Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

Kejang Demam Kompleks

Oleh:
Ulfa Aurel Fadhila 2140312125

Preseptor:
dr. M. Luthfi Suhaimi, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bu-
lan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C, dengan
metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Ke-
jang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks.1,2
Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Kejang
demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Pada kejang demam sederhana kejang bersifat umum, singkat, dan
hanya sekali dalam 24 jam Kejang demam kompleks adalah kejang fokal, kejang yang
lama yaitu lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam..
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam,
usia, riwayat keluarga, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal
(asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat lahir rendah).
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Walaupun prognosis kejang
demam baik,bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya.
Kejang demam juga dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan
intelegensi dan pencapaian tingkat akademik.
Pemberian antipiretik tanpa disertai pemberian antikonvulsan atau diazepam
dosis rendah tidak efektif untuk mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis
obat yang sering digunakan adalah diazepam, fenobarbital, asam valproat dan fenitoin.
2. Batasan Penulisan
Penulisan case report ini dibatasi mengenai kejang demam, mencakup definisi,
epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, manfestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, prognosis dan komplikasi.
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini adalah membahas mengenai kejang demam,
mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, klasifikasi, manfestasi klinis,
diagnosis, tatalaksana, prognosis dan komplikasi.
4. Metode Penulisan
Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari
berbagai literatur
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai
5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C ,dengan metode pen-
gukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.Kejang demam
bukan merupakan akibat dari infeksi sistem saraf pusat ataupun ketidakseimbangan
metabolik apapun, dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.1,2
2. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana
Merupakan kejang umum, biasanya tonik klonik, serangannya berhubungan dengan
demam, berlangsung maksimum 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam. Tidak ada
efek jangka panjang dari mengalami kejang demam simpleks baik satu kali ataupun
lebih. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan
berhenti sendiri.1,2,3
b. Kejang demam kompleks
Merupakan kejang demam dengan salah satu dari ciri berikut: kejang lama (berlang-
sung lebih dari 15 menit); kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum dida-
hului kejang parsial; kejang berulang dalam 24 jam.1,2,3
3. Epidemiologi
Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan puncak
insiden pada usia 18 bulan. Sebanyak 2% - 5% bayi dan anak yang sehat secara neu-
rologis akan mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode kejang demam, bi-
asanya merupakan kejang demam simpleks.1,2 Anak berumur antara 1 - 6 bulan masih
dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.Bila anak berumur kurang dari
6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama in-
feksi susunan saraf pusat. Bayi yang berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
rekomendasi kejang demam melainkan termasuk ke dalam kejang neonatus. Kejang
demam sangat bergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum usia 4 tahun,
terbanyak antara usia 17-23 bulan. Kejang demam sederhana merupakan 80% dari
seluruh kejang demam.20-30% kejang demam sederhana berpotensi menjadi kejang
demam kompleks. Di Asia, prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat
dibandingkan di Eropa dan Amerika. Di Jepang, kejang demam terjadi sekitar 8,3% -
9,9%. Demam yang terjadi paling banyak disebabkan oleh infeksi saluran napas atas.
Kejang yang paling sering terjadi adalah kejang yang bersifat umum dan jenisnya
didominasi oleh kejang tonik-klonik. 4,5,6
4. Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pada anak adalah:7
a. Demam, yang dapat disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran
pencernaan, infeksi telinga, hidung, dan tenggorok (THT), infeksi saluran
kemih, roseola infantum/infeksi virus akut lainnya, dan pascaimunisasi.
b. Usia, yaitu usia 6 bulan-6 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 17-23 bulan.
Kejang demam sebelum usia 5-6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi SSP.
Kejang demam di atas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile seizure plus
(FS+)
c. Gen. Risiko akan meningkat 2-3x bila saudara kandung mengalami kejang
demam. Risiko akan meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam.
d. faktor resiko intrauterine juga mempengaruhi kejang demam karena kurangnya
berat lahir dan kehamilan kurang bulan.
5. Patogenesis Kejang Demam pada Anak
Otak memerlukan energi untuk energi untuk mempertahankan kelangsungan
hidup sel yang diperoleh dari proses metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme
yang terpenting adalah glukosa melalui proses oksidasi. Proses tersebut akan
menghasilkan CO2 dan air.8
Sel dilapisi oleh suatu membran yang bersifat lipoid pada permukaan dalam
dan ionik pada permukaan luar. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi ion K+
dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah sedangkan kondisi di luar sel
neuron pada kondisi sebaliknya. Perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel menyebabkan adanya perbedaan potensial yang disebut sebagai potensial mem-
bran sel neuron. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan
sel.8
Keseimbangan potensial membran ini dapat berubah pada beberapa kondisi.
Penyebab pertama adalah adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
Selain itu, perubahan juga dapat terjadi akibat rangsangan mendadak yang datang,
misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik, dan sebagainya. Penyebab lainnya ada-
lah perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan8
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme ba-
sal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada kenaikan suhu tubuh
tertentu, dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu
singkat, ion kalium maupun ion natrium akan berdifusi melalui membran sel sehingga
lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik sangat besar sehingga dapat meluas
ke seluruh sel maupun membran tetangganya dengan bantuan neurotransmiter dan ke-
jang terjadi.8
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Kejang pada seorang anak
ditentukan oleh tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Kejang demam berulang
lebih sering terjadi pada anak ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggu-
langannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami kejang.8
2.6. Manifestasi Klinis
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak
tidak memberikan reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beeberapa menit atau detik
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti dengan
hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangung beberapa jam hingga be-
berapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh heiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering pada kejang demam pertama.9
7. Diagnosis
Setiap anak dengan kejang demam membutuhkan penggalian riwayat yang
lengkap dan pemeriksaan umum dan neurologis yang menyeluruh. Kejang demam ser-
ing terjadi sebagai akibat dari otitis media, infeksi roseola dan Human Herpes Virus,
Shigella, ataupun infeksi lainnya.2,4
a. Anamnesis
- Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak
pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala
ISPA, ISK, OMA, dll)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang me-
nyebabkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)3
b. Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig,
Laseque
- Pemeriksaan nervus kranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
- Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
- Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek patol-
ogis3

c. Pemeriksaan Penunjang
- Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi direkomendasikan untuk anak usia <12 bulan. Kemungkinan
meningitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding karena kejang merupa-
kan tanda mayor dari meningitis pada 13-15% anak. Usia 12-18 bulan masih
dianjurkan lumbal pungsi karena gejala klinis meningitis masih belum jelas,
sedangkan pada anak diatas usia 18 bulan dapat dilakukan pemeriksaan rang-
sang meningeal untuk mendiagnosis apakah kejang disertai dengan meningitis
atau tidak. Pertimbangkan lumbal pungsi pada anak yang tidak diketahui status
imunisasi HiB atau Streptococcus pneumonia.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis.1,2,4
- EEG
Elektroensefalografi tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali bila ter-
dapat kejang fokal untuk menentukan ada atau tidaknya fokus kejang di otak
yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut. EEG tidak dapat memprediksi reku-
rensi dari kejang demam ataupun epilepsi bahkan jika ditemukan hasil yang
abnormal. EEG dilakukan atau diulangi dua minggu atau lebih setelah kejang
demam. EEG dilakukan pada kasus yang dicurigai adanya epilepsi dan
digunakan untuk menentukan tipe epilepsi, bukan memprediksi reku-
rensinya.1,2,4
- Laboratorium Darah
Laboratorium darah (elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, dan hitung
darah lengkap) tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam
simpleks pertama. Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam karena bakteri merupakan
penyebab terbanyak yang menimbulkan kejang demam. Pemeriksaan laborato-
rium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan
gula darah Evaluasi gula darah harus dilakukan pada anak dengan prolonged
postictal obtundation atau anak dengan intake per oral yang sedikit. Pada anak
dengan klinis dehidrasi, pemeriksaan seum elektrolit harus dilakukan.Ren-
dahnya kadar natrium berhubungan dengan tingginya rekurensi kejang demam
dalam 24 jam pertama.1,2,8
- Neuroimaging
CT ataupun MRI tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam
simpleks pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila terdapat indikasi sep-
erti anak dengan evaluasi neurologi yang abnormal, hemiparesis, atau paresis
nervus kranialis. Sekitar 11% anak dengan status epileptikus febris, biasanya
mengalami edema hipokampus unilateral akut, yang kemudian dapat menjadi
atrofi hipokampus.1,2
8. Diagnosis Banding
Infeksi SSP dapat disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan cairan ser-
ebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang menimbulkan hemiparesis
hingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Anak dengan
demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga me-
nyerupai kejang demam. Malaria juga dijadikan salah satu diagnose banding.8,9
2.9 Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang
Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang dan tidak
panik. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak tidak sadar,
posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut
atau hidung. Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut. Obat yang praktis dan dapat
diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam
rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Pada umumnya kejang
berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah ber-
henti. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.1,2
Apabila saat pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam in-
travena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Algoritma tatalaksana kejang di-
tunjukkan oleh gambar 2.1.1
b. Tatalaksana saat Demam
 Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya ke-
jang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.1,2
 Antikonvulsan Intermieten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam
dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan ce-
pat
Gambar 2.1 AlgoritmaTatalaksana Kejang akut dan status epileptikus9
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam in-
termiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua
bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta
sedasi.1,2
 Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam
jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini ada-
lah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat
adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam
1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak
sedang demam.1,2
Terapi tersebut dapat dapat mengurangi, tapi tidak menghilangkan kemungkinan reku-
rensi kejang demam. Defisiensi besi berhubungan dengan peningkatan risiko kejang
demam, sehingga skrining keadaan tersebut serta memberikan tatalaksana sebaiknya
dilakukan.1,2
c. Indikasi rawat3
 Kejang demam kompleks
 Hiperpireksia
 Usia dibawah 6 bulan
 Kejang demam pertama kali
 Terdapat kelainan neurologis
10. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurol-
ogis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis
dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal.
Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang men-
galami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam
yang berpotensi menjadi kejang lama.1

Gambar 2.2 Faktor Risiko Rekurensi Kejang Demam2

Kejang demam akan berulang kembali pada sekitar 30% anak yang mengalami
episode pertama kejang demam, 50% setelah dua atu lebih episode kejang demam, dan
pada 50% anak dengan onset kejang demam dibawah usia 1 tahun. Gambar 2.2 menun-
jukkan faktor risiko rekurensi kejang demam, dimana jika tidak memiliki faktor risiko
sama sekali risiko berulang sekitar 12%, dengan satu faktor risiko 25-50%, dua faktor
risiko 50-59%, tiga atau lebih faktor risiko 73-100%.1,2
Walaupun sekitar 15% anak dengan epilepsi pernah mengalami kejang demam,
hanya sekitar 2-7% anak yang mengalami kejang demam yang berkembang menjadi
epilepsi dikemudian hari. Faktor risiko kejadian epilepsi dikemudian hari ditunjukkan
oleh gambar 2.3. Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.1,2

Gambar 2.3 Faktor risiko kejadian epilepsi setelah kejang demam2


Hampir setiap tipe epilepsi dapat didahului oleh kejang demam, dan beberapa
sindroma epilepsi secara khas diawali dengan kejang demam, yaitu generalized epi-
lepsy with febrile seizures plus (GEFS+); Dravet syndrome; dan pada kebanyakan
pasien, epilepsi lobus temporal sekunder akibat sklerosis mesial temporal. 2
GEFS+ merupakan sindroma autosomal dominan dengan fenotip yang sangat
bervariasi. Onset biasanya pada masa kanak-kanak awal dan remisi biasanya pada
pertengahan masa kank-kanak. GEFS+ ditandai dengan kejang demam multipel, dan
beberapa kejang selanjutnya yang merupakan kejang umum tanpa demam, termasuk
kejang tonik klonik umum, kejang absen, kejang myoklonik, kejang atonik, atau kejang
mioklonik astatik, dengan berbagai derajat keparahan.2
Sindroma Dravet merupakan fenotip epilepsi-terkait kejang demam yang paling
berat. Onsetnya dikarakteristikkan dengan kejang klonik unilateral dengan ataupun
tanpa demam berulang setiap 1 atau 2 bulan. Kejang awalnya diinduksi oleh demam,
namun berbeda dengan kejang demam biasanya dimana kejang ini lebih lama, lebih
sering, dan juga fokal. Kejang kemudian mulai terjadi dengan suhu demam yang lebih
rendah, dan kemudian terjadi tanpa demam. Sindrom ini biasanya disebabkan oleh mu-
tasi de novo, terkadang diwariskan secara autosomal dominan namun sangat jarang.
Gen yang mengalami mutasi sama dengan gen pada GEFS+. Kebanyakan pasien
dengan kejang demam prolonged dan pasien dengan ensefalopati vaksin kemudian
akan mengalami mutasi Sindrom Dravet.2
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas
Nama : An RA
No.MR : 15.46.56
Umur : 3 tahun 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku bangsa : Indonesia
Nama Ibu : Ny. S
Alamat : Labuah Basilang
Anamnesis (alloanamnesis dari ibu kandung)
Seorang pasien laki-laki usia 8 bulan masuk ke IGD RSUP Dr M.Djamil Pa-
dang tanggal 18 Maret 2022 dengan :
Keluhan utama : Kejang 15 menit sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Batuk berdahak sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, dahak
disertai dengan pilek.
 Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dengan suhu 38ºC, terus-
menerus, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak.
 Diare ada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 4x, konsistensi
cair berisi ampas, berwarna kuning kecoklatan, tidak berlendir dan tidak
berdarah.
 Kejang 15 menit sebelum masuk rumah sakit dengan frekuensi 2 kali, durasi
kurang dari 15 menit, jarak antar kejang 5 menit, kejang pada kedua tangan,
anak sadar setelah kejang, kejang merupakan periode yang kedua. Kejang su-
dah pernah terjadi 1 bulan yang lalu dengan durasi kurang dari 15 menit, kejang
kelonjotan seluruh tubuh, anak sadar setelah kejang.
 Mual muntah tidak ada
 Tidak ada riwayat trauma kepala.
 Tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Terdapat riwayat kejang 1 bulan yang lalu.
 Riwayat asma 1 bulan yang lalu. Karena sesaknya pasien dibawa ke RS Siti
Rahmah dan sudah dinebu untuk menghilangkan sesaknya.
 Pasien sudah dikenal menderita Global Development Delay sejak usia 1 th,
rutin fisioterapi di RSUP Dr. M.Djamil Padang, namun sempat terhenti ketika
pandemi Covid-19 tahun 2020. Pasien rutin kembali fisioterapi mulai Agustus
tahun 2021 hingga sekarang.
 Pasien diketahui alergi terhadap susu sapi, telur, makanan laut kecuali salmon,
ayam.
Riwayat Penyakit Keluarga:
 Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat kejang dengan atau tanpa demam
sebelumnya.
 Riwayat asma pada ibu pasien yang memberat ketika hamil pasien.
Riwayat Kelahiran :
lahir SC cukup bulan ditolong dokter SpOG , berat lahir 2800 gram panjang 48 cm,
langsung menangis
Riwayat Makanan dan Minuman :
Bayi Asi : 0-3 bulan
Susu formula : 0 - sekarang
Buah biskuit : 6-10 bulan
Bubur susu : 6-10 bulan
Nasi tim : 9-12 bulan
Nasi keluarga : 12 bulan
Anak makanan utama : nasi 3x/hari
Daging : 3x/minggu
Ikan : 3x/minggu
Telur : tidak diberikan
Sayur : 5x/minggu
Buah : 5x/minggu
Kesan : Kualitas dan kuantitas makan cukup
Riwayat Imunisasi:
 BCG : 1 kali
 DPT : umur 2,3,4 bulan
 Polio : lahir, umur 2,3 bulan
 HiB : umur 2,3,4 bulan
 Hepatitis B : lahir, umur 2,3 bulan
 Campak : tidak imunisasi
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Riwayat Tumbuh Kembang :
 Ketawa : 2 bulan
 Miring : tidak ingat
 Tengkurap : tidak ingat
 Duduk : 1 tahun 6 bulan
 Merangkak : 2 tahun
 Berdiri : 3 tahun 3 bulan
 Lari : belum bisa
 Bicara : belum bisa
 Gigi pertama : 8 bulan
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan pasien terlambat
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu

Nama RR S

Umur 41 tahun 37 tahun

Pendidikan S1 D3

Pekerjaan PNS PNS

Perkawinan I I

Penyakit yang pernah di- Tidak ada Asma


derita

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


Rumah tempat tinggal : Permanen
Sumber air minum : air galon, PDAM
Buang air besar : jamban di dalam rumah
Pekarangan : luas
Sampah : dibuang di TPA
Kesan : Sanitasi dan hygiene cukup baik
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : komposmentis
Tekanan darah : 95/60 mmHg
Nadi : 110 x/ menit
Nafas : 30 x/ menit
Suhu : 360C
Tinggi Badan : 85 cm
Berat Badan : 12 kg
BB/U : -2 SD s/d 2 SD
TB/U : <-3 SD
BB/TB : -2 SD s/d 2 SD
Gizi : Gizi baik
Kulit : bintik-bintik merah (+), Turgor kembali cepat
KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB
Kepala : Bentuk bulat, simetris.
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan deformitas
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, sianosis sentral tidak ada
Leher : tidak ada pembesaran KGB, tidak ada deviasi trakea
Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, retraksi tidak ada.
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara Nafas Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : teraba iktus cordis di 1 jari medial linea mid clavicula sinistra
RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama teratur, S1 S2 regular, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus positif normal
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Alat kelamin : tidak ada kelainan
Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah tanggal 18/3/22
Hb : 12,3gr/dl
Leukosit : 15.300 /mm3
Hematokrit : 34%
Trombosit : 382.000/mm3
Kesan: hasil dalam batas normal
Diagnosis Kerja
Kejang Demam Kompleks
Global Delay Development
Diagnosis Banding
Epilepsi
Tatalaksana :
- IVFD KaEN 1B 15 tpm makro
- Cefixime 2x1/2 cth
- Paracetamol 4x1 cth
- Diazepam 3 x 2 mg p.o
- Zink 1x1 tab
Edukasi
 Kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
 Memberitahukan cara penanganan kejang dan apa yang harus dikerjakan
bila anak kejang
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
 Memberitahukan bahwa pemberian obat profilaksis untuk mencegah ber-
ulangnya kejang memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek
samping obat.
Rencana pemeriksaan :
- Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, gula darah
- Lumbal punksi
Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit

19/03/22 S/ Demam tidak ada


Kejang tidak ada
Batuk sesekali
BAK dan BAB biasa
.
O/ KU: tampak sakit sedang, kesadaran: sadar, TD : 116/70 HR:
110 x/menit, RR: 23x/menit, , suhu: 36,7oC.
Mata: konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik
Thoraks: cord dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen: distensi (-), supel. hepar tidak teraba, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Kejang demam kompleks
- Global Delay Development

P/
- Cefixime 2x1/2 cth
- Paracetamol 4x1 cth k/p
- Diazepam 3 x 2 mg p.o
- Zink 1x1 tab
BAB 4
DISKUSI
Seorang anak laki-laki, berusia 3 tahun 2 bulan dengan keluhan utama kejang
15 menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang 15 menit sebelum masuk rumah sakit
dengan frekuensi 2 kali, durasi kurang dari 15 menit, jarak antar kejang 5 menit, kejang
pada kedua tangan, anak sadar setelah kejang, kejang merupakan periode yang kedua.
Kejang sudah pernah terjadi 1 bulan yang lalu dengan durasi kurang dari 15 menit,
kejang kelonjotan seluruh tubuh, anak sadar setelah kejang. Kejang pada pasien ini
didahului oleh demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, terus menerus,
tidak menggigil, dan tidak berkeringat banyak.
Kejang pada kejang demam terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena
gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Demam akibat infeksi pada sistem saluran
pernapasan sering menjadi penyebab kejang demam. Pada pasien ini penyebab infeksi
berasal dari saluran pernapasan yang ditandai dengan gejala batuk pilek 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam dapat menyebabkan perubahan keseimbangan dari mem-
bran sel neuron sehingga menyebabkan lepasnya muatan listrik yang dapat meluas ke
seluruh sel hingga terjadi kejang. Tidak ada riwayat terbentur pada kepala dapat me-
nyingkirkan kemungkinan terjadinya kejang karena kerusakan pada sistem saraf.
Hasil pemeriksan fisik ditemukan anak sadar, suhu tubuh sudah turun karena
telah diberikan paracetamol. Tidak ada tanda-tanda kelainan neurologis yang dialami
pasien ini, tanda rangsang meningeal tidak ada, reflex fisiologis normal, dan reflex
patologis tidak didapatkan. Pada pasien ini, dapat disingkirkan kemungkinan kejang
yang disebabkan infeksi sistem saraf pusat. Pada pasien ini diberikan tatalaksana
cairan IVFD KaEN 1B 15 tpm makro, Cefixime 2x1/2 cth, Paracetamol 4x1 cth, Di-
azepam 3 x 2 mg p.o, Zink 1x1 tab. Pasien diberikan paracetamol jika suhu ≥ 380C
sebagai antipiretik. Walaupun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik
mengurangi risiko terjadinya kejang demam, dokter neurologi anak di Indonesia sepa-
kat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis paracetamol yang digunakan adalah
10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Pasien ini diberikan profilaksis intermiten
karena kejang pada pasien ini terjadi pada suhu <390C.
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan se-
bagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.Berikan
edukasi kepada orang tua cara penanganan kejang, memberikan informasi mengenai
kemungkinan kejang kembali, pemberian obat profilaksis untuk mencegah beru-
langnya kejang dengan tetap mengingat adanya efek samping obat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,


penyunting. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI
2016.h1-14
2. Mikati MA, Hani AJ. Febrile Seizure. Dalam Kliegman RM, Behrman RE, Stanton
BF, St Gemme VW, Schor NF, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi
ke-20. Philadelphia: Elsevier, 2016. h2829-31.
3. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Indris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED,
penyunting. Pedoman Pelayanan Medis jilid I. Jakarta: IDAI, 2010. h150-153
4. Seinfeld DOS, John MP. Recent research on febrile seizure: a review. J Neurol
Neurophysiol 4(165). 2014. h1-10
5. Wardhani AK. Kejang demam sederhana pada anak usia satu tahun. Medula 1(1).
2013. h57-64
6. Fuadi, Tjipta B, Noor W. Faktor resiko bangkitan kejang demam pada anak.Sari
Pediatri vol 12 no 3. 2010. h142-149
7. Bahtera T, Susilo W, Soemantri AGH. Faktor genetic sebagai resiko kejang
demam. Sari Pediatri vol 10 no.6. 2009. h78-384
8. Hassan R, Alatas H. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007
9. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999.
h:244-52
10. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti S,
penyunting Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Jakarta: IDAI 2016. H4
11. Deliana M. Tatalaksana kejang demam pada anak. Sari Pediatric vol 4 no 2. 2009.
h-59-62

Anda mungkin juga menyukai