dengan bangkitan non epileptik, antara lain dengan
adanya penurunan kesadaran, abnormal gaze, tidak hilang dengan fleksi atau ekstensi pasif,
dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan EEG atau EEG monitoring.

Tata Laksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-
konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah algoritma
tata laksana kejang akut dan status epileptikus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Gambar 8.1. Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus


Keterangan:

350
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila
kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap
dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.

Indikasi Pulang
1. Kejang teratasi
2. Bebas kejang dengan OAE maintenance setidaknya 24 jam.
3. Faktor penyebab kejang dapat diatasi

Edukasi
1. Memberitahu cara penanganan kejang di rumah
2. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
3. Menentukan obat yang dapat digunakan bersama-sama orang tua

Prognosis
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit neurologis
permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan
mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi
simtomatis remote, sindrom epilepsi.
Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam

351
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam

Kepustakaan
1. Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS, Helfaer
MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York: Demosmedical; 2013. h 117–138.
2. Ismail S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmaja I, Handryastuti S. Rekomendasi:
Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2016.
3. Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW, Hayward AR,
Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric: Diagnosis and treatment. Edisi
ke-18. International Edition: McGrawHill; 2008.h. 735.
4. Hartmann H, Cross JH. Post-neonatal epileptic seizures. Dalam: Kennedy C,penyunting.
Principles and practice of child neurology in infancy. Mac Keith Press; 2012. h. 234-5.
5. Anderson M. Buccal midazolam for pediatric convulsive seizures: efficacy, safety, and
patient acceptability. Patient Preference and Adherence. 2013;7:27-34.

352
POLIOMIELITIS PARALITIKA

Definisi
Penyakit infeksi virus akut yang mengenai medulla spinalis dan batang otak.Predileksi virus
polio pada sel kornu anterior medula spinalis, inti motorik batang otak dan area motorik
korteks otak, sehingga menyebabkan kelumpuhan serta atrofi otot.

Etiologi
Virus polio tipe Brunhilde, Lansing dan Leon.Virus polio merupakan virus RNA berukuran
kecil, dengan diameter 27-30nm, subgrup Enterovirus, famili Picornaviridae, dan satu
subgroup dengan virus Coxsackie dan Echovirus. Enterovirus bersifat stabil pada pH asam,
dapat bertahan hidup berminggu-minggu pada suhu ruangan dan berbulan-bulan pada suhu
0-8ºC.

Bentuk klinis (klasifikasi)


1. Asimtomatis: Sekitar 72% kasus, tanpa gejala tetapi anak melepaskan virus ke tinja
sehingga dapat menularkan ke orang lain.
2. Poliomielitis abortif: Sekitar 42% kasus, infeksi bersifat ringan dengan gejala non spesifik
tanpa bukti klinis dan laboratorium infeksi sistem saraf. Gejala berupa demam ringan dan
nyeri tenggorokan. Sembuh sendiri dalam waktu kurang dari satu minggu.
3. Meningitis aseptik nonparalitik: sekitar 1-5%, gejala berupa kaku leher, punggung dan
atau kaki, muncul beberapa hari setelah gejala ringan. Lama gejala sekitar 2-10 hari,
kemudian sembuh sendiri.
4. Paralisis flaksid: sekitar kurang dari 1% kasus. Gejala muncul setelah 1-18 hari gejala
prodromal dan progresif dalam waktu 2-3 hari.

Dalam surveilans AFP yang tujuannya mencari kasus polio diagnosa pasti polio dapat
ditegakkan. Kasus AFP adalah semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan
kelumpuhan yang sifatnya flaccid (layuh), terjadi secara akut (mendadak/<14 hari) dan bukan
disebabkan oleh ruda paksa. Klasifikasi pasien yang diduga polio berdasarkan surveilans
AFP adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi pada surveilens yang belum memenuhi kriteria: secara klinis
2. Klasifikasi pada surveilens yang memenuhi kriteria: secara virologis

Kriteria Surveilans :
1. AFP rate : 2 per 100.000 pada penduduk usia <15 tahun
2. Spesimen yang adekuat dari kasus AFP > 80 %

353
Pada surveilans yang belum baik maka digunakan kriteria klasifikasi klinis yaitu :
1. Kelumpuhan menetap (paralise residual), setelah kunjungan ulang 60 hari sejak
terjadinya kelumpuhan
2. Meninggal sebelum 60 hari sejak terjadinya kelumpuhan
3. Tak dapat diketahui keadaan kelumpuhan setelah 60 hari sejak mulai lumpuh

Pada surveilans yang sudah baik digunakan kriteria klasifikasi virologis yaitu:didapatkan virus
polio liar pada pemeriksaan spesimen.

Anamnesis
1. Adanya demam tinggi yang timbul pada onset kelumpuhan
2. Kelumpuhan bersifat akut, asimetris dengan progresifitas kelumpuhan 3-4 hari
3. Tak ada gangguan fungsi kandung kemih.

Pemeriksaan fisis
1. Demam
2. Gejala rangsang meningeal diikuti kelumpuhan flaksid asimetris, atrofi otot
3. Tak ada gangguan rasa raba
4. Refleks tendon berkurang atau hilang

Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. LCS
4. Isolasi virus dari tinja dan orofaring
5. Indikasi Rawat : Kelumpuhan

Diagnosis
Poliomielitis paralitika

Differential Diagnosis
1. Sindroma Guillan Barré
2. Mielitis transversa
3. Neuritis traumatika
4. Polio like paralysis akibat enterovirus lain
5. Acute progressive myelopati
6. Miastenia gravis
Tabel 8.14. Diagnosis banding poliomielitis

354
Polio Guillain-Barré Neuritis Mielitis transversa
syndrome traumatika

Perjalanan 24 sampai 48 jam Beberapa jam Beberapa jam Beberapa jam


paralisis sampai terjadi hingga 10 hari sampai 4 hari sampai 4 hari
paralisis total

Onset demam Tinggi, selalu timbul Jarang Sering, timbul Jarang


onset paralis sebelum, selama
flaksid, hilang dan sesudah
setelah beberapa paralisis flaksid
hari

Paralisis flaksid Akut, biasanya Umumnya akut, Asimetris, akut Akut, tungkai
asimetris, pada simetris dan pada dan mengenai bawah, simetris
bagian proksimal bagian distal hanya satu
tungkai

Tonus otot Menurun atau Hipotonia global Menurun atau Hipotonia pada
hilang pada bagian hilang pada tungkai bawah
tungkai yang bagian tungkai
terkena yang terkena

Refleks tendon Menurun sampai Hilang Menurun sampai Hilang pada


dalam hilang hilang tungkai bawah

Sensasi Nyeri otot berat, Kram, perasaan Nyeri pada Anestesi pada
nyeri punggung, geli, hipoanestesi gluteus dan tungkai bawah
tidak ada telapak tangan hipotermia setinggi level
perubahan sensoris dan kaki sensoris

Keterlibatan Hanya jika terdapat Sering terjadi, Tidak ada Tidak ada
nervus kranialis keterlibatan bulbar mengenai nervus
VII,IX,X,XI,XII

Distres Hanya jika terdapat Pada kasus berat, Tidak ada Kadang-kadang
pernafasan keterlibatan bulbar diperberat oleh
bakteri
pneumonia

Tanda & gejala Jarang Sering terjadi Hipotermia pada Ada


otonom perubahan tungkai yang
tekanan darah, terkena
berkeringat,
kemerahan dan
fluktuasi suhu
tubuh

355
Cairan Peradangan Disosiasi sitologi normal Normal atau
serebrospinal albumin perubahan ringan
pada sel

Disfungsi Tidak ada Sementara Tidak pernah Ada


kandung kemih

Kecepatan Abnormal : anterior Abnormal Abnormal: Normal atau


konduksi saraf: horn cell disease :konduksi kerusakan akson abnormal : Tidak
minggu ke-3 (normal selama 2 melambat, ada nilai
minggu pertama) penurunan diagnostik
amplitudo motorik

EMG setelah 3 Abnormal Normal normal Normal


minggu

Gejala sisa Berat, asimetris, Simetris, atropi Atropi sedang, Atropi flaksid
setelah 3 bulan atropi, deformitas otot bagian distal hanya mengenai diplegia setelah
sampai 1 tahun tulang, tungkai bagian bertahun-tahun
pertumbuhan bawah
terlambat

Pemeriksaan Penunjang
1. LCS: kenaikan sel (10-20 sel/100mL), kadar protein normal atau agak meningkat (40-
50/100 mL), berlangsung sampai 2 bulan. Awal penyakit jumlah sel leukosit meningkat
terutama terdiri dari sel polimorfonuklear, setelah itu jumlah limposit lebih banyak dan
menjadi normal dalam 2-3 minggu dan kadar glukosa normal.
2. Isolasi virus
3. Pemeriksaan elektromiografi dan kecepatan hantaran saraf untuk membedakan dengan
penyakit-penyakit lain seperti sindroma Guillain Barré, miasthenia gravis, distrofi
muskuler, dan lain-lain.

Tata Laksana
1. Terapi suportif.
2. Polio abortif memerlukan analgesik atau sedativa, diet yang adekuat dan istirahat sampai
panas turun, aktifitas minimal selama 2 minggu dan pemeriksaan neuromuskuloskeletal
yang teliti setelah 2 bulan.
3. Polio nonparalitik sama dengan polio abortif, ditambah penggunaan kompres untuk
mengurangi spasme otot.
4. Penderita polio paralitik harus dirawat di rumah sakit sampai melewati fase akut.
Perawatan khusus diperlukan pada penderita dengan kelumpuhan bulbar atau
ensefalitis, sesuai dengan derajat berat penyakitnya.

356
5. Belum ada pengobatan kausal namun dapat dicegah dengan vaksinasi.
6. Ventilasi mekanik dan bantuan sirkulasi mungkin dibutuhkan apabila terdapat gejala
bulbar.
7. Rehabilitasi medik setelah penderita melewati fase akut polio dan penderita dengan
defisit motorik permanen.

Indikasi pulang
Keadaan umum membaik, fase akut terlewati.

Edukasi
Imunisasi polio

Prognosis
1. Prognosis pada polio non paralitik pada umumnya baik, biasanya sembuh sempurna.
2. Angka kematian pada poliomielitis paralitik 5-10%, lebih tinggi pada dewasa dan bayi.
3. Pada kasus paralisis ringan membaik pada 20-30% kasus dalam waktu 6 bulan, minimal
terjadi perbaikan dalam waktu 1-2 tahun.
4. Sekitar 20% kasus dengan paralisis spinal perlu pengobatan operatif. Paralisis otot
proksimal tungkai memiliki prognosis lebih baik dibandingkan paralisis otot perut dan otot
oppones policis.
5. Perbaikan fungsi otot terjadi selama 18 bulan sampai 2 tahun.
6. Angka kematian meningkat sampai 80% pada kasus poliomielitis tipe bulber. Paresis
bulbar parsial biasanya sembuh sempurna.

Kepustakaan
1. Nurrokhim RM, Azali MS. Poliomielitis. Dalam: Purwo Sudarmo S, Garna H, Hadinegoro
SR, penyunting. Buku ajar IKA Infeksi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h.209-22.
2. WHO. Immunization, Vaccines and Biologicals : Poliomyelitis. WHO: Februari 2017.
3. CDC. Epidemiology and Prevention of Vaccine Prevention Diseases: Poliomyelitis.
Centers for Disease Control and Prevention. Edisi ke-13. 2015:297-309.
4. Soedarmo SSP, Gama H, Hadinegoro SRS, Satari HI.Poliomielitis. Dalam: Buku ajar
infeksi dan pediatri tropis.Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.h.182-94.
5. Simoes EAF. Polioviruses. Dalam: Berhrman RE, Vaughn VC, Nelson WE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h.1036-42.
6. Jesus NDH. Epidemics to eradication: the modern history of poliomyelitis. Virol J
2007;4:1-18.
7. Weekly epidemiological record. Inactivated poliovirus vaccinefollowing oral poliovirus
vaccine cessation. 2006; 15:137-44.

357
MIELITIS TRANSVERSA

Definisi

358
Mielitis transversa adalah penyakit akibat inflamasi fokal yang diperantarai sistem imun yang
mengenai medulla spinalis. Gejalanya berupa disfungsi motorik disertai disfungsi sensoris
dan otonom yang mendadak. Makna “transversa” pada kasus mielitis transversa bukan
menggambarkan sebaran patologi pada medulla spinalis, namun lebih menunjukkan adanya
gangguan sensoris yang berpola seperti pita (band like area)horisontal yang menyertai
gangguan motorik.

Anamnesis
1. Ada demam
2. Kelumpuhan bersifat akut, simetris pada tungkai bawah dengan progresivitas
kelumpuhan beberapa jam sampai 4 hari

Pemeriksaan fisis
1. Paraparesis
2. Gangguan sensorik
3. Reflex fisiologis meningkat, klonus
4. Gangguan saraf otonom

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan pencitraan medula spinalis
(terutama MRI kontras), pemeriksaan LCS dan penunjang lain.

Diagnosis
Myelitis Consortium Working Group mengajukan batasan diagnosis mielitis transversa
sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
1. Disfungsi motorik, sensorik, dan otonom yang disebabkan oleh kelainan medula spinalis.
2. Mengenai kedua sisi tubuh (bisa simetris atau asimetris).
3. Batas sensorik yang jelas.
4. Adanya inflamasi medulla spinalis yang ditandai dengan peningkatan sel atau
peningkatan indeks IgG pada LCS atau penyangatan pada pemberian kontras gadolinium
pada MRI. Pemeriksaan LCS dan MRI dapat diulang 2-7 hari setelah awitan apabila
pemeriksaan awal negatif.
5. Progresivitas penyakit berlangsung antara 4 jam sampai 21 hari dari awal timbulnya
gejala.

Kriteria eksklusi:
1. Riwayat radiasi pada tulang belakang dalam 10 tahun terakhir.
2. Adanya defisit klinis yang menunjukkan adanya trombosis dari arteri spinalis anterior.

359
3. Hasil pemeriksaan pencitraan menunjukkan adanya kompresi medulla.
4. Hilangnya aliran darah pada permukaan medulla spinalis yang menunjukkan adanya
malformasi arteriovena.
5. Adanya penyakit jaringan ikat baik secara klinis atau serologis (sarcoidosis, Behcet’s
disease, Sjogren’s syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, dan lain lain).
6. Adanya penyakkit sifilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, Mycoplasma atau infeksi virus
lainnya (HSV- 1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, dan enterovirus).
7. Adanya tanda sklerosis multipel pada MRI atau LCS (adanya oligoklonal band) .
8. Adanya riwayat neuritis optik yang nyata.

Gejala sensoris dapat berupa penurunan sensasi, parestesia atau nyeri. Penurunan
sensasi terjadi pada 90% anak, tersering pada tingkat torakalis. Meski gangguan sensoris
pada mielitis transversa seharusnya memiliki batas dermatom yang jelas, namun hal
demikian hanya dapat ditemukan pada sekitar 60% anak. Nyeri terjadi pada 60% anak pada
saat awal timbulnya gejala.
Gejela otonom dapat berupa inkontinensia uri atau alvi, retensio atau konstipasi.
Retensio urin dapat terjadi pada 95% pasien pada fase akut penyakit. Inkontinensia urin
dapat terjadi pada fase lanjut saat telah terjadi spastisitas otot detrusor.

Diagnosis banding
1. Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM)
2. Neuromyelitis optica
3. Sklerosis multipel
4. Gangguan vaskuler seperti sumbatan arteri pada medulla spinalis dapat menyebabkan
infark dan menimbulkan gejala kelemahan akut.
5. Malformasi arteriovenamerupakan kelainan vaskuler namun akan menunjukkan gejala
yang lebih perlahan karena proses iskemia yang gradual karena kongesti vena.
6. Kompresi oleh tumor baik primer ataupun metastasis dapat terjadi pada medulla spinalis.
Neurofibroma dan meningioma merupakan tumor-tumor yang dapat ditemukan pada
medulla spinalis.
7. Sindroma paraneoplastik juga dapat menimbulkan gejala mielitis, dikarenakan adanya
reaksi antibodi terhadap medulla spinalis yang terbentuk sebagai respon sel tumor di
tempat lain.
8. Mielitis juga dapat terjadi pasca radiasi (mielopati radiasi), umumnya gejala berlangsung
progresif lambat dan dapat timbul bahkan 15 tahun setelah radiasi.

Fase awal mielitis transversa dapat memberikan gejala paralisis flaksid yang harus
dibedakan dengan penyakit dengan gejala lower motor neuron seperti sindroma Guillain
Barré, poliomielitis paralitik, myasthenia gravis, paralsis periodik dan lain-lain.

360
Pemeriksaan Penunjang
1. MRI dengan kontras gadolinium pada medulla spinalis dilakukan sesegera mungkin.
2. Pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS) dapat menunjukkan peningkatan leukosit
(pleositosis) yang merupakan tanda adanya inflamasi, namun harus disingkirkan dahulu
apakah terdapat proses infeksi.

Tata Laksana
1. Evaluasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2. Imobilisasi medulla spinalis sampai dinyatakan tidak ada mielopati yang diakibatkan oleh
trauma.
3. Retensio urin ditatalaksana dengan pemasangan kateter baik intermiten atau menetap.
4. Terapi lini pertama adalah pemberian glukokortikoid dosis tinggi yaitu metil prednisolone
30 mg/ kgbb/ hari (maksimum 1000mg/hari) sekali sehari selama 3 sampai 5 hari.
Kortikosteroid intravena selanjutnya diteruskan dengan pemberian oral 1 mg/kg/hari
selama 3-4 minggu kemudian tapering off.
5. Plasmaferesis dapat dipertimbangkan jika respon terhadap steroid tidak adekuat.
6. Terapi alternatif yaitu pemberian IVIG 2 g/kg dosis terbagi selama 2 sampai 5 hari
7. Pemberian siklofosfamid 500 to 750 mg/ m 2 sekali sehari juga dapat menjadi alternatif
terapi.
8. Konsultasi ke bagian rehabilitasi medik untuk terapi okupasi dan fisioterapi.
9. Semua kasus yang kompatibel dengan paralisis flaksid akut harus dilaporkan ke sistim
surveilans.

Prognosis
Pemulihan sempurna terjadi pada 33% - 50% pasien, sedangkan luaran jangka panjang
yang jelek terjadi sekitar 10% - 20%, di antaranya mobilitas yang terbatas pada kursi roda.
Sekitar 5 - 10 % kasus akan menjadi sklerosis multipel.

Kepustakaan
1. Ahmad A, MD, Seguias L, MD, Ban K. Diagnosis and treatment of pediatric acute
transverse myelitis. Pediatr Ann. 2012;41:11:477-82

2. Wolf LV, Lupo JP, Lotze ET. Pediatric acute transverse myelitis overview and differential
diagnosis. J Child Neurol. 2012; 27:1426-36.
3. Absoud M, Greenberg MB, Lim M, Lotze T, Thomas T, Deiva K. Pediatric transverse
myelitis. Am Acad Neurol. 2016; 87:46-52.

361
4. Scott FT, Frohman ME, Seze DJ, Gronseth SG, Weinshenker BGF.Evidence-based
guideline clinical evaluation and treatment of transverse myelitis. Am Acad Neurol. 2011;
77:2128-34.
5. Makhani N, Brenton JN, Banwell B. Acquired disorder affecting the white matter. Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology
principles and practice. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsivier;2017.h.773-80.

SINDROM GUILLAIN BARRÉ

Definisi

362
Sindroma Guillain-Barré adalah penyakit yang bersifat akut atau subakut (≤ 28 hari) dengan
gejala kelemahan yang progresif akibat proses yang diperantarai sistem imun, yang terjadi
setelah adanya infeksi (post infection illness). Progresifitas kelemahan memiliki karakteristik
yang bersifat ascending, yang dimulai dari bagian distal ekstremitas bawah, secara cepat
berkembang ke atas, hingga dapat mencapai ke otot pernapasan dan otot wajah, biasanya
simetris.

Anamnesis
Gejala utama Sindroma Guillain-Barré adalah kelemahan yang bersifat ascending dengan
progresifitas yang cepat, simetris, mulai dari ekstremitas bawah berkembang ke ekstremitas
atas, wajah, dan otot-otot pernapasan, dimana dari mulai timbulnya gejala sampai puncak
terjadinya gejala memakan waktu ≤ 4 minggu.

Pemeriksaan fisis
Terjadi hiporefleksia atau arefleksia dan hilangnya reflek tendon dalam. Gejala lainnya
diantaranya konstipasi, hiperhidrosis, gangguan menelan, dan dismotilitas gastroesofageal.
Nyeri ditemukan pada sebagian besar kasus yaitu pada awal penyakit. Gangguan otonom
seperti aritmia dan fluktuasi tekanan darah dapat ditemukan, namun lebih banyak pada
dewasa dibanding anak-anak. Disfungsi saluran kemih dapat terjadi pada 15-19,5% anak-
anak tetapi bersifat transient.

Diagnosis
Sindroma Guillain-Barré didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan cairan serebrospinal dan kecepatan hantaran saraf.

Tabel 8.15. Diagnosis Sindroma Guillain-Barré berdasarkan gambaran klinis dan


laboratorium
I. Kemungkinan diagnosis
 Kelemahan motorik progresif lebih dari satu tungkai
 Arefleksia
II. Mendukung kuat diagnosis
 Kelemahan progresif berkembang secara cepat tetapi berhenti setelah 4 minggu; hampir
50% mencapai puncaknya dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% setelah 4
minggu
 Relatif simetris
 Gejala dan tanda sensorik ringan
 Keterlibatan nervus cranialis; kelemahan wajah berkembang pada separuh pasien
 Disfungsi otonom
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis

363
 Pemulihan-biasanya pemulihan dalam 2 hingga 4 minggu setelah progresifitas berhenti;
dapat sampai beberapa bulan
 Demam saat onset gejala, kehilangan sensoris berat dengan nyeri, progresifitas lebih lama
dari 4 minggu, kekurangan pemulihan atau sisa defisit mayor permanen.
 Disfungsi sfingter
 Keterlibatan CNS
III. Gambaran klinis yang meragukan diagnosis
 Fungsi motorik asimetris persisten
 Disfungsi kandung kemih atau usus yang persisten
 Disfungsi kandung kemih atau usus saat onset gejala
 Discrete sensory level
IV. Gambaran klinis yang menyingkirkan diagnosis
 Riwayat penyalahgunaan hexakarbon
 Evidence porphyria
 Baru terkena difteri
 Gambaran yang konsisten diikuti neuropati dan adanya intoksikasi
 A pure sensory syndrome
 Diagnosis pasti gangguan paralisis
Sumber : Asbury AK, Cornblath DR. Assesment of current diagnosis criteria for Guillain-Barré
syndrome. Ann Neurol 1990;27:S21

Tabel 8.16 Diagnosis Banding Sindroma Guillain-Barré


CEREBRAL
1. Bilateral stroke
2. Histeria

CEREBELLAR
1. Acute cerebellar ataxia syndrome (multiple etiologi)
2. Lesi struktural fosa posterior

SPINAL
1. Poliomielitis
2. Mielopati kompresif
3. Mielitis Transversa
4. Sindroma arteri spinalis anterior

SARAF PERIFER
1. CIDP
2. Neuropati toksik
a. Obat : amitriptilin, dapson, glutethimide, hydralazine, isoniazide, nitrofurantoin, nitrit
oxide
b. Toxin : acrylamide, glue sniffing, racun ikan, logam berat (arsen, merkuri, thalium),
insektisida, N-hexane dan pelarut lainnya, organofosfat, bisa ular.
3. Critical illness neuropathy

364
4. Vaskulitis
5. Difteri
6. Tick paralysis
7. Porphyria

NEUROMUSCULAR JUNCTION
1. Keracunan
2. Miastenia gravis
3. Neuromuscular-blocking agents

MUSCLE DISEASE
1. Miositis virus akut
2. Acute inflammatory myopathies (polymyositis, dermatomyositis)
3. Metabolic myopathies (multiple types)
4. Periodic paralysis
5. Hypo-or hyperkalemia
6. Critical illness myopathy

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan elektromiografi (EMG)-nerve conduction studies (NCV) merupakan penunjang
diagnostik utama pada SGB danjuga dapat membedakan tipe demyelinasi dan tipe aksonal.
Sensitivitas 90% pada minggu pertama, meningkat pada minggu kedua.
Analisis cairan serebrospinal dapat berupa disosiasi sitoalbumin yaitu peningkatan kadar
protein LCS (biasanya antara 45-200 mg/dl, kadang > 1000 mg/dl) tanpa disertai
peningkatan sel (<5/mm3). Terjadi 50-66% pasien pada minggu pertama, meningkat hingga
75% atau lebih pada minggu kedua.

Tata Laksana
1. Bedrest total. Indikasi perawatan PICU pada SGB :
a. Kuadriparesis
b. Kelemahan progresif cepat
c. Kapasitas vital paru menurun ≤ 20 ml/kg
d. Bulbar palsy
e. Instabilitas otonom yang signifikan
2. Imunoterapi
American Academy of Neurology (AAN) sepakat bahwa IVIG merupakan terapi pilihan
utama SGB pada anak-anak oleh karena keamanan dan kemudahannya. Total dosis
IVIG untuk terapi SGB pada anak 2 g/kg, diberikan 1 g/kg selama 2 hari atau 400 mg/kg
selama 5 hari.Terapi plasma exchange atau plasmaferesis direkomendasikan diberikan
pada SGB dengan gejala :
a. kelemahan yg progresif
b. kondisi pernapasan yang memburuk atau membutuhkan ventilasi mekanik

365
c. kelemahan bulbar secara signifikan
d. tidak dapat berjalan
Semua kasus yang kompatibel dengan paralisis flaksid akut harus dilaporkan ke sistem
surveilans.

Prognosis
Prognosis SGB pada anak umumnya lebih baik dibanding orang dewasa.
1. Mortalitas 3 – 4% umumnya karena gagal napas dan komplikasi jantung
2. Sekitar 85-92% pulih tanpa disabilitas
Sebagian pasien merupakan tahap awal dari chronic inflammatory demyelinating
polyradiculopathy (CIDP), di mana kelemahan relaps atau berlanjut hingga > 8 minggu.
Prognosis CIDP umumnya lebih jelek.

Kepustakaan
1. Rabie M, Ashwal S, Nevo Y. Inflammatory neuropathies. Dalam :Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, editors. Pediatric Neurology principle & practice. Edisi ke-6. Philadelphia:
Mosby Co; 2017.h.1097-102.
2. Yuki N, Hartung HP. Guillain-Barré syndrome. N Engl J Med 2012; 366:2294-304.
3. Sejvar JJ, Baughman AL, Wise M, Morgan OW. Population incidence of Guillain- Barré
syndrome : a systematic review and meta-analysis. Neuroepidemiology 2011; 36:123-33
4. Sarnat HB. Guillain Barre Syndrome. Dalam : Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-20. Philadelphia: WB Saunders Co;
2016.h.4578-82.
5. Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA. Intravenous immunoglobulin for Guillain-Barre
syndrome. Cochrane Database Syst Rev 2014;CD002063.
6. Korinthenberg R, Schessl J, Kirschner J. Clinical presentation and course of childhood
Gullain-Barre Syndrome : a prospective multicenter study. Neuropediatrics 2007; 38:10-7.

ABSES OTAK

Definisi

366
Abses otak infeksi fokal pada parenkim yang dapat disebabkan oleh bakteri, tuberkulosis atau
jamur.

Etiologi
Tabel 8.17.Faktor risiko abses otak dan kemungkinan mikroorganisme penyebab.
Predisposisi Jumlah dan lokasi abses Kuman penyebab
Neonatus Multipel, bilateral Gram negatif (Escherichia coli, Citrobacter,
Proteus, Klebsiella spp)
Penyakit jantung Multipel, di daerah arteri Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
bawaan sianotik serebri media streptokokus mikroaerofilik, Haemophillus spp.
Endokarditis Multipel, di daerah arteri Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
serebri media streptokokus mikroaerofilik, Haemophillus spp.
Otitis media Tunggal, temporal (anak Streptococci (aerob dan anaerob),
besar), Bacteroides fragilis, Staphylococcus aureus,
serebelum (anak kecil) Haemophilus spp., Proteus spp., bakteri
anaerob, Pseudomonas spp.
Sinusitis Tunggal, frontal Streptococci (aerob dan anaerob),
Bacteroides spp., Staphylococcus aureus,
Haemophilis spp., bakteri anaerob,
Pseudomonas spp.
Infeksi paru Multipel, dapat terjadi di Streptococci, staphylococci, bakteri anaerob
semua lobus
Infeksi muka dan Tunggal atau multipel, frontal Staphylococcus aureus
kulit kepala
Infeksi atau Tunggal atau multipel, frontal Bakteri anaerob, treptococci (aerob dan
operasi gigi anaerob), Staphylococcus aureus
VP shunt Dekat insersi shunt Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis
Luka tembus Dekat luka Staphylococcus aureus, Staphylococcus
tulang kepala epidermidis, streptococci,
Enterobacteriaceae
Meningitis Tunggal atau multipel, dapat Sesuai kuman penyebab meningitis
terjadi di semua lobus
Malnutrisi dan Multipel, tersebar Staphylococcus aureus, gram negatif, kuman
imunosupresi anaerob, kuman-kuman yang tidak lazim

Patogenesis
Kuman menyebar secara hematogen, pada umumnya daerah yang terkena adalah daerah
dengan vaskularisasi kurang seperti grey-white matter junction. Terjadi implantasi kuman dan
serebritis pada daerah yang terkena. Proses peradangan dan edema terjadi dalam empat
tahap: 1) serebritis dini (1-3 hari), di mana terjadi infiltrasi leukosit dan edema fokal; 2) serebritis

367
lanjut (4-9 hari), terjadi nekrosis liquefaktif sentral yang dikelilingi neovaskularisasi dan
pembentukan kapsul fibroblastik; 3) pembentukan kapsul fibroblastik dini (10-14 hari); 4)
pembentukan kapsul fibroblastik lanjut (>14 hari), terbentuk kapsul fibrosa tebal yang dikelilingi
astrosit reaktif dan sel glia, edema dan neovaskularisasi.

Anamnesis
1. Neonatus : iritabilitas, malas minum, letargi, pembesaran kepala, dapat juga terjadi kejang.
Sebagian besar kasus neonatus tidak menunjukkan gejala neurologis fokal atau demam.
2. Anak yang lebih besar : demam, sakit kepala, muntah, gangguan kesadaran, kejang.

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis tergantung usia pasien dan lokasi abses.
1. Neonatus: iritabilitas, refleks isap lemah, letargi, ubun-ubun membonjol , pembesaran
kepala.Sebagian besar kasus neonatus tidak menunjukkan gejala neurologis fokal atau
demam.
2. Anak yang lebih besar : demam, kaku kuduk dan defisit neurologis fokal. Peningkatan
tekanan intrakranial dapat terjadi dengan gejala papiledema dan paresis nervus kranialis
terutama nervus VI. Gejala neurologis yang terjadi tergantung lokasi abses. Kadang-
kadang dapat timbul gejala akut akibat ruptur abses pada ventrikel atau perdarahan abses.
Selain gejala-gejala abses, gejala penyakit yang mendasari juga harus diperhatikan.

Kriteria diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. CT scan kepalaTerdapat faktor predisposisi
4. Indikasi rawat: Semua pasien abses serebri dirawat

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung oleh temuan pencitraan. Diagnosis
mikrobiologis ditegakkan berdasarkan spesimen aspirasi/eksisi.

Diagnosis banding
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Tumor otak

Pemeriksaan penunjang
1. Pungsi lumbal dikontraindikasikan pada abses.

368
2. Pemerikaan mikrobiologis hendaknya didapatkan melalui pungsi atau eksisi abses.
3. Pencitraan harus dilakukan pada semua kasus yang dicurigai berdasarkan gejala klinis,
terutama kasus dengan adanya faktor predisposisi seperti pada tabel di atas. ‘
4. Pemeriksaan CT scan dapat menunjukkan lesi hipodens dengan tepi yang menyangat pada
pemberian kontras.

Tata Laksana
Terapi abses adalah dengan pembedahan dan farmakologis antimikrobial.
Terapi pembedahan sebaiknya dengan aspirasi burr hole stereotaktik. Mungkin dibutuhkan lebih
dari satu kali aspirasi.
Pembedahan dengan kraniotomi dibutuhkan apabila:
1. Telah dilakukan beberapa kali aspirasi namun tidak diperoleh respon yang adekuat atau
dengan antibiotik selama 3-4 minggu tidak ada pengecilan ukuran abses;
2. Abses yang multiloculated;
3. Abses superfisial besar pada area non-eloquent;
4. Abses serebelum di mana penumpukan pus rekuren dapat memperburuk penyakit
5. Abses periventrikuler di mana aspirasi dapat menyebabkan ruptur pada ventrikel. Apabila
abses disebabkan oleh device intrakranial seperti VP shunt, maka device tersebut harus
dikeluarkan.

Terapi antimikrobial tanpa pembedahan dapat dipertimbangkan pada abses berukuran <2 cm
atau abses letak dalam atau terlalu berisiko untuk dioperasi, asalkan kondisi pasien baik.
Terapi antibiotik empiris terdiri dari regimen yang dapat meliputi bakteri gram positif, negatif dan
anaerob dengan spektrum luas.
Antibiotik diberikan dengan dosis tinggi.
1. Ceftriakson (100 mg/kg/hari) atau Cefotaxime (200 mg/kg/hari) digabung dengan
metronidazole (50 mg/kg/hari).
2. Sefalosporin dapat diganti dengan golongan penisilin dan kloramfenikol.
3. Ampisilin dapat diberikan 300-400 mg/kg/hari dibagi 3-4 dosis, kloramfenikol 100 mg/kg
dibagi 3 dosis.
4. Penambahan vankomisin (60-80 mg/kg dibagi 3-4 dosis) dapat dipertimbangkan terutama
apabila diduga MRSA.
5. Abses pyogenik tunggal yang diaspirasi diberikan antibiotik selama 4-6 minggu, sedangkan
pada kasus lainnya antibiotik diberikan selama 6-8 minggu.
6. Pemberian antituberkulosis dan antifungal dilakukan pada abses yang disebabkan
tuberkulosis dan jamur.
7. Tatalaksana juga harus ditujukan terhadap faktor predisposisi, misalnya koreksi kelainan
jantung, mastoidektomi pada mastoiditis atau pengobatan pada infeksi dental.

369
8. Tatalaksana terhadap peningkatan intrakranial dilakukan dengan pemberian kortikosteroid
jangka pendek pada awal penyakit Kortikosteroid yang dianjurkan adalah deksametason
dosis tinggi (1-2 mg/kg loading dilanjutkan 1-1,5 mg/kg/hari dibagi dalam 4-6 dosis, maksimal
16 mg/hari)
9. Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih berat dapat diterapi dengan natrium klorida
hipertonik atau manitol intravena.
10. Pemberian antikejang dibutuhkan pada pasien dengan manifestasi kejang.
.
Indikasi pulang
1. Telah selesai pemberian antibiotik
2. Keadaan umum baik
3. Etiologi abses telah teratasi

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait.
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh kembang pasca rawat.

Prognosis
Angka kematian dulu dapat mencapai 60%, dengan penggunaan tatalaksana bedah dan
antibiotik yang baik, mortalitas turun antara 4-12%. Prognosis tergantung usia, besar dan
jumlah abses, faktor predisposisi serta kecepatan tatalaksana. Pasien neonatus, penyakit
jantung bawaan dan abses multipel besar memiliki prognosis yang lebih jelek.

Kepustakaan
1. Singhi P. Focal intracranial suppuration. Dalam:Singhi P, Griffin DE, Newton CR,
penyunting. Central nervous system infections in childhood. London: Mac Keith
Press;2014.h.182-6
2. Sáez-Llorens X, Gueveara JN. Parameningeal infections. Dalam: Cherry JD, Harrison GJ,
Kaplan SL, Steinbach WJ, Hotez PJ, penyunting. Feigin and Cherry’s textbook of
pediatric infectious diseases. Edisi ke-7. Philadelphia:Elsevier Saunders;2014.h.462-72
3. Weinberg GA, Thompson-Stone R. Bacterial infections of the nervous system.Dalam:
Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology:
principles and practice. Edisi ke-6. Philadelphia:Elsevier;2017.h.896-907.
4. Bonfield CM, Sharma C, Dobson S. Pediatric intracranial abscesses, J Infect. 2015;DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jinf.2015.04.012.
5. Brouwer MC,Tunkel AR, McKhann GM, van de Beek D. Brain abscess. N Eng J Med.
2014; 371:447-56

370
371
ACUTE DISSEMINATED ENCEPHALOMYELITIS (ADEM)

Definisi
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) adalah kelainan demielinasi sistem saraf
pusat berupa peradangan akut nonvaskulitis yang dimediasi imunitas.

Etiologi
1. Etiologi ADEM masih belum diketahui, diduga merupakan penyakit dimediasi imun
setelah terjadi infeksi sebelumnya.
2. Sebagian kecil kasus berhubungan dengan imunisasi.
3. Sekitar 50-75% kasus memiliki riwayat infeksi sebelumnya.
4. Berbagai agen infeksi telah dihubungkan dengan ADEM, baik virus seperti campak,
mumps, rubela, varicella-zoster, herpes simplex, hepatitis A, influenza, Ebstein-Barr
virus, rotavirus, coronavirus, coxsackie, cytomegalovirus dan enterovirus, maupun bakteri
seperti Mycoplasma pneumoniae, Borrelia burgdorferi, Chlamydia spp, Leptospira spp,
Ricketsia spp, dan Streptococcus β-hemolyticus.

Anamnesis
1. Gejala klinis ADEM terjadi sekitar 2-4 minggu setelah paparan antigen.
2. Periode sebelum gejala klinis neurologis tersebut umumnya ditandai gejala infeksi non
spesifik seperti demam, batuk, pilek, diare dan tanda-tanda lain.

Pemeriksaan Fisis
1. Ensefalopati berupa perubahan atau penurunan kesadaran
2. Defisit neurologis yang dapat berupa paresis otot, afasia, kejang, palsi nervi kranialis.
3. Gejala peningkatan tekanan intrakranial
4. Gejala lain tergantung lokasi tambahan lesi misalnya penurunan visus karena adanya
neuritis optika dan paraparesis karena adanya lesi di medulla spinalis (myelitis
transversa).
5. Gagal napas dan kematian dapat terjadi pada kasus fulminan.

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ADEM ditegakkan menggunakan kriteria dari International Pediatric Multiple
Sclerosis Study Group (IPMSSG) 2012 untuk menegakkan diagnosis ADEM pada anak
meliputi antara lain (harus memenuhi semua poin di bawah ini):
1. Episode gejala SSP polifokal pertama dengan kecurigaan penyebab peradangan
demielinasi.
2. Ensefalopati yang tidak dapat dijelaskan dengan demam.

372
3. Tidak ada temuan klinis dan MRI baru yang muncul dalam tiga bulan atau lebih setelah
onset.
4. MRI otak tampak abnormal selama fase akut (tiga bulan)
Temuan khas pada MRI otak :
a. Lesi difus, batas tidak tegas, ukuran besar (>1-2 cm) yang melibatkan terutama pada
substansia alba serebri.
a. Lesi T1 hipointense pada substansia alba jarang terjadi.
b. Bisa terdapat lesi pada substansia grisea dalam (misalnya pada thalamus atau basal
ganglia).

Diagnosis
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) ditegakkan gejala klinis dan pencitraan
berdasarkan kriteria IPMSSG 2012

Differential Diagnosis
Multiple sclerosis
Neuromyelitis optica
Stroke
Ensefalitis autoimun
Ensefalitis virus
Meningitis

Pemeriksaan Penunjang
1. Magnetic resonance imaging (MRI) kepala dengan kontras
Gambaran khas MRI berupa area-area berbercak-bercak (patchy) yang tersebar luas,
bilateral dan asimetris yang homogen atau sedikit inhomogen berupa peningkatan
densitas pada sekuens T2W dan FLAIR dibandingkan dengan area di sekitarnya. Lesi
akan menyangat pada pemberian kontras gadolinium Predominasi kelainan terdapat di
white matter, namun grey matter pun dapat ditemukan kelainan, terutama pada deep
gray nuclei di ganglia basalis, talamus, dan batang otak. Kadang juga didapatkan
gambaran lesi yang menyerupai tumor.
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal rutin umumnya menunjukkan gambaran normal atau
sedikit pleositosis yang didominasi limfosit.
Pemeriksaan LCS dilakukan terutama untuk memeriksa adanya oligoclonal band dan
antibodi anti-MOG apabila tersedia, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya sklerosis
multipel.
3. Pemeriksaan darah tepi dapat menunjukkan tanda-tanda infeksi non spesifik.

373
4. Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan adanya gejala perlambatan yang merupakan
tanda ensefalopati dan dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang epileptiform.

Tata Laksana
1. Kortikosteroid dosis tinggi: metilprednisolon intravena (IV). Angka keberhasilan
tatalaksana ini mencapai 80%. Dosis metilprednisolon IV adalah 20-30 mg/kg/hari,
maksimal 1 g/hari selama 3-5 hari. Penggunaan metilprednisolon pada penderita ADEM
dilaporkan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan
deksametason.
2. Pemberian kortikosteroid dilanjutkan secara per oral dan dilakukan penurunan dosis
secara gradual (tapering off) selama 4 sampai 6 minggu untuk mencegah relaps.
3. IVIG atau plasma exchange bila tidak ada perbaikan dengan terapi kortikosteroid dosis
tinggi.
4. Kasus-kasus yang tetap tidak terjadi perbaikan, diterapi dengan obat imunosupresi atau
imunomodulator seperti siklofosfamid, azatioprin atau interferon.
5. Tatalaksana terhadap peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan tatalaksana suportif
berupa cairan, nutrisi dan keseimbangan elektrolit memegang peranan sangat penting
pada ADEM.
6. Tindakan bedah seperti hemikraniektomi dekompresi pada kasus peningkatan tekanan
intrakranial yang sangat berat.

Indikasi pulang
Keadaan umum membaik, fase akut terlewati.

Edukasi
1. Memberi informasi kepada keluarga akan adanya kemungkinan gejala sisa.
2. Jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen terkait
3. Memberitahu tentang pentingnya pemantauan tumbuh kembang pasca rawat

Prognosis
Prognosis pada anak-anak secara umum lebih baik dibandingkan dewasa. Tatalaksana
yang segera menentukan prognosis. Kesembuhan sempurna terjadi pada hingga 57-89%
pasien dengan sisanya mengalami defisit neurologis ringan.

Kepustakaan
1. Elhassanien A, Aziz H. Acute demyelinating encephalomyelitis: Clinical characteristics and
outcome. J Pediatr Neurosci. 2013;8(1):26. doi:10.4103/1817-1745.111418.

374
2. Alper G. Acute Disseminated Encephalomyelitis. J Child Neurol. 2012;27(11):1408-25.
3. Garg RK. Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrad Med J. 2003;79(927):11–7.
4. Brenton JN, Banwell BL. Therapeutic approach to the management of pediatric
demyelinating disease: multiple sclerosis and acute disseminated encephalomyelitis.
Neurotherapeutics. 2016;13(1):84-95
5. Krupp LB, Tardieu M, Amato MP, dkk. International pediatric multiple sclerosis study group
criteria for pediatric multiple sclerosis and immune-mediated central nervous system
demyelinating disorders: revisions to the 2007 definitions. Mult Scler J. 2013;19(10):1261-
7.
6. Nees JM. Demyelinating disorders of the central nervous system. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
20. Philadelphia: Elsevier; 2016. h.2919-24

375
NYERI KEPALA PADA ANAK DAN REMAJA

Definisi
1. International Classification of Headache Disorder third edition (ICHD-3b) membagi nyeri
kepala menjadi tiga kategori utama: nyeri kepala primer, nyeri kepala sekunder, neuropati
kranialis beserta nyeri kepala fasial dan nyeri kepala lainnya.
2. Nyeri kepala primer dapat berupa migren tanpa aura, migren dengan aura, tension type
headache dan trigeminal autonomic cephalalgia.
3. Migren merupakan sakit kepala yang memiliki empat sifat: pulsatil, unilateral, bertambah
berat dengan aktivitas dan berintensitas sedang hingga berat. Dapat dikategorikan
sebagai migren apabila berulang setidaknya lima kali dalam satu tahun untuk migren
tanpa aura dan setidaknya tiga kali dalam setahun untuk migren dengan aura.
4. Nyeri kepala yang tidak memenuhi kriteria migren kemungkinan suatu tension type
headache atau cluster headache.
5. Nyeri kepala sekunder dapat diakibatkan sejumlah besar penyebab, seperti infeksi
saluran napas, trauma kepala, hipertensi, infeksi intrakranial, gangguan sendi rahang,
hidrosefalus, dan lain-lain.

Anamnesis
Saat sakit kepala muncul, lokasi, kualitas, frekuensi, durasi, beratnya sakit kepala, gangguan
aktivitas sehari-hari oleh sakit kepala, gejala prodormal atau aura yang mendahului sakit
kepala, riwayat trauma kepala, adakah defisit neurologis sebelum, selama dan sesudah sakit
kepala, riwayat keluarga sakit kepala, adanya depresi, gangguan emosi.

Pemeriksaan Fisis
1. Keadaan umum pasien dan status mentalnya
2. Ada kelainan pada kekuatan otot, refleks, dan koordinasinya. Terutama otot-otot leher dan
bahu.
3. Cari abnormalitas dari gigi dan gusi serta struktur kranial dan wajah lainnya.
4. Pemeriksaan saraf kranial, cerebellum, sensoris, fungsi motorik termasuk refleks untuk
mencari kelainan tumor atau vaskuler di hemisphere cereberi, cerebellum, atau batang
otak.
5. Pemeriksaan rangsang meningeal
6. Pemeriksaan funduskopi

Diagnosis
1. Gejala klinis
2. Pemeriksaan fisis
3. Laboratorium

376
Diagnosis Banding
1. Sefalgia Sekunder merupakan kondisi penyebab organik yang dapat berupa:
a. Sefalgia yang berhubungan dengan trauma kepala atau leher
b. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan vaskuler kepala dan servikal
c. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan intrakranial nonvaskuler, misalnya
proses desak ruang karena tumor.
d. Sefalgia yang berhubungan dengan infeksi
e. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan hemostasis
f. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan kranium, leher, mata, telinga, hidung,
sinus, gigi, mulut, atau stuktur kranial atau wajah lainnya

2. Sefalgia yang berhubungan dengan gangguan psikiatri

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium darah
2. Lumbal pungsi
3. Elektroensefalografi
4. Pencitraan: MRI dan CT scan

Evaluasi anak dengan nyeri kepala


Dalam evaluasi anak-anak, harus diidentifikasi tanda dan gejala yang dapat menunjukkan
adanya kemungkinan penyakit serius yang mendasari. Adapun “red flags” tersebut sebagai
berikut:
1. Anak kesulitan menjelaskan kualitas nyeri kepala yang dialaminya
2. Pemeriksaan fisis umum atau neurologis menunjukkan kemungkinan adanya proses
patologi yang mendasari (misalnya paresis, ataksia, diplopia, disfagia, gangguan
kesadaran, kaku kuduk)
3. Nyeri kepala yang intensitasnya langsung berat
4. Nyeri kepala kronik progresif, terutama apabila menyebabkan penurunan kemampuan
akademis dan pembatasan aktivitas anak saat waktu luang.
5. Anak usia kurang dari 6 tahun dengan sakit kepala sebagai keluhan utama.
6. Nyeri kepala oksipital
7. Nyeri kepala ortostatik
8. Nyeri kepala yang menyebabkan anak terbangun malam hari, atau saat anak bangun
tidur terasa nyeri kepala dan disertai mual atau muntah.
9. Nyeri kepala bertambah berat dengan manuver Valsava (batuk, mengedan)
10. Papiledema
11. Ada penyakit-penyakit tertentu (shunt ventrikuloperitoneal, phacomatosis,
hiperkoagulasi, keganasan, defisiensi imun, penyakit sickle-cell)

377
Tata Laksana
1. Nyeri kepala sekunder harus mendapat tatalaksana yang ditujukan terhadap penyakit
yang mendasari.
2. Tatalaksana nyeri kepala dapat berupa nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi non
farmakologis dapat berupa biofeedback, cognitive behavioural therapy, manajemen
stress, perbaikan tidur, olahraga dan diet.
3. Tatalaksana farmakologis dapat antara lain dengan menggunakan obat-obatan
analgesik, NSAID, antiepilepsi, golongan triptan, dihidroergotamin, antihistamin dan beta
bloker.
4. Tatalaksana farmakologis terhadap nyeri kepala pada anak ditujukan pada saat akut dan
tatalaksana farmakologis preventif.
5. Tatalaksana akut nyeri kepala dapat menggunakan asetaminofen (10-12,5 mg/kg tiap 4-6
jam, dosis maksimal 4000 mg/hari), ibuprofen (10 mg/kg tiap 4-6 jam, maksimum 3000
mg/hari), atau golongan triptan, misalnya sumatriptan (1-2 mg/kg per oral, dapat diulang
dua kali, maksimum 200 mg/hari).
6. Tatalaksana preventif dapat menggunakan cyproheptadine (0,25-1 mg/kg per hari dibagi
dalam 3-4 dosis, hingga 20 mg per hari), antidepresan trisiklik, antikonvulsan (topiramat,
asam valproat, gabapentin), antihipertensi (propranolol, verapamil) atau obat-obatan lain
(riboflavin, melatonin, magnesium oksida, koenzim Q10).
7. Tatalaksana preventif dapat dievaluasi ulang setelah 1-3 bulan.

Edukasi
1. Pengawasan terhadap nyeri kepala.
2. Mengetahui “red flags” pada nyeri kepala.

Prognosis
Tergantung jenis nyeri kepala

Kepustakaan
1. Kabbouche MA, Kacperski J, O,Brien HL, Powers SW, Hershey AD. Headache in children
and adolescents. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, dkk, penyunting.
Swaiman’s pediatric neurology: principles and practice. Edisi ke-6.
Philadelphia:Elsevier;2017.h.662-70.
2. Böhmer J, LeBel AA. Acute headache. Dalam: Sejersen T, Wang CH, penyunting. Acute
pediatric neurology. London:Springer-Verlag;2014.h.37-52.
3. Piña-Garza JE. Fenichel’s clinical pediatric neurology. Edisi ke-7. New York:Elsevier
Saunders;2013.
4. Schor NF. Migraine in children and adolescents. Dalam: Maria BL, penyunting. Current
management in child neurology. Edisi ke-4. Shelton: BC Decker Inc;2009.h.65-107.

378
5. Blume HK. Pediatric headache: a review. Pediatr Rev. 2012;33(12):562-76.

379
TRAUMA KEPALA PADA ANAK

Definisi
1. Trauma kepala dibagi berdasarkan skor pada Skala Koma Glasgow Pediatrik.
Skor 13-15 : trauma kepala ringan
Skor 9-12 : trauma kepala sedang
Skor 3-8 : trauma kepala berat.
Makin rendah skor pada Skala Koma Glasgow menunjukkan makin beratnya cedera otak
dan makin buruknya prognosis.
2. Trauma kepala pada anak juga dibagi berdasarkan umur, yaitu : anak usia kurang dari 2
tahun dan anak usia lebih dari 2 tahun.

Pembagian ini perlu karena trauma pada anak kurang dari 2 tahun mempunyai
karakteristik:
a. pemeriksaan klinis lebih sulit,
b. kerusakan intrakranial umumnya asimtomatik,
c. sering terjadi keretakan tulang kepala akibat trauma kepala ringan,
d. sering terjadi kerusakan otak.

Anamnesis
1. Tanyakan secara rinci mekanisme trauma pada anak, seperti ketinggian jatuh, apakah
kepala membentur sesuatu. Jika kecelakaan lalu lintas tanyakan mekanisme kecelakaan,
apakah anak memakai helm pelindung, apakah anak terlempar , posisi jatuh, terbentur
atau tidak.
2. Bagian tubuh mana yang mengalami trauma, apakah terdapat trauma multipel.
3. Apakah anak menangis setelah trauma, apakah terdapat penurunan kesadaran, berapa
lama terjadi penurunan kesadaran.
4. Adakah kehilangan ingatan (amnesia), sampai berapa lama penderita tidak dapat
mengingat kejadian.
5. Apakah ada sakit kepala, muntah-muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung,
telinga atau mulut.
6. Adakah benjolan kepala setelah jatuh, adakah tanda tulang yang retak.
7. Apakah terdapat patah tulang leher, bahu maupun ekstremitas.
8. Apakah sudah terdapat gangguan neurologis sebelum trauma.
9. Apakah terdapat gangguan perdarahan.Apakah terdapat penyalahgunaan obat atau
alkohol (pada anak remaja)
10. Pada bayi dan anak, jika terdapat inkonsistensi antara riwayat trauma dengan kondisi
anak pikirkan kemungkinan child abuse.

380
Pemeriksaan Fisis
A. Survei Primer / Initial assesment
Pada semua kasus trauma kepala pada anak, lakukan terlebih dahulu survey primer
dengan prinsip berikut:
A: Penilaian terhadap jalan nafas dan imobilisasi pada trauma leher.
B: Penilaian jalan nafas, pemberian oksigen apabila dibutuhkan.
C: Penilaian sirkulasi, pemasangan jalur intravena dan resusitasi cairan apabila
dibutuhkan.
D: Penilaian derajat kesadaran anak menggunakan Skala Koma Glasgow Pediatrik.
E: Penilaian kadar glukosa darah.

B. Pemeriksan Neurologis
1. Nilai kesadaran anak dengan Skala Koma Glasgow Pediatrik.
2. Pemeriksaan fisik (terutama kepala dan leher) :
a. Kepala : hematoma, laserasi, penumpukan cairan, depresi tulang
b. Fraktur tengkorak : adakah otorea, hemotimpanum, rinorea, raccoon eyes, battle
sign
c. Leher : adakah deformitas, kekakuan atau nyeri
d. Jejas trauma di bagian tubuh lain : dada, abdomen dan ekstremitas
3. Status mental : sadar penuh, orientasi, confusion/bingung, gaduh-gelisah, tidak responsif
4. Saraf kranial :
Refleks pupil (N.II, N.III), Doll’s eye response (N.III,N.IV,N.VI), respons okulomotor kalorik
(N.III,N.IV,N.VI,N.VIII), reflex kornea dan seringai wajah (N.V, N.VII), refleks muntah
(N.IX,N.X)
5. Pemeriksaan sensorimotor
Asimetri, gerakan (spontan/menuruti perintah), tonus otot, koordinasi (jika
memungkinkan), reaksi terhadap nyeri (menarik/ withdrawal, deserebrasi, dekortikasi,
tidak ada respons)
6. Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis, klonus.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi lengkap
2. Pemeriksaan protein S 100 B (bila tersedia fasilitas pemeriksaan), bertujuan untuk
menilai adakah indikasi pemeriksaan CT-scan dan untuk menentukan prognosis.
3. Pemeriksaan CT scan kepala dapat dilakukan sesuai algoritme berdasarkan
rekomendasi IDAI 2016.

381
Tata Laksana
Apabila terdapat kondisi di bawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan
kondisi masing-masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:
1. Ada trauma multipel.
2. Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal.
3. Adanya gangguan neurologis sebelumnya.
4. Adanya diatesis hemoragik.
5. Trauma kepala yang disengaja.
6. Adanya kendala bahasa antara pasien/orang tua dengan dokter
7. Penyalahgunaan obat atau alkohol.

Apabila tidak ada kondisi di atas, nilai apakah penderita:


1. Terdapat kelainan pada tulang tengkorak.
2. Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata.
3. Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis

Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,
pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah
syaraf. Selanjutnya pertimbangan melakukan CT scan atau observasi terlebih dahulu dapat
dilihat dari algoritma di atas.

Terapi medikamentosa
1. Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri
2. Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada kejang)
1. Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat penurun
tekanan intrakranial seperti manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3%
dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1-1
ml/kgBB/jam dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl 3% dapat juga diberikan
dengan dosis inisial 5 ml/kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam.
2. Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan
hipertonis.
3. Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial.
4. Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.
5. Tatalaksana demam.

Edukasi

382
Orang tua sering menanyakan apa yang perlu diperhatikan jika anaknya mengalami trauma
kepala, berikut ini beberapa tips yang dapat diberikan:
1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di rumah.
2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah sebaiknya anak tidak minum obat anti muntah, karena dapat
menutupi gejala perburukan yaitu muntah. Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak tiap 2-3 jam sampai 72 jam setelah
trauma.
5. Anak segera di bawa ke rumah sakit apabila selama observasi didapatkan:
a. Anak tampak tidur terus atau tidak sadar.
b. Anak menjadi gelisah, bingung atau delirium.
c. Kejang pada wajah atau ekstremitas.
d. Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat, atau adanya tanda
kekakuan di leher.
e. Muntah yang menetap terutama di pagi hari.
f. Keluar cairan/darah dari lubang telinga atau hidung.
g. Ubun-ubun besar yang membonjol.
h. Terdapat gangguan gerak ekstremitas.

Kepustakaan
1. Irawan M, Setyo H, Masayu Rita D. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala.
Jakarta:Balai Penerbit IDAI;2016.
2. Rodriguez JAG, Thomas RE. Office management of mild head injury in childrenand
adolescents.Can Fam Physic. 2014:60;523-31.
3. Lerner JT, Giza CC. Traumatic brain injury in children. Dalam: SwaimanKF, Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principle and
practices. 2012. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders- Elsevier.h.1087-125.
4. Kuppermann N, Holmes JF. Dayan PS, Hoyle JD, Atabaki SM, Holubkov RI, dkk.
dentification of children at very low risk of clinically impor tant brain injures after head
trauma: a prospective cohort study. Lancet. 2009:374;1160-70.
5. Schutzman SA, Barnes P, Duhaime AC, Greenes D, Homer C, Jaffe D, dkk. Evaluation
and management of children younger than two years old with apparently minor head
trauma: Proposed guidelines. Pediatrics. 2001;107:983-93.
6. Schutzman SA, Schunk JE. Pediatric head injury. Pediatr Rev.2012:33(9);398-411.
7. Farrel CA. 2013. Management of the paediatric patient with acute head trauma. Paediatr
Child Health. 2013;18(5):253-8.

383
384
Gambar 8.2. Algoritma Evaluasi Anak dan Remaja dengan Trauma Kepala Ringan IDAI
(2016)

385
Gambar 8.3 Algoritme Evaluasi Anak Usia < 2 Tahun dengan Cedera Kepala Ringan IDAI
(2016)

386
Gambar 8.4. Algoritme Indikasi CT-Scan Menurut Rekomendasi IDAI (2016)

387
STURGE-WEBER SYNDROME

Definisi
Sturge-Weber Syndrome (SWS), kadang disebut juga angiomatosis ensefalotrigeminal
adalah suatu kelainan neurologi dan kulit kongenital yang sangat jarang terjadi. SWS
termasuk kelompok kelainan yang disebut phakomatosis (penyakit “mother spot”), yang
terdiri dari malformasi kongenital hamartoma yang dapat mengenai mata, kulit, dan sistem
saraf pusat dalam waktu yang berbeda. Kelainan neurokutan dengan angioma pada SWS
termasuk leptomeningen (angioma leptomenigeal) pada kulit muka, khas mengenai Nervus
trigeminus (N.ophtahlmik dan N.Maksilari). Angioma kutaneus disebut port-wine stain (PWS).

Anamnesis
Manifestasi klinis pada penderita Sturge-Weber Syndrome terlihat pada tabel 8.18
Tabel 8.18. Manifestasi klinis penderita Sturge-Weber Syndrome:
Risiko SWS pada anak dengan PWS 8%
SWS tanpa nevus facial 13%
Keterlibatan cerebral bilateral 15%
Kejang 72-93%
Hemiparesis 25-56%
Hemianopia 44%
Sakit kepala 44-62%
Keterlambatan perkembangan dan RM 50-75%
Glaukoma 30-71%
Choroidal hemangioma 40%

Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien SWS dapat menunjukkan: PWS, makrosefali, buftalmos,
heterokromia iris, glaukoma, angioma koroidal, hipertropi jaringan lunak, hemiparesis,
kehilangan daya penglihatan, hemianopsia, dan retardasi mental.

Diagnosis
Sturge-Weber Syndrome didiagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang.
Gambaran klinis terdiri dari kelainan kulit, sistem saraf pusat, dan kelainan okuler.
1. Kelainan kulit (Port-Wine stain) : Lesi wajah pada SWS berupa lesi berbentuk makula
kongenital yang progresif, makula merah muda sampai nodul merah atau keunguan. Lesi

388
vena kutan pada wajah biasanya mudah terlihat sejak lahir, biasanya terlihat pucat dan
sejalan dengan meningkatnya usia, lesi ini akan menjadi lebih gelap.

2. Kelainan neurologis yang dapat terjadi berupa: kejang, defisit fokal (hemiparesis dan
hemianopsia) yang terjadi sementara, sehingga disebut juga ”episode menyerupai
stroke”, sakit kepala, dan kelainan perkembangan, seperti keterlambatan perkembangan,
gangguan belajar, retardasi mental. Kelainan perkembangan ini sering terjadi jika
angioma bilateral. Insiden epilepsi pada pasien dengan SWS adalah 75-90%. Menurut
Sturge-Weber Foundation kejang terjadi pada 80% anak dengan SWS, usia onset rata-
rata yaitu 6 bulan. Karena lesi yg bertanggung jawab terhadap epilepsi pada SWS
bersifat fokal sehingga kejang yang paling banyak terjadi pada penderita SWS juga
bersifat kejang fokal.
3. Kelainan okuler : menunjukan adanya glaukoma infantil meliputi diameter kornea lebih
dari 12 mm selama tahun pertama kehidupan, edema kornea, gambaran air mata pada
membran desement (Haab striae), pergerakan miopik unilateral atau bilateral, cekungan
nervus optikus lebih dari 0,3 mm atau cekungan asimetri. Iris dengan pigmentasi kuat
biasanya ipsilateral dari port-wine stain, menunjukkan adanya peningkatan jumlah atau
aktivitas melanosit. Kelainan okuler lain adalah meyerupai hemangioma superfisial pada
kelopak mata (pada gambatan histologi hanya terlihat dilatasi vena), hemangioma
konjungtiva, episklera, koroidal difus, pembuluh darah retina yang berkelok-kelok.
Diagnosis SWS dapat ditegakkan apabila terdapat dua dari tiga kriteria berikut: adanya tanda
lahir port-wine stain, peningkatan tekanan okuler dan angiomatosis leptomeningeal.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding SWS antara lain :
1. Malformasi vaskuler, malformasi AV
2. Perdarahan otak dan drainase vena abnormal
3. Angioma
4. Epilepsi
5. Sindrom klippel trenaunay, sindrom Rendu-Osler, sindrom Cobb

Pemeriksaan Penunjang
1. CT-scan kepala : adanya Kalsifikasi khas berupa garis parallel seperti jalan kereta api
terutama tampak di area parietal atau parietooksipital). Kalsifikasi jarang dijumpai pada
bayi.
2. MRI kepala dengan kontras : merupakan teknik neuroimaging yang dipilih untuk
diagnosis SWS, memperlihatkan adanya malformasi capillary-venous leptomeningeal dan
sejauh mana keterlibatan dengan struktur otak.
3. EEG terdapat perlambatan ipsilateral yang berkorelasi dengan gelombang epileptiform.

389
Tata Laksana
1. Terapi medikamentosa termasuk pemberian antikonvulsan untuk mengontrol kejang,
terapi simtomatis dan profilaksis untuk sakit kepala, terapi glaukoma untuk menurunkan
tekanan intraokuler dan terapi laser untuk PWS.
2. Terapi pembedahan, dilakukan pada kejang refrakter dapat berupa focal cortical
resection, hemispherectomy, corpus callosotomy, dan yang terbaru vagal nerve
stimulation (VNS), sedangkan pada glaukoma berupa tindakan trabekulektomi atau
goniotomi.

Prognosis
Faktor prediktor dari prognosis yang buruk adalah sebagai berikut:
1. onset awal kejang
2. angioma leptomeningen yang luas
3. kejang yang refrakter terhadap terapi medikamentosa
4. defisit motorik yang menetap atau relaps
5. adanya kerusakan neurologis yang progresif
6. kejang fokal yang diikuti kejang umum
7. bertambahnya frekuensi dan durasi kejang
8. adanya hemiparesis
9. penurunan fungsi kognitif

Kepustakaan
1. Thiele EA, Korf BR. Phakomatoses and allied condition. Dalam : Swaiman KF, Ashwal S,
Ferriero DM, dkk, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology: principles and practice.
Edisi ke-6. Philadelphia:Elseiver;2017.h.380-90.
2. Maria BL, Menkes JH. Neurocutaneous syndromes. Dalam:Menkes JH, Sarnat HB, Maria
BL,dkk, penyunting. Child neurology. Edisi ke-7. Philadelphia:Lippincott Williams and
Wilkins; 2006.h.803-28.
3. Piña-Garza JE: Fenichel’s clinical pediatric neurology: a signs and symptoms approach.
Edisi ke-7. New York:Elsevier Saunders;2013.
4. Bachur CD, Corni AM. Sturge-Weber syndrome. Curr Treat Options Neurol. 2013;15(5):
607–17.
5. Maria BL, Corni AM, Kostova FV. Sturge-Weber syndrome. Dalam :Maria BL. Current
Management in Child Neurology. Edisi ke-4. Shelton:BC Decker Inc; 2009.h.578-83.

390
PROSEDUR LUMBAL PUNGSI

Definisi
Lumbal pungsi merupakan prosedur untuk mendapatkan cairan serebrospinal (LCS) untuk
tujuan diagnostik dan pengukuran tekanan cairan LCS.

Indikasi
1. Curiga infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis)
2. Menyingkirkan meningitis pada Tb milier, ADEM, sindroma Guillain Barré dan lain-lain.

Kontraindikasi:
1. Infeksi di tempat pungsi
2. Instabilitas kardiovaskular
3. Kelainan pembekuan darah yang belum terkontrol
4. Peningkatan tekanan intra kranial karena proses desak ruang
5. Peningkatan tekanan intrakranial karena infeksi bukan merupakan kontraindikasi, namun
harus dilakukan dengan hati-hati. Pasien dengan defisit neurologis fokal dan skala koma
Glasgow 8 atau kurang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan pencitraan otak dahulu.

Persiapan
1. Pastikan tidak terdapat kontraindikasi.
2. Untuk anak yang besar dapat diinstruksikan untuk tidak bergerak.
3. Beri sedasi yang cukup pada anak sesuai kebutuhan, misalnya dengan menggunakan
ketamin, midazolam atau fentanyl.

Posisi Lateral Dekubitus


1. Asisten menahan penderita pada posisi lateral dekubitus. Tulang belakang dibuat fleksi
maksimal dengan menahan leher, panggul dan lutut fleksi penuh, namun hati-hati jangan
sampai mengganggu pernafasan. Fleksi leher dapat dilakukan sesaat sebelum
pengambilan. Tangan penderita dapat dibuat memeluk lutut dari bawah apabila
mungkin.
2. Tempat penusukan adalah perpotongan lini di antara kedua krista iliaka dan kolumna
vertebralis. Ruang intervertebra yang memotong lini tersebut adalah L4-L5. Dapat juga
digunakan L3-L4.

391
Gambar 8.5. Lokasi pungsi lumbal.
3. Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan steril.
Daerah pengambilam dicuci dengan larutan povidone-iodine, kemudian dibersihkan
dengan kasa steril yang dibasahi alkohol 70% dengan gerakan melingkar ke luar.
Ulangi tahap ini sampai tiga kali. Tutup dengan doek yang terbuka hanya pada tempat
penusukan.
4. Dapat diberikan anestesi lokal dengan xylocain pada tempat penyuntikan.
5. Gunakan jarum spinal ukuran 20 sampai 22 dengan panjang 2,5 cm atau 5 cm. Pada
penusukan perhatikan lubang jarum harus menghadap ke atas (ke langit-langit).
6. Tusuk dengan hati-hati. Saat jarum menembus ligamentum flavum akan terasa seperti
menembus kertas. Lepaskan mandrin hati-hati dan perhatikan pancaran cairan. Apabila
tidak keluar cairan, masukkan lagi mandrin dan dorong jarum sedikit pelan-pelan
kemudian buka lagi mandrin untuk memeriksa keluarnya cairan.
7. Apabila tersedia manometer untuk pengukuran tekanan cairan serebrospinal,
hubungkan pangkal jarum dengan three way stop cock dengan lubang three way lain ke
manometer. Ukur tekanan cairan serebrospinal saat anak tenang. Untuk mengeluarkan
cairan serebrospinal, putar stop cock agar cairan keluar melalui lubang yang terbuka.
8. Apabila cairan serebrospinal sudah keluar, teteskan cairan dalam setidaknya tiga botol
steril, diambil dalam jumlah lebih sesuai indikasi.
9. Lakukan pemeriksaan dengan reagen nonne, pandy dan sisanya kirim ke laboratorium
untuk pemeriksaan protein, glukosa, hitung jenis dan pengecatan gram. Untuk uji Pandy
cukup teteskan 1-2 tetes cairan serebrospinal ke tabung reaksi yang sebelumnya sudah
diisi 1ml cairan carbolic acid, Untuk uji Nonne, masukkan 0,5 ml cairan serebrospinal ke
dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh.
10. Apabila pengambilan cairan serebrospinal selesai, masukkan kembali mandrin,
kemudian tarik jarum spinal dengan cepat namun hati-hati. Bersihkan tempat
penusukan dan beri pembalut.

392
Posisi duduk
1. Untuk anak besar dimintakan duduk di meja dengan punggung membungkuk dan siku
menempel di lutut. Dapat juga ditaruh bantal besar di depan perut dan pasien disuruh
mendekap bantal tersebut. Untuk bayi kecil, asisten memegang lutut dan siku kanan
pasien dengan tangan kiri, sedangkan lutut dan siku kiri pasien dipegang dengan tangan
kanan.
2. Selanjutnya seperti langkah pada posisi lateral dekubitus. Diberi doek di bawah pantat
penderita dan pada bahu dengan akses pada tempat penusukan. Jarum spinal
diposisikan paralel dengan medula spinalis.

Tindak lanjut
1. Instruksikan pasien untuk tetap berbaring datar, baik dalam posisi pronasi maupun
supinasi selama 4-6 jam untuk menghindari terjadinya sakit kepala pasca pungsi
(sebagian dokter tidak menganggap hal ini penting).
2. Observasi ada/tidaknya edema/hematoma pada daerah pungsi. Lakukan pemeriksaan
status neurologissetelah pungsi.

Daftar Pustaka
1. Soetomenggolo TS. Prosedur neurodiagnostik. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Neurologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI;2000.h.36-48.
2. Cimpello LB, Deutsch RJ, Dixon C. Illustrated techniques of pediatric emergency
procedure. Dalam: Fleisher GR, Ludwig S, penyunting. Textbook of pediatric
emergency medicine. Edisi ke-6. Philadelphia:Lippincot William and Wilkins;2010.h 1764-
6.
3. Michelson DJ. Spinal Fluid Examination. Dalam:Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM,
dkk, penyunting. Swaiman's pediatric neurology: principles and practices. Edisi ke-6.
Philadelphia:Elsevier;20167.h.93-116.

393
ENSEFALITIS AUTOIMUN

Definisi
Ensefalitis autoimun paling sering adalah ensefalitis anti-N-methyl-D-aspartat receptor
(NMDAR) adalah bentuk ensefalitis yang terjadi terutama pada perempuan dan
berhubungan dengan antibodi terhadap subunit NR1 atau NR2 dari reseptor NMDA

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis


1. Sering terjadi pada fase pra remaja
2. Perempuan lebih banyak dari laki-laki
3. Demam
4. Kejang
5. Gangguan psikosis
6. Gangguan bicara
7. Gangguan otonom
8. Gangguan gerak

Gejala klinis:
1. Fase prodromal: dijumpai demam, mual, muntah, atau gejala infeksi saluran
pernafasan atas (berlangsung 2 minggu)
2. Fase awal: gejala psikiatri seperti delusi, mania, dan gangguan perilaku, tantrum,
kejang, distonia atau status epileptikus (berlangsung 3-4 minggu)
3. Fase hiperkinetik: disintegrasi bicara, hiperaktif, dan gelisah.

Kriteria Diagnosis

Probable ensefalitis anti-NMDAR


Dengan ditemukan tiga gejala dibawah ini:
 Terdapatnya paling sedikit 4 dari 6 gejala mayor dengan onset waktu yang cepat (<3
bulan):
o Gangguan psikiatri atau kognitif
o Gangguan berbicara
o Kejang
o Gangguan koordinasi gerak motorik
o Penurunan kesadaran
o Disfungsi automon atau hipoventilasi sentral

394
 Dijumpai sedikitnya satu dari hasil laboratorium dibawah ini:
o EEG abnormal (gambaran epilepsi, gelombang fokal atau difus lambat atau
delta brush)
o Pleositosis atau oligoclonal bands pada cairan serebrospinal
 Kemungkinan penyebab lain dapat disingkirkan

Definit ensefalitis anti-NMDAR


Apabila terdapat satu atau lebih dari gejala dan ditemukan antibodi IgG anti-GluN1 pada
cairan serebrospinal dan serum setelah mengekslusikan kemungkinan penyebab lain

Diagnosis
1. Ensefalitis autoimun
2. Ensefalitis anti-NMDAR

Diagnosis Banding
1. Ensefalitis virus
2. Ensefalitis bakteri

Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG): terdapat gelombang abnormal gelombang difus yang
melambat kemudian pada fase lanjutan dapat dijumpai gelombang delta difus atau
gelombang delta brush
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI): fase awal ditemukan hasil normal tapi pada fase
lanjut terdapat hiperintesitas pada lobus medial temporal dengan keterlibatan
hipokampus, dapat juga dijumpai abnormalitas multifokal atau difus luas.
3. Cairan serebrospinal: terdapat pleositosis, peningkatan protein, peningkatan indeks
IgG atau dapat dijumpai oligoclonal bands. Diagnosis pasti apabila terdapat lebih dari
satu kriteria probable disertai IgG anti-GluN1 positif
4. Serum: diagnosis dapat dipastikan apabila terdapat lebih dari satu kriteria probable
disertai IgG anti-GluN1 positif. Sensitivitas pemeriksaan antibodi serum lebih rendah
dibandingkan cairan serebrospinal.

Terapi
Imunosupresi:
1. Kortikosteroid intravena, metil prednisolon 1gram/hari atau 15-30 mg/kgBB hari
selama 3-5 hari
2. Imunoglobuli intravena (IVIG) 0,4gram/kgBB/hari selama 5 hari

395
3. Plasmaparesis

396
Terapi Lini Pertama
Metilprednisolon IV 30mg/kgBB/hari (5 hari), dilanjutkan maintenance 1-2 mg/kgBB/hari selama12 minggu

DIIKUTI
Plasma exchange 5-7 kali (10-14 hari) DAN/ATAU
IVIG 2 gram/kgBB (2-5 hari)

Apabila dengan tatalaksana metilprednisolon lini pertama pasien mengalami perbaikan,


metilprednisolon dilanjutkan hingga rata-rata 12 minggu dengan dosis 1-2 mg/kg BB per hari
disesuaikan dengan tolerabilitas dan efek samping, kemudian diturunkan perlahan sebelum
dihentikan.

397
Prognosis
Tatalaksana dini yang agresis akan memengaruhi luaran fungsional dan risiko kekambuhan
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Kepustakaan:
1. Dimyati Y. Ensefalitis Virus dan Ensefalitis anti NMDAR: Apakah yang Berbeda?. Dalam:
UKK Neurologi IDAI. Hospital-based Pediatric Neurology: Translating Current Evidence
into Practical Tips.Jakarta:Balai Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2019; h 61-70.
2. Barbagallo M, Vitaliti G, Pavone P, Romano C, Lubrano R, Falsaperia R. Pediatric
Autoimmune Encephalitis. J Pediatr Neuroscie. 2017; 12 (2): 130-4.

398

Anda mungkin juga menyukai