TINJAUAN PUSTAKA
Resistensi Insulin
Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target
terutama otot rangka dan hepar merupakan gambaran utama diabetes melitus tipe
2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan obesitas. Mekanism e pasti
mengenai resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui.
(Colledge et al.,2006)
Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka
merupakan efek sekunder hiperinsulinemia. Mekanisme resistensi insulin
umumnya terjadi akibat gangguan persinyalan post-receptor (PI-3-kinase) yang
mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma.
(Harrison, 2008). Terdapat tiga hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait
obesitas, yaitu :
Abnormalitas Metabolik
Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin
menurun, sedangkan kadar hepatic glucose output bertambah. Seiring dengan
peningkatan kadar glukosa darah, akan terjadi akumulasi lipid dalam serat otot
rangka, yang mengganggu fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP
mitokondria. Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga
terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit. (Porth
dan Martin, 2008.)
Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada penyakit
perlemakan hati non-alkoholik dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu, keadaan
tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita diabetes melitus tipe 2,
yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL.
(Powers et al, 2008)
Gambar 2.4. Efek insulin pada metabolisme glukosa, asam lemak, dan
protein.
Sumber : Pathophysiology: Concepts of Altered Health Sta tes, 8th ed., 2008
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011,
WHO, 2006, ADA,2011) , yaitu :
2.1.7 Penatalaksanaan
Diabetes melitus tipe 2 fase awal dapat ditangani dengan diet dan olahraga tetapi
seiring dengan berkembangya perjalanan penyakit diabetes melitus tipe dua ini
intervensi medika mentosa menjadi perlu untuk menangani hiperglikemia.
Terdapat beberapa klasifikasi obatan antidiabetik oral dan yang paling sering
digunakan adalah dari golongan metformin, thiazolidinedio nes (TZD),
sulfonilurea, analog meglitidin, alpha glucosidase inhib itors, insulin dan terapi
GLP-1 (Meeking, 2011)
Metformin
Metformin adalah dari golongan insulin-sensitizing agents dimana ia tidak
menstimulasi perlepasan insulin dari pankreas sebaliknya hanya
meningkatkan sensitivitas hepar terhadap insulin. Metformin menurunkan
kadar glukosa darah tanpa menyebabkan hipoglikemi dengan cara
meransang pembentukan cadangan glikogen di otot rangka.
Thiazolidinedione (TZD)
TZD juga adalah dari golongan insulin-sensitizing agents dan berfungsi
sebagai Peroxisome Proliferator Activated Receptor -gamma (PPARγ)
agonist. TZD meningkatkan sensivitas insulin dengan cara menstimulasi
reseptor PPARγ pada jaringan lemak dimana TZD membantu dalam
meningkatkan transkripsi gene sensitif insulin seperti GLUT 4, dan
lipoprotein lipase.
Sulfonilurea
Obatan sulfonilurea menstimulasi sekresi insulin dari sel beta pankreas
untuk memberikan kesan hipoglikemi langsung. Obatan golongan ini
berikatan dengan reseptor sulfonilurea pada sel beta pankreas. Hal ini
menyebabkan ATP-sensitive potassium channel menutup dan
menyebabkan influks kalsium ke dalam sel dan menyebabkan pengaktifan
protein yang mengontrol granul insulin melalui aktivasi dari protein kinase
C.
Analog Meglitidine
Analog meglitidine menstimulasi fase pertama dari perlepasan insulin.
Sama seperti golongan sulfonilurea, golongan analog megdlitidine ini
berikatan dengan reseptor sulfonilurea pada sel beta pankreas. Obatan
golongan ini dapat diberikan secara kombinasi dengan agen hipoglikemi
yang lain kecuali sulfonilurea kerana cara keduanya akan berikatan pada
reseptor yang sama.
Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut serius pada penderita diabetes
mellitus. Krisis Hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk Ketoasidosis Diabetik
(KAD), status Hiperosmolar Hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai
elemen kedua keadaan diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis
metabolik akibat pembentukan badan keton yang berlebihan, sedangkan SHH
ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa serum yang
biasanya lebih tinggi dari KAD murni. Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang
mendasarinya adalah defisiensi insul in, relatif ataupun absolut. Pada KAD dan
SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga
peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan
Growth Hormone (GH). ( Porth dan Martin, 2008). Hormon-hormon ini
menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan
utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan h iperglikemia dan perubahan
osmolaritas ekstraselular.
Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon
kontrainsulin pada KAD juga mengakibatkan perlepasan asam lemak bebas dari
jaringan adiposa dari proses lipolisis ke dalam aliran darah dan oksidasi asam
lemak hepar menjadi benda keton (ß - hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate)
tak terkendali, sehingga mengakibat kan ketonemia dan asidosis metabolik.
(Harrison, 2008)
Komplikasi kronik :
Nefropati
Nefropati diabetik merupakan penyebab kematian kedua terbanyak penderita
diabetes melitus selepas infark miokard ( Kumar et al, 2013). Patogenesis
nefropati diabetik berhubungan dengan hiperglikemia, kemungkinan karena kerja
ginjal yang terus menerus melebihi batas untuk menyaring glukosa menyebabkan
peningkatan tekanan darah pada ginjal dan perubahan struktur glomerular ( Kumar
et al, 2013, Buse et al., 2008).
Neuropati
Neuropati muncul pada 60% penderita diabetes jangka panjang baik pada tipe 2
(Meeking, 2011). Pada penderita diabetes melitus kemungkinan disebabkan
gangguan sirkulasi pada sel saraf karena kerusakan pembuluh darah, Ada pun jenis-
jenisnya adalah:
b. Neuropati otonom
Penderita DM dapat mengalami disfungsi saraf otonom (sistem kolinergik,
noradrenergic dan peptidergik). Saraf -saraf tersebut mengatur jantung,
gastrointestinal dan sistem kemih. Hal ini bisa mengakibatkan takikardi, gejala
gangguan pengosongan lambung, gangguan frekuensi berkemih dan hipotensi
ortostatik (Powers, 2008).
Retinopati
Keadaan hiperglikemi dapat menyebabkan hilangnya retinal pericytes,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina, perubahan dalam aliran darah
retina, dan sistem mikrovaskular retina abnormal, yang menyebabkan iskemia
retina.Keadaan ini akan menyebabkan neovaskularisasi pada saraf optik dan
makula. Secara struktural, pembuluh darah ini rapuh dan dapat menyebabkan
perdarahan vitreous, fibrosis, dan perlepasan retina yang dapat berakibat kebutaan.
(Powers, 2008, Meeking, 2011, Colledge.,2006)
Gastrointestinal
Kelainan yang paling sering muncul adalah gang guan pengosongan lambung dan
gangguan motilitas usus (Powers, 2008). Gejala yang mungkin muncul adalah
anorexia, muntah, mual, dan kembung. Keadaan ini disebabkan disfungsi saraf
simpatis akibat neuropati otonomik. ( Meeking, 2011)
Genitourinari
Neuropati otonom diabetes mungkin menyebabkan disfungsi genitourinari
termasuk cystopathy, disfungsi ereksi, dan disfungsi seksual wanita (penurunan
libido dan dispareunia).
Gejala diabetes cystopathy dimulai dengan ketidakmampuan untuk
merasakan kandung kemih pen uh dan kegagalan untuk buang air kecil
sepenuhnya. Seiring dengan berkembangnya neuropati otonom, kontraktilitas
kandung kemih memburuk, kapasitas kandung kemih berkurang dan terjadinya
peningkatas residu air kemih yang sering berakibat pada infeksi salura n kemih
berulang. (Powers, 2008)
Komplikasi kardiovaskular
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi peningkatan plasminogen
activator inhibitor dan fibrinogen yang meningkatkan koagulasi darah. Selain itu
diabetes juga berhubungan dengan di sfungsi endotel, otot polos pada pembuluh
dan platelet. (Meeking, 2011)
Infeksi
Keadaan hiperglikemia membantu kolonisasi jamur dan bakteri karena
menyediakan sumber nutriri yang adekuat untuk pertumbuhan koloni. Infeksi
tersering yang muncul pada pasien diabetes melitus adalah pneumonia, infeksi
salur kemih dan infeksi pada kulit. Selain itu penderita diabetes juga lebih rentan
mengalami infeksi pasca operasi. (Kumar dan Clark, 2006)
Gambar 2.6. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus Tipe 2
Sumber : Color Atlas of Pathophysiology, Stefan Silbernagl & Florian Lang,
2000
2.2 Anemia
2.2.1 Definisi Anemia
Anemia didefinisikan sebagai penurunan dalam kapasitas transportasi oksigen
dalam darah. Hal ini dapat timbul jika ada terlalu sedikit hemoglobin yang beredar
atau hemoglobin yang berfungsi. (Guyton dan Hall, 2006). Anemia bukanlah
penyakit, tetapi merupakan indikasi dari beberapa penyakit proses atau perubahan
dalam fungsi tubuh.
2.2.2 Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi anemia yang diusulk an, dan tiga yang sering di
gunakan adalah berdasarkan mekanisme patofisiologi, fungsional dan morfologi
sel darah merah.
Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah adanya kelainan dari sel -sel darah merah.Kondisi yang
bersifat heriditer ini ditandai dengan sel -sel eritrosit yang rapuh dan mudah pecah
khususnya saat melalui kapiler darah dan sirkulasi darah di limpa . (Porth dan
Martin , 2008) Pada beberapa penyakit hemolitik, masa hidup dari sel eritosit
lebih singkat kerana keadaannya yang rapuh dapat membuatkan sel eritrosit yang
dihasil lebih cepat rusak meskipun jumlah sel darah merah yang terbentuk normal,
atau bahkan jauh lebih besar dari normal. (Guyton dan hall, 2013)
Anemia aplastik
Anemia aplastik adalah keadaan dimana sumsum tulang mengalami aplasia
sehingga mengakibatkan penurunan fungsi sumsum tulang dalam memproduksi
eritrosit (Guyton dan Hall, 2006)
C.Anemia makrositer
a.Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b.Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodiplastik
Sumber : Hematologi Klinik Ringkas. (Bakta, I Made. 2006.)
2.2.3 Diagnosis
Anemia biasanya didiagnosis dengan menganalisa hitung darah len gkap.
Pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pemeriksaan hapusan darah
menggunakan mikroskop juga dapat membantu. Berikut adalah tabel penetuan
batas ambang hemoglobin oleh WHO. (WHO, 2008) :
Neuropati otonom
Peningkatan inflamasi sistemik pada neuropati otonom akan menyebabkan
terjadinya sympathetic denervation dari eferen ginjal yang akan berakibat
pada kerusakan ginjal (Thomas et al, 2003).
Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan ACE-inhibitor pada pasien
diabetes melitus dapat menyebabkan terjadinya anemia. Sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAAS) cukup berperan dalam memodulasi
produksi eritropoeitin (Mehdi, 2009). Peningkatan pada angiotensin II
akan menyebabkan laju filtrasi glomerular men inggi dan kebutuhan
terhadap oksigen juga akan bertambah. Keadaan ini memicu ginjal untuk
memproduksi eritropoeitin dengan lebih banyak. Penggunaan ACE -
inhibitor dapat menyebabkan gangguan pada sistem RAAS dan
menyebabkan penurunan kadar hematokrit.