Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEJANG DEMAM


DIRUANG ASTER RUMAH SAKIT dr. SOEBANDI JEMBER

Disusun oleh:
Lantang Caesar Agdama
(1440120024)

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI
2022
KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Kejang demam
merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu ± 38 ºC yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium, biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai 5 tahun. Sedangkan
untuk usia< 4 minggu dan pernah kejang tanpa demam, tidak termasuk dalam kategori ini
(Ridha, 2014). Kejang demam dapat terjadi karena adanya proses intracranial maupun
ekstrakranial. Kejang demam dapat terjadi pada 2-4% populasi anak umur 6 bulan hingga 5
tahun, namun paling sering pada usia 17-23 bulan (Nurarif & Kusuma, 2016).
Kejang demam merupakan kejang yang timbul pada saat demam yang sering disebabkan
karena proses ekstrakranial misalnya infeksi saluran pernafasan, telinga ataupun saluran
pencernaan (Lusia, 2015). Kejang demam (febrile convultion) atau stuip atau step, adalah
suatu kondisi ketika anak tidak dapat menahan serangan demam pada suhu tertentu sehingga
dapat merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan, sehingga jaringan otak
kesulitan untuk mengkoordinasikan persyarafan pada ekstremitas tubuh, khususnya lengan
dan kaki, maka dari itu timbul awitan kejang-kejang(Djamaludin, 2010).
Berdasarkan definisi di atas, kejang demam adalah kejang yang diakibatkan oleh
peningkatan suhu tubuh melebihi 38ºC yang disebabkan karena proses ekstrakranial yang
mengakibatkan otak mengalami gangguan untuk mengatur koordinasi anggota gerak tubuh.

B. Etiologi
Penyebab kejang demam belum diketahu hingga saat ini. Namun, kondisi ini sering
disebabkan oleh infeksi ekstrakranial seperti infeksi saluran pernafasan
atas(pharyngitis,tonsillitis), infeksi telinga (otitis media), infeksi saluran pencernaan dan
infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu muncul ketika suhu tubuh tinggi, suhu yang tidak
begitu tinggipun juga dapat mengakibatkan kejang (Febri & Marendra, 2010).
Sedangkan factor-faktor yang diduga dapat menyebabkan kejang demam adalah sebagai
berikut :
1. Factor genetic
Factor genetic turut berperan dalam penyebab timbulnya kejang demam. 25-50% anak
dengan kejang memiliki anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam
minimal sekali. Belum dapat dijelaskan secara pasti bagaimana sifat pewarisan dari
kejang demam (Deliana, 2015).
2. Gangguan metabolisme
Disebabkan oleh beberapa kondisi seperti hipoglikemia, gangguan elektrolit (Na dan K)
serta pasien dengan riwayat diare sebelumnya (Nurarif & Kusuma, 2016).
3. Trauma
Trauma dapat berupa perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler (Nurarif &
Kusuma, 2016).
4. Neoplasma, toksin
Neoplasma dapat menyebabkan kejang pada usia berapapun, hal tersebut merupakan
penyebab yang sangat penting dari kejang pada usia pertengahan dan ketika insiden
neoplastic meningkat(Ridha, 2014).
5. Factor perinatal
Riwayat perinatal seperti asfiksia, usia kehamilan dan bayi dengan berat badan lahir
rendah diduga mempengaruhi munculnya kejang demam(Ridha, 2014).
6. Malformasi otak kongenital
Malformasi otak adalah perkembangan abnormal pada otak, misanya disgenesis ataupun
kelainan serebri yang diduga berperan terhadap kejadian kejang demam(Nurarif &
Kusuma, 2016).

C. Manifestasi klinik
Tanda-tanda kejang demam diantaranya adalah
1. Demam diatas 38º C
2. Sifat kejang menyentak atau kaku pada otot
3. Gerakan mata yang abnormal, yaitu berputar-putar atau mengarah ke atas
4. Warna kulit berubah menjadi pucat bahkan membiru serta akral menjadi dingin
5. Terjadi penurunan kesadaran sejenak saat kejang
6. Penurunan kontrol kandung kemih dan usus
7. Gigi terkatup, lidah dapat tergigit maupun berbalik arah dan muntah
8. Mengantung atau bingung setelah kejang dalam waktu yang singkat(Ridha, 2014).

D. Patofisiologi
Dalam kondisi normal, membrane sel neuron dapat dilewati dengan mudah oleh ion
kalium dan sangat sulit untuk dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida. Oleh karena itu, ion kalium dalam sel neuron tinggi dan ion natrium konsentrasinya
rendah, sedang di luar sel neuron merupakan kebalikan dari situasi tersebut. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam maupun luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial membrane. Untuk menjaga stabilisasi keseimbangan potensial membrane, maka
diperlukan energi serta bantuan enzim dari NA-K ATP-ase yang ada pada permukaan sel
Keseimbangan potensial ini dapat berubah karena perubahan konsentrasi di ion di ruang
ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya. Perubahan patofisiologi dari membrane penyakit sendiri diakibatkan
penyakit atau keturunan. Pada kondisi demam, kenaikan suhu 1º C akan mengakibatkan
kenaikan metabolism basal 10 hingga 15% serta kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada
anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh daripada orang dewasa yang
hanya mencapai 15%. Maka dari itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan
dari membrane sel neuron dan dalam waktu yang relative singkat terjadi difusi dari ion
kaium maupun ion natrium yang mengakibatkan lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan
listrik ini sangat besar sehingga dapat menyebar keseluruh sel maupun ke membrane sel
sekitarnya dengan bantuan neurotransmittersehingga timbul respon kejang. Kejang demam
yang berlangsung lama umumnya disertai apnea, peningkatan kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang berakhir dengan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
yang disebabkan oleh metabolism anaerob, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang
tidak teratur serta suhu tubuh meningkat yang dipengaruhi oleh semakin meningkatnya
aktivitas otot dan berakhir dengan peningkatan metabolism otak
Berbagai infeksi ekstrakranial seperti tonsillitis, otitits media akut, bronkitis merupakan
penyebab terbanyak terjadi kejang demam. Toksik yang dihasilkan dari mikroorganisme dari
infeksi tersebut mampu menyebar ke seluruh tubub melalui hematogen dan limfogen.
Penyebaran toksik tersebut akan direspon oleh hipotalamus dengan meningkatkan
pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda bahwa tubuh mengalami bahaya secara
sistemik. Kenaikan pengaturan suhu tubuh di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu
di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga menimbulkan kontraksi otot. Akibat
kenaikan suhu tersebut, akan merangsang pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan
prostaglandin. Peningkatan potensial inilah yang menstimulus perpindahan ion natrium dan
kalium secara cepat dari luar sel ke dalam sel. Peristiwa tersbeut yang diduga dapat
meningkatkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang demam.
Serangan cepat itulah yang menjadikan anak mengalami penurunan kesadaran, otot
ekstremitas atau spasme otot pada bronkus sehingga anak rentan mengalami cedera atau
injuri, selain itu juga kelangsungan jalan nafas akan terganggu akibat penutupan lidah dan
spasme bronkus(Putri, 2019).
E. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Ciri dari kejang ini adalah :
a. Kejang berlangsung dalam waktu singkat
b. Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
c. Tanpa gerakan fokal
d. Kejang tidak bersifat tonik klonik
e. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam(Ridha, 2014).
Selain itu terdapat manifestasi lain yang dapat dijadikan pedoman untuk kejang demam,
diantaranya adalah
a. Usia anak saat kejang antara 6 bulan hingga 4 tahun
b. Kejang hanya berlangsung tidak melebihi 15 menit
c. Kejang bersifat umum (tidak berpacu pada satu bagian tubuh saja)
d. Kejang muncul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
e. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum kejang maupun setelah kejang tidak
mengalami kelainan
f. Frekuensi kejang dalam kurun waktu setahun tidak melebihi 4 kali
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberikan
reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit, anak akan sadar tanpa
kelainan saraf(Ismael, dkk, 2016).
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
a. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung > 15 menit atau kejang berulang > 2
kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8%
kejang demam
b. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam, dan diantara 2 bangkitan kejang anak
sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang mengalami kejang demam
d. Ada kelainan neurologis sebelum maupun sesudah kejang(Ismael, dkk, 2016).

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari kejang demam di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan(Putri, 2019).
2. Kerusakan jaringan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang
menghasilkan glutamate yang mengikat reseptor M Metyl D Asparate (MMDA) yang
mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang dapat merusak sel neuron
secara irreversible. Terjadi bila kejang demam berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
(Nurarif & Kusuma, 2016).
3. Kerusakan neurotransmitter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
ataupun membran sel yang menyebabkan kerusakan pada neuron(Putri, 2019).
4. Aspirasi
Hal ini diakibatkan oleh lidah yang jatuh ke belakang sehingga menyebabkan obstruksi
jalan nafas. Aspirasi pada jalan nafas menyebabkan kegawatan pernafas yang berujung
kematian, namun kejadian ini sangat kecil sekitar 0,63-0,75%(Putri, 2019).

G. Pemeriksaan penunjang
Diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium,
fungsi lumbal, elektroensefalografi dan pencitraan neurologis. Pemelihan jenis pemeriksaan
ini tentunya disesuaikan dengan kebutuhan (Putri, 2019).
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan pada anak ini berguna untuk mencari etiologi dan komplikasi akibat
kejang lama. Jenis pemeriksaan yang dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang lama adalah kadar glukosa
darah, elektrolit, darah perifer lengkap dan masa protombin. Pemeriksaan laboratorium
tersebut bukan pemeriksaan rutin pada kejang demam. Jika dicurigai adanya meningitis
bacterial perlu dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan serebrospinal.
2. Fungsi lumbal
Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai penurunan
kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit, kaku kuduk, gejala infeksi,
peningkatan sel darah putih, paresis atau pada kasus yang tidak didapatkan factor
pencetus yang jelas. Fungsi lumbal dapat dilakukan secara berulang dalam 48 jam atau
72 jam setelah fungsi lumbal yang pertama yang memastikan adanya infeksi susunan
saraf pusat. Apabia ditemukan kelainan neurologis, fokal dan peningkatan intracranial,
maka dilanjutkan pemeriksaan ct-scan kepala dahulu untuk resiko terjadinya herniasi
The American Academy of Pediatric merekomendasikan bahwa pemeriksaan
fungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan kejang pertama disertai demam pada
anak usia dibawah 12 bulan karena manifestasi klinis meningitis tidak jelas atau bahkan
tidak ada pada anak usia 12-18 bulan, sedangkan pada usia lebih dari 18 bulan, fungsi
lumbal dilakukan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi intracranial (meningitis).

3. Elektroensephalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang epileptiform.
Pemeriksan ini mempunyai keterbatasan. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis
ternyata memperlihatkan EEG epileptiform, sedangkan anak lain dengan epilepsi berat
mempunyai gambar intetiktral EEG yang normal. Senistivitas EEG interiktal bervariasi.
Hanya sindrom epilepsi saja yang menunjukkan kelainan EEG yang khas, abnormalitas
EEG berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa gelombang paku
tajam dengan atau gelombang lambat. Kelainan dapat bersifat umum, multifocal atau
fokal pada daerah temporal maupun frontal
Pemeriksaan EEG segera atau dalam 24-48 jam setelah kejang atau sleep
derivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya kelainan EEG
tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis. Gambaran EEG yang normal
menunjukkan kemungkinan klien bebas dari kejang setelah obat anti epilepsi dihentikan
4. Neuroimaging
Yang termasuk pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-Scan, dan MRI
kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk
pertama kalinya. Foto polos kepala memiliki nilai diagnostic kecil meskipun dapat
menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan ct-scan kepala dapat ditemukan
pada pasien kejang demam dengan riwayat trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang
abnormal, perubahan pola kejang berulang, riwayat menderita penyakit susunan saraf
pusat kejang fokal ataupun riwayat keganasan
Magnestic resonance imaging (MRI) lebih superior dibandingkan Ct-Scan dalam
mengevaluasi lesi epileptogenic atau tumor kecil daerah temporal atau daerah yang
tertutup struktur tulang misalnya daerah serebrum. MRI dipertimbangkan pada anak
dengan kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus temporalis, perkembangan terhambat
tanpa adanya kelainan pada Ct-Scan

H. Penatalaksanaan medis/terapi
1. Terapi medis atau farmakologi
a. Saat kejang
1) Antikonvulsan
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (± 4 menit). Apabila saat pasien
datang ke rumah sakit masih dalam keadaan kejang (hospital), obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
adalah 0,2-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg(Ismael, dkk, 2016).
Obat yang dapat diberikan oleh orangtua di rumah (pre hospital) adalah
diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan < 12 kg dan 10 mg untuk berat badan > 12
kg(Ismet, 2017).
Apabila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian masih tetap kejang, anjurkan untuk dibawa ke
rumah sakit .di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang
masih berlanjut, lihat algoritma tatalaksanan status epilepticus. Bila kejang telah
berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis(Ismet, 2017).
b. Setelah kejang berhenti
1. Antikonvulsan intermitten(Ismael, dkk, 2016).
Adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksis intermitten diberikan pada kejang demam dengan salah satu factor
resiko dibawah ini yaitu :
a) Kelainan neurologis berat, misalnya cerebral palsy
b) Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
c) Usia < 6 bulan
d) Bila kejang terjadi ada suhu tubuh < 39º C
e) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kgBB/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari dengan dosis maksimum diazepam, 7,5
mg/kali. Diazepam intermitten diberikan selama 48 jam pertama demam
2. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali atau 4-6
jam. berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa hiperdrosis.
Selain itu, ibuprofen juga dapat diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB/kali dengan
frekuensi 3 kali(Nurarif & Kusuma, 2016).
3. Antibiotic
Digunakan untuk mencari dan mengobati penyebab kejang demam (terapi
kausial) yang diprovokasi oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius
bagian atas dan otitis media akut, diantaranya adalah: ampicillin, cefotaxime,
oxacillin, dan ceftriaxone. Pemberian antibiotic yang adekuat perlu untuk
mengobati penyakit tersebut. Secara akademis, pasien kejang demam yang
datang untuk pertama kali sebaiknya dilakukan pungsi lumbal untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya factor infeksi didalam otak (misal
meningitis)(Ismael, dkk, 2016).
c. Bila kejang berulang (Putri, 2019).
Berdasarkan bukti ilmiah, penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumatan (antikonvulsan rumatan) hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek Indikasi pengobatan
rumat adalah
1. Kejang fokal
2. Kejang lama > 15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum satau sesudah kejang (cerebral
palsy, hidrosefalus, hemiparesis)
Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberi edukasi untuk pemberian
terapi profilaksis intermitten terlebih dahulu, jika tidak berhasil atau orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproate setiap hari efektif dalam
menurunkan resiko berulangnya kejang. Pemakainan fenobarbital setiap hari dapat
menimbulka gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproate. Dosis asamvalproate adalah 15-40
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2
dosis. Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat
untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat
anak tidak sedang demam
2. Terapi non-farmakologi(Deliana, 2015).
a. Tetap tenang dan tidak panic
b. Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
c. Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntah atau lender dimulut atau hidung
d. Jauhkan benda berbahaya yang dapat melukai anak
e. Jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
f. Menjaga agar lidah tidak tergigit
g. Tidak menahan anak untuk menghentikan gerakan kejang
h. Ukur suhu, observasi dan catat bentuk serta lama kejang
i. Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang
j. Edukasi pada orangtua
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam memiliki prognosis yang baik
2. Memberitahu penanganan kejang
3. Memberi informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Primery survey
a. A : Airways (jalan napas)
Karena pada kasus kejang demam inpuls – inpuls radang dihantarkan ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh. Hipotalamus
menginterpretasikan impuls menjadi demam. Demam yang terlalu tinggi
merangsang kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan, sehingga jaringan
otak tidak dapat lagi mengkoordinasi persyarafan – persyarafan pada anggota
gerak tubuh. Wajah membiru, lengan dan kakinya terstak – sentak tak
terkendali selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa
detik tetapi akibat yang ditimbulkan dapat membahayakan keselamatan anak
balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam adalah
gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika tergigit, dan
atau berbalik arah lalu menyumbat saluran napas.
b. B : Breathing (pola napas)
Karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih 15 menit biasanya
disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk
kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoksia dan menimbulkan
terjadinya asidosis.
c. C : Circulation
Karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial
lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang yang berlangsung
lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan
epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat
menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
d. D : Disability
Klien tidak sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik
dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung dan tidak
teringat kejadian saat kejang.
e. E : Exposure
Pakaian klien dibuka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada
cedera tambahan akibat kejang, dan pemeriksa suhu tubuh yang mana kejang
mungkin disebabkan atau didahului oleh terjadinya demam.
2. Sekundery survey
1. Identitas
Kejang demam dapat menyerang bayi ataupun anak, tetapi biasanya menyerang anak
diantara usia 6 bulan hingga 5 tahun(Nurarif & Kusuma, 2016).
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2:1. Hal tersebut dikarenakan pada wanita didapatkan maturase serebral
yang lebih cepat dibandingkan laki-laki(Kakalang, 2016).
2. Status kesehatan saat ini
a. Keluhan utama
Biasanya anak mengalami peningkatan suhu tubuh ≥ 38º C, pasien mengalami
kejang bahkan pada pasien kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
biasanya mengalami penurunan kesadaran(Putri, 2019).
b. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya orangtua pasien akan mengatakan badan anaknya terasa panas disertai
kejang, menjelaskan durasi atau lama terjadinya kejang yang biasanya tergantung
pada jenis kejang yang dialami oleh anak, tingkat karakteristik atau kualitas kejang
(tonik-klonik, fokal ataupun kinetik) serta upaya yang sudah dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut(Putri, 2019).
3. Riwayat kesehatan dahulu
a. Riwayat penyakit sebelumnya
Terdapat riwayat penyakit yang mendukung terjadinya kejang demam seperti
penyakit ekstrakranium, diantaranya adalah tonsilitis, pharyngitis, otitis media,
infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan, gangguan metabolic ataupun
factor perinatal(Ngastiyah, 2014).
b. Riwayat kesehatan keluarga
Dilihat dari genogram atau silsilah keluarga, adanya riwayat keluarga dengan kejang
demam akan meningkatkan resiko terjadinya kejang pada anak. Dilaporkan 25%
anak dengan kejang demam mempunyai riwayat keluarga dengan kejang demam,
namun belum dapat dijelaskan mekanisme sifat pewarisan dari kejang
demam(Deliana, 2015).
c. Imunisasi
Biasanya anak dengan riwayat imunisasi tidak lengkap rentan tertular penyakit
infeksi (pharyngitis, tonsillitis dll) atau virus yang diduga berpengaruh terhadap
munculnya kejang demam(Putri, 2019).
d. Riwayat perkembangan anak
Biasanya pada pasien dengan kejang demam kompleks mengalami gangguan
keterlambatan perkembangan dan intelegensi pada anak serta mengalami kelemahan
pada anggota gerak (hemifarise)(Putri, 2019).
4. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
1. Kesadaran
Umumnya kesadaran anak composmentis, tetapi bisa mengalami penurunan
kesadaran jika terjadi pada anak dengan kejang demam kompleks(Putri, 2019).
2. Tanda-tanda vital
Pada pemeriksaan suhu ditemukan > 38º C, nadi takikardia, frekuensi sering
mencapai diatas 150-200, tekanan darah meningkat dan respiration rate pada usia
2 hingga < 12 bulan melebihi 49 kali/menit dan pada usia 12 bulan hingga < 5
tahun biasanya melebihi 40 kali/menit(Putri, 2019).
3. BB
Biasanya pada anak dengan kejang demam tidak terjadi penurunan berat badan
yang berarti(Putri, 2019).
b) Head to Toe
1. Kepala dan leher
a. Kepala
Inspeksi: Biasanya pada klien tampak simetris dan tidak ditemukan
kelainan(Putri, 2019).
Palpasi: tidak ditemukan kelainan atau benjolan, fontanel sudah menutup
pada anak yang sudah besar(Ridha, 2014).
b. Mata
Inspeksi: biasanya ditemukan gerakan mata abnormal, yaitu berputar-putar
atau mengarah ke atas, bentuk mata simetris antara kiri dan kanan, sklera
tidak ikterik, dan konjungtiva anemis(Ridha, 2014).
Palpasi: umumnya tidak ditemukan kelainan berupa nyeri tekan(Ridha,
2014).
c. Hidung
Inspeksi: biasanya fungsi penciuman baik, terdapat pernafasan cuping hidung
karena nafas yang tidak beraturan, bentuk simetris, dan mukosa hidung
berwarna merah muda
Palpasi: umumnya tidak ditemukan kelainan seperti krepitasi(Putri, 2019).
d. Mulut dan tenggorokan
Biasanya mukosa bibir tampak kering, tonsil hiperemis, dan lidah tampak
kotor serta ditemukan gigi terkatup, lidah dapat tergigit maupun berbalik arah
dan muntah(Ridha, 2014).
e. Telinga
Umumnya bentuknya simetris antara kiri dan kanan, normanya pili sejajar
dengan katus mata, keluar cairan, terjadi gangguan pendengaran yang bersifat
sementara, dan terdapat nyeri tekan mastoid(Putri, 2019).
f. Leher
Biasanya terjadi pembesaran kelenjar getah bening(Putri, 2019).
2. Dada
a. Paru-paru
Inspeksi : biasanya gerakan dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu
pernafasan, kecuali jika kejang terjadi > 15 menit, Palpasi : biasanya vocal
fremitus pada dada teraba sama antara kiri dan kanan
Perkusi : pada dada bunyi mulai redup apabila terdapat secret yang sulit
dikeluarkan saat anak mengalami penurunan kesadaran akibat kejang
Auskultasi : pada klien dengan kejang demam yang diawali oleh bronchitis,
biasanya ditemukan bunyi nafas tambahan seperti ronchi(Putri, 2019).
b. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi : batas kiri jantung : ICS II kiri di linea parasternalis kiri, batas bawah
kanan jantung di sekitar ruang intercostalis III-IV kanan dilinea parasternalis
kanan, batas atasnya di ruang intercostal II kanan linea parasternalis kanan
Auskultasi : BJ II lebih rendah dari BJ I(Putri, 2019).
3. Abdomen
Inspeksi : perut lemas dan kembung ataupun datar
Auskultasi : bising usus dapat menurun ataupun menghilang karena hilang
kontrol pada usus
Palpasi : tidak terdapat kelainan berupa nyeri tekan
Perkusi : bising usus menurun menunjukkan adanya konstipasi, sedangkan bising
usus menghilang mengindikasikan diare yang menimbulkan hipertimpani(Kyle,
2014).
4. Genetalia
Terjadi penurunan kontrol kandung kemih(Ridha, 2014).
5. Ekstremitas
Pada ekstremitas atas dan bawah biasanya mengalami kelemahan tonus
otot(Putri, 2019).
6. Kulit dan kuku
Inspeksi : Warna kulit berubah menjadi pucat bahkan membiru
Palpasi : CRT > 2 detik, akral dingin baik pada ekstremitas atas maupun
bawah(Ridha, 2014).
7. Status neurologi(Iskandar, 2014).
a. Nervus I (olfaktorius): penciuman
Dapat menerima rangsangan dari hidung dan menghantarkannya ke otak
untuk diproses sebagai sensasi bau
b. Nervus II (optikus): penglihatan
Dapat menerima rangsangan dari mata lalu kemudian diproses sebagai
persepsi visual
c. Nervus III, IV, VI (okulomotorius, trochlear, abducens)
Dapat menggerakkan sebagian otot mata sebagai perintah
d. Nervus V (trigeminus)
Dapat menerima rangsangan dari wajah lalu diproses sebagai rangsang
sentuhan dan fungsi motoric untuk menggerakkan rahang
e. Nervus VII (facialis)
Dapat menerima rangsang untuk mengendalikan otot wajah dan dapat
menciptakan ekspresi wajah
f. Nervus VIII (Acusticus)
Dapat menerima rangsang dari telinga untuk diproses sebagai suara kemudian
diulang dalam bentuk kata
g. Nervus IX dan X (glosopharingeus dan vagus)
Dapat menerima rangsang dari bagian posterior lidah
h. Nervus XI (assesorius)
Dapat mengendalikan pergerakan kepala sesuai perintah
i. Nervus XII (Hipoglossus)
Dapat mengendalikan pergerakan lidah sesuai perintah.
B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
a. Definisi :kelebihan atau kekurangan oksigenasi atau eleminasi karbondioksida pada
membrane alveolus-kapiler.
b. Penyebab : ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, dan perubahan membran alveolus-
kapiler.
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Dispnea
Objektif :
1. PCO2 meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. PH arteri meningkat/menurun
5. bunyi nafas tambahan.
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif : pusing dn penglihatan kabur
Objektif :
1. Sianosis
2. Diaporesis,
3. Gelisah
4. Nafas cuping hidung,
5. Pola nafas abnormal
6. Warna kulit abnormal
7. Kesadaran menurun.
e. Kondisi klinis terkait :asma, asfiksia, persistent pulmonary hypertension of newborn
(PPHN), prematuritas, infeksi saluran nafas(PPNI, 2016, p. 22).

2. Pola nafas tidak efektif b.d gangguan neurologis atau kejang


a. Definisi :
Inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat
b. Penyebab :
1) Depresi pusat pernafasan
2) Hambatan upaya nafas
3) Gangguan neuromuscular
4) Gangguan neurologis
5) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru.
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : dispnea
Objektif :penggunaan otot bantu pernafasan, fase ekspirasi memanjang dan pola
nafas abnormal
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif :ortopnea
Objektif :
1. Pernafasan cuping hidung
2. Diameter thoraks anterior-posterior meningkat,
3. Ventilasi semenit menurun, kapasitas vital menurun
4. Tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi menurun
5. Ekskursi dada berubah.
e. Kondisi klinis terkait : depresi system saraf pusat, cedera kepala, intoksikasi
alcohol(PPNI, 2016, p. 26).
3. Resiko aspirasi b.d penurunan derajat kesadaran
a. Definisi
Beresiko mengalami masuknya sekresi gastrointestinal, orofaring, benda padat atau
cair yang masuk ke dalam saluran trakeobronkhial akibat disfungsi mekanisme
proteksi pada saluran nafas
b. Factor resiko
1. Penurunan derajat kesadaran
2. Penurunan refleks saat muntah ataupun batuk
3. Gangguan dalam menelan
4. Disfagia
5. Peningkatan residu cairan lambung
6. Penurunan motilitas pada gastrointestinal
c. Kondisi klinis terkait
1. Cedera pada kepala
2. Laringomalasia
3. Prematuritas(PPNI, 2016, p. 28).
4. Perfusi jaringan perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri atau vena
a. Definisi :
Penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu metabolisme
tubuh.
b. Penyebab:
1. Penurunan konsentrasi hemoglobin
2. Peningkatan tekanan darah
3. Penurunan aliran arteri atau vena
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : pengisian kapiler >3detik, nadi perifer menurun atau teraba, akral dingin,
kulit pucat, turgor kulit menurun.
d. Gejala dan tanda minor :
Subjektif : parastesia, dan nyeri ektremitas
Objektif : edema,penyembuhan luka lambat, indeks ankle-brachial <0,90 dan bruit
femoral.
e. Kondisi klinis terkait : tromboflebitis, diabetes militus, anemia, kelainan jantung
kongenital, trombosis arteri, thrombosis vena dalam(PPNI, 2016, p. 37).
5. Resiko perfusi serebral tidak efektif b.d reduksi aliran darah ke otak
a. Definisi :
Beresiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak
b. Faktor resiko :
1. Penurunan kerja ventrikel kiri
2. Diseksi arteri
3. Miksoma atrium
4. Cedera kepala
5. Hipertensi
6. Endokarditis infeksi
7. Stenosis mitral
8. Neoplasma otak
c. Kondisi klinis terkait
1. Cedera kepala
2. Diseksi arteri
3. Embolisme
4. Endokarditis infektif
5. Hipertensi
6. Miksoma atrium
7. Neoplasma otak
8. Infeksi otak(PPNI, 2016, p. 51).
6. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme
a. Definisi : suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh
b. Penyebab
1. Proses penyakit (mis.infeksi,kanker)
2. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkunga
3. Peningkatan laju metabolisme
4. Aktivitas berlebihan
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:Suhu tubuh diatas nilai normal
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif: (tidak tersedia)
Objektif:
1. Kulit merah
2. Kejang
3. Takikardi
4. Takipnea
5. Kulit hangat
e. Kondisi klinis terkait
1. Proses infeksi
2. Dehidrasi
3. Prematuritas
4. Trauma(PPNI, 2016, p. 284).
7. Resiko cedera b.d hipoksia jaringan
a. Definisi
Beresiko mengalami kerusakan fisik atau bahaya yang mengakibatkan seseorang
tidak ingin lagi sehat secara total atau dalam kondisi baik
b. Factor resiko
Eksternal
1. Terpapar pathogen
2. Terpapar zat-zat kimia toksik
Internal
1. Orientasi afektif yang berubah
2. Sensasi yang berubah
3. Disfungsi autoimun
4. Disfungsi biokmia
5. Hipoksia pada jaringan
6. Gagalnya mekanisme pertahanan tubuh
7. Perubahan fungsi pada psikomotor
8. Perubahan pada fungsi kognitif
c. Kondisi klinis terkait
1. Synkop
a. Kejang
b. Gangguan pada pendengaran
c. Gangguan pada penglihatan
d. Hipotensi atau penurunan tekanan darah(PPNI, 2016, p. 294).
C. Intervensi keperawatan
No Diagnosis Intervensi Keperawatan
Keperawatan Tujuan
1. Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan respirasi (I. 01014)
pertukaran gas perawatan selama 3 Observasi
(D.0003) x 24 jam maka 1. monitor frekuensi, irama,
pertukaran gas kedalaman, dan upaya napas .
(L.01003) 2. monitor pola napas (seperti
meningkat, dengan bradipnea, hiperventilasi,
kriteria hasil : kussmaul)
a. tingkat 3. monitor kemampuan batuk
kesadaran efektif
meningkat 4. monitor adanya produksi
b. dipsnea sputum
menurun 5. monitor adanya sumbatan jalan
c. bunyi napas napas
tambahan 6. auskultasi bunyi napas
menurun 7. monitor nilai AGD
d. pusing menurun Terapeutik
e. napas cuping 1. atur interval pemantauan
hidung respirasi sesuai kondisi pasien
menurun 2. dokumentasikan hasil
f. PCO2 membaik pemantauan
g. PO2 membaik Edukasi
h. takikardi 1. jelaskan tujuan dan prosedur
membaik pemantauan
i. Sianosis 2. informasikan hasil
membaik pemantauan, jika perlu
j. pola napas
membaik
2 Ketidakefektifa Setelah dilakukan Manajemen jalan napas (I.01011)
n pola napas tindakan Observasi
(D.0005) keperawatan selama 1. monitor pola napas (frekuensi,
3 X 24 jam maka kedalaman, usaha napas)
pola napas (L.01004) 2. monitor bunyi napas tambahan
membaik, dengan (mis, gurgling, mengi,
kriteria hasil : wheezing, ronkhi kering)
a. ventilasi 3. monitor kulit area stoma
semenit trakeostomi (mis, kemerahan,
meningkat drainase, perdarahan)
b. kapasitas Terapeutik
vital 1. pertahankan kepatenan jalan
meningkat napas dengan head tilt dan chin
c. tekanan lift
ekspirasi 2. posisikan semi - fowler atau
meningkat fowler
d. tekanan 3. berikan minuman hangat
inspirasi 4. lakukan fisioterapi dada, jika
meningkat perlu
e. dispnea 5. lakukan penghisapan lendir
menurun kurang dari 15 detik
f. penggunaan 6. berikan oksigen, jika perlu
alat bantu Edukasi
napas 1. anjurkan asupan cairan 2000
menurun ml/hari, jika tidak
g. pernapasan kontraindikasi
cuping 2. anjarkan teknik batuk efektif
hidung Kolaborasi
menurun 1. kolaborasi pemberikan
h. frekuensi bronkodilator, ekspektoran,
napas mukolitik, jika perlu
membaik
i. kedalaman
napas
membaik
3 Resiko aspirasi Setelah dilakukan Manajemen jalan napas (I.01011)
(D.0149) tindakan Observasi
keperawatan selama 1. monitor pola napas (frekuensi,
3X24 jam maka kedalaman, usaha napas)
tingkat aspirasi 2. monitor bunyi napas tambahan
(L.01006) menurun, (mis, gurgling, mengi,
dengan kriteria wheezing, ronkhi kering)
hasil : 3. monitor kulit area stoma
a. tingkat trakeostomi (mis, kemerahan,
kesadaran drainase, perdarahan)
meningkat Terapeutik
b. kemampuan 1. pertahankan kepatenan jalan
menelan napas dengan head tilt dan chin
meningkat lift
c. dipnea 2. posisikan semi - fowler atau
menurun fowler
d. kelemahan 3. berikan minuman hangat
otot menurun 4. lakukan fisioterapi dada, jika
e. wheezing perlu
menurun 5. lakukan penghisapan lendir
f. batuk kurang dari 15 detik
menurun 6. berikan oksigen, jika perlu
g. sianosis Edukasi
menurun 1. anjurkan asupan cairan 2000
h. gelisah ml/hari, jika tidak
menurun kontraindikasi
i. frekuensi 2. anjarkan teknik batuk efektif
napas Kolaborasi
membaik 1. kolaborasi pemberikan
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
4 Perfusi perifer Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
tidak efektif tindakan Observasi
(D.0009) keperawatan selama 1. periksa sirkulasi perifer (mis,
3 x 24 jam maka, nadi perifer, edema, pengisian
perfusi perifer kapiler, warna, suhu)
(L.02011) 2. identifikasi faktor resiko
meningkat, dengan gangguan sirkulasi (mis,
kriteria hasil : diabetes, perokok, orang tua,
a. denyut nadi hipertensi dan kadar kolesterol
perifer tinggi)
meningkat 3. monitor panas, kemerahan,
b. warna kulit nyeri atau bengkak pada
pucat ekstermites
menurun Terapeutik
c. kram otot 1. hindari pemasangan infus atau
menurun pengambilan darah diarea
d. nekrosis keterbatasan perfusi
menurun 2. hindari pengukuran tekanan
e. akral cukup darah pada ekstremitas dengan
membaik keterbatasan perfusi
f. turgor kulit 3. hindari penekanan dan
cukup pemasangan tourniquet pada
membaik area yang cedera
4. lakukan pencegahan infeksi
Edukasi
1. ajarkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi
2. anjurkan program rehabilitas
vaskular

5 Perfusi serebral Setelah dilakukan Manajemen peningkatan tekanan


tidak efektif tindakan intrakranial (L.06194)
(D.0017) keperawatan selama Observasi
3 X 24 jam maka 1. identiikasi penyebab
perfusi serebral peningkatan TIK (mis, lesi,
(L.02014) meningkat gangguan metabolisme, edema
dengan kriteria serebral)
hasil : 2. monitor tanda dan gejala
a. tingkat peningkatan TIK (mis, tekanan
kesadaran darah meningkat, tekanan nadi
meningkat melebar, bradikardi)
b. kognitif 3. monitor MAP (Mean Arterical
meningkat Pressure)
c. tekanan 4. monitor CVP (Central Venous
intrakranial Pressure, jika perlu
menurun 5. monitor PAWP, jika perlu
d. demam 6. monitor PAP, jika perlu
menurun 7. monitor ICP (Intra Cranial
e. sakit kepala Pressure), jika perlu
menurun 8. monitor CPP (Cerebral
f. kesadaran Perfusion Pressure)
membaik 9. monitor intake dan outpute
cairan
Terapeutik
1. minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang
tenang
2. berikan posisi semi fowler
3. hindari maneuver valsava
4. hindari penggunaan PEEP
5. atur ventilator agar PaCO2
6. pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian sedasi
dan antikonvulsan, jika perlu
2. kolaborasi pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
3. kolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu
6 Hipertermi Setelah dilakukan Majanemen hipertermia (L.15506)
(D.0130) tindakan Observasi
keperawatan selama 1. identifikasi penyebab
3 x 24 jam maka hipertermia
termoregulasi 2. monitor suhu tubuh
(L.14134) membaik, 3. monitor kadar elektrolit
dengan kriteria 4. monitor haluaran urine
hasil : 5. monitor komplikasi akibat
a. menggigil hipertermia
menurun Terapeutik
b. kejang 1. sediakan lingkungan yang
menurun dingin
c. konsumsi 2. longgarkan atau lepaskan
oksigen pakaian
menurun 3. basahi dan kipasi permukaan
d. pucat tubuh
menurun 4. berikan cairan oral
e. takikardi 5. lakukan pendinginan eksternal
menurun 6. hindari pemberian antipiretik
f. takipnea atau aspirin
menurun 7. berikan oksigen, jika perlu
g. brakikardi Edukasi
menurun 1. anjurkan tirah baring
h. hipoksia Kolaborasi
menurun 1. kolaborasikan pemberian
i. suhu tubuh cairan dan elektrolit intravena,
membaik jika perlu
j. suhu kulit
membaik
k. ventilasi
membaik
7 Resiko cedera Setelah dilakukan Pencegahan cedera
(D.0136) tindakan Observasi
keperawatan 3 x 24 1. identifikasi area lingkungan
jam maka, tingkat yang berpotensi yang
cedera (L.14136) menyebabkan cedera
menurun, dengan 2. identifikasi obat yang
kriteria hasil : menyebabkan cedera
a. toleransi 3. identifikasi kesesuaian alas
aktivitas kaki pada ekstremitas bawah
meningat Terapeutik
b. nafsu makan 1. sediakan pencahayaan yang
meningkat memadai
c. gangguan 2. gunaan lampu tidur selama jam
mobilitas tidur
menurun 3. sediakan pispot atau urinal
d. frekuensi untuk eliminasi ditempat tidur,
nadi jika perlu
membaik 4. gunkan pengaman tempat tidur
e. frekuensi sesuai dengan kebijakan
napas fasilitas pelayanan kesehatan
membaik 5. diskusikan mengenai alat bantu
f. pola mobilitas yang sesuai
istirahat/tidur Edukasi
membaik 1. jelaskan alasan intervensi
pencegahan jatuh kepada
pasien dan keluarga
2. anjurkan bergantian posisi
secara perlahan dan duduk
beberapa menit sebelum berdiri

DAFTAR PUSTAKA

Deliana. (2015). Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, 4(2), 59-62.
Djamaludin, N. (2010). Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Jakarta: PT Wahyu Media.
Febri, A. B., & Marendra, Z. (2010). Smart Parents Pandai Mengatur saat Anak Sakit. Jakarta:
Gagas Media.
Iskandar, W. (2014). Pemeriksaan Klinis pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Sagung Seto.
Ismael, dkk. (2016). Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ismet. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 43.
Kakalang, J. (2016). Profil Kejang Demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Jurnal e-Clinic, 4,
1.
Kyle, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Pediatri Edisi 2. Jakarta: EGC.
Lusia. (2015). Mengenal Demam dan Perawatannya pada Anak. Surabaya: University Press.
Ngastiyah. (2014). Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, NIC, NOC . Jogjakarta: Mediaction.
PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Putri, D. R. (2019, September). Asuhan Keperawatan Anak dengan Kejang Demam. Retrieved
Juni 2017, from Keperawatan Anak: http://www.digilib.stikeskusumahusada.ac.id
Ridha, N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wilkinson. (2016). Diagnosa Keperawatan Intervensi Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai