Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam biasanya terjadi pada usia antara 6 bulan dan 5 tahun dan tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. 1,2 CDK Kejang demam terdiri dari kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum, tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. 1 Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut :1
cdkk

1. Kejang lama > 15 menit. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam

biasanya terjadi pada usia antara 6 bulan dan 5 tahun dan tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. 1,2 CDK Kejang demam terdiri dari kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum, tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal dan tidak berulang dalam waktu 24 jam. 1 Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut :1 4. Kejang lama > 15 menit. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. 5. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial 6. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam Kejang demam adalah jenis kejang yang paling sering terjadi pada anak, sekitar 2 5 % dari populasi, pada usia antara 5 bulan dan 5 tahun dengan manifestasi paling sering pada usia 2 tahun 3. Insiden di seluruh dunia bervariasi, 5 10 % di India, 8,8 % di Jepang, 14 % di Guam, 0,35 % di Hongkong dan 0,5 1,5 % di Cina. (Febrile seizures Search date March 2010)

1.2. Epidemiologi Kejang demam adalah jenis kejang yang paling sering terjadi pada anak, sekitar 2 5 % dari populasi, pada usia antara 5 bulan dan 5 tahun dengan manifestasi paling sering pada usia 2 tahun 3. Insiden di seluruh dunia bervariasi, 5 10 % di India, 8,8 % di Jepang, 14 % di Guam, 0,35 % di Hongkong dan 0,5 1,5 % di Cina. Kejang demam terjadi pada semua ras dan insidennya sedikit lebih predominan pada anak lelaki. 4

Kejang demam kompleks terjadi rata-rata 25 50 % dari seluruh kasus kejang demam. Kejang demam kompleks berhubungan dengan peningkatan risiko kejang demam berulang, kejang demam dengan status epileptikus dan epilepsi. 5

1.3. Etiologi dan Faktor Risiko Kejang demam sering berhubungan dengan infeksi virus penyebab demam pada anak, seperti herpes simpleks-6 (HHSV-6), Shigella, dan influenza A.4 Penyakit yang mendasari demam berupa infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Risiko berulangnya kejang demam akan meningkat pada anak dengan riwayat orangtua dan saudara kandungnya juga pernah menderita kejang demam. Kejang demam diturunkan secara autosomal dominan sederhana. 2 Kejang demam kompleks berhubungan dengan banyak faktor, seperti gejala klinisnya, infeksi virus, faktor genetik dan metabolik, serta kemungkinan adanya abnormalitas struktur otak. Gurner et al baru-baru ini berhasil memetakan suatu lokus genetik di kromosom 12 yang berhubungan dengan peningkatan risiko kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks juga memiliki kemungkinan untuk menjadi salah satu gejala adanya infeksi meningitis bakterial akut. 5

1.4. Manifestasi Klinis Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral dan sering berhenti sendiri. Setelah kejang anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.2 Kejang demam kompleks memiliki manifestasi klinis yang berbeda dari kejang demam simpleks, yakni : 5 Dapat memiliki durasi yang lebih lama (hingga > 15 menit) Dapat muncul dengan beberapa kali kejang dalam 24 jam

Dapat terjadi kejang lagi pada 24 jam berikutnya Kejang bersifat fokal, dengan kemungkinan tampilan : o o o Klonik dan atau tonik Kehilangan tonus otot sesaat Dimulai pada salah satu sisi tubuh, dengan atau tanpa generalisasi sekunder o o Gerakan kepala atau mata ke salah satu sisi Kejang diikuti paralisis unilateral transien (dalam beberapa menit atau jam, kadang-kadang beberapa hari)

1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding Kejang demam dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada anamnesis dapat ditanyakan : 4 Tampilan kejang, umum atau fokal, dan berapa lama durasi kejangnya Riwayat demam dan penyakit lain yang diderita oleh anak Riwayat penyebab demam, misalnya penyakit virus dan gastroenteritis Riwayat penggunaan obat pada anak Riwayat kejang pada anak sebelumnya, masalah neurologik, keterlambatan tumbuh kembang, atau penyebab lain dari kejang seperti trauma. Tanyakan faktor risiko terjadinya kejang demam, seperti : o o o o o Riwayat keluarga yang pernah atau tidak menderita kejang demam Suhu tubuh yang tinggi Riwayat prenatal dan keterlambatan perkembangan Penyakit perinatal (saat usia 28 hari pertama) Riwayat konsumsi alkohol dan rokok saat kehamilan ibu, karena dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang demam sebanyak 2 kali lipat Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan : 4

Pemeriksaan sistem untuk mencari penyebab demam, misalnya otitis media, faringitis, atau penyakit virus lain Pemeriksaan neurologis Tanda rangsangan meningeal Tanda-tanda trauma atau keracunan

Diagnosis banding kejang demam pada anak dapat berupa : 4 Bakteremia dan sepsis Meningitis dan ensefalitis Status epileptikus

1.5. Pemeriksaan Penunjang untuk Kejang Demam 1. Pemeriksaan Laboratorium1 Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain, misalnya gastroenteritis dengan dehidrasi yang disertai demam. Pemeriksaan yang dapat dilakukan misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah 2. Pungsi Lumbal1 Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya meningitis, karena pada bayi kecil manifestasi meningitis cenderung tidak jelas. Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada bayi kurang dari 12 bulan. Pada bayi antara 12-18 bulan dianjurkan, tetapi tidak rutin pada bayi usia > 18 bulan. Bila yakin bukan meningitis secara klinis, pungsi lumbal tidak perlu dilakukan. 3. Elektroensefalografi (EEG) EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan EEG ditemukan pada 88% anak yang EEG-nya dilakukan pada hari kejang terjadi, dan 33 % pada tiga sampai tujuh hari setelah serangan kejang. 2 EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau perkiraan terjadinya epilepsi pada pasien kejang demam, sehingga EEG ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan.1

4. Pencitraan Foto rontgen kepala, CT-Scan, atau MRI jarang dikerjakan dan tidak rutin, hanya atas indikasi adanya kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis), paresis nervus VI, atau papil edema.1 Suatu penelitian menunjukkan bahwa hasil CT-Scan yang dilakukan pada anak dengan serangan kejang demam kompleks pertama tidak memiliki adanya kondisi intrakranial patologis yang membutuhkan penanganan bedah saraf emergensi.4

1.6. Penatalaksanaan Kejang Demam 1. Pengobatan fase akut saat anak kejang Saat pasien sedang kejang, semua pakaian yang ketat dibuka, anak dimiringkan apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Bebaskan jalan napas untuk menjamin oksigenasi. Pengisapan lendir dapat dilakukan secara teratur, berikan oksigen, kalau perlu dilakukan intubasi. Tanda vital mesti dipantau dan diawasi, sperti kesadran, suhu tubuh, tekanan darah, pernafasan, dan fungsi jantung. 2 Obat yang dapat diberikan saat pasien kejang adalah diazepam intravena dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1 2 mg/ menit atau dalam waktu 3 5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dapat berupa diazepam rektal dengan dosis 0,5 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg, dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau dosis 5 mg diazepam rektal untuk anak di bawah usia 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.1 Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian masih kejang, anjurkan ke rumah sakit untuk pemberian diazepam intravena. Bila masih kejang, dapat diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal 10 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dapat diberikan dosis selanjutnya 4 8 mg/kgBB/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal.1

Setelah kejang berhenti dengan pemberian diazepam, dapat diberikan fenobarbital loading dose secara intramuskular dengan dosis awal 10 20 mg/kgBB, lalu dilanjutkan setelah 24 jam dosis awal dengan 4 8 mg/kgBB/hari 2. Pemberian obat saat demam dan mencari penyebab demam Antipiretik dapat digunakan untuk menurunkan panas, dengan obat yang dipakai adalah parasetamol dengan dosis 10 15 mg/kgBB/kali sebanyak 4 kali dan tidak lebih dari 5 kali. Dapat juga diberikan ibuprofen 5 10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.1 Dapat juga diberikan antibiotik bila ada indikasi, misalnya otitis media dan pneumonia.4 3. Pemberian terapi profilaksis Profilaksis diberikan untuk mencegah berulangnya kejadian kejang demam. Pengobatan profilasis ini diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu ciri sebagai berikut :1 Kejang lama > 15 menit Ada kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, serebral palsi, retardasi mental, hidrosefalus Kejang fokal Terapi profilaksis ini dipertimbangkan bila : kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan, dan kejang demam terjadi > 4 kali per tahun. Profilaksis yang diberikan terdiri dari dua jenis, yakni : 2 Profilaksis intermittent. Profilaksis ini hanya diberikan pada saat pasien demam, dimana orangtua atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada anak. Dapat diberikan diazepam rektal dengan dosis 5 mg (untuk anak dengan berat badan < 10 kg) atau 10 mg ( anak dengan berat badan >10 kg), bila anak menunjukkan suhu 38,5C. Profilaksis terus menerus dengan pemberian antikonvulsan setiap hari. Antikonvulsan yang dapat diberikan adalah asam valproat dengan dosis 15 40 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis.1 Pengobatan ini diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

1.7. Prognosis Kejang demam kemungkinan akan berulang bila ada faktor risiko berikut : 1 1. Ada riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia terjadinya kejang demam kurang dari 12 bulan 3. Suhu tubuh yang rendah saat kejang 4. Cepatnya terjadi kejang setelah demam Bila seluruh faktor risiko ada, maka kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya sekitar 10 15 %. Kejang demam lebih besar kemungkinan berulangnya pada tahun pertama kehidupan. 1 Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. 1 Akan tetapi, kejang demam kompleks, yang terjadi sebelum usia 1 tahun, atau dipicu oleh suhu <39C dihubungkan dengan peningkatan mortalitas 2 kali lipat pada 2 tahun pertama setelah kejang terjadi.4 Kejang demam kompleks, riwayat epilepsi atau abnormalitas neurologis pada keluarga, dan keterlambatan tumbuh kembang dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi di kemusian hari. Anak dengan 2 faktor risiko ini memiliki kemungkinan 10 % untuk mengalami kejang tanpa demam. 4

BAB II LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS 1. Identitas penderita Nama penderita Jenis kelamin : An. M. Raffa : Laki-laki 8

Tempat dan tanggal lahir Umur 2. Identitas orang tua/wali AYAH : Nama

: Gambut, 24 Desember 2010 : 10 tahun 7 bulan

: Tn. A. Riadi

Pendidikan : SMA Pekerjaan Alamat : Swasta : Jl. A.Yani Km.14 Pemajatan RT 16 Gambut IBU : Nama : Ny. Rita

Pendidikan : SMA Pekerjaan Alamat : Ibu Rumah Tangga : Jl. A.Yani Km.14 Pemajatan RT 16 Gambut

II.

ANAMNESIS Kiriman dari Dengan diagnosa : Puskesmas Gambut : Kejang Demam Sederhana

Aloanamnesis dengan : Ibu kandung pasien Tanggal/Jam 1. Keluhan Utama : 04 Januari 2011/ 13.00 WITA : kejang

2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan kejang sebanyak 1 kali SMRS. Kejang berlangsung 30 menit. Saat kejang mata pasien melihat ke atas dan

tangannya menekuk. Setelah kejang pasien sadar. Sebelum kejang anak demam tinggi dan batuk pilek 4 hari SMRS. Demam terus menerus dan batuknya berdahak ketal berwarna kekuningan. Ibu sudah memberikan obat penurun panas paracetamol dan obat batuk sirup. Namun demam anak muncul lagi setelah beberapa jam dan batuknya juga belum sembuhsembuh. Ibu pasien menyangkal anak jatuh atau kepalanya terbentur sebelum kejang. Selain itu ibu pasien juga menyagkal ada kejang sebelumnya atau pernah mengalami epilepsy. 3. Riwayat penyakit dahulu : Menurut ibu, anak tidak pernah kejang sebelumnya, tidak pernah sakit diare ataupun demam typhoid. 4. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat hipertensi, diabetes, dan asma. 5. Riwayat kehamilan dan persalinan : Riwayat Antenatal : Selama masa kehamilan, ibu tidak pernah memeriksakan kehamilannya ke puskemas/bidan. Riwayat Natal : Spontan/tidak spontan : Nilai APGAR Berat badan lahir Panjang badan lahir : : : Spontan langsung menangis Ibu lupa Ibu lupa

10

Lingkar kepala Penolong Tempat Riwayat Neonatal :

: : :

Ibu lupa Bidan Rumah

Selama fase neonatal, anak tidak pernah sakit. 6. Riwayat perkembangan: Tiarap : 3 bulan

Merangkak : 5 bulan Duduk Berdiri Berjalan Saat ini : 6 bulan : 7 bulan : 9 bulan : saat ini anak bisa berinteraksidengan teman sebayanya

7. Riwayat imunisasi Nama BCG Polio Hepatitis B DPT Campak Dasar (umur dalam hari/bulan) 0 0 2 4 6 0 1 3 2 4 6 9 Ulangan (Umur dalam bulan) -

Kesimpulan : Anak mendapat imunisasi lengkap dan dilakukan di Posyandu 8. Makanan : Anak diberikan susu formula pada usia 0-3 bulan. Kemudian selain susu formula pada usia 4-8 bulan anak diberi bubur SUN . Pada umur 8 bulan sampai sekarang anak susu formula dan diberi nasi lembek . Riwayat Keluarga : 11

Ikhtisar keturunan

Ket :

Laki-laki Perempuan Sakit

Susunan keluarga : No 1 2 3 4 5 Nama Tn. A. Riyadi Ny. Rita An. M. Ikhsan An. M. Rafi An. M. Raffa Umur 34 tahun 25 tahun 10 tahun 03 tahun 01 tahun : L P L L L L/ P Keterangan Sehat Sehat Sehat Sehat Sakit

9. Riwayat Sosial Lingkungan

Anak tinggal bersama bersama kedua orang tuanya, saudaraya dan kakek neneknya. Rumah terbuat dari kayu didaerah yang cukup padat penduduk. Rumah terdiri dari 3 kamar dengan ventilasi yang cukup. Untuk kebutuhan cuci, mandi dan minum menggunakan air ledeng. WC berada diluar rumah namun masih menyatu dengan rumah. Sampah dibuang ditempat sampah. 12

Kesimpulan: kualitas lingkungan cukup baik

III. PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan umum Kesadaran GCS 2. Pengukuran Tanda vital : Tekanan darah : - mmHg Nadi Suhu Respirasi Berat badan Panjang/ tinggi badan Lingkar lengan atas Lingkar kepala 3. Kulit : Warna Sianosis Hemangiom Turgor Kelembaban Pucat Lain-lain 4. Kepala : Bentuk : 140 kali/menit : 36,9 C : 24 kali/menit : 10 kg : 74 cm : 14 cm : 45 cm : sawo matang : tidak ada : tidak ada : cepat kembali : cukup : tidak ada : tidak ada : mesosefali : Tampak sakit sedang : kompos mentis : 4-4-4

13

UUB UUK Lain-lain Rambut : Warna Tebal/tipis

: sudah menutup : sudah menutup : tidak ada : hitam : tebal

Jarang/tidak (distribusi) : merata Alopesia Lain-lain Mata : Palpebra : tidak ada : tidak ada : edem (-/-)

Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut Konjungtiva Sklera : anemis (-/-) : ikterik (-/-)

Produksi air mata : cukup Pupil : Diameter: 2 mm/2 mm Simetris : isokor, normal

Reflek cahaya : (+/+) Kornea Telinga : Bentuk Sekret Serumen Nyeri Hidung : Bentuk : jernih/jernih : simetris : tidak ada : minimal : tidak ada : simetris

Pernafasan cuping hidung : tidak ada

14

Epistaksis Sekret Mulut : Bentuk Bibir Gusi

: tidak ada : minimal : simetris : mukosa bibir lembab : - tidak mudah berdarah - pembengkakan tidak ada

Gigi-geligi Lidah : Bentuk Pucat/tidak Tremor/tidak Kotor/tidak Warna Faring : Hiperemi Edema

: gigi lengkap : simetris : tidak pucat : tidak tremor : tidak kotor : merah muda : tidak ada : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-) Tonsil : Warna Pembesaran Abses/tidak : merah muda : tidak ada : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-) 5. Leher : Vena Jugularis : Pulsasi : Tekanan : Pembesaran kelenjar leher : tidak terlihat Tidak ada peningkatan tidak ada

15

Kaku kuduk Masa Tortikolis 6. Toraks : a. Dinding dada/paru : Inspeksi : Bentuk Retraksi Dispnea Pernafasan

: tidak ada : tidak ada : tidak ada

: simetris : ada minimal : tidak ada : thorakoabdominal

Palpasi : Fremitus fokal : simetris Perkusi : sonor Auskultasi : Suara Napas Dasar : vesikuler Suara Napas Tambahan : Rhonki (+/+), Wheezing (-/-) b. Jantung : Inspeksi : Iktus Palpasi : Apeks Thrill Perkusi: Batas kanan Batas kiri Batas atas Auskultasi : Frekuensi Suara dasar : 142 x/menit : S1 > S2 tunggal : tidak terlihat : tidak teraba : tidak ada : ICS II LPS dextra ICS IV LPS dextra : ICS II LPS sinistra - ICS V LMK sinistra : ICS II LPS dextra- ICS II LPS sinistra

16

Bising

: tidak ada

Derajat Lokasi

: (-) : (-)

Punctum max : (-) Penyebaran 7. Abdomen : Inspeksi Palpasi : Bentuk : Hati Lien Ginjal Masa Perkusi : simetris : tidak teraba : tidak teraba : tidak teraba : tidak teraba : (-)

: Timpani/pekak : timpani Asites : ada

Auskultasi : bising usus (+) normal 8. Ekstremitas : - Umum - Neurologis Tanda Gerakan Tonus Trofi Klonus Refleks Fisiologis Refleks patologis Sensibilitas Tanda meningeal Lengan Kanan Kiri Bebas Bebas Eutoni Eutoni Eutrofi Eutrofi Tidak ada Tidak ada BPR (+) BPR (+) TPR (+) TPR (+) Hoffman (-) Hoffman (-) Tromner (-) Tromner (-) Normal Normal (-) (-) Tungkai Kanan Bebas Eutoni Eutrofi Tidak ada KPR (+) APR (+) Babinsky (-) Chaddok (-) Normal (-) Kiri Bebas Eutoni Eutrofi Tidak ada KPR (+) APR (+) Babinsky (-) Chaddok (-) Normal (-) : akral hangat, edem tidak ada, parese tidak ada,

17

9. Susunan saraf : N I NXII dalam batas normal. N. I (olfaktorius) N. II (opticus) N. III (occulomotorius) N. IV (trochlearis) N. V (trigeminus) N. VI (abduscen) N. VII. (fasialis) : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal

N. VIII (vestibulopharingeus): dalam batas normal N. IX (glossopharingeus) N. X (vagus) N. XI (accessorius) N. XII (hipoglossus) 10. Genitalia 11. Anus : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal

: Laki-laki : Ada, tidak ada kelainan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG PEMERIKSAAN LABORATORIUM (8/9/2011) Hasil HEMATOLOGI Hemoglobin Leukosit Eritrosit Rujukan 11.0 15.4 4.69 14.0-18.0 4.0-10.5 4.5-6.00 Satuan g/dl Ribu/l Juta/l

18

Hematokrit Trombosit RDW-CV MCV,MCH,MCHC MCV MCH MCHC HITUNG JENIS Gran% - Limfosit % MID % Gran# Limfosit# MID#

35.3 403 13.8 75.4 20.3 31.1 70.4 20.3 6.6 10.90 3.1 1.4

40-50 150-450 11.5-14.7 80.0-97.0 27.0-32.0 32.0-38.0 50.0-70.0 25.0-40.0 4.0-11.0 2.50-7.00 1.25-4.0

Vol% Ribu/l % Fl Pg % % % % Ribu/ul Ribu/ul Ribu/ul

Pemeriksaan foto Rongent Thoraks AP/lateral 4 Januari 2012 Cor: ukuran normal Pulmo: patchy infiltrate paru kanan Sinus tajam Kesimpulan: Bronchopneumonia

V.

RESUME Nama Jenis kelamin Umur Berat badan Keluhan utama Uraian : : : : : : An. M. Raffa Laki-laki 1 tahun 10 kg kejang

Pasien kejang sebanyak 1 kali SMRS 30 menit, bersifat tonik klonik. Setelah kejang pasien sadar. Sebelum kejang anak demam tinggi dan batuk

19

pilek

4 hari SMRS. Demam

terus menerus dan batuknya produktif

berdahak ketal berwarna kekuningan. Riwayat kejang (-) trauma (-) epilepsy (-) Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Kesadaran GCS TB BB Tekanan Darah Denyut Nadi Pernafasan Suhu Kulit Kepala Mata : Tampak sakit sedang : Kompos mentis : 4-4-4 : 74 cm : 10 kg : - mmHg : 140 kali/menit : 24 kali/menit : 36,9 oC : Turgor cepat kembali, kelembaban cukup : mesosefali. : Edema palpebrae (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), produksi air mata cukup Telinga Hidung Mulut Thorak/paru : : : : Simetris, sekret (-/-), serumen minimal Simetris, pernafasan cuping hidung (-) Simetris, mukosa bibir lembab Simetris, retraksi (-), suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-) Jantung : S1 > S2 tunggal, bising (-)

20

Abdomen Ekstremitas Susunan saraf Genitalia Anus Follow up harian

: : : : :

Supel, H/L/M tidak teraba, asites (+) Akral hangat, edem (-), parese (-) Nervi craniales I-XII dalam batas normal Laki-laki Ada, tidak ada kelainan

Hari Perawatan keSubyektif Demam Kejang Batuk Pilek BAB cair Obyektif HR RR T Terapi

+ + + -

+ + 1x

+ + 1x

+ + -

+ + -

160 60 38

140 24 36,9

112 32 37, 1

118 34 37, 5

120 38 35, 4

110 28 35,8

124 32 36,0

IVFD D5 NS 11 tpm Paracetamol syr 3x cth Stesolid rectal (k/p) Ambroxol syr 3x cth Cefotaxim 50 mg/BB (3x 150mg)

+ + + -

+ + + -

+ + + +

+ + + +

+ + + +

+ + + +

+ + + +

VI. DIAGNOSIS 1. Diagnosa banding : I. kejang demam komplek, kejang demam

sementara, epilepsy

21

II. bronkopneumonia, bronkiolotis 2. 3. Diagnosa kerja Status gizi : : kejang demam komplek + bronkopneumonia

CDC 2000 = 10 x 100% = 105.2% (normal) 9.5 Status gizi menurut WHO CGS : BB/U = 0 < sd < 2 (Normal) TB/U = -2 < sd < 0 (Normal) BB/TB = 0 < sd < 1 (Normal)

VII. PENATALAKSANAAN Medikamentosa IVFD D5 NS 11 tpm Paracetamol syr 3x cth Stesolid rectal (k/p) Ambroxol syr 3x cth Cefotaxim 50 mg/BB (3x 150mg) VIII. USULAN PEMERIKSAAN Pemeriksaan EEG IX. PROGNOSIS Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

22

X.

PENCEGAHAN Personal hygiene Jika panas segera kompres dan beri penurun panas Jika kejang segera beri stesolid dan bawa ke dokter

Pada anamnesis juga ada keluhan demam dan nyeri kencing. Keluhan ini mengarahkan pada ISK. Gejala berupa demam, sering kencing, sakit waktu kencing atau sakit pinggang merupakan gejala klinis yang tampak pada penderita ISK.3,6 Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pertama kali anak datang, anak tampak terlihat sakit sedang. Didapatkan adanya edem pada palpebra, ekstremitas dan skrotum. Dari pemeriksaan tanda vital didapatkan adanya hipertensi derajat 2 yaitu 130/100 mmHg (lebih dari persentil 99th).11

23

Saat pertama masuk rumah sakit, anak mengalami kejang dan ada keluhan muntah dan sakit kepala. Adanya keluhan seperti ini disertai peningkatan tekanan darah mengarahkan anak ke ensefalopati hipertensi. Ensefalopati hipertensi jarang terjadi pada anak-anak. Biasanya berhubungan dengan hipertensi berat dan gambaran klinis yang khas yaitu sakit kepala, muntah, perubahan mental, kejang, dan gangguan penglihatan.12 Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya kadar Hb yang rendah, leukositosis, hematokrit,rendah dan kadar yang rendah dari MCV, MCH, dan MCHC. Dari pemeriksaan urinalisa didapatkan adanya hasil 2+ darah samar dan protein/albumin, serta 1+ lekosit. Pada pemeriksaan sedimen urin menunjukkan adanya eritrosit 10-15/LPB. Dari hasil ini, maka diagnosis mengarah ke GNA dimana pada GNA terdapat hematuria dan proteinuria. Pada pemeriksaan ASTO, didapatkan kadar yang cukup tinggi (>200). Ini menunjukkan adanya antibodi terhadap organisme Streptococcus. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan foto toraks. Dari hasil foto toraks didapatkan adanya kardiomegali dan edem paru. Kemungkinan pada pasien ini, sudah mulai ada tanda-tanda gagal jantung. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa pada 15-50% anak-anak dengan glomerulonefritis akut poststreptokokus, dapat terjadi gagal jantung kongestif dimana pada fase awal akan terdapat kardiomegali, bising sistolik, irama derap (gallop rhythm), takikardi, dispneu, pembesaran hati dan edem paru.2 Pada pemeriksaan USG urologi didapatkan adanya asites minimal, sistitis kronik dan kondisi ginjal yang masih normal. Berdasarkan pemeriksaan ini,

24

kemungkinan pasien menderita ISK, dimana kebanyakan ISK dimulai sebagai sistitis yang terbatas di vesika urinaria saja atau dapat pula ke atas melalui ureter sampai ke ginjal.3 Pada perawatan hari pertama, anak mendapatkan terapi yaitu IVFD KAEN 1 B 12 tpm, Nifedipin sublingual 1 x 2,5 mg, Ceftriaxone 2 x 750 mg (IV), Lasix 2 x 15 mg (IV) dan Nifedipin 3 x 2,5 mg (oral). Nifedipin merupakan salah satu golongan antihipertensi yang bekerja sebagai antagonis kalsium yang menghambat pemasukan ion Ca ekstrasel ke dalam sel sehingga mengurangi penyaluran impuls dan kontraksi otot jantung serta dinding pembuluh darah. Obat ini digunakan sebagai vasodilator yaitu vasodilatasi koroner dengan memperbaiki penyaluran darah dan penyerahan oksigen ke otot jantung, terutama bila terdapat kejang. Obat ini terutama digunakan pada hipertensi essensial (ringan/ sedang). Agar efeknya kuat, obat ini dapat diletakkan di bawah lidah (sublingual).13 Lasix (furosemid) merupakan salah satu golongan diuretik yang bekerja dengan mengurangi rearbsorpsi natrium sehingga pengeluaran lewat urin lebih banyak. Pada bagian ginjal yaitu ansa henle, kurang lebih 25% dari semua ion Cl yang telah difiltrasi direarbsorpsi secara aktif diikuti dengan rearbsorpsi pasif dari Na+ dan K+ tetapi tanpa air hingga filtrat menjadi hipotonis. Obat ini bekerja pada bagian ini dengan menghambat transport Cl- dan rearbsorpsi Na+. Pengeluaran K+ dan air juga diperbanyak.14 Ceftriaxon merupakan golongan antibiotika beta laktam yang struktur, khasiat dan sifatnya hampir seperti penisilin tetapi memiliki spektrum antibakteri

25

yang lebih luas. Ceftriaxon merupakan sefalosporin generasi ketiga dimana aktivitasnya terhadap kuman gram negatif lebih kuat. Obat ini memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibanding golongan sefalosporin yang lain.15 Pada hari ke-5 perawatan, penggunaan nifedipin dihentikan dan diganti dengan pemberian Captopril. Captopril merupakan antihipertensi yang bekerja sebagai penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) yang bermanfaat sebagai vasodilator serta mengurangi retensi garam dan air. Captopril dapat digunakan pada hipertensi ringan sampai berat. Dibandingkan dengan vasodilator yang lain, captopril tidak menimbulkan refleks takikardi.13 Pada hari ke-5 perawatan, terapi ditambahkan dengan allopurinol yang diberikan karena adanya peningkatan asam urat dari hasil laboratorium pasien. Obat ini akan menghambat pembentukan asam urat dan mengakibatkan turunnya kadar asam urat darah.16 Pada hari ke-8 perawatan, penggunaan ceftriaxon IV dihentikan dan diganti dengan cefixim sediaan sirup dimana kedua obat ini memiliki kegunaan yang sama.

26

BAB V PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus anak laki-laki berumur 10 tahun yang dirawat dengan glomerulonefritis akut dengan ensefalopati hipertensif dan ISK. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Setelah perawatan selama 9 hari, keadaan pasien menunjukkan perbaikan dari hari ke hari. Anak sudah diijinkan pulang saat pembuatan laporan kasus ini diselesaikan.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Vinen CS, Oliveira DBG. Acute glomerulonephritis. Postgrad Med J 2003; 79: 206-13. 2. Kumar GV. Clinical study of post streptococcal acute glomerulonephritis in children with special reference to presentation. Curr Pediatr Res 2011; 15: 8992. 3. Wilson LM. Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC, 2005: 918-929. 4. Derakhshan A, Hekmat VR. Acute glomerulonephritis in southern Iran. Iran J Pediatr 2008; 18: 143-8. 5. Rodriguez-Iturbe B, Musser JM. The current state of poststreptococcal glomerulonephritis. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 1855-64. 6. Hassan R, Alatas H. Nefrologi. Dalam: Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007: 807-839. 7. American Cancer Society. Kidney Cancer (Adult)-Renal Cell Carcinoma. American Cancer Society, 2011: 1-48. 8. Wong W. Glomerulonephritis acute. Starship Childrens Health Clinical Guideline, 2009: 1-3. 9. Conway PH, Cnaan A, Zaoutis T, Henry BV, Grundmeier RW, Keren R. Recurrent urinary tract infections in children: risk factors and association with prophylactic antimicrobials. JAMA 2007; 298: 179-86. 10. Ali EMA, Osman AH. Acute urinary tract infections in children in Khartoum state: pathogens, antimicrobial susceptibility and associated risk factors. AJNT 2009; 2: 11-5.

28

11. Lurbe E, Cifkova R, Cruickshank JK, Dillon MJ, Ferreira I, Invitti C, et al. Management of high blood pressure in children and adolescents: recommendation of European Society of hypertension. Journal of Hypertension 2009; 27: 1719-42.

12. Hu MH, Wang HS, Lin KL, Huang JL, Hsia SH, Chou ML, et al. Clinical experience of childhood hypertensive encephalopathy over an eight year period. Chang Gung Med J 2008; 31: 153-8. 13. Tjay TH, Rahardja K. Antihipertensiva. Dalam: Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007: 555-560. 14. Tjay TH, Rahardja K. Diuretika. Dalam: Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007: 520-521. 15. Tjay TH, Rahardja K. Antibiotika. Dalam: Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007: 71-74. 16. Tjay TH, Rahardja K. Analgetika Antiradang dan Obat-obat Rema. Dalam: Obat-obat Penting. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007: 341.

29

Anda mungkin juga menyukai