Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi Diabetes melitus
Diabetes adalah suatu penyakit kronis yang terjadi akibat kurangnya produksi
insulin oleh pankreas atau keadaan dimana tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang diproduksi dengan efektif. Hiperglikemia atau peninggian kadar gula
darah adalah suatu efek yang sering dijumpai pada diabetes yang tidak terkontrol
dan jika dibiarkan, dalam jangka masa panjang dapat menyebabkan kerusakan
pelbagai sistem tubuh terutama sistem persarafan dan pembuluh darah (WHO,
2006).
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, k erja insulin, atau
kedua-duanya (ADA, 2010).
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan kelainan metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang disebabkan oleh karena adanya defisiensi insulin
baik relatif maupun absolut. (Colledge et al, 2006).
Berdasarkan kriteria diagnostik PERKENI ( Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) tahun 2011, seseorang dikatakan menderita diabetes jika ada gejala
diabetes melitus dengan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau adanya gejala
klasik diabetes melitus dengan kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau
kadar gula plasma 2 jam pada tes tolerans i glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL
(PERKENI, 2011).
Dari berbagai definisi yang disebutkan, dapat disimpulkan bahwa diabetes
melitus adalah suatu penyakit metabolisme kronis yang disebabkan adanya
kelainan dari produksi, sekresi dan kerja insulin yang ditandai dengan dengan
peninggian kadar glukosa darah (hiperglikemia). Seseorang dikatakan menderita
diabetes jika memiliki kadar glukosa darah ≥ 126 mg/dL dan ≥ 200 mg/dL pada
tes glukosa darah sewaktu.

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Klasifikasi etiologik diabetes melitus menurut American Diabetes Association,
2007 :
Tabel 2.1. Klasifikasi etiologi Diabetes Melitus
Tipe Diabetes Melitus Keterangan
Tipe 1 Tipe diabetes dengan defisiensi insulin
absolut akibat kerusakan sel -sel β
pankreas. Umumnya disebabkan :
1) Proses autoimun
2) idiopatik

Tipe 2 Mulai dari yang predominan resistensi


insulin dengan defisiensi insulin relatif
sampai yang dominan defek sekresi
insulin dengan resistensi insulin.

Tipe lain  Defek genetik fungsi sel beta


 Defek genetik kerja insulin
 Penyakit eksokrin pankreas
 Endokrinopati
 Karena obatan atau zat kimia
 Infeksi
 Imunologi
 Sindroma genetik lain yang
berhubungan dengan diabetes
melitus
Diabetes melitus gestational Diabetes semasa kehamilan
Sumber : Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17 th edition, 2008
2.1. 3 Faktor resiko diabetes melitus tipe 2
Faktor-faktor resiko berhubungan dengan terjadinya diabetes melitus dapat dibagi
menjadi dua (WHO,2006), yaitu, :

a) Faktor resiko yang tidak dapat diubah (non -modifiable) :


 Usia.
Resistensi insulin lebih cenderung terjadi seiring pertambahan usia.
 Ras atau latar belakang etnis
Resiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam,
penduduk asli Hawaii. Hal ini disebabkan oleh nilai rata -rata tekanan
darah yang lebih tinggi, obesitas, dan pengaruh gaya hidup yang
kurang sehat.
 Riwayat penyakit diabetes melitus dalam keluarga
Seseorang dengan ahli keluarga yang menderita deabet es melitus
mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita penyakit yang
sama ini dikarenakan gen penyebab diabetes melitus dapat diw arisi
orang tua kepada anaknya (Colledge et al, 2006)

b) Faktor resiko yang dapat diubah (modifiable) :


 Obesitas
 Gaya hidup
 Hipertensi
 Kadar glukosa darah

2.1.4 Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2


Resistensi insulin, gangguan sekresi insulin dan abnormalitas metabolik menjadi
kunci dari perkembangan penyakit diabetes m elitus tipe 2. Pada tahap awal,
toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel beta pankreas mengkompensasi
dengan meningkatkan produksi insulin. Seiring dengan meningkatnya resistensi
insulin, sel beta pankreas tidak lagi dapat memperta hankan kondisi
hiperinsulinemia (Colledge et al, 2006). Akibatnya, terjadi gangguan toleransi
glukosa yang ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial (Marieb et al,
2004). Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hati yang
terus menerus, akan berlanjut pada diabetes dan disertai dengan peningkatan kadar
glukosa darah puasa (Conroy et al, 2010).

Gambar 2.1. Regulasi kadar gula darah


Sumber : Human anatomy & physiology 7 th ed.,2007.
Gambar 2.2. Patogenesis diabetes melitus tipe 2
Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, 2000; Stefan Silbernagl & Flor ian lang

Resistensi Insulin
Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target
terutama otot rangka dan hepar merupakan gambaran utama diabetes melitus tipe
2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan obesitas. Mekanism e pasti
mengenai resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui.
(Colledge et al.,2006)
Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka
merupakan efek sekunder hiperinsulinemia. Mekanisme resistensi insulin
umumnya terjadi akibat gangguan persinyalan post-receptor (PI-3-kinase) yang
mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma.
(Harrison, 2008). Terdapat tiga hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait
obesitas, yaitu :

 Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid)


Peningkatan trigliserida interselular dan produk metabolisme asam lemak
menurunkan efek insulin yang berlanjut pada resistensi insulin.
 Adipokin
Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin, sedangkan resistin
meningkatkan resistensi terhadap insulin.

 PPARγ (peroxisome proliferator-activated receptor gamma ) dan TZD


(thiazolidinediones).
PPARγ merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan kepekaan insulin
sedangkan TZD merupakan zat antioksidan yang mampu berikatan dengan
PPARγ sehingga dapat menurunkan resistensi insulin.

Gambar 2.3. Mekanisme resistensi insulin


Sumber : Lippincott Williams & Wilkins; Obesity, Mechanisms and Clinical
Management, 2003
Gangguan Sekresi Insulin
Pada diabetes melitus tipe 2, se kresi insulin meningkat sebagai respons terhadap
resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa. Namun, kelamaan sel
beta pankreas menjadi lelah dan dan hal ini memicu terjadinya kegagalan fungsi
sel beta. Pulau polipeptida amiloid atau amylin y ang disekresikan oleh sel beta
akan membentuk deposit amiloid fibrilar. Deposit ini dapat ditemukan pada
pasien yang telah lama menderita diabetes melitus tipe 2. (Harrison , 2008).

Abnormalitas Metabolik
Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin
menurun, sedangkan kadar hepatic glucose output bertambah. Seiring dengan
peningkatan kadar glukosa darah, akan terjadi akumulasi lipid dalam serat otot
rangka, yang mengganggu fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP
mitokondria. Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga
terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit. (Porth
dan Martin, 2008.)
Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada penyakit
perlemakan hati non-alkoholik dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu, keadaan
tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita diabetes melitus tipe 2,
yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL.
(Powers et al, 2008)
Gambar 2.4. Efek insulin pada metabolisme glukosa, asam lemak, dan
protein.
Sumber : Pathophysiology: Concepts of Altered Health Sta tes, 8th ed., 2008

2.1.5 Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011,
WHO, 2006, ADA,2011) , yaitu :

 Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma


sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes
melitus.
 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
 Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO sensitif dan spesifik
dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan
ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTG O sulit untuk dilakukan berulang-
ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.
Tabel 2.2. Kriteria diagnostik diabetes mellitus
Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir)
ATAU
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L)
(Puasa diartikan pasien tidak menda pat kalori tambahan sedikitnya 8 jam)
ATAU
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)
(TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air)
* Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
Sumber : Konsensus Diabetes Melitus Tipe Dua, Indonesia, PERKENI, 2011

2.1.6 Gejala Klinis


Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya
diabetes perlu difikirkan apabila terdapat keluhan klasik diabetes melitus seperti
di bawah ini (PERKENI 2011, Kumar dan Clark, 2005 ) :

 Keluhan klasik diabetes melitus be rupa: poliuria, polidipsia,


polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.

 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata


kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita.

2.1.7 Penatalaksanaan
Diabetes melitus tipe 2 fase awal dapat ditangani dengan diet dan olahraga tetapi
seiring dengan berkembangya perjalanan penyakit diabetes melitus tipe dua ini
intervensi medika mentosa menjadi perlu untuk menangani hiperglikemia.

2.1.7.1 Penatalaksanaan Non-farmakologi


Cara yang paling efektif untuk meningkatkan sensitivitas insulin adalah
penurunan berat badan bagi pasien diabetes melitus tipe 2 dengan berat badan
berlebih dan mempertahankan berat badan ideal. (Gilby, 2007). Langkah ini dapat
dicapai dengan melakukan perubahan gaya hidup yaitu melakukan olahraga dan
kontrol diet. Kedua modalitas ini sangat efektif dalam meningkatkan kerja insulin
dengan cara memperbaiki sensitivitas insulin dan menurunkan kadar gula darah
pada penderita diabetes melitus tipe 2. (Meeking, 2011)

2.1.7.2 Penatalaksanaan Farmakologi


Penatalaksanaan farmakologi dalam rangka untuk menurunkan kadar gula darah
adalah perlu apabila perubahan gaya hidup dan diet gagal untuk mencapai atau
mempertahankan kontrol glikemik n ormal (Gilby, 2007). Obatan antidiabetik
dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu, oral dan suntikan.

Obat antidibetik oral.

Terdapat beberapa klasifikasi obatan antidiabetik oral dan yang paling sering
digunakan adalah dari golongan metformin, thiazolidinedio nes (TZD),
sulfonilurea, analog meglitidin, alpha glucosidase inhib itors, insulin dan terapi
GLP-1 (Meeking, 2011)

 Metformin
Metformin adalah dari golongan insulin-sensitizing agents dimana ia tidak
menstimulasi perlepasan insulin dari pankreas sebaliknya hanya
meningkatkan sensitivitas hepar terhadap insulin. Metformin menurunkan
kadar glukosa darah tanpa menyebabkan hipoglikemi dengan cara
meransang pembentukan cadangan glikogen di otot rangka.
 Thiazolidinedione (TZD)
TZD juga adalah dari golongan insulin-sensitizing agents dan berfungsi
sebagai Peroxisome Proliferator Activated Receptor -gamma (PPARγ)
agonist. TZD meningkatkan sensivitas insulin dengan cara menstimulasi
reseptor PPARγ pada jaringan lemak dimana TZD membantu dalam
meningkatkan transkripsi gene sensitif insulin seperti GLUT 4, dan
lipoprotein lipase.

 Sulfonilurea
Obatan sulfonilurea menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas
untuk memberikan kesan hipoglikemi langsung. Obatan golongan ini
berikatan dengan reseptor sulfonilurea pada sel beta pankreas. Hal ini
menyebabkan ATP-sensitive potassium channel menutup dan
menyebabkan influks kalsium ke dalam sel dan menyebabkan pengaktifan
protein yang mengontrol granul insulin melalui aktivasi dari protein kinase
C.

 Analog Meglitidine
Analog meglitidine menstimulasi fase pertama dari perlepasan insulin.
Sama seperti golongan sulfonilurea, golongan analog megdlitidine ini
berikatan dengan reseptor sulfonilurea pada sel beta pankreas. Obatan
golongan ini dapat diberikan secara kombinasi dengan agen hipoglikemi
yang lain kecuali sulfonilurea kerana cara keduanya akan berikatan pada
reseptor yang sama.

Obat antidiabetik non-oral


 Insulin
Karena fungsi sel beta pankreas cenderung memburuk pada penyakit
diabetes melitus tipe 2, banyak pasien akhirnya akan memerlukan terapi
insulin. Terdapat tiga jenis insulin yaitu short-acting, long-acting dan
mixed insulin preparations.
 Terapi GLP-1
GLP-1 dihasilkan dari gene proglukagon di L-cell pada usus halus dan
disekresikan sebagai respons terhadap nutrisi. GLP-1 memberikan efek
dengan cara menstimulasi perlepasan glucose-dependent insulin dari sel
islet pankreas.

2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus


Diabetes Mellitus dengan karakteristik hiperglikemia dapat mengakibatkan
berbagai komplikasi yang dapat dibagi menjadi dua secara garis besar
(Greenstein dan wood, 2006) yaitu ;

a) Komplikasi vaskular (mikrovaskular dan mikrovaskular):

Tabel 2.3. Komplikasi vaskular pada diabetes melitus


Komplikasi mikrovaskular Gambaran klinis
Retinopati Penurunan atau terdapat gangguan
penglihatan
Nefropati Ditemukan proteinuria, hipertensi atau
sindroma nefrotik
Neuropati Neuropati perifer, mononeuropati,
carpal tunnel syndrome, amyotrofi atau
ulserasi pada kaki

Komplikasi makrovaskular Gambaran Klinis


Koroner Angina atau infark miokard
Cerebral Strok, transient ischemic attack (TIA)
Vaskularisasi perifer Intermittent claudication , ischaemic
leg, ulserasi dan gangrene
Sumber : Darryl R. Meeking ; Diabetes & Endocrinology, 2011.

b) Komplikasi berdasarkan derajat keparahan yang selanjutnya dibagi


menjadi komplikasi akut dan kronis. ( Meeking, 2011) :
Komplikasi akut:
 Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan glukosa, dengan
tanda-tanda :
- Rasa lapar
- Gemetar
- Keringat dingin
- Pusing

Hipoglikemia dapat menyebabkan te rjadinya koma penderita diabetes melitus


yang mengalami reaksi hipoglikemik biasanya disebabkan oleh obat anti diabetes
yang diambil dalam dosis tinggi. (Colledge et al, 2006)

 Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut serius pada penderita diabetes
mellitus. Krisis Hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk Ketoasidosis Diabetik
(KAD), status Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai
elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis
metabolik akibat pembentukan badan keton yang berlebihan, sedangkan SHH
ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari KAD murni. Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang
mendasarinya adalah defisiensi insul in, relatif ataupun absolut. Pada KAD dan
SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga
peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan
Growth Hormone (GH). ( Porth dan Martin, 2008). Hormon-hormon ini
menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan
utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan h iperglikemia dan perubahan
osmolaritas ekstraselular.
Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon
kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan perlepasan asam lemak bebas dari
jaringan adiposa dari proses lipolisis ke dalam aliran darah dan oksidasi asam
lemak hepar menjadi benda keton (ß - hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate)
tak terkendali, sehingga mengakibat kan ketonemia dan asidosis metabolik.
(Harrison, 2008)

Gambar 2.5. Komplikasi Akut pada Diabetes Melitus Tipe 2


Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, Stefan Silbernagl & Florian Lang ,
2000

Komplikasi kronik :
 Nefropati
Nefropati diabetik merupakan penyebab kematian kedua terbanyak penderita
diabetes melitus selepas infark miokard ( Kumar et al, 2013). Patogenesis
nefropati diabetik berhubungan dengan hiperglikemia, kemungkinan karena kerja
ginjal yang terus menerus melebihi batas untuk menyaring glukosa menyebabkan
peningkatan tekanan darah pada ginjal dan perubahan struktur glomerular ( Kumar
et al, 2013, Buse et al., 2008).

 Neuropati
Neuropati muncul pada 60% penderita diabetes jangka panjang baik pada tipe 2
(Meeking, 2011). Pada penderita diabetes melitus kemungkinan disebabkan
gangguan sirkulasi pada sel saraf karena kerusakan pembuluh darah, Ada pun jenis-
jenisnya adalah:

a. Polineuropati dan mononeuropati


Bentuk yang paling umum dari neu ropati diabetes adalah polineuropati simetris
distal. Ini paling sering ditandai dengan kehilangan sensori distal, tetapi hanya
50% dari penderita diabetes melitus memiliki gejala neuropati. Gejala mungkin
termasuk sensasi mati rasa, kesemutan, atau rasa panas yang dimulai dari kaki
dan menyebar proksimal.
Nyeri sering melibatkan ekstremitas bawah dan biasanya hadir saat
istirahat, dan memburuk pada malam hari. Sedangkan mononeuropati adalah
disfungsi saraf perifer atau saraf kranial yang terisolasi. Mono neuropati ditandai
dengan rasa sakit dan kelemahan motorik dalam distribusi saraf tunggal. ( Powers.,
2008)

b. Neuropati otonom
Penderita DM dapat mengalami disfungsi saraf otonom (sistem kolinergik,
noradrenergic dan peptidergik). Saraf -saraf tersebut mengatur jantung,
gastrointestinal dan sistem kemih. Hal ini bisa mengakibatkan takikardi, gejala
gangguan pengosongan lambung, gangguan frekuensi berkemih dan hipotensi
ortostatik (Powers, 2008).

 Retinopati
Keadaan hiperglikemi dapat menyebabkan hilangnya retinal pericytes,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina, perubahan dalam aliran darah
retina, dan sistem mikrovaskular retina abnormal, yang menyebabkan iskemia
retina.Keadaan ini akan menyebabkan neovaskularisasi pada saraf optik dan
makula. Secara struktural, pembuluh darah ini rapuh dan dapat menyebabkan
perdarahan vitreous, fibrosis, dan perlepasan retina yang dapat berakibat kebutaan.
(Powers, 2008, Meeking, 2011, Colledge.,2006)
 Gastrointestinal
Kelainan yang paling sering muncul adalah gang guan pengosongan lambung dan
gangguan motilitas usus (Powers, 2008). Gejala yang mungkin muncul adalah
anorexia, muntah, mual, dan kembung. Keadaan ini disebabkan disfungsi saraf
simpatis akibat neuropati otonomik. ( Meeking, 2011)

 Genitourinari
Neuropati otonom diabetes mungkin menyebabkan disfungsi genitourinari
termasuk cystopathy, disfungsi ereksi, dan disfungsi seksual wanita (penurunan
libido dan dispareunia).
Gejala diabetes cystopathy dimulai dengan ketidakmampuan untuk
merasakan kandung kemih pen uh dan kegagalan untuk buang air kecil
sepenuhnya. Seiring dengan berkembangnya neuropati otonom, kontraktilitas
kandung kemih memburuk, kapasitas kandung kemih berkurang dan terjadinya
peningkatas residu air kemih yang sering berakibat pada infeksi salura n kemih
berulang. (Powers, 2008)

 Komplikasi kardiovaskular
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi peningkatan plasminogen
activator inhibitor dan fibrinogen yang meningkatkan koagulasi darah. Selain itu
diabetes juga berhubungan dengan di sfungsi endotel, otot polos pada pembuluh
dan platelet. (Meeking, 2011)

 Infeksi
Keadaan hiperglikemia membantu kolonisasi jamur dan bakteri karena
menyediakan sumber nutriri yang adekuat untuk pertumbuhan koloni. Infeksi
tersering yang muncul pada pasien diabetes melitus adalah pneumonia, infeksi
salur kemih dan infeksi pada kulit. Selain itu penderita diabetes juga lebih rentan
mengalami infeksi pasca operasi. (Kumar dan Clark, 2006)
Gambar 2.6. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Tipe 2
Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, Stefan Silbernagl & Florian Lang,
2000

2.2 Anemia
2.2.1 Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai penurunan dalam kapasitas transportasi oksigen
dalam darah. Hal ini dapat timbul jika ada terlalu sedikit hemoglobin yang beredar
atau hemoglobin yang berfungsi. (Guyton dan Hall, 2006). Anemia bukanlah
penyakit, tetapi merupakan indikasi dari beberapa penyakit proses atau perubahan
dalam fungsi tubuh.
2.2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi anemia yang diusulk an, dan tiga yang sering di
gunakan adalah berdasarkan mekanisme patofisiologi, fungsional dan morfologi
sel darah merah.

a) Klasifikasi mekanisme patofisiologi :


 Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik umumnya disebabkan defisiensi vitamin B12 dan asa m
folat, dimana defisiensi salah satu dari keduanya dapat memperlambat reproduksi
sel erythroblasts (prekursor sel eritrosit) di sumsum tulang. Akibatnya, sel darah
merah tumbuh terlalu besar, dengan bentuk yang aneh, d an disebut megaloblas.
(Guyton dan Hall, 2006)

 Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah adanya kelainan dari sel -sel darah merah.Kondisi yang
bersifat heriditer ini ditandai dengan sel -sel eritrosit yang rapuh dan mudah pecah
khususnya saat melalui kapiler darah dan sirkulasi darah di limpa . (Porth dan
Martin , 2008) Pada beberapa penyakit hemolitik, masa hidup dari sel eritosit
lebih singkat kerana keadaannya yang rapuh dapat membuatkan sel eritrosit yang
dihasil lebih cepat rusak meskipun jumlah sel darah merah yang terbentuk normal,
atau bahkan jauh lebih besar dari normal. (Guyton dan hall, 2013)

 Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah keadaan dimana sumsum tulang mengalami aplasia
sehingga mengakibatkan penurunan fungsi sumsum tulang dalam memproduksi
eritrosit (Guyton dan Hall, 2006)

 Anemia Defisiensi Nutrisi (Nutritional Deficiency)


Anemia gizi umumnya terjadi akibat kurangnya pemenuhan zat gizi yang
diperlukan tubuh untuk membentuk dan memproduksi sel eritrosit seperti
defisiensi besi, asam folat dan vitamin B12 (WHO 2008, Wiwanitkit, 2007).
b) Klasifikasi fungsional anemia :
Klasifikasi funsional anemia dapat dibagi menjadi dua, yaitu keadaan
hipoproliferatif ditandai dengan adanya kelainan proses proliferasi eritrosit
inefektif, adanya kelainan dari proses pematangan eritrosit dan kadar hemolisis
eritrosit yang meningkat atau terjadinya penurunan kemampuan survival eritrosit.
(Williams Hematology 7th ed, 2005)

c) Klasifikasi morfologik eritrosit :


Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik
dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi (Handbook of
Pathophysiology 3rd ed, 2008, Wintrobe’s Atlas of Clinical Hematology,2007).
Dalam klasifikasi ini, anemia dibagi menjadi 3 golongan:
1) Anemia hipokromik mikrositer apabila MCV < 80 fl dan MCH < 27 fl
2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 fl
3) Anemia makrositer, bila MCV > 95 fl
Tabel 2.4. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
A.Anemia hipokromik mikrositer
Anemia defisiensi besi
Thalassemia major
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik

B.Anemia normokromik normositer


Anemia pasca perdarahan akut
Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodiplastik
Anemia pada keganasan hematologik

C.Anemia makrositer
a.Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b.Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodiplastik
Sumber : Hematologi Klinik Ringkas. (Bakta, I Made. 2006.)
2.2.3 Diagnosis
Anemia biasanya didiagnosis dengan menganalisa hitung darah len gkap.
Pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pemeriksaan hapusan darah
menggunakan mikroskop juga dapat membantu. Berikut adalah tabel penetuan
batas ambang hemoglobin oleh WHO. (WHO, 2008) :

Tabel 2.5. Ambang hemoglobin digunakan untuk mendefinisikan anemia,


WHO, 2008 (1 g/dL = 0.6206 mmol/L)

Kelompok usia dan Ambang Hb (g/dl) Ambang Hb (mmol/l)


jenis kelamin
Perempuan, Tidak hamil 12.0 7.4
(>15tahun)
Laki-laki (>15 tahun) 13.0 8.1
Sumber : WHO, 2008. Worldwide prevalence of anemia 1993 -2005

2.2.4 Efek anemia


Pada anemia berat, viskositas darah bisa jatuh ke serendah 1,5 kali dari air yang
mana nilai normal adalah sekitar 3. Ini menyebabkan kurangnya resistensi
terhadap aliran darah di pembuluh darah perifer, sehingga peredaran aliran
melalui jaringan ke jantung meningkat lebih dari normal dan keadaaan ini
menyebakan peningkatan output jantung (Colledge et al, 2006).
Selain itu, hipoksia yang dihasilkan dari kurangnya transportasi oksigen
oleh darah menyebabkan pembuluh darah jaringan perifer membesar dan
memungkinkan peningkatan lebih lanjut volume kembalinya darah ke jantung.
(Buse et al, 2005). Hal ini dapat meningkatkan curah jantung tiga sampai empat
kali dari nilai normal disertai peningkatan beban kerja pada jantung.Peningkatan
curah jantung pada anemia adalah efek dari kompensasi tubuh untuk
mengimbangi penurunan suplai oksigen ke jaringan. (Guyton dan Hall, 2006)
2.2.5 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis anemia adalah hasil dari kurangnya perfusi oksigen ke jaringan
walau apa pun etiologi yang mendasari suatu anemia itu. Angka kejadian, tingkat
penurunan sel darah merah,volume plasma, dan pernafasan mempengaruhi tanda -
tanda dan gejala anemia mencakup :
 palpitasi,
 pusing
 sinkop
 pucat (pallor) pada kulit,konjungtiva, mukosa oral a tau nail bed
 dispnoe
 takikardi

2.3 Anemia dan Diabetes Melitus Tipe 2


Pasien diabetes melitus umumnya memiliki kemungkinan anemia yang lebih
besar disebabkan gangguan ginjal berbanding m ereka dengan penyebab lain dari
gagal ginjal (Katherine et al, 2005). Banyak faktor yang telah diusulkan sebagai
penyebab awal onset anemia pada pasien dengan diabetes, antaranya adalah :

 Penurunan fungsi ginjal dan nefropati pada diabetes melitus


Meskipun etiologi dari anemia pada nefropati adalah multifaktorial, tetapi
penurunan kadar erythropoietin merupakan inti utama dari patogenesis
anemia dengan nefropati karena rusaknya sel-sel peritubular yang
menghasilkan eritropoetin seiring dengan progresivitas penurunan fungsi
ginjal, sehingga produksi eritropoetin terganggu.

 Defisiensi dan reaksi hiporesposif eritropoeitin


Defisiensi eritropoeitin awal dapat terjadi pada kedua tipe diabetes melitus
dan salah satu penyebab respons terhadap produksi eritropoeitin adalah
peradangan kronis yang dikaitkan dengan peningkatan produk si sitokin
seperti tumor necrosis factor alpha , interleukin-1 dan interferon gamma
yang menekan proliferasi stem cell sel darah merah.
Reaksi ini dapat terjadi sebelum timbulnya neuropati pada diabetes melitus
(Katherine et al, 2005)

 Neuropati otonom
Peningkatan inflamasi sistemik pada neuropati otonom akan menyebabkan
terjadinya sympathetic denervation dari eferen ginjal yang akan berakibat
pada kerusakan ginjal (Thomas et al, 2003).

 Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan ACE-inhibitor pada pasien
diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya anemia. Sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) cukup berperan dalam memodulasi
produksi eritropoeitin (Mehdi, 2009). Peningkatan pada angiotensin II
akan menyebabkan laju filtrasi glomerular men inggi dan kebutuhan
terhadap oksigen juga akan bertambah. Keadaan ini memicu ginjal untuk
memproduksi eritropoeitin dengan lebih banyak. Penggunaan ACE -
inhibitor dapat menyebabkan gangguan pada sistem RAAS dan
menyebabkan penurunan kadar hematokrit.

 Asupan zat besi dan kelainan absorbsi besi


Kurangnya asupan zat besi dan adanya kelainan absorbsi bes i pada pasien
diabetes melitus akan mengakibatkan penggunaan simpanan besi tubuh
sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi baik relatif maupun absolut
(Mehdi, 2009).

 Ekskresi protein non-albumin melalui urin


Peningkatan ekskresi protein non -albumin seperti eritropoetin dan
transferin melalui urin juga akan mengakibatkan penunrunan kadar
simpanan besi tubuh.
 Penurunan masa hidup eritrosit dan pendarahan
Anemia pada diabetes melitus dapat disebabkan oleh advanced
glycosylation end products (AGE). Peningkatan protein hasil glikasi dan
AGE akan disertai dengan peningkatan aktivitas radikal bebas yang
berkontribusi terhadap kerusakan biomolekuler pada diabetes seperti
hemolisis awal sel darah merah. Selain itu, pendarahan dapat juga terjadi
pada pasien diabetes melitus dengan ulkus atau gangren.

Anda mungkin juga menyukai