Anda di halaman 1dari 47

Usulan Penelitian

KORELASI ANTARA KADAR D DIMER DENGAN


MORTALITAS PASIEN COVID-19 DI RUANG INTENSIF
COVID-19 RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

Tim Peneliti:

dr. Hikmatiar

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
Telah disetujui oleh pembimbing

Palembang, Januari 2021

Pembimbing I

Dr.Rose Mafiana, dr., SpAn., KNA, KAO, MARS ........................................


NIP: 196411151995032001

Pembimbing II

Mayang Indah Lestari dr., SpAn.(K) .........................................


NIP: 198509252010122005

Pembimbing III

........................................
NIP:

Mengetahui,
Kepala Bagian Ketua Program Studi

Dr.Rose Mafiana, dr., SpAn., KNA, KAO, MARS Zulkifli, dr., SpAn., KIC, Mkes., MARS
NIP: 196411151995032001 NIP: 196503301995031001

Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Radiyati Umi Partan, Dr., dr., Sp.PD-KR, M.Kes


NIP: 197207172008012007

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................2
1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti.........................................................................2
1.4.2 Manfaat Bagi Subyek.........................................................................2
1.4.3 Manfaat Bagi Rumah Sakit................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).................................................3
2.2 Patofisiologi COVID-19............................................................................4
2.3 Manifestasi Klinis......................................................................................5
2.4 Komorbiditas COVID-19..........................................................................6
2.5 Tatalaksana COVID-19.............................................................................7
2.6 Prognosis Pasien Kritis COVID-19...........................................................8
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................10
3.1 Rancangan Penelitian..............................................................................10
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian.................................................................10
3.3 Populasi dan Sampel...............................................................................10
3.3.1 Populasi Penelitian...........................................................................10
3.3.2 Sampel..............................................................................................10
3.4 Variabel Peneliti......................................................................................11
3.5 Definisi Operasional................................................................................14

iii
3.6 Metode Pengumpulan Data Penelitian....................................................29
3.7 Pengolahan dan Penyajian Data..............................................................30
3.8 Kerangka Operasional.............................................................................30
3.9 Jadwal Penelitian.....................................................................................31
3.10 Organisasi Penelitian...............................................................................31
3.11 Rencana Biaya Penelitian........................................................................32
BAB IV JUSTIFIKASI ETIK.............................................................................35
4.1 Rangkuman Karakteristik Penelitian.......................................................35
4.2 Prosedur Membuka Rekam Medis..........................................................35
4.3 Analisis Kelayakan Etik..........................................................................35
4.4 Simpulan..................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37
LAMPIRAN 1. KUESIONER PENELITIAN...................................................40

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


The novel coronavirus bagian dari SARS-CoV-2, merupakan wabah
penyakit pada saluran pernapasan yang telah terjadi secara global, disebut sebagai
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sejak Desember 2019, kini masih menyeba
r dengan cepat pada lebih dari 100 negara.1 Sejak pertama kali muncul pada
Desember 2019, Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah menginfeksi lebih
dari 30 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan 1.344.003 kematian. 2 Di
Indonesia, 478.720 orang terkonfirmasi menderita penyakit ini dan 15.503 dari
penderita meninggal hingga pertengahan November 2020.2 Terhitung hingga
tanggal 15 desember 2020, didapatkan 14 pasien meninggal dunia akibat COVID-
19.

COVID-19 memiliki spektrum klinis yang luas, dari kasus ringan hingga
kritis dan memerlukan perawatan intensif.3 COVID-19 bermanifestasi dengan
gejala enterik, hepatik, nefrotik, neurologis dan jantung, menyebabkan kegagalan
multi organ dan risiko kematian yang tinggi. COVID-19 telah menyerang jutaan
orang di seluruh dunia, tetapi faktor prognostik dan rejimen pengobatan yang pasti
belum dapat di definisikan secara pasti. Sebagian besar pasien memiliki prognosis
yang baik, tetapi beberapa berkembang menjadi kasus yang parah dan kritis
dengan sindrom gangguan pernapasan, disfungsi koagulasi, kegagalan multi
organ.4 Pasien dengan pneumonia terkait COVID-19 menunjukkan sejumlah
parameter disfungsi koagulasi. Distungsi koagulasi telah dikaitkan dengan tingkat
mortalitas yang lebih tinggi. Perubahan sistem hemostatik termasuk the activated
partial thromboplastin time (aPTT), the international normalized ratio (INR),
prothrombin time (pT), peningkatan D-dimer dan fibrin degradation product
(FDP). 5

Terdapat gejala disfungsi koagulasi, yaitu Trias Virchow, yang muncul

1
2

pada pasien COVID-19, termasuk kerusakan endotel, stasis dan keadaan


hiperkoagulasi. Kejadian hiperkoagulasi berasal dari kerusakan endotel.
Kerusakan endotel menjadi bukti dari adanya invasi langsung sel endotel oleh
SARS-CoV. Sel endotel memiliki banyak reseptor angiotensin-converting
enzyme 2 (ACE-2) dan SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel melalui reseptor ACE-
2. Pada penelitian oleh Varga et al., bagian virus ditemukan di dalam sel endotel,
menunjukkan invasi langsung.6 Peningkatan sitokin yang terlepas, seperti
interleukin-6 (IL-6), dan berbagai faktor inflamasi lain dapat menyebabkan
kerusakan endotel. Laporan juga menunjukkan aktivasi jalur alterntif dan
komplemen lectin (C5b-9 [Membrane Attack Complex], C4d, dan Mannose-
Binding Protein-Associated Serine Protease 2 [MASP2]), menyebabkan
kerusakan sel endotel lebih lanjut.7,8 Telah dibuktikan bahwa terjadinya proses
inflamasi, adanya pelepasan sitokin IL-1, TNF -α dan faktor komplemen
konsisten, menyebabkan peningkatan regulasi dari inhibitor aktivator plasminogen
(PAI) -1 dengan konsekuensi. gangguan fibrinolisis. Pada SARS, ekspresi ACE-2
yang melimpah di alveolar tipe II, sel dapat menyebabkan ekspansi virus yang
cepat dan kerusakan dinding alveolar lokal, yang mengakibatkan progresif cepat
kerusakan alveolar difus yang parah dan hiperinflamasi yang dikenal sebagai
sindrom badai sitokin.12 Sehingga, Peningkatan kadar koagulasi pada dapat
dihubungkan dengan patogenesis dari infeksi virus corona.13 Infeksi virus ini
menjadi penyebab peningkatan kadar D- dimer karena aktivitas berlebihan dari
proses koagulasi. Infeksi ini juga menyebabkan gangguan pada respons sistem
inflamasi dan mengakibatkan ketidakseimbangan pada mekanisme hemostasis
prokoagulan dan antikoagulan. Aktivasi berlebihan dari koagulasi
(Hiperkoagulasi) di intravaskularmengakibatkan deposisi pada fibrin. Kristal
fibrin tersebut akhirnya akan pecah karena proses fibrinolisis yang menyebabkan
peningkatan kadar D-dimer dan FDPs. Hiperkoagulasi tersebut dapat
menyebabkan mikrotrombus ke organ, mengganggu perfusi organ14

Selain itu, menyebabkan perubahan pro-inflamasi dari sel endotel yang


meningkatkan ekspresi kemoatraktan dan molekul adhesi yang diperlukan untuk
aktivasi mononukleat dan transformasi ekstravaskular di makrofag. Sel
3

mononukleat distimulasi oleh sitokin yang bersirkulasi untuk menghasilkan faktor


jaringan, pemicu dan inisiator kaskade ekstrinsik koagulatif. Selain itu, sitokin
proinflamasi seperti IL-6 dan IL-8, dan trombosit, menginduksi aktivasi trombosit
dan bekerja sama dalam pemeliharaan mekanisme koagulatif. 9 Mekanisme
patogenetik dari infeksi SARS-CoV-2 melibatkan pengikatan glikoprotein
selubung virus ke ACE2. ACE2 dapat diidentifikasi pada sel-sel dari banyak
jaringan, terutama epitel alveolar, endotel, epitel usus dan lain-lain. Tropisme
bawaan untuk sel endotel vaskular dan kerusakan yang terjadi bersama dengan
aktivasi respons inflamasi yang intens dan jalur koagulasi, dapat menjelaskan
keadaan pro-koagulatif yang intens. Hal tersebut merupakan predisposisi
perubahan mikro-trombotik sistemik dan memberikan penjelasan parsial tentang
tingkat konsisten kegagalan multi-organ, DIC dan, berdasarkan keterlibatan yang
konsisten dari struktur paru-paru, ARDS pada pasien COVID-19.9,10.

Terjadinya gangguan koagulasi pada pasien COVID-19 menekankan


kebutuhan penting untuk pemantauan laboratorium yang berfokus pada
hemostasis dan manajemen terapeutik. Saat ini, penanda diagnostik laboratorium
terbaik yang tersedia untuk kelainan hemostatik terkait COVID-19 adalah salah
satunya D-dimer.7. D-dimer atau fragmen D-dimer (dalam bahasa inggris : fibrin
degradation fragment) adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh
aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1980, tes D-dimer
digunakan untuk pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang lebih tinggi dari
normal menunjukkan terdapat trombus, namun tidak menunjukkan lokasi kelainan
dan menyingkirkan berbagai penyebab. D-dimer merupakan penanda tidak
langsung dari koagulasi aktif dan pembentukan trombin. Ini sebenarnya
dilepaskan ketika plasmin, enzim fibrinolitik, membelah fibrin untuk
mendegradasi gumpalan dan merupakan cermin dari proses trombotik
endovaskular. D-dimer merupakan produk degradasi fibrin dan mencerminkan
aktivasi jalur trombotik dan fibrinolitik. D-dimer cenderung dapat meningkat pada
kondisi pasien yang disertai dengan keadaan seperti infeksi, inflamasi, kanker,
operasi, trauma, luka bakar atau hematom luas, penyakit jantung iskemik, stroke,
penyakit pembuluh darah perifer, diseksi aorta, kehamilan, dan trombosis sinus
4

serebral.15
Dari penelitian diatas ternyata kadar D-dimer pada pasien COVID-19
mempengaruhi tingkat kematian pada pasien COVID-19.11,12,15 Salah satu
penelitian, menjelaskan bahwa D dimer awal lebih dari 2.0 μg / mL
(peningkatan empat kali lipat) dapat memprediksi mortalitas di rumah sakit
pada pasien Covid-19, sehingga D-dimer bisa digunakan sebagai prediktor
awal berguna untuk meningkatkan pengelolaan pasien Covid-19 dan
peningkatan D-dimer menunjukkan perburukan dari kondisi klinis.1
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan korelasi nilai D-dimer dan
tingkat mortalitas pada pasien COVID-19 RSMH Palembang.
Dari kepustakaan diatas, saya tertarik meneliti korelasi kadar D-dimer
dengan mortalitas pada pasien COVID-19.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana korelasi antara kadar d dimer dengan mortalitas pasien covid-19 di
ruang intensif covid-19 RSMH Palembang

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara kadar D-dimer dengan mortalitas pasien co
vid-19 yang dirawat di RSMH.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Menganalisis insiden mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di covid-
19 di ruang intensif covid-19 RSMH Palembang
2. Menganalisis hubungan antara kadar d-dimer di hari pertama dengan
mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU RSMH
3. Menganalisis hubungan antara kadar d-dimer di hari terakhir dengan
mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU RSMH.
4. Menganalisis perbedaan kadar D-dimer di hari pertama dan hari terakhir.
5

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu data yang dapat
mengidentifikasi faktor risiko mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat d
i ruang ICU RSMH.

1.4.2 Manfaat Bagi Klinis


1. Penelitian ini bermanfaat bagi klinisi dalam upaya peningkatan tatalaksana
intervensi sebagai upaya perbaikan luaran pasien COVID-19 yang dirawat
di ruang ICU RSMH.
2. Dapat menjadi acuan prediktor untuk mengidentifikasi risiko mortalitas pa
sien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU RSMH.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)


COVID-19 merupakan infeksi virus corona pertama kali muncul di Wuhan,
China pada Desember 2019. Wabah penyakit yang merupakan keadaan darurat ke
sehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional pada 30 Januari 2020 da
n kemudian menjadi pandemi pada 11 Maret 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dun
ia (WHO).2 Sejak pertama kali muncul pada Desember 2019, Coronavirus Disease
2019 (COVID-19) telah menginfeksi lebih dari 30 juta orang di seluruh dunia dan
menyebabkan 1.344.003 kematian.2 Di Indonesia, 478.720 orang terkonfirmasi
menderita penyakit ini dan 15.503 dari penderita meninggal hingga pertengahan
November 2020.2 COVID-19 disebabkan oleh sindrom pernafasan akut korona
virus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini milik keluarga β- Coronavirus dan sebagian
seperti SRS-CoV dan Virus Corona MERS-CoV yang telah menyebabkan
epidemi di China dan Middle East sebelumnya.17

Manifestasi klinis dari COVID-19 sangat bervariasi, mulai dari gejala ring
an hingga berat dan kritis. Gejala dari infeksi virus ini dapat melibatkan banyak or
gan, namun manifestasi system respirasi adalah yang paling umum dijumpai. Geja
la infeksi saluran nafas bawah dapat berupa demam, batuk, dan sesak nafas. Kondi
si yang berat dapat berupa hipoksia yang signifikan dan gagal nafas (ARDS). 18,19
Selain itu, terjadi manifestasi yang melibatkan sistem kardiovaskular. Mekanisme
pasti dari keterlibatan kardiovaskular dalam COVID-19 belum dipahami dengan
baik, namun peningkatan kadar biomarker jantung biasanya terlihat.15 Dalam
sebuah studi oleh Wang et al, 7,2% pasien mengalami peningkatan kadar troponin
atau elektrokardiografi baru atau kelainan ekokardiografi yang menunjukkan
adanya cedera jantung.20 ACE2 sangat diekspresikan di jantung, memberikan
kesempatan untuk infeksi miokard yang bergantung pada ACE2. Badai sitokin
dari inflamasi sistemik dan kondisi hipoksia dari ARDS dapat memicu kadar
kalsium ekstraseluler yang berlebihan yang menyebabkan apoptosis miosit juga
7

merupakan mekanisme kerusakan yang mungkin terjadi. 15 Lonjakan kadar sitokin


akibat respons hiperinflamasi atau limfohistiositosis hemofagositik sekunder dan
peningkatan kebutuhan miokard dalam pengaturan infeksi akut dapat
menyebabkan ketidakstabilan plak aterosklerotik dan cedera miokard,
meningkatkan risiko infark miokard akut. Kelainan tekanan darah juga dapat
dilihat sebagai respons terhadap penyakit.Selain itu, palpitasi akibat aritmia juga
dapat terjadi.15 Jenis aritmia merupakan variabel dan etiologi yang dapat bersifat
multi-faktorial, mulai dari keadaan hipoksia karena ARDS hingga miokarditis. 15
Hu et al dan Zeng et al juga melaporkan pasien dengan pengurangan fraksi ejeksi
dan pembesaran jantung. Oleh karena itu, kemungkinan efek jangka panjang dari
COVID-19 pada sistem kardiovaskular seperti risiko gagal jantung harus
dipertimbangkan ed dan diselidiki lebih lanjut.21,22

Covid-19 juga dapat memunculkan manifestasi pada gingal, dengan


terjadinya Accute Kidney Injury (AKI) adalah hilangnya fungsi ginjal secara tiba-
tiba yang terjadi dalam 7 hari. Insidennya telah diamati dengan SARS dan MERS-
CoV.15 Meskipun patogenesis pasti keterlibatan ginjal pada infeksi COVID-19
tidak jelas, dilaporkan bahwa AKI di COVID-19 menyertai sepsis, kegagalan
multiorgan dan syok, menunjukkan penyebab AKI adalah nekrosis tubular akut. 15
Sebagai alternatif, sebuah studi berdasarkan analisis transkriptom sel tunggal
membuktikan ekspresi reseptor ACE2 dalam sel ginjal, menunjukkan
kemungkinan kerusakan sel ginjal langsung dari SARS-CoV-2. Hal ini
selanjutnya didukung oleh deteksi SARS-CoV-2 baru-baru ini dalam sampel urin
dari pasien yang terinfeksi.15

Pada manifestasi gastrointestinal seperti diare, mual, muntah, dan sakit


perut, dengan beberapa penelitian telah melaporkan bahwa gejala ini sebagai satu-
satunya keluhan mereka.23 Insiden gejala GI, bersamaan dengan deteksi SARS-
CoV-2 RNA dalam tinja sampel pasien yang terinfeksi, menunjukkan bahwa
reseptor ACE2 yang sangat diekspresikan dalam saluran GI adalah target lain
untuk infeksi SARS-CoV-2.24
8

Pada Covid-19 juga dapat terjadi manifestasi liver injury ringan dan
sementara, serta liver injury yang parah.15 Wong et al menunjukkan bahwa 14,8-
53,1% pasien COVID-19 memiliki kadar alanine aminotransferase, aspartate
aminotransferase, dan bilirubin yang abnormal selama perjalanan penyakit,
dengan bilirubin menunjukkan peningkatan terkecil. Lebih lanjut, mereka
melaporkan bahwa tingkat keparahan kerusakan hati sebanding dengan COVID-
19. Gamma-glutamyl transferase meningkat pada 54% pasien dalam 1 studi
kohort yang melibatkan 56 pasien COVID-19.23

Covid-19 juga dapat menyebabkan keterlibatan organ lainnya, seperti


sistem saraf, kaskade koagulasi, dan terjadinya rhabdomiolisis. 15 Pada sistem
saraf, terjadi invasi virus ke sistem saraf pusat oleh SARS-CoV2 kemungkinan
akibat adanya rute synapse-connected yang diamati dengan virus korona lain
seperti SARS-CoV dan dapat menyebabkan beberapa komplikasi neurologis
termasuk ataksia, kejang, neuralgia, pingsan, akut. penyakit serebrovaskular dan
ensefalopati.15 Mao dkk melaporkan bahwa 36,4% dari kelompok mereka
memiliki manifestasi neurologis, kelompok yang parah lebih mungkin untuk
menderita penyakit serebrovaskular akut, gangguan kesadaran dan cedera otot
rangka.25 Selanjutnya, Li dkk mengusulkan bahwa hal ini potensi invasi virus
mungkin memainkan peran parsial dalam patofisiologi gagal napas akut pada
pasien COVID-19.26

Pada kaskade koagulasi, terjadinya koagulasi intravaskular diseminata


merupakan komplikasi umum dari COVID-19 yang dilaporkan pada 71,4% orang
yang tidak bertahan hidup dibandingkan dengan hanya 0,6% yang selamat. Selain
itu, ditemukan bahwa penggunaan antikoagulasi dengan low molecular weight
heparin (LMWH) atau heparin tak terpecah meningkatkan hasil pada pasien
dengan gejala berat yang disertai dengan kasus koagulopati.15

Satu kasus rhabdomyolysis sebagai komplikasi akhir potensial COVID-19


telah dilaporkan di China. Kemungkinan kurang diagnosis karena nyeri otot yang
merupakan gejala umum COVID-19 serta kadar kreatin kinase dan mioglobin
yang tidak diuji secara rutin.15
9

Severe Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), dapat berkembang


menjadi sindrom disfungsi multi-organ yang telah diakui sebagai penyebab
kematian di sebagian besar pada pasien COVID-19. ARDS umumnya
membutuhkan rawat inap, yang mencakup sekitar 20% dari semua pasien yang
terinfeksi. Mekanisme pasti terjadinya komplikasi paru dan ARDS pada COVID-
19 belum dijelaskan, namun di curigai adanya komponen thrombo-inflammation
yang jelas dan terjadinya badai sitokin.17 Terlepas dari penyebab sepsis,
koagulopati merupakan penyebab yang secara konsisten dikaitkan dengan
prognosis yang buruk, Disfungsi multiorgan kemungkinan terjadi pada
koagulopati pada pasien dengan sepsis dan menyebabkan peningkatan
mortalitas.17

2.2 Patofisiologi COVID-19

Secara umum Patofisiologi COVID-19 diawali dengan interaksi


protein spike virus dengan sel manusia. Setelah memasuki sel, encoding
genome akan terjadi dan memfasilitasi ekspresi gen yang membantu
adaptasi severe acute respiratory syndrome virus corona 2 pada inang.
Rekombinasi, pertukaran gen, insersi gen, atau delesi, akan menyebabkan
perubahan genom yang menyebabkan outbreak di kemudian hari. Severe acute
respiratory syndrome virus corona 2 (SARS-CoV-2) menggunakan reseptor
angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) yang ditemukan pada traktus
respiratorius bawah manusia dan enterosit usus kecil sebagai reseptor masuk.
Glikoprotein spike (S) virus melekat pada reseptor ACE2 pada permukaan sel
manusia. Subunit S1 memiliki fungsi sebagai pengatur receptor binding
domain (RBD). Sedangkan subunit S2 memiliki fungsi dalam fusi membran
antara sel virus dan sel inang.27

Setelah terjadi fusi membran, RNA virus akan dikeluarkan dalam


sitoplasma sel inang. RNA virus akan mentranslasikan poliprotein pp1a dan
pp1ab dan membentuk kompleks replikasi-transkripsi (RTC). Selanjutnya, RTC
akan mereplikasi dan menyintesis subgenomik RNA yang mengodekan
10

pembentukan protein struktural dan tambahan. Gabungan retikulum endoplasma,


badan golgi, genomik RNA, protein nukleokapsid, dan glikoprotein envelope akan
membentuk badan partikel virus. Virion kemudian akan berfusi ke membran
plasma dan dikeluarkan dari sel-sel yang terinfeksi melalui eksositosis. Virus-
virus yang dikeluarkan kemudian akan menginfeksi sel ginjal, hati, intestinal, dan
limfosit T, dan traktus respiratorius bawah, yang kemudian menyebabkan gejala
pada pasien.27

Patogenesis penyakit tergantung pada mekanisme entry dan action dari


virus corona. Hingga 2003, terdapat dua jenis reseptor permukaan virus korona.
Sejumlah kelompok virus korona I, misalnya virus corona manusia 229E dan
virus yang menyebabkan gastroenteritis yang dapat menular dan peritonitis
infeksius kucing, memerlukan zinc metallo-protease aminopeptidase N (APN,
CD13) untuk masuk ke dalam sel target mereka. Kelompok virus korona II, Virus
hepatitis tikus (MHV) menggunakan anggota superfamili imunoglobulin dari
reseptor, seperti sel yang berhubungan dengan antigen karsinoembrionik murine
molekul adhesi (CEACAMs).12 LI et al. mengidentifikasi virus korona yang
berbeda sebagai agen etiologi 2003 pada Severe Accure Respiratory Syndrome
(SARS), SARS-CoV-1, yang menggunakan permukaan glikoprotein disebut spike
(S) untuk mengakses sel inang.28 Menariknya, SARS-CoV-2 terkait erat dengan
SARS-CoV-1, dan telah dibuktikan bahwa protein S dari virus corona perlu
mengikat reseptor seluler untuk menengahi infeksi sel target mereka. Li dan rekan
kerja dapat menunjukkan bahwa metalopeptidase (enzim pengubah angiotensin 2;
ACE-2), diisolasi dari sel Vero E6 permisif SARS-CoV (African Green Monkey
Kidney Cell Line), dapat secara efisien mengikat domain S1 dari protein SARS-
CoV S dan bertindak sebagai ko-reseptor fungsional untuk masuknya virus
korona. Baru-baru ini, ACE-2 telah dibuktikan sebagai agen yang distimulasi
interferon manusia, menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat mengeksploitasi
spesies tertentu untuk peningkatan regulasi ACE-2 yang digerakkan oleh
interferon, mediator pelindung jaringan selama cedera paru, untuk meningkatkan
terjadinya infeksi.12
11

Patogenesis penyakit juga tergantung pada lokalisasi koreseptor


koronavirus. Seperti yang ditunjukkan oleh HAMMING dkk., ACE-2 berlimpah
pada manusia di epitel paru-paru dan usus kecil, sel dalam kontak dengan
lingkungan eksternal, yang mungkin menyediakan rute masuk yang
memungkinkan untuk SARS-CoV-2. Ekspresi epitel ini memberikan langkah
pertama dalam memahami patogenesis dari Manifestasi penyakit SARS,
khususnya di paru-paru (batuk, radang paru-paru akut dan berat sindrom
pernapasan). Pneumosit tipe I dan tipe II sangat positif untuk ACE-2,
menunjukkan terebut. Pneumosit alveolar adalah kemungkinan tempat masuknya
SARS-CoV. Entri virus dapat menyebabkan perubahan sitopatologis pada
Interface alveolo-kapiler epitel, awalnya menghasilkan induksi tipe II sel alveolar
sebagai upaya perbaikan pertama. Pada SARS, ekspresi ACE-2 yang melimpah di
alveolar tipe II, sel dapat menyebabkan ekspansi virus yang cepat dan kerusakan
dinding alveolar lokal, yang mengakibatkan progresif cepat kerusakan alveolar
difus yang parah dan hiperinflamasi yang dikenal sebagai sindrom badai sitokin.
Bahkan, telah dibuktikan bahwa stres oksidatif yang disebabkan oleh SARS-CoV-
2 dapat memperburuk metilasi DNA yang cacat, mungkin mengakibatkan
demethylation ACE2 lebih lanjut dan meningkatkan viremia. Stres oksidatif
masuk ke paru-paru ketika kapasitas antioksidan kewalahan atau terkuras melalui
eksposur eksternal, seperti perubahan tekanan oksigen atau polusi udara, atau
secara internal oleh aktivasi sel residen atau inflamasi, sel direkrut sebagai
respons terhadap paparan, cedera atau infeksi.12

Sasaran lain dari SARS-CoV adalah sistem imunnitas dan pembuluh kecil
sistemik, yang mengakibatkan sistemik vaskulitis dan penurunan fungsi
kekebalan. Reseptor atau fasilitator lain yang dimilikinya pada permukaan sel
manusia telah disarankan untuk menengahi masuknya SARS-CoV-2, termasuk
transmembrane serine protease 2, asam sialat dan induser matriks
metaloproteinase ekstraseluler (CD147, juga dikenal sebagai basigin).
Menariknya, ACE-2, serta tiga fasilitator lainnya, terdapat di endotel arteri dan
vena.sel dan sel otot polos arteri. ACE-2 adalah reseptor / fasilitator yang paling
banyak dipelajari dan baru-baru ini muncul pertanyaan tentang penggunaan
12

penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron, seperti penghambat reseptor


angiotensin II (ARB) dan ACE inhibitor, untuk pasien COVID-19 dengan
hipertensi. Secara khusus, data tentang hubungan potensial antara penggunaan
penghambat ACE atau ARB dan risiko pengembangan SARS-CoV-2 saling
bertentangan. Sindrom badai sitokin juga dapat diinduksi oleh angiotensin II
melalui mekanisme mineralokortikoid yang bergantung pada reseptor.12

Gambar 1. Representasi skematis mekanisme hipotetis di mana novel


coronavirus (SARS-CoV-2) menyebabkan disfungsi endotel dan perubahan
pembuluh darah paru. Setelah pembelahan protein S-nya, SARS-CoV-2 masuk ke
sel manusia melalui pengikatan ke angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2).
Reseptor ACE-2 transmembran ini diekspresikan secara luas dalam berbagai
bentuk sel paru termasuk sel alveolar tipe II, makrofag, endotel, sel otot polos,
dan perisit perivaskular. Ini menyebabkan peradangan yang tidak terkontrol (1),
disertai trombosis mikro dan penyumbatan pembuluh paru kecil (2), dan
13

gangguan tonus endotel regulasi vaskular (3), yang menyebabkan gangguan


penghalang alveolo-kapiler (4). Ang: angiotensin; Masuk: reseptor angiotensin;
IL: interleukin; MAS: sindrom aktivasi makrofag; MIF: faktor penghambat
migrasi makrofag; NO: oksida nitrat; PAF: faktor pengaktif trombosit; PAI-1:
inhibitor aktivator plasminogen-1; PGI2: prostaglandin I2; TF: faktor jaringan;
TNF: faktor nekrosis tumor; tPA: aktivator plasminogen jaringan.

Gambar 2. Virchow’s Triad (Hiperkoagulasi) pada COVID-19. (Sumber: Ahmed


S, Zimba O, Gasparyan AY. Thrombosis in Coronavirus disease 2019 (COVID-
19) through the prism of Virchow’s triad. Clinical Rheumatology. 2020;39
(Suppl 2):1-15)26
14

Gambar 3. Interaksi antara komplemen, koagulasi dan jaras inflamasi pada


infeksi COVID-19. (Sumber: Chauhan AJ, Wiffen LJ, Brown TP. COVID-19: A
collision of complement, coagulation, and inflammatory pathway. J Thromb
Haemost. 2020;18:2110- 7).

2.3 Manifestasi Klinis

Gejala umum yang dilaporkan adalah demam (98%), batuk (76%) dan
mialgia atau kelelahan 44%. Gejala lain yang dilaporkan adalah produksi sputum
(28%), sakit kerpala (8%), hemoptisis (5%) dan diare (3%). Sesak napas terjadi
pada 55%, sebanyak 63% dengan limfopenia. Semua pasien terjadi pneumonia
pada pemeriksaan CT scan toraks. Komplikasi yaitu ARDS, anemia, kelainan
jantung akut dan infeksi sekunder.15,16 Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan limfopenia 70.3%, pemanjangan waktu prothrombin
15

58%, peningkatan laktat dehydrogenase 39.9%. Hasil pemeriksaan CT scan toraks


didapatkan gambaran bilateral patchy shadow atau ground glass opacity pada
semua pasien.2

Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID2,17:

1.Uncomplicated illness adalah pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam,


batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot.
Perlu diwaspadai pada pasien dengan immunocompromised.

2.Pneumonia ringan adalah pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda
pneumonia berat.

3.Pneumonia berat adalah dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran
napas ditambah dengan satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distress
pernapasan berat, saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar atau Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS).

Kriteria ARDS pada dewasa:

a.ARDS ringan: 200 mmHg < PaO2/FiO2 <300 mmHg (dengan PEEP atau
continuous positive airways pressure (CPAP) >5 cmH2O atau yang tidak
diventilasi.

b.ARDS sedang: 100 mmHg < PaO2/FiO2 <200 mmHg dengan PEEP >5
cmH2O atau yang tidak diventilasi.

c.ARDS berat PaO2/FiO2 <100 mmHg dengan PEEP >5 cmH2O atau yang
tidak diventilasi.

d.Ketika PaO2 tidak tersedia SpO2/FiO2 <315 mengindikasikan ARDS (ter-


masuk pasien yang tidak diventilasi).

4.Sepsis adalah pasien dengan disfungsi organ yang mengancam jiwa disebabkan
oleh disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau terbukti infeksi. Tanda
disfungsi organ yaitu perubahan status mental/kesadaran, sesak napas, saturasi
oksigen rendah, urin output menurun, denyut jantung cepat, nadi lemah,
16

ekstremitas dingin atau tekanan darah, petekie/purpura/motled skin atau hasil


laboratorium memnunjukkan koagulopati, trombositopenia, asidosis, laktat
yang tinggi, hiperbilirubinemia.

5.Syok sepsis adalah hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi
cairan dan membutuhkan vasopressor.

2.4 Koagulasi Intravaskular Paru dan Badai Sitokin

Pasien COVID-19 telah terbukti memiliki kadar D-dimer yang tinggi,


tetapi tidak seperti pada pasien sepsis, yang hanya memiliki mild prolongation of
prothrombin time PT), activated partial thromboplastin time (APTT),
trombositopenia ringan. Laporan histopatologi pertama bersifat insidental pada
dua pasien kanker paru-paru dengan COVID-19 yang tidak terduga. Histopatologi
paru mengungkapkan hanya temuan awal yang terlihat pada COVID-19 termasuk
kerusakan alveolar dengan proteinaceous eksudat alveolar dan edema, kongesti
vaskular, dan deposisi fibrin fokal dengan hiperplasia pneumosit. Temuan ini
menunjukkan adanya koagulopati paru dimulai pada awal penyakit itu sendiri.
Kematian telah dilaporkan langsung dari awal, tetapi data otopsi dari Pasien
COVID-19 telah tertinggal. Sampai saat ini, sangat sedikit penelitian tentang
temuan histopatologi yang tersedia. Data otopsi menunjukkan adanya penyebaran
eksudatif kerusakan alveolar dengan kongesti kapiler yang parah. Selain itu,
temuan yang sering ditemukan termasuk edema, alveolar perdarahan, emboli paru
dan mikrotrombi di kapiler alveolar.17

Koagulasi intravaskular paru (PIC) yang timbul akibat inflamasi


intrapulmoner mirip sindrom aktivasi makrofag (MAS) yang menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah. PIC ini dimediasi oleh trombo-inflammation.
SARS-CoV2 menginfeksi pneumosit tipe II melalui reseptor angiotensin
converting enzyme 2 (ACE- 2) yang memunculkan fenomena yang berpuncak
pada PIC (Gambar 2).
17

Gambar 4. Patogenesis koagulopati intravaskular paru (PIC) dan trombosis

Keberadaan ACE-2 tersebar luas reseptor di paru-paru, ada kerusakan pada


area permukaan yang luas dari alveoli yang menyebabkan hipoksemia. Selain itu,
ada kerusakan vaskular yang luas karena penjajaran pneumosit tipe II ke
pembuluh darah. Infeksi juga menyebabkan badai sitokin yang masif. Ada
peningkatan ekspresi faktor jaringan pada endotelium dan sel inflamasi termasuk
neutrofil dan makrofag. Terdapat cedera endotel yang luas dan disfungsi sebagian
karena sitokin seperti interleukin (IL) -1, IL-6 dan tumor necrosis factor a serta
inflamasi mirip MAS intra-paru. Fenomena ini pada akhirnya menyebabkan
aktivasi kaskade koagulasi intrapulmoner. Reaksi inflamasi juga menyebabkan
penurunan level inhibitor aktivator plasminogen-1 (PAI-1) menyebabkan
peningkatan level plasmin. Terdapat 2 komponen trombosis intrapulmonal,
diantaranya rhages mikrohemor dan hiperfibrinolisis. Plasmin dan protease
lainnya juga dapat membelah situs furin dalam protein S SARS-CoV 2 yang dapat
menyebabkan peningkatan virulensi virus. Trombosis diamati terutama intra-
pulmonal tetapi dapat berkembang menjadi trombosis sistemik pada sebagian
pasien. Kombinasi trombo-inflammation menyebabkan feedback loop positif
18

diperburuk oleh hipoksia lokal.17

2.5 Gangguan Koagulasi

Secara keseluruhan COVID-19 dikaitkan dengan hiperkoagulasi dengan


adanya pengaturan DIC dalam kasus tingkat akhir. Anomali koagulasi dan
gambaran klinis koagulopati yang diamati pada pasien COVID-19 berbeda
dengan DIC (Tabel 1).17

Tabel 1. Perbedaan antara koagulopati COVID-19 dari koagulasi intravaskular


diseminata17

COVID Coagulopathy DIC


Keterlibatan par ++++ ++
u
Bleeding Uncommon Prominent
Thrombosis ++ +
Trombositopeni + +++
a
Prolong PT/APT Mild, common Marked, very common
T
Anemia dan He Unusual Common
molisis
Fibrinogen Increased Decreased
D-dimer ++++ ++

2.5.1 Hipoksia terhadap Hiperkoagulasi

Pembentukan trombus meningkat dalam kondisi hipoksia pada hewan dan


populasi manusia. Respon vaskular terhadap hipoksia terutama dikontrol oleh
Hypoxia-Inducible Transcription Factors (HIFs) yang merupakan termasuk gen
target yang meregulasi terbentuknya thrombus. HIF adalah factor heterodimeric
nuclear transcription factors terdiri dan subunit α dan β, yang bersama meregulasi
transkirpi gen yang memediasi respon homeostasis terhadap penurunan
oksigenisasi. Sub-unit α dari HIF1 dan HIF2 (masing-masing yaitu HIF1α dan
HIF2α) bergantung pada hipoksia. Ekspresi sub-unit HIFα ditekan saat normoksia,
dan meningkat secara eksponensial saat konsentrasi oksigen menurun. Target HIF
19

mencakup faktor-faktor yang mendorong trombosis secara langsung, seperti


Plasminogen Activator Inhibitor (PAI) 1, dan thrombosis secara tidak langsung
melalui induksi mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF) α dan
interleukin (IL) 1.2 Tetapi tidak semua faktor yang diinduksi hipoksia bersifat
pro-trombotik, sebagai contoh hipoksia juga mengaktifkan Early Growth Respon-
1 (EGR-1), yang dikenal untuk mengatur pembentukan trombus.28,29

2.5.2 Sepsis terhadap Hiperkoagulasi

Sepsis sering berkomplikasi dengan koagulopati. Tingkat keparahan


koagulopati terkait sepsis bervariasi, mulai dari kelainan subklinis yang dapat
dideteksi dengan penurunan ringan pada jumlah trombosit dan perpanjangan
waktu pembekuan global, hingga bentuk koagulopati yang parah atau koagulasi
intravaskular diseminata (DIC).30 Insiden DIC hingga 25 sampai 50% pada pasien
dengan sepsis.30 DIC septik ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular
sistemik, dan cedera endotel mikrovaskuler dengan anti-koagulasi yang terganggu
dan fibrinolisis yang tidak mencukupi, yang menyebabkan trombosis luas pada
mikrovaskular. Terjadi supresi fibrinolisis yang berlebihan yang disebabkan oleh
produksi berlebihan dari Plasminogen Activator inhibitor-1 (PAI-1) dengan
potensi berhubungan dengan efek prothrombotik.30 Akibatnya, disfungsi organ
sering berkembang pada DIC terkait sepsis karena penurunan perfusi jaringan,
sedangkan perdarahan sistemik adalah gejala yang lebih umum pada DIC fenotipe
fibrinolitik (non-sepsis ).30

2.5.3 Imobilisasi terhadap Hiperkoagulasi

Imobilisasi pada pasien medis rawat inap atau selama simulasi dekondisi
telah terbukti terkait dengan hilangnya massa otot dan tulang. Resistance
vibrating exercise (RVE) dan / atau diet tinggi protein tinggi adalah tindakan
penanggulangan mampu mengurangi efek merugikan dari imobilisasi.31
Imobilisasi dapat timbul karena kecacatan atau adanya suatu kondisi penyakit.
Oleh karena itu sebaiknya hanya dirawat di rumah sakit dan pasien dengan risiko
tinggi untuk trombosis harus diobati dengan antikoagulan; ini sesuai dengan
20

pedoman praktik klinis dari American College of Chest Physicians.31 Selain itu,
tindakan pencegahan untuk mengurangi massa otot dan kehilangan mineral tulang
(RVE, diet tinggi protein) dapat dilakukan tanpa merusak pada sistem koagulasi.
Temuan ini juga penting sebagai intervensi seperti olahraga dan suplementasi
nutrisi biasanya disediakan untuk subjek yang tidak bisa bergerak (selain
fisioterapi) untuk awal ambulasi ulang yang dilakukan bukan hanya pada periode
istirahat, tetapi ambulasi ulang periode (selama subjek berdiri setelah 3 minggu
imobilisasi) yang dapat berdampak secara signifikan menuju hiperkoagulabilitas.
Oleh karena itu, subjek terbaring di tempat tidur yang pulih harus disesuaikan
dengan posisi tegak, posisikan secara bertahap dan hati-hati. 31 Pada imobilisasi
terjadi beberapa hal dibawah ini :

2.5.3.1 Hilangnya volume plasma dan peningkatan viskositas darah

Diuresis yang berhubungan dengan tirah baring yang lama menyebabkan


penurunan volume plasma secara bertahap Gambar 3). Setelah satu minggu di
tempat tidur, sekitar 10% volume plasma hilang dan, setelah empat minggu,
kehilangan sekitar 15%. Pada tahap awal bedrest, total massa sel darah merah
tetap relatif konstan, tetapi hilangnya volume plasma secara progresif
meningkatkan hematokrit (volume sel darah merah yang padat), yang
meningkatkan viskositas darah.32

Gambar 5. Virchow’s triad27


21

2.5.3.2 Penurunan massa sel darah merah dan hemoglobin

Tirah baring dikaitkan dengan atrofi otot rangka, ada penurunan kebutuhan
oksigen secara bertahap. Hal ini tercermin dari berkurangnya eritropoiesis
(pembentukan eritrosit) di sumsum merah, yang akhirnya menyebabkan jumlah
eritrosit menurun, secara bertahap mengurangi massa total sel darah merah dan
jumlah total hemoglobin.32

2.5.3.3 Pengurangan transportasi oksigen

Penurunan fungsi paru-paru, volume plasma, dan jumlah eritrosit menyebabkan


penurunan saturasi oksigen arteri.Sebaliknya, konsentrasi karbon dioksida darah
meningkat. Perubahan gas darah ini dapat berdampak serius bagi banyak sistem
organ, terutama kulit. Hipoksia adalah konsentrasi oksigen yang rendah pada
tingkat sel. Banyak orang tua menunjukkan tanda-tanda setelah berada dalam
posisi telentang, bahkan untuk waktu yang singkat seperti istirahat malam.
Hipoksia dapat menyebabkan kebingungan akut dan perubahan kognisi lainnya
seperti ingatan, konsentrasi, dan penilaian yang buruk.33

2.5.3.4 Mengurangi konsumsi oksigen maksimum

Konsumsi oksigen maksimum (VO2 max) - jumlah maksimum oksigen yang


digunakan per kilogram berat badan per menit selama latihan - adalah ukuran
umum kebugaran kardiorespirasi yang baik. Pada individu sehat yang menjalani
gaya hidup tidak banyak bergerak, VO2 maks sekitar 35ml / kg / menit adalah
tipikal. Bedrest secara dramatis menurunkan VO2 max, dengan pengurangan yang
berkorelasi dengan panjang bedrest. Kehilangan sekitar 0,9% VO2 max per hari
telah dilaporkan dengan 30 hari istirahat. Pengurangan VO2 max tampaknya
terjadi tanpa memandang usia atau jenis kelamin. Mereka hampir pasti
mencerminkan efek negatif kumulatif dari tirah baring pada jantung, pembuluh
darah, otot, saluran pernapasan dan transportasi oksigen.33

2.5.3.5 Triad Virchow


22

Triad Virchow mengacu pada tiga faktor yang, jika muncul bersamaan, secara
dramatis meningkatkan risiko DVT. Bedrest yang lama mengaktifkan ketiga
faktor tersebut dan, akibatnya, hingga 13% pasien yang menjalani bedrest yang
lama dapat mengembangkan DVT. Tiga faktor dari triad Virchow (Gambar 3)
adalah:

1) Stasis vena - penurunan efisiensi pompa otot rangka (dibahas di bagian 1)


menyebabkan aliran darah yang lambat di vena tungkai bawah; di beberapa
vena, aliran darah mungkin terhenti, menyebabkan pengumpulan darah dan
stasis vena;

2) Hiperkoagulabilitas - aliran darah yang buruk dan pengumpulan darah di


vena-vena tungkai bawah menyebabkan berkurangnya pembersihan faktor
pembekuan oleh hati; ini, bersama dengan penurunan volume plasma dan
peningkatan jumlah hematokrit, meningkatkan viskositas darah;

3) Kerusakan pembuluh darah - lapisan endotel arteri dan vena hanya tebal satu
lapisan sel dan, oleh karena itu, sangat halus; ia terletak di atas lapisan
jaringan ikat kaya kolagen dan sangat halus, memastikan aliran darah bebas
dengan hambatan dan resistensi minimal; berat badan terlentang yang terus-
menerus (terutama jika pasien tidak berbalik secara teratur) menekan
pembuluh darah, yang dapat merusak endotel.33

2.5.3.5 Geriatri terhadap Hiperkoagulasi

Penyakit yang diketahui dapat mempengaruhi risiko trombosis antara lain


gagal jantung, stroke, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan diabetes
melitus. Gagal jantung kongestif telah dikaitkan dengan peningkatan risiko VT
sebesar 2,5 hingga 3,5 kali lipat.34 Faktor risiko penyakit arteri, seperti obesitas
dan sindrom metabolik terkait dengan VT.34 Pada populasi muda atau paruh baya,
obesitas, yaitu indeks massa tubuh (BMI)> 30 kg m-2 menurut definisi organisasi
23

kesehatan dunia (WHO), dikaitkan dengan 1,6‐ hingga 2,3 kali lipat. risiko VT
lebih tinggi dibandingkan dengan BMI <25 kg m − 2 . Dalam populasi lansia
(berusia 65 tahun dan lebih tua) BMI> 25 kg m-2 juga merupakan prediktor kuat
perkembangan VT setelah artroplasti pinggul total dibandingkan dengan
kelompok dengan BMI <25 kg m-2.36 Rasio pinggang-pinggul (WHR) dan lingkar
pinggang sebagian besar digunakan untuk menentukan obesitas viseral.
Peningkatan risiko 1,3 sampai 1,8 kali lipat dari trombosis telah dijelaskan dengan
membandingkan kuartil terendah dengan kuartil tertinggi WHR.

2.5.3.6 Diabetes Melitus terhadap Hiperkoagulasi

Diabetes mellitus adalah penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan


beberapa kelainan makrovaskular dan mikrovaskuler yang dapat mempengaruhi
respons tubuh kita terhadap patogen. Hubungan antara diabetes dan infeksi selalu
menjadi perhatian penting para dokter. Penyakit infeksi, terutama influenza dan
pneumonia, sangat umum terjadi pada pasien diabetes usia lanjut. Selain itu,
penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa diabetes adalah faktor risiko
morbiditas dan mortalitas beberapa infeksi virus, termasuk influenza A (H1N1)
2009, MERS-CoV, dan SARS-CoV.15-17 Namun, hubungan antara diabetes dan
prognosis COVID-19 jarang dilaporkan.37

Limfopenia sering terjadi pada pasien dengan COVID-19, tetapi


trombositopenia dan leukopenia relatif jarang. 37 Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa pasien COVID-19, terutama mereka dengan kondisi parah,
memiliki tingkat biomarker terkait inflamasi serum yang meningkat secara
signifikan, termasuk interleukin-6, protein C-reaktif, dan prokalsitonin, dan
indikator ini terkait erat dengan prognosis penyakit.37 Pada diabetes, hiperglikemia
dan resistensi insulin dapat meningkatkan sintesis berbagai sitokin proinflamasi
dan molekul adhesi, yang dapat memperburuk stres oksidatif dan peradangan
dalam tubuh. Namun, tidak jelas apakah diabetes akan semakin memperburuk
respons inflamasi pada pasien COVID-19. Untuk memperjelas pertanyaan ini,
24

data laboratorium dianalisis dalam penelitian Shang, dan hasilnya menunjukkan


bahwa pasien diabetes memiliki tingkat neutrofil, protein C-reaktif, dan
prokalsitonin yang lebih tinggi, dan tingkat limfosit yang lebih rendah
dibandingkan dengan pasien nondiabetes.37 Selain temuan laboratorium, penelitian
tersebut juga menganalisis data radiologis dan menemukan bahwa pasien diabetes
memiliki kejadian pneumonia bilateral yang lebih tinggi secara signifikan
daripada pasien non diabetes. Hasil ini menunjukkan bahwa pasien COVID-19
dengan diabetes memiliki respons inflamasi dan infiltrasi paru yang lebih parah,
yang mungkin berkontribusi pada prognosis infeksi SARS-CoV-2 yang lebih
buruk.37

D-dimer adalah produk degradasi fibrin dan merupakan salah satu penanda
utama aktivitas koagulasi.38 Konsentrasi tinggi D-dimer serum terkait erat dengan
berbagai penyakit trombotik, termasuk infark miokard, infark serebral, paru
emboli, dan trombosis vena. Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa
konsentrasi D-dimer serum pasien diabetes secara signifikan lebih tinggi daripada
pasien nondiabetes, menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan diabetes lebih
mungkin terjadi kondisi hypercoagulable prothrombotic state.37

Baik SARS-CoV dan SARS-CoV-2 berbagi enzim pengubah angiotensin


reseptor yang sama Dilaporkan bahwa enzim pengubah angiotensin 2
diekspresikan secara luas di berbagai organ, termasuk jantung, saluran
pernapasan, hati, ginjal, pankreas, dan usus, yang mungkin memberikan
penjelasan mengapa beberapa pasien COVID-19 mengalami disfungsi organ
ganda. Dalam penelitian yang dilakukan Shang, bahwa kejadian gagal napas dan
cedera jantung akut pada kelompok diabetes secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan pada kelompok nondiabetes. Hasil ini menunjukkan bahwa lebih
banyak perhatian harus diberikan pada dukungan pernapasan dan perlindungan
jantung pada pasien COVID-19 dengan diabetes.37

2.5.3.7 Hipertensi terhadap Hiperkoagulasi

Hipertensi berkontribusi secara signifikan terhadap morbiditas dan


25

mortalitas kardiovaskular di seluruh dunia. Hipertensi tampaknya memiliki


hubungan yang kompleks dengan disfungsi endotel, perubahan fenotipe dari
endotel vaskular yang mendahului perkembangan kejadian kardiovaskular yang
merugikan dan menandakan risiko kardiovaskular di masa depan.39

Varga dan rekan pertama kali melaporkan disfungsi endotel di beberapa


vascular beds pada spesimen post mortem yang diperoleh dari tiga pasien.40
Dalam rangkaian kasus 7 pasien oleh Ackerman et al, otopsi paru-paru pasien
COVID-19 menunjukkan cedera endotel yang parah dengan adanya virus
intraseluler, serta trombosis yang meluas dengan mikroangiopati.41

Lebih lanjut, peningkatan yang signifikan dari VWF dan FVIII pada
pasien COVID-19 menunjukkan aktivasi endotel pada pasien ini. Aktivasi atau
disfungsi endotel dengan COVID-19 dapat terjadi melalui berbagai mekanisme,
termasuk sitokin inflamasi yang dihasilkan di interstitium paru, aktivasi
komponen komplemen dalam darah, atau mungkin, sebagai akibat langsung dari
infeksi SARS-CoV-2 pada sel endotel melalui reseptor ACE2. Endotheliitis, pada
gilirannya, adalah cikal bakal utama trombosis. Pengamatan bahwa jenis kelamin
laki-laki, obesitas, hipertensi, dan diabetes adalah faktor prognostik yang buruk
untuk terjadinya gejala berat dengan COVID-19, lebih lanjut hal yang mendukung
teori ini karena adanya disregulasi endotel. Antibodi anti-fosfolipid (aPL)
berkontribusi pada disfungsi endotel dan aktivasi pada COVID-19 masih belum
jelas. Antibodi antikardiolipin, antibodi glikoprotein β2 dan antikoagulan lupus
positif semuanya telah dilaporkan dalam beberapa studi. Kehadiran antibodi aPL
pada populasi umum, terutama di negara bagian infeksi, adalah umum. Selain itu,
kontribusi antibodi IgA aPL, yang dilaporkan oleh Zhang et al, terhadap
trombosis masih kontroversial. Banyak tes anti-koagulan lupus sensitif terhadap
C-reactive protein (CRP), dan mengarah pada hasil positif palsu di negara bagian
di mana CRP meningkat tajam seperti COVID-19. Dengan demikian, relevansi
klinis dari temuan ini masih harus ditentukan.42

2.5.3.8 Penyakit Jantung terhadap Hiperkoagulasi


26

Pembentukan peran jalur yang mengarah pada fenotipe hiperkoagulasi yang


diwariskan pada gangguan multifaktorial seperti penyakit kardiovaskular
dipersulit oleh ketidakmampuan untuk secara memadai membedakan kebutuhan
dan kecukupan mediator hiperkoagulasi yang diusulkan Hiperhomosisteinemia
adalah contoh kondisi yang sedang dihadapi. Peningkatan kadar homosistein
menimbulkan banyak efek vasotoksik pada endotel, yang menyebabkan disfungsi
sel endotel, aktivasi trombosit, dan pembentukan trombus dan peningkatan risiko
kejadian trombotik. Mutasi titik C677T dalam wilayah pengkodean gen
methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) adalah penyebab genetik
hiperhomosisteinemia yang paling umum, dengan homozigot untuk alel 677T
menunjukkan peningkatan serum homosistein ringan hingga sedang dan
kecenderungan yang berbeda-beda untuk gejala trombosis arteri. Namun,
meskipun penelitian menunjukkan hubungan yang jelas antara 677TT genotipe
dan hiperhomosisteinemia (gene-intermediate fenotipe asosiasi), dan penelitian
lain yang menunjukkan hubungan antara hiperhomosisteinemia dan trombosis
arteri (asosiasi fenotipe-penyakit menengah), penelitian mencoba untuk
membangun hubungan konklusif antara genotipe dan penyakit klinis (asosiasi
penyakit genotipe) telah menghasilkan hasil yang bertentangan. Selain itu,
penurunan kadar homosistein plasma telah gagal mengurangi kejadian iskemik.
Oleh karena itu tidak pasti apakah hiperhomosisteinemia memainkan peran
penyebab atau hanya epiphenomenon atau biomarker nonfungsional di antara
individu yang berisiko untuk atherothrombosis dan kejadian terkait. Pengamatan
ini menggambarkan beberapa tantangan utama dalam menentukan relevansi
biologis dan klinis dari varian gen hiperkoagulasi yang diduga.43

2.6. D Dimer Sebagai Prediktor Kematian Pasien Covid 19

Pasien COVID-19 yang disertai dengan peningkatan D-dimer saat masuk


merupakan hal yang umum terjadi dan dikaitkan dengan tingkat keparahan dan
tingkat mortalitas di rumah sakit. D-dimer adalah salah satu fragmen yang
dihasilkan saat plasmin membelah fibrin untuk memecah gumpalan. Pemeriksaan
27

tersebut digunakan secara rutin sebagai bagian dari algoritme diagnostik untuk
mengecualikan diagnosis trombosis. Namun, kondisi patologis atau proses non-
patologis yang meningkatkan produksi fibrin atau kerusakan juga meningkatkan
kadar D-dimer plasma, contohnya termasuk trombosis vena dalam atau emboli
paru, trombosis arteri, diseminata koagulasi intravaskular, dan kondisi pada
kehamilan, peradangan, kanker, penyakit hati kronis, status pasca trauma dan
pembedahan, dan vaskulitis. Di antara orang dewasa yang dirawat di ruang gawat
darurat, yang paling umum adalah infeksi yang menyebabkan terjadinya
peningkatan D-dimer. 17

Peningkatan D-dimer menunjukkan keadaan hiperkoagulasi pada pasien


dengan Covid-19, yang mungkin disebabkan beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, infeksi virus biasanya disertai dengan respon pro-inflamasi yang agresif
dan kontrol yang tidak memadai dari respon anti-inflamasi. Ini mungkin
menyebabkan disfungsi sel endotel, mengakibatkan kelebihan trombin generasi. 35
Kedua, hipoksia yang ditemukan pada Covid-19 derajat berat dapat merangsang
trombosis tidak hanya melalui peningkatan viskositas darah, tetapi juga faktor
transkripsi yang diinduksi jalur pensinyalan hipoksia.36 Ketiga, pasien rawat inap,
terutama pasien derajat berat dengan Covid-19, geriatri, penyakit penyerta, tirah
baring lama dan tindakan pengobatan dkk., yang semuanya merupakan faktor
risiko hiperkoagulasi atau trombosis.44,45, Keempat, beberapa pasien mungkin
berkembang menjadi koagulopati yang diinduksi sepsis.46,47

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kadar D-dimer terkait


dengan tingkat keparahan pneumonia yang didapat dari komunitas dan hasil
klinis. Namun, D dimer belum digunakan sebagai penanda biologis untuk virus
pneumonia. Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa pengujian tersebut
mungkin digunakan lebih awal sebagai penanda tingkat keparahan sebelum CT
scan thorax atau sebagai pelengkap CT dan pementasan klinis.17

2.7. Premis dan Hipotesis

Berdasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, dapat diambil premis-


28

premis sebagai berikut :

Premis 1 : Peningkatan kadar koagulasi pada dapat dihubungkan dengan pat


ogenesis dari infeksi virus corona.13
Premis 2 : Infeksi virus ini menjadi penyebab peningkatan kadar D- dimer k
arena aktivitas berlebihan dari proses koagulasi. Infeksi ini juga
menyebabkan gangguan pada respons sistem inflamasi dan meng
akibatkan ketidakseimbangan pada mekanisme hemostasis proko
agulan dan antikoagulan.14
Premis 3 : Hiperkoagulasi intravaskular mengakibatkan deposisi pada fibri

n. Kristal fibrin tersebut akhirnya akan pecah karena proses fibrin

olisis yang menyebabkan peningkatan kadar D-dimer dan FDPs.

Hiperkoagulasi tersebut dapat menyebabkan mikrotrombus ke or

gan, mengganggu perfusi organ14


Premis 5 : Mortalitas pada pasien sepsis berkaitan erat dengan multiple orga

n dysfunction syndrome (MODS).37


Premis 6 : Pembentukan trombus meningkat dalam kondisi hipoksia pada he

wan dan populasi manusia. Respon vaskular terhadap hipoksia ter

utama dikontrol oleh Hypoxia-Inducible Transcription Factors (HI

Fs) yang merupakan termasuk gen target yang meregulasi terbentu

knya thrombus.,28,29
Premis 7 : Peningkatan nilai morfologi PDW memiliki hubungan yang signifi

kan terhadap angka mortalitas 28 hari pada pasien sepsis.26


Premis 8 : Peningkatan D-dimer menunjukkan keadaan hiperkoagulasi pada

pasien dengan Covid-19, yang mungkin disebabkan adanya infeks

i virus biasanya disertai dengan respon pro-inflamasi yang agresif

dan kontrol yang tidak memadai dari respon anti-inflamasi. Hal ini

menyebabkan disfungsi sel endotel, mengakibatkan kelebihan tro

mbin generasi.35
29

Premis 9 : Hipoksia yang ditemukan pada Covid-19 derajat berat dapat mera

ngsang trombosis tidak hanya melalui peningkatan viskositas dara

h, tetapi juga faktor transkripsi yang diinduksi jalur pensinyalan hi

poksia.36

Berdasarkan premis-premis diatas dapat dibentuk suatu hipotesis sebagai berikut :

Hipotesis alternatif (Ha): Ada korelasi peningkatan D-dimer dengan mortalita

s pasien Covid-19 yang di rawat di Unit Perawatan

Intensif RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.


Hipotesis nul (H0) : Tidak ada korelasi peningkatan D-dimer dengan mo

rtalitas pasien Covid-19 yang di rawat di Unit Pera

watan Intensif RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palem

bang.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penilitian ini adalah sebuah studi sentra tunggal retrospektif dengan menggunakan
instrumen rekam medis.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di ICU COVID-19 RSUP Dr. Mohammad Hoesin P
alembang dan Instalasi Rekam Medik RSMH Palembang, mulai dari awal perawat
30

an selama periode April 2020 – Maret 2021.

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target adalah semua pasien dewasa COVID-19. Populasi terjangkau
adalah pasien dewasa yang dirawat di ICU COVID-19 RSUP. Dr. Moh. Hoesin P
alembang dalam periode penelitian.

3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi
3.3.2.1 Kriteria Inklusi
 Berusia > 18 tahun
 Terdiagnosis menderita COVID-19
3.3.2.2 Kriteria Eksklusi
 Pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap
3.3.2.3 Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan metode total sampling, di mana semua pasien yang
yang dirawat di ICU COVID-19 selama periode penelitian dalam periode
penelitian akan diambil datanya.
3.3.2.4 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan subjek dilakukan secara total sampling. Semua pasien yang yang
dirawat di ICU COVID-19 dalam periode penelitian akan diambil datanya.
Pengambilan data akan dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadap pasien
maupun terhadap alur pelayanan pasien.
Populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
eksklusi akan diambil datanya dan data akan dilaporkan seluruhnya. Data akan
dikumpulkan menggunakan google forms.

3.4 Variabel Peneliti


Variabel independen penelitian ini antara lain meliputi:
31

1. Karakteristik:
1) Parameter demografis: Nama, usia, jenis kelamin, BB, TB, IMT, peker
jaan, pendidikan, status merokok, dan komorbiditas
2) Parameter respirasi: laju napas, SpO2, suhu tubuh, dan analisis gas dara
h (pH, PaCO2, PaO2, HCO3, BE, SaO2, PFR)
3) Parameter hemodinamik: Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastol
ik, MAP, CVP, HR, produksi urin, dan balans kumulatif
4) Parameter neurologis: kesadaran / GCS
5) Parameter hematologi: D-dimer hari pertama dan D-dimer hari terakhir
Variable dependen dari penelitian ini adalah keluaran:
1. Lama rawatan ICU
2. Morbiditas
3. Mortalitas
32

3.5 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Cara dan Hasil Ukur Skala
alat Ukur
1 Inisial Nama Tiga huruf pertama Observasi Tiga huruf inisial
nama pertama data rekam nama
medis
2 Usia Usia pada saat pasien Observasi Usia dalam tahun Numerik
menjalani prosedur data rekam
operasi dihitung medis
berdasarkan tanggal
lahir
3 BB Berat badan pasien Observasi Berat badan dalam Numerik
data rekam kilogram
medis
4 TB Tinggi badan pasien Observasi Tinggi badan dalam Numerik
data rekam cm
medis
5 IMT Indeks massa tubuh Observasi Indeks massa tubuh Numerik
pasien yang diukur data rekam dalam kg/m2
dengan membagi BB medis
dalam kilogram
dengan kuadrat TB
dalam meter
6 Jenis Kelamin Jenis kelamin pasien Observasi 0 = Laki-laki Kategorik
yang tercatat di reka data rekam 1 = Perempuan
m medis medis
7 Pekerjaan Pekerjaan pasien saat Observasi
ini yang tercatat di data rekam
rekam medis medis
8 Pendidikan Pendidikan terakhir pa Observasi 0 = Tidak sekolah Kategorik
sien yang tercatat di re data rekam 1 = SD
kam medis medis 2 = SMP
3 = SMA
4 = S1
5 = lainnya
9 Perokok Status perokok pasien Observasi 0 = Tidak merokok Kategorik
saat ini data rekam 1 = Riwayat merokok
medis 2 = Perokok aktif
10 Komorbiditas Derajat penyakit yang Observasi 0 = Skor 0 Ordinal
pernah diderita pasien data rekam 1 = Skor 1-2
dihitung berdasarkan s medis 2 = Skor 3-4
kor Charlson dkk 3 = Skor >5
11 Diagnosis Klasifikasi diagnosis Observasi 0 = surgikal Kategorik
berdasarkan perlunya data rekam 1 = medikal
intervensi pembedahan medis
atau tidak
12 Tekanan Tekanan darah sistolik Observasi Tekanan darah Numerik
Darah Sistolik yang terukur selama pe data rekam sistolik dalam mmHg
rawatan pasien di ICU medis
13 Tekanan Tekanan darah diastoli Observasi Tekanan darah Numerik
Darah k yang terukur s data rekam diastolik dalam
Diastolik medis mmHg
14 MAP Penjumlahan dua kali t Observasi Tekanan arteri rerata Numerik
ekanan darah diastolik data rekam dalam mmHg
33

ditambah tekanan dara medis


h sistolik lalu dibagi ti
ga
15 CVP Tekanan vena sentral Observasi Tekanan vena sentral Numerik
pada pasien COVID-1 data rekam dalam mmHg
9 medis
16 HR Pengukuran denyut jan Observasi Laju jantung dalam Numerik
tung yang diukur deng data rekam kali/menit
an menggunakan moni medis
tor
17 Kesadaran Tingkat kesadaran ber Observasi Skor GCS Numerik
dasarkan GCS data rekam
medis
18 Laju Napas Laju napas pasien yan Observasi Laju napas dalam Numerik
g diukur menggunakan data rekam kali/menit
monitor medis
19 SpO2 Saturasi oksigen yang Observasi Saturasi oksigen Numerik
diukur dengan menggu data rekam dalam %
nakan pulse oximetry medis
20 Suhu Tubuh Suhu tubuh pasien yan Observasi Suhu tubuh dalam oC Numerik
g diukur dengan meng data rekam
gunakan monitor medis
21 Produksi Urin Produksi urine yang te Observasi Produksi urin dalam Numerik
rukur dalam urine bag data rekam cc/kgBB/jam
dan dicatat dalam reka medis
m medis
22 Balans cairan Jumlah intake cairan di Observasi ml Numerik
harian kurangi output cairan p data rekam
erhari medis
23 D dimer Pemeriksaan nilai D-di Observasi ng/ml Numerik
mer pada darah untuk data rekam
memeriksa kejadian th medis
rombosis dalam darah
24 Pemeriksaan Pemeriksaan yang dila Observasi 1 = swab test Kategorik
COVID-19 kukan untuk diagnosis data rekam 2 = rapid test
COVID-19 medis (antigen/antibodi)
3 = rCT scan Thorax
4 = Rontgen Thorax
5 = anamnesis
pemeriksaan fisik
25 Status Status COVID-19 pasi Observasi 0 = negatif Kategorik
COVID-19 en dari hasil pemeriksa data rekam 1 = probable
an medis 2 = positif
26 Skor SOFA Sistem penilaian kerus Observasi Dalam skor Numerik
saat masuk akan organ pada sepsis data rekam
berdasarkan pemeriksa medis
an klinis dan data labor
atorium
27 Klasifikasi Klasifikasi COVID-19 Observasi 1 = berat Kategorik
Diagnosis berdasarkan beratnya k data rekam 2 = kritis
COVID-19 asus pada saat masuk I medis
CU
Berat
Pasien dewasa : tanda
klinis pneumonia (dem
34

am, batuk, sesak, napa


s cepat) ditambah satu
dari : RR >30x/menit,
distress pernapasan ber
at atau SpO2 <93% ud
ara ruangan
Atau
Anak : klinis pneumon
ia (batuk atau kesulitan
bernapas) ditambah set
idak satu dari
 Sianosis sentral a
tau SpO2 <93 %
 Distres napas ber
at (napas cepat, g
runting, tarikan d
inding dada sang
at berat)
 Tandah bahaya u
mum: tidak mam
pu menyusui ata
u minum, letargi
atau penurunan k
esadaran atau kej
ang
 Napas cepat/tarik
an dinding dada/t
akipnea sesuai us
ia
Kritis : pasien denga
n ARDS, sepsis dan s
yok sepsis
28 Lama rawatan Hari perawatan dari ha Observasi Hari Numerik
ICU ri pertama hingga pasi data rekam
en pindah ruangan atau medis
meninggal
29 Lama Lama penggunaan vent Observasi Hari Numerik
ventilasi ilasi mekanis pasien se data rekam
mekanis lama perawatan di ICU medis
30 Morbiditas Morbiditas pasien CO Observasi 0 = Tidak Kategorik
VID-19 setelah perawa data rekam 1 = Ya
tan di ICU seperti men medis
galami dependen HD,
komplikasi ventilasi m
ekanis seperti pneumot
horaks spontan, emfise
ma, dll
31 Mortalitas Mortalitas pasien COV Observasi 0= Tidak meninggal Kategorik
ID-19 selama perawata data rekam 1= Meninggal
n ICU medis

3.6 Metode Pengumpulan Data Penelitian


1. Peneliti mengajukan permohonan kaji etik oleh Komite Etik Penelitian Ke
35

sehatan Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Hoesin, Palembang, Indon


esia

2. Pengurusan izin lokasi penelitian di RSMH

3. Pengambilan data rekam medis pasien yang meliputi:

1) Karakteristik pasien
2) Kadar D-dimer hari pertama perawatan
3) Kadar D-dimer hari terakhir perawatan
4) Keluaran pasien
4. Untuk penelitian ini, diagnosis SARS-CoV-2 dapat dilakukan dengan sala
h satu atau lebih metode berikut:

1) RT-PCR swab positif.

2) Uji antibodi positif.

3) Uji antigen positif

4) CT thorax positif.

5) Diagnosis klinis SARS-CoV-2 (tanpa adanya hasil swab negatif). Diag


nosis ini harus dibuat pada saat pasien menunjukkan gejala yang meng
arah ke infeksi SARS-CoV-2 oleh tenaga kesehatan. Foto thorax dapat
digunakan sebagai bagian dari diagnosis klinis.

6) Semua data yang dikumpulkan dicatat menggunakan Microsoft Excel

3.7 Pengolahan dan Penyajian Data


Cara pengolahan dan analisis data penelitian dengan program SPSS ver

22.0. Data karakteristik dasar akan di tampilkan sesuai dengan jenis variabel yang

ditentukan. Variabel numerik dengan sebaran normal akan di tampilkan dalam

bentuk rerata standar deviasi atau median (minimum-maksimum) jika distribusi


36

tidak normal. Variabel kategorik akan ditampilkan dalam bentuk persentasi

(jumlah).

Sebelum dilakukan analisis untuk menilai korelasi antara nilai D-Dimer dan

mortalitas pasien COVID-19, dilakukan uji normalitas terlebih dahulu untuk

mengetahui sebaran data tiap kelompok apakah sebaran data normal atau tidak.

Jika sebaran data normal dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji t

tidak berpasangan. Jika sebaran data tidak normal dilakukan uji Mann Whitney.

Untuk menilai korelasi nilai D-Dimer dengan angka mortalitas pasien COVI

D yaitu korelasi antara data numerik dengan data nominal maka dilakukan dengan

uji korelasi Eta. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, arah

korelasi, dan nilai p yaitu kekuatan korelasi (r) berdasarkan kriteria Guillford

(1956) yaitu 0,0 -<0,2 = sangat lemah; 0,2 - <0,4 = lemah; 0,4 -<0,7 = sedang; 0,7

- <0,9 = kuat; 0,9 -1,0 = sangat kuat. Arah korelasi positif searah berarti semakin

besar nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya. Arah korelasi

negatif berlawanan arah berarti semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil

nilai variabel lainnya.

Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p, dimana apabila nilai p ≤

0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistik, dan nilai p>0,05 tidak

signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Nilai p<0,05: terdapat korelasi

yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Nilai p>0,05; tidak terdapat

korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

Penyajian analisis data deskriptif dengan cara menggunakan data numerik


37

disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi, dan data kategori disajikan dalam

bentuk tabel, grafik, proporsi atau persentase, sedangkan nilai diagnostik D-Dime

r disajikan dalam bentuk kurva dan nilai titik potong yang digunakan sebagai

prediktor mortalitas.

3.8 Kerangka Operasional

Pengajuan etik penelitian ke Komite


Etik Penelitian Kesehatan RSMH dan
FK Unsri

Pengurusan izin lokasi penelitian di R


SMH

Pengambilan data dari populasi terjangkau yang


memenuhi kriteria penerimaan dan tidak memenu
hi kriteria penolakan

Mengunggah data penelitian ke Microsoft Excel

3.9 Jadwal Penelitian


2021
No Kegiatan
3 4 5 6 7 8 9 10
2 Proposal
3 Kaji Etik
Pengumpulan Data
4
Pengolahan dan
5
analisis data Data
Pelaporan hasil dan
6
publikasi
38
39

DAFTAR PUSTAKA

1. Zhang, L., Yan, X., Fan, Q., Liu, H., Liu, X., Liu, Z., & Zhang, Z. D ‐dimer
levels on admission to predict in‐hospital mortality in patients with Covid‐19.
Journal of Thrombosis and Haemostasis. 2020.
2. World Health Organization. WHO Coronavirus Disease (COVID-19)
Dashboard [Internet]. [Data last updated: 20 November 2020, 3:51 pm] .
Available from : https://covid19.who.int/
3. Yuki K, Fujiogi M, Koutsogiannaki S. COVID-19 pathophysiology: a review.
Elsevier Public Health Emergency Collection. Harvard Medical School :
United States Of America, 2020.
4. Long, H., Nie, L., Xiang, X., Li, H., Zhang, X., Fu, X., Wu, Q. D-Dimer and
Prothrombin Time Are the Significant Indicators of Severe COVID-19 and
Poor Prognosis. BioMed Research International, 2020, 1–10.
5. Marco, R., Ballotta, A., Dedda, U., et al. The Procoagulant Pattern of Patients
with COVID-19 Acute Respitatory Distress Syndrome. 2020
6. Begbie M, Notley C, Tinlin S, Sawyer L, Lillicrap D. The factor VIII acute
phase response requires the participation of NFκB and C/EBP. Thromb
Haemost. 2000;84:216–22.
7. Magro C, Mulvey JJ, Berlin D, Nuovo G, Salvatore S, Harp J, et al. Complement
associated microvascular injury and thrombosis in the pathogenesis of severe
COVID-19 infection: a report of five cases. Transl Res. 2020;220:1–13.
8. Huertas A, Montani D, Savale L, et al. Endothelial cell dysfunction: a major
player in SARS-CoV-2 infection (COVID-19)? Eur Respir J 2020; 56:
2001634
9. Vidali S, Morosetti D, Cossu1 E, et al. D-dimer as an indicator of prognosis in
SARS-CoV-2 infection: a systematic review. ERJ Open Res 2020; 6: 00260-
2020
10. Soni, M., Gopalakrishnan, R., Vaishya R., Prabu, P. D-dimer level is a useful
predictor for mortality in patients with COVID-19: Analysis of483 cases.
2020
11. Gungor, B., Atici, A.. Baycan, O., et al. Elevated D-dimer levels on admission
are associated with severity and increased risk of mortality in COVID-19: A
systematic review and meta-analysis. American Journal of Emergency
Medicine. 2020.
12. Huertas A, Montani D, Savale L, et al. Endothelial cell dysfunction: a major
player in SARS-CoV-2 infection (COVID-19)? Eur Respir J 2020; 56:
2001634
40

13. Gralinski, L. E., Iii, A. B., & Jeng, S. (2013). Mechanisms of Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-. MBio, 4(4)
14. HayıroğluM.I.,Cinar T, Tekkesin A.I (2020). Fibrinogen and D-dimer
variances and anticoagulation recommendations in Covid-19: current literature
review. Revista Da Associacao Medica Brasileira, 66(6), 842–848.
https://doi.org/10.1590/1806-9282.66.6.842
15. Zaimy S, Chong JH, et al. COVID-19 and Multi Organ Response. Curr Probl
Cardiol, 00 2020.
16. Sukrisman L. Dapatkah D-dimer Digunakan sebagai Penanda Koagulasi pada
Kanker. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia.Vol. 7. No. 1. Maret 2020
17. Aggarwal1 M, Dass J, Mahapatra M. Hemostatic Abnormalities in COVID-
19: An Update. Indian J Hematol Blood Transfus (Oct-Dec 2020) 36(4):616–
626
18. Huang C, Wang Y, et al. Clinical features of patients infected with 2019 novel
coronavirus in Wuhan, China. Lancet. 2020;395: 497–506.
19. H. Shi, X. Han, et al. Radiological findings from 81 patients with COVID-19
pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study, Lancet Infect Dis. 2020; 20 :
425–434.
20. Wang D., Hu B., Hu C. Clinical characteristics of 138 hospitalized patients
with 2019 novel coronavirus-infected pneumonia in Wuhan, China [published
online ahead of print, 2020 Feb 7] JAMA. 2020 doi: 10.1001/jama.2020.1585.
21. Hu H., Ma F., Wei X., Fang Y. Coronavirus fulminant myocarditis saved with
glucocorticoid and human immunoglobulin [published online ahead of print,
2020 Mar 16] Eur Heart J. 2020 doi: 10.1093/eurheartj/ehaa190. ehaa190.
22. Zeng J.H., Liu Y.X., Yuan J. First case of COVID-19 complicated with
fulminant myocarditis: a case report and insights [published online ahead of
print, 2020 Apr 10] Infection. 2020 doi: 10.1007/s15010-020-01424-5.
23. Wong S.H., Lui R.N., Sung J.J. Covid-19 and the digestive system [published
online ahead of print, 2020 Mar 25] J Gastroenterol Hepatol. 2020 doi:
10.1111/jgh.15047
24. Holshue M.L., DeBolt C., Lindquist S. First case of 2019 novel coronavirus in
the United States. N Engl J Med. 2020;382:929–936. doi:
10.1056/NEJMoa2001191
25. Mao L., Wang M.D., Chen S.H. Neurological manifestation of hospitalized
patients with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective case series study.
medRxiv. 2020 doi: 10.1101/2020.02.22.20026500.
26. Li Y.C., Bai W.Z., Hashikawa T. The neuroinvasive potential of SARS-CoV2
may play a role in the respiratory failure of COVID-19 patients [published
online ahead of print, 2020 Feb 27] J Med Virol. 2020 doi:
10.1002/jmv.25728
41

27. Sahin AR, Erdogan A, et al. 2019 Novel Virus corona (COVID-19) Outbreak:
A Review of the Current Literature. Turkey : Eurasian Journal of Medicine
and Oncology. 2020;4(1):1–7.
28. Guo YR, Cao QD, et al. The origin, transmission and clinical therapies on
virus corona disease 2019 (COVID-19) outbreak - an update on the status. Mil
Med Res. 2020;7(1):11
29. Li W, Moore MJ, Vasilieva N, et al. Angiotensin-converting enzyme 2 is a
functional receptor for the SARS coronavirus. Nature 2003; 426: 450–454.
30. F. Yan, N. Mackman, W. Kisiel, D.M. Stern, D.J. Pinsky,
Hypoxia/hypoxemia-induced activation of the procoagulant pathways and the
pathogenesis of ischemiaassociated thrombosis, Arterioscler. Thromb. Vasc.
Biol. 19 (9) (1999) 2029–2035.
31. H. Liao, M.C. Hyman, D.A. Lawrence, D.J. Pinsky, Molecular regulation of
the PAI-1 gene by hypoxia: contributions of Egr-1, HIF-1alpha, and
C/EBPalpha, FASEB J. 21 (3) (2007) 935–949.
32. Koyama K, Madoiwa S, Nunomiya S, Koinuma T, Wada M, Sakata A, et al.
Combination of thrombin‐antithrombin complex, plasminogen activator
inhibitor‐1, and protein C activity for early identification of severe
coagulopathy in initial phase of sepsis: a prospective observational study. Crit
Care. 2014;18:R13.
33. Waha, J. E., Goswami, N., Schlagenhauf, A., Leschnik, B., Koestenberger,
M., Reibnegger, G., … Cvirn, G. (2015). Effects of Exercise and Nutrition on
the Coagulation System During Bedrest Immobilization. Medicine, 94(38),
e1555. doi:10.1097/md.0000000000001555
34. Kaplan RJ (ed) (2006) Physical Medicine and Rehabilitation Review. London:
McGraw-Hill Medical Publishing.
35. Knight J et al (2018) Effects of bedrest 2: respiratory and haematological
systems. Nursing Times [online]; 115: 1, 44-47.
36. Howell MD, Geraci JM, Knowlton AA. Congestive heart failure and
outpatient risk of venous thromboembolism: a retrospective, case‐control
study. J Clin Epidemiol 2001; 54: 810–6.
37. Shang, J., Wang, Q., Zhang, H., Wang, X., Wan, J., Yan, Y., … Lin, J. (2020).
The Relationship between Diabetes Mellitus and COVID-19 Prognosis: A
Retrospective Cohort Study in Wuhan, China. The American Journal of
Medicine. doi:10.1016/j.amjmed.2020.05.033
42

38. Le Gal G, Righini M, Wells PS. D-dimer for pulmonary embolism. JAMA
2015;313(16):1668–9.
39. Dharmashankar, K., & Widlansky, M. E. (2010). Vascular Endothelial
Function and Hypertension: Insights and Directions. Current Hypertension
Reports, 12(6), 448–455. doi:10.1007/s11906-010-0150-2
40. Varga Z. Endothelial cell infection and endotheliitis in COVID-19. Lancet.
2020;395(10234):1417–1418.
41. Ackermann M. Pulmonary vascular endothelialitis, thrombosis, and
angiogenesis in Covid-19. N. Engl. J. Med. 2020 doi:
10.1056/NEJMoa2015432. In press.
42. Abou-Ismail, M. Y., Diamond, A., Kapoor, S., Arafah, Y., & Nayak, L.
(2020). The hypercoagulable state in COVID-19: Incidence, pathophysiology,
and management. Thrombosis Research. doi:10.1016/j.thromres.2020.06.029
43. Chan, M. Y., Andreotti, F., & Becker, R. C. (2008). Hypercoagulable States in
Cardiovascular Disease. Circulation, 118(22), 2286–2297.
doi:10.1161/circulationaha.108.778837
44. Levi M, van der Poll T. Coagulation and sepsis. Thrombosis research. 2017;
149: 38-44. 10.1016/j.thromres.2016.11.007.
45. Gupta N, Zhao YY, Evans CE. The stimulation of thrombosis by hypoxia.
Thrombosis research. 2019; 181: 77-83. 10.1016/j.thromres.2019.07.013.
46. Barbar S, Noventa F, Rossetto V, Ferrari A, Brandolin B, Perlati M, De Bon
E, Tormene D, Pagnan A, Prandoni P. A risk assessment model for the
identification of hospitalized medical patients at risk for venous
thromboembolism: the Padua Prediction Score. Journal of thrombosis and
haemostasis : JTH. 2010; 8: 2450-7. 10.1111/j.1538-7836.2010.04044.x.
47. Harper PL, Theakston E, Ahmed J, Ockelford P. D-dimer concentration
increases with age reducing the clinical value of the D-dimer assay in the
elderly. Intern Med J. 2007; 37: 607-13. 10.1111/j.1445-5994.2007.01388.x.
48. Tang N, Li D, Wang X, Sun Z. Abnormal coagulation parameters are
associated with poor prognosis in patients with novel coronavirus pneumonia.
Journal of thrombosis and haemostasis : JTH. 2020; 18: 844-7.
10.1111/jth.14768.
49. Iba T, Levy JH, Warkentin TE, Thachil J, van der Poll T, Levi M, Scientific,
Standardization Committee on DIC, the S, Standardization Committee on P,
Critical Care of the International Society on T, Haemostasis. Diagnosis and
management of sepsis-induced coagulopathy and disseminated intravascular
coagulation. Journal of thrombosis and haemostasis : JTH. 2019; 17: 1989-94.
10.1111/jth.14578.
43

Anda mungkin juga menyukai