Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan bentuk kejang yang paling sering dijumpai


pada anak-anak. Kejang demam merupakan sebuah penyakit yang tidak berbahaya
dan dapat menghilang dengan sendirinya, namun kejang demam juga merupakan
salah satu peristiwa yang sangat traumatis bagi orang tua pasien. Kejang demam
adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 oC dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang
demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Sekitar 2 – 7% anak
dengan kejang demam mengalangi kejang tanpa demam atau epilepsy di
kemudian hari. Kejadian demam berkaitan dengan faktor genetk.1-4
Kejang demam dapat dibedakan menjadi kejang demam sederhana (simple
febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana merupakan kejang demam yang berlangsung singkat (kurang
dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Ketiga kriteria diatas harus terpenuhi. Kejang demam
kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri berikut: kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit); bersifat fokal (parsial satu sisi), atau
kejang umum didahului kejang parsial; dan berulang atau lebih dari satu kali
dalam waktu 24 jam. Kejang demam perlu dibedakan dengan bangkitan kejang
yang disebabkan oleh proses ekstrakranial lainnya seperti infeksi, dan juga
epilepsi.1,3,5-7
Prinsip pengobatan pada kejang demam ialah terminasi kejang sesuai
dengan tatalaksana kejang akut, kontrol demam dengan antipiretik, dan
antikonvulsan profilaksis. Profilaksis yang diberikan dapat bersifat intermittent
dan continuous sesuai indikasi.7

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 oC
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.1
Perlu ditekankan bahwa kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan
karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur
antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali
ditemukan.1-3

Tabel 2.1. Red flags sugestif infeksi susunan saraf pusat.8


 Riwayat iritabilitas, nafsu makan menurun, atau letargis
 Kejang demam kompleks
 Tanda meningitis atau ensefalitis seperti fontanel menonjol, kaku kuduk,
fotofobia, atau tanda neurologis fokal lainnya
 Gangguan kesadaran setelah kejang yang lama (> 1 jam)
 Respon terhadap stimulus apapun yang menurun (> 1 jam)
 Riwayat atau sedang dalam penggunaan antibiotic
 Imunisasi Haemophilus influenzae b dan Streptococcus pneuomniae
yang tidak lengkap pada anak dengan usia 6 – 18 bulan

2.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Sekitar
2 – 7% anak dengan kejang demam mengalangi kejang tanpa demam atau
epilepsy di kemudian hari. Kejadian demam ada kaitannya dengan faktor genetk.

2
Antara 25-40% anak dengan kejang demam memiliki riwayat keluarga dengan
kejang dengan atau tanpa demam.1

2.3 Faktor Risiko


Dua faktor risiko yang paling berperan akan kejang demam adalah
tingginya suhu tubuh dan adanya riwayat keluarga, terutama orang tua, dengan
kejang. Selain itu, beberapa faktor risiko yang dipercaya memiliki peran dalam
terjadinya kejang demam antara lain perawatan neonatus di rumah sakit lebih dari
28 hari, keterlambatan pertumbuhan, dan sering dititipkan di tempat penitipan
anak.9
Probabilitas kejadian kejang demam juga meningkat secara sementara
beberapa hari setelah pemberian beberapa vaksin tertentu, khususnya vaksin
kombinasi DPT dengan whole-cell pertussis, yang sudah tidak digunakan lagi di
Amerika Utara. Selain itu, beberapa vaksin yang diteliti dapat meningkatkan
angka kejadian kejang demam setelah vaksinasi juga meliputi vaksin kombinasi
DPT pentavalent (DTaP – IPV – Hib), MMR, Pneumokokus terkonjugasi, dan
beberapa vaksin influenza. Namun, risiko absolut dari kejang demam setelah
vaksinasi sangatlah kecil.10

2.4 Klasifikasi
Kejang demam dapat dibedakan menjadi kejang demam sederhana (simple
febrile seizure) dan kejang demam kompleks (complex febrile seizure). Kejang
demam sederhana merupakan kejang demam yang berlangsung singkat (kurang
dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Ketiga kriteria diatas harus terpenuhi. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Sebagian besar
kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.1,3
Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri
berikut: kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit); bersifat fokal
(parsial satu sisi), atau kejang umum didahului kejang parsial; dan berulang atau
lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam.4

3
Beberapa ahli sudah mulai menggunakan istilah sindroma generalized
epilepsy with febrile seizure (GEFS+) yang digambarkan sebagai suatu keadaan
dimana kejang demam tetap terjadi pada anak yang berusia > 5 tahun. GEFS+
sangat dipengaruhi oleh ketidakstabilan natrium.11

2.5 Patogenesis
Kejang demam merupakan sebuah penyakit dengan etiologi multifaktorial.
Kejang demam dipercaya terjadi karena respon sistem saraf pusat yang belum
matur terhadap demam, yang dikombinasikan dengan beberapa predisposisi
genetik dan faktor lingkungan.10,12
Kejang demam merupakan sebuah respon tubuh yang sangat dipengaruhi
oleh umur pasien, dimana otak yang belum matur berespon terhadap panas secara
berlebihan. Selain itu, terdapat suatu proses maturase yang dapat meningkatkan
eksitabilitas neuronal yang dapat menyebabkan anak-anak rentan mengalami
kejang demam. Hal ini khususnya terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun dimana
nilai ambang kejang anak masih rendah.12
Predisposisi genetik juga dianggap berperan dalam terjadinya kejang
demam. Beberapa kromosom yang sudah terpetakan yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya kejang demam, antara lain: 1q31, 2q23-34, 3p24.2-23, eq26.2-
26.33, 5q14-15, 5q34, 6q22-24, 8q13-21, 18p11.2, 19p13.3, 19q, dan 21q22.
Selain itu, beberapa penelitian juga mengatakan bahwa kejang demam dapat
diturunkan dengan pola autosomal dominan.10,12

2.6 Diagnosis
Tujuan utama evaluasi diagnostik pada anak dengan kejang demam adalah
menentukan apakah demam dan/atau kejang disebabkan oleh suatu penyakit dasar
memiliki diagnosis meningitis, dimana kejang biasanya terlihat seperti kejang
demam kompleks. Selain itu, kemungkinan malaria juga harus diperhatikan
terutama pada tempat-tempat yang endemis. Diagram alur penilaian awal dari
kejang demam dapat dilihat pada Gambar 1.13
Penentuan apakah pasien harus diopname bervariasi sesuai kasus yang
dihadapi. Kriteria masuk rumah sakit antara lain pasien yang berusia < 18 bulan,

4
letargi melebihi masa post-iktal, status klinis yang tidak stabil, kejang demam
kompleks, kecemasan dari orang tua atau pasien yang tidak dapat dirawat
dirumah. Setiap pasien dengan kecurigaan akan meningitis harus segera
diopname.13

Gambar 2.1. Diagram alur penilaian awal kejang demam.13


Selain berdasarkan manifestasi klinis, beberapa pemeriksaan penunjuang
juga dapat dilakukan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.1

5
Elektrolit biasanya diperiksakan ketika pasien dikeluhkan diare, muntah,
atau tanda dehidrasi lainnya. Selain itu, tes laboratorium untuk melihat kadar
antikonvulsan dalam darah (untuk anak dengan pengobatan kejang) dan
pemeriksaan gula darah juga dapat dilakukan terutama jika pasien tidak
sepenuhnya sadar setelah kejang.13
Pungsi lumbal untuk pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak
dilakukan secara rutin pada anak berusia < 12 bulan yang mengalami kejang
demam sederhana dengan keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal antarra lain
terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal; terdapat kecurigaan adanya infeksi
SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis; dipertimbangkan pada anak
dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotic dan
pemberian antibiotic tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada bayi berumur 6 bulan hingga 12 bulan yang
datang dengan kejang dan demam, ketika bayi tidak diimuniasi Haemophilus
influenza b (Hib) atau Streptococcus pneumoniae, karena bayi tersebut lebih
berisiko terkena meningitis bakterial. 1,5,14
Elektroensefalografi (EEG) tidak diperlukan untuk kejang demam kecuali
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan neuroimaging beruta CT
scan atau MRI kepala tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis.6,14

2.7 Diagnosis Banding


Kejang demam perlu dibedakan dengan menggigil. Menggigil merupakan
suatu keadaan yang disebabkan karena persepsi akan dingin dan tremor otot
secara involunter yang terjadi selama beberapa menit. Perbedaannya dengan
kejang demam ialah penderita biasanya sadar dan tidak ada keterlibatan otot
wajah atau pernapasan. Selain itu, beberapa diagnosis banding dari kejang demam

6
antara lain delirium dengan demam, breath-holding spells, infeksi sistem saraf
pusat, demam mioklonus, GEFS+, dan riwayat epilepsi lainnya.1,10

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena dengan dosis 0,2-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dalam waktu
3-5 menit dengan dosis maksimal 10mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang
akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya.1,5
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari sama dengan 12
kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulangi
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah
dua kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit
untuk mendapatkan pemberian diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut,
lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan
profilaksis.1,5
2.8.2 Demam
Antipiretik tetap dapat diberikan untuk pasien dengan kejang demam.
Antipiretik yang dapat digunakan adalah parasetamol dengan dosis 10-15
mg/kgBB/kali setiap 4-6 jam, atau menggunakan ibuprofen dengan dosis 5-
10mg/kgBB/kali setiap 6-8 jam.1,5
2.8.3 Antikonvulsan
Antikonvulsan intermiten merupakan antikonvulsan yang diberikan hanya
pada saat demam. Profilaksis ini diberikan pada kejang demam dengan salah satu
faktor risiko, antara lain: kelainan neurologis berat, misalnya berulang empat kali
atau lebih dalam setahun; usia < 6 bulan; kejang terjadi pada suhu kurang dari
39oC; dan suhu tubuh meningkat dengan cepat pada episode kejang demam

7
sebelumnya. Obat yang digunakan berupa diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali per
oral atau rektal 0,5 mg/kgBB/kali (5 mg untuk berat badan kurang dari 12 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari sama dengan 12 kg) sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orang tua bahwa dosis
tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, irritabilitas, serta sedasi.1,5
Antikonvulsan rumatan dapat diberikan ketika terdapat indikasi berupa
kejang fokal, kejang lama (> 15 menit), atau terdapat kelainan neurologis yang
nyata misalnya palsi serebral, hidrosefalus, dan hemiparesis. Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan profilaksis intermiten terlebih dahulu,
jika tidak berhasil/orang tua khawatir maka dapat diberikan terapi antikonvulsan
rumatan. Obat yang diberikan adalah asam valproate 15-40 mg/kgBB/hari dalam
2 dosis. Obat lain yang dapat diberikan adalah fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari
dalam 1-2 dosis, namun obat ini dapat menyebabkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar. Antikonvulsan rumatan diberikan selama 1 tahun tanpa tapering
off, namun dilakukan saat anak tidak sedang demam.1,5

8
Gambar 2.2. Tatalaksana kejang akut.1

2.9 Edukasi
Edukasi yang dapat diberikan antara lain meyakinkan orang tua bahwa
kejang demam umumnya memiliki prognosis yang baik, memberitahukan cara
penanganan kejang, memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali, dan pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang
memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.1,5

2.10 Prognosis
Prognosis kejang demam secara umum baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Namun,
kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam antara lain riwayat kejang demam atau epilepsi dalam
keluarga; usia kurang dari 12 bulan; suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang;
interval waktu yang singkat antara demam dan kejang; dan kejang demam
kompleks pada saat kejang demam pertama. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun yang pertama.1,7

Tabel 2.2. Risiko berulang setelah kejang demam yang pertama.15,16


Faktor Risiko Jumlah Faktor Risiko berulang
Risiko dalam waktu 2 tahun
Usia < 18 bulan 0 14%
Durasi demam < 1 jam sebelum 1 > 20%
kejang
Orang tua dengan kejang demam 2 > 30%
Suhu < 40oC 3 > 60%
4 > 70%

9
Epilepsi merupakan sebuah sequelae yang sering ditemui pada pasien
dengan kejang demam, terutama dengan kejang demam kompleks. Kejang demam
sederhana dapat meningkatkan risiko terkena epilepsi, namun tidak memiliki efek
negatif pada perilaku, akademik, atau neurokognisi.17

BAB III
LAPORAN KASUS

10
BAB IV
PEMBAHASAN

11
BAB V
SIMPULAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 oC
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial. Sesuai dengan definisi dan ditambahkan dengan adanya kejang yang
berulang membuat pasien yang dipilih sebagai kasus terdiagnosis dengan kejang
demam kompleks. Kejang demam tentunya merupakan kejang yang disebabkan
oleh proses ekstrakranial, dimana sesuai dengan teorinya bahwa kejang demam
pada pasien ini didahului dengan batuk. Prinsip pengobatan pada pasien dengan
kejang demam adalah terminasi kejang, kontrol demam, dan profilaksis. Pasien ini
telah diberikan penanganan yang sudah sesuai dengan algoritma tatalaksana
kejang akut hingga kejang berhenti. Selain itu, kontrol demam diberikan dengan
antipiretik. Namun, profilaksis yang diberikan masih berbeda dengan yang
disebutkan dengan literatur-literatur yang telah dibaca. Antibiotik juga digunakan
pada kasus ini sebagai pengobatan akan etiologi demam yang dipercaya memicu
terjadinya kejang demam.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Pediatrics. Neurodiagnostic evaluation of the child


with a simple febrile seizure. 2011. Pediatrics, 127(2), 389.
2. Capovilla, G., Mastrangelo, M., Romeo, A., & Vigevano, F.
Recommendations for the management of “febrile seizures” Ad hoc task
force of LICE guidelines commission. 2009. Epilepsia, 50, 2-6.
3. Oka, E., Ishida, S., Ohtsuka, Y., & Ohtahara, S. Neuroepidemiological
study of childhood epilepsy by application of international classification of
epilepsies and epileptic syndromes (ILAE, 1989). 1995. Epilepsia, 36(7),
658-661.
4. Swaiman, K. F., Ashwal, S., Ferriero, D. M., Schor, N. F., Finkel, R. S.,
Gropman, A. L., ... & Shevell, M. Swaiman's Pediatric Neurology E-
Book: Principles and Practice. 2017. Elsevier Health Sciences.
5. Arief, R. F. Penatalaksanaan Kejang Demam. 2015. Continung Medical
Education, 42, 658-661.
6. Chung, B., & Wong, V. Pediatric stroke among hong kong chinese
subjects. 2004. Pediatrics, 114(2), e206-e212.
7. Martinos, M. M., Yoong, M., Patil, S., Chin, R. F., Neville, B. G., Scott,
R. C., & de Haan, M. Recognition memory is impaired in children after
prolonged febrile seizures. 2012. Brain, 135(10), 3153-3164.
8. Patel, N., Ram, D., Swiderska, N., Mewasingh, L. D., Newton, R. W., &
Offringa, M. 2015. Febrile seizures. bmj, 351, h4240.
9. Patterson, J. L., Carapetian, S. A., Hageman, J. R., & Kelley, K. R. Febrile
seizures. 2013. Pediatric annals, 42(12), e258-e263.
10. Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. Febrile seizures: an
overview. 2018. Drugs in context, 7.
11. Waruiru, C., & Appleton, R. Febrile seizures: an update. 2014.  Archives
of Disease in childhood, 89(8), 751-756.
12. Sharawat IK, Singh J, Dawman L, Singh A. Evaluation of risk factors
associated with first episode febrile seizure. J Clin Diagn
Res. 2016;10(5):SC10–13. doi: 10.7860/JCDR/2016/18635.7853.
13. Fetveit, A. Assessment of febrile seizures in children. 2008. European
journal of pediatrics, 167(1), 17-27.
14. American Academy of Pediatrics. Neurodiagnostic evaluation of the child
with a simple febrile seizure. 2011. Pediatrics, 127(2), 389.

15. Berg AT, Shinnar S, Darefsky AS, et al. Predictors of recurrent febrile
seizures. A prospective cohort study. Arch Pediatr Adolesc Med.
1997;151(4):371-378.

13
16. Graves, R. C., Oehler, K., & Tingle, L. E. Febrile seizures: risks,
evaluation, and prognosis. 2012. American family physician, 85(2).
17. Laino, D., Mencaroni, E., & Esposito, S. Management of Pediatric Febrile
Seizures. 2018. International journal of environmental research and
public health, 15(10), 2232.

14

Anda mungkin juga menyukai