Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN APPENDIXITIS DI IGD RSD. DR SOEBANDI

Oleh :
Villah Haikal Vahresy (1440120065)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUSTIDA

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN

KRIKILAN- GLENMORE- BANYUWANGI

2022/2023
1. Definisi
Apendisitis adalah proses peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbi
cacing atau disebut appendiks (Hariyanto, 2015). Apendisitis merupakan penyebab
umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, yang dilakukan
dengan pembedahan abdomen darurat (Lolo & Novianty, 2018). Appendisitis
adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab penyakit
abdomen akut yang sering terjadi di negara berkembang, penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Kurniawati, 2020).
2. Etiologi
Penyebab apendicitis belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa
faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, di antaranya sebagai
berikut (Hariyanto, 2015):
a. Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendicitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi.
b. Faktor adanya bakteri, beberapa bakteri yang bisa menyebabkan apendicitis
antara lain Bacterodes fragilis, E. coli, Splanchicus, Lacto-basilus,
Pseudomonas, dan Bacteriodes splanicus.
c. Keturunan, pada radang apendik diduga juga merupakan faktor herediter. Hal
ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
yang kurang serat dapat memudahkan terjadinya fekhalith dan mengakibatkan
obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet, negara maju yang mengonsumsi makanan tinggi serat
beresiko lebih rendah terkena appendicitis daripada negara berkembang yang
tidak mengonsumsi tinggi serat.
3. Manifestasi Klinis
a. Gejala klasik: nyeri abdomen, demam ringan, dan muntah
b. Nyeri abdomen Biasanya tumpul atau samar saat pertama muncul, kemudian
berubah menjadi nyeri kolik, kram, dan akhirnya konstan. Awalnya di daerah
periumbilikul atau epigastrum, kemudian terlokalisasi di kuadran kanan bawah
ketika peritoneum parietal teriritasi
c. Anoreksia dan emesis nonbilosa
d. Sering dijumpai demam beberapa tingkatan

1
e. Pada banyak kasus, dapat muncul gejala yang atipikal dan menyebabkan
misdiagnosis
f. Bila apendiks yang meradang berada dekat dengan ureter dan kandung kemih
maka muncul gejala sering berkemih dan dysuria
g. Diare (sering, volume sedikit, dan encer), serta tenesmus (urgensi fekall dapat
dijumpai pada apendisitis retrosekal atau bila apendiks dekat dengan segmen
kolon (Lalani, 2012).
4. Patofisiologi
Apendik merupakan bagian dari sekum. Peradangan pada apendik dapat terjadi
oleh ulserasi dinding mukosa atau obstruksi lumen (biasanya oleh fecalith/ feses
yang keras). Penyumbatan pengeluaran secret mucus mengakibatkan perlengketan,
infeksi dan terhambatnya aliran darah. Dari keadaan hipoksia menyebabkan
gangrene atau dapat terjadi rupture dalam waktu 24-36 jam. Bila proses ini
berlangsung terus menerus organ disekitar dinding apendik terjadi perlengketan
dan akan menjadi abses (kronik). Apabila proses infeksi sangat cepat (akut) dapat
menyebabkan peritonitis. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius.
Infeksi kronis dapat terjadi pada apendik, tetapi hal ini tidak selalu menimbulkan
nyeri di daerah abdomen (Sari, 2020).
Penyebab utama apendisitis adalah obstruksi penyumbatan yang dapat
disebabkan oleh hyperplasia dari folikel limfoid merupakan penyebab terbanyak,
adanya fekalit dalam lumen apendiks. Adanya benda asing seperti cacing, striktura
karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, sebab lainnya misalnya keganasan
(karsinoma karsinoid) (Sari, 2020).
Obstruksi apendiks itu menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa apendiks
terbendung tidak bisa masuk caecum, semakin lama mucus yang terbendung
makin banyak dan menekan dinding apendiks ,namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen.
Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
ulserasi mukosa serta merangsang tunika serosa dan peritoneum visceral. Oleh
karena itu persarafan apendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan
itu dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umbilicus, memberikan keluhan mual dan
muntah (Sari, 2020).

2
Mucus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah,
kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu,
peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritomium parietal setempat,
sehingga menimbulkan rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut (Sari, 2020).
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding
apendiks yang diikuti ganggren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan
apendisitis perforasi. Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi
apendiks yang meradang atau perforasi akan timbul suatu masa local, keadaan ini
disebut sebagai apendistis abses. Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga muncul infiltrate
appendikkularis (Sari, 2020).

3
Pathway (Nurarif, A. H., & Kusuma, 2016)

Invasi & Multiplikasi

Appendisitis

Peradangan pada Sekresi mucus


Mual muntah
jaringan berlebih pada lumen
apendiks

Resiko
Kerusakan kontrol suhu hipovolemia
terhadap inflamasi Appendiks terenggang

Hipertermia Nyeri akut

Operasi Ansietas

Luka insisi Defisit Anastesi

Kerusakan jaringan Pintu masuk Peristaltic usus


Ansietas
kuman menurun

Ujung syaraf terputus


Resiko infeksi Distensi
abdomen
Pelepasan prostagladin

Mual muntah
Spinal cord Nyeri akut

Resiko hipovolemia
Cortex serebri Nyeri dipersepsikan

4
5. Pemeriksaan diagnostic
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu
komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein.
Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90
100% dan 96-97%.
c. Analisa urin
Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amylase
Membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG)
Untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.
f. Pemeriksaan barium enema
Untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan
Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma
colon.
g. Pemeriksaan foto polos abdomen

5
Tidak menunjukkan tanda pasti apendisitis, tetapi mempunyai arti penting
dalam membedakan apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter
kanan (Susanti, 2015).
6. Penatalaksanaan
Menurut (Wijaya, A. S., & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada
appendicitis meliputi:
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.
Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan
hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak
dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada
kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah
kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan abses intra
abdominal luka operasi pada klien apendiktomi.Antibiotik diberikan
sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui cara pemberian
intravena (IV) (Sulikhah, 2014).
b. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi.
Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuang
apendiks (Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya operasi apendiktomi yaitu bila
diagnosa appendisitis telah ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan
yang meragukan diperlukan pemeriksan penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal
dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk memblokir
sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi pada klien post operasi
adalah termanipulasinya organ abdomen sehingga terjadi distensi abdomen dan
menurunnya peristaltik usus. Hal ini mengakibatkan belum munculnya
peristaltik usus (Mulya, 2015) .

6
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi
apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi terbuka
dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2 – 4
inci pada kuadran kanan bawah abdomen dan apendiks dipotong melalui
lapisan lemak dan otot apendiks. Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan
dari usus (Dewi, 2015).
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat 3
sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar,
fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang terhubung ke monitor
ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber cahaya dimasukkan.
Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah
seperti penjepit atau gunting. (Hidayatullah, 2014).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika. Tindakan pembedahan dapat
menimbulkan luka insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi dapat
terjadi resiko infeksi luka operasi.
c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Klien
dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila dalam 12 jam
tidak terjadi gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

7
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Apendisitis dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun 1,3-1,6 kali lebih
sering mengenai laki-laki usia 10 hingga 30 tahun (Cristie et al., 2021).
b. Pengkajian Primer
1) Airway
1. Bersihkan Jalan Nafas
2. Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
3. Distress pernafasan
4. Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring 

2) Breathing
1. Frekuensi nafas, usaha nafas dan pergerakan dinding dada
2. Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
3. Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation
1. Denyut nadi karotis
2. Warna kulit, kelembaban kulit
3. Tekanan Darah
4. Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability
1. Tingkat Kesadaran
2. Gerakan Ekstremitas
3. Glasgow coma scale (GCS)
c. Riwayat Kesehatan Terdahulu
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Biasanya klien memiliki riwayat operasi sebelumnya pada kolon (Ningsih,
2017).
2) Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya penyakit apendisitis ini bukan merupakan penyakit keturunan,
bisa dalam anggota keluarga ada yang pernah mengalami sakit yang sama

8
dengan pasien juga tidak ada yang menderita penyakit yang sama seperti
yang dialami pasien sebelumnya (Ningsih, 2017).
d. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
a) Kesadaran
Biasanya pasien tampak lemah, Composmentis (kesadaran penuh dan
koperatif ) (Ningsih, 2017).
b) Tanda-Tanda Vital
Denyut nadi biasanya ditemukan normal, tekanan darah biasanya
ditemukan normal, biasanya ditemukan frekwensi pernafasan normal,
biasanya suhu tubuh normal, namun jika ada infeksi pada bekas luka
suhu tubuh dapat meningkat (Ningsih, 2017).
2) Body Sistem
a) Sistem Pernafasan
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradiasi dari
perubahan jaringan cerebral.
1. Inspeksi, biasanya pada klien terjadi peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan
frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi klavikula/ dada,
pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada. Pada observasi
ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dari otot – otot interkostal,
substernal, pernapan abdomen, dan respirasi paradoks (retraksi
abdomen saat inspirasi).
2. Palpasi biasanya pada klien didapatkan fremitus menurun
dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
melibatkan trauma pada rongga thoraks.
3. Perkusi biasanya pada klien didapatkan biasanya Adanya suara
redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada thoraks/
hematothoraks
4. Auskultasi biasanya pada kepala didapatkan bunyi napas tambahan
seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun

9
sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan
tingkat kesadaran koma (Muttaqin, 2012)

b) Sistem Kardiovaskuler

Pengkajian pada sistem kardivaskular didapatkan renjata (syok)


hipovolemik yang sering terjadi pada klien. Hasil pemeriksaan
pada beberapa keadaan ditemukan tekanan darah normal atau
berubah, nadi bradikardi, takikardi, dan aritmia (Muttaqin, 2012)
.
c) Sistem Persyarafan
Trauma yang mengenai kepala dapat diredam oleh rambut dan
kulit kepala. Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan
diteruskan ke tengkorak, yang cukup mempunyai elastisitas
hingga dapat mendatar.
Saraf V, Pada klien beberapa keadaan menyebabkan paralisis
nervus trigenimus, didapatkan penurunan kemampuan
koordinasi gerakan menguyah
Saraf VII, Persepsi pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII, Perubahan fungsi pendengaran pada klien biasanya
tidak didapatkan penurunan apabila yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis.
Saraf IX dan Xl, Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
Saraf XI, Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas
klien cukup baik dan tidak ada atrofi otot
sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII, Indra pengecapan mengalami perubahan (Muttaqin,
2012)
d) Sistem Perkemihan

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik,


termasuk berat jenis, penurunan jumlah urine. Setelah itu
mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi,
ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan (Muttaqin,
10
2012)
e) Sistem Pencernaan

Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual


muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan
dengan peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. (Muttaqin, 2012)
f) Sistem Integument

Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya


perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukaan adanya
sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, dan
membrane mukosa) (Muttaqin, 2012)
.
g) Sistem Muskuluskeletal

Sistem otot dikaji dengan memperhatikan kemampuan megubah


posisi, kekuatan otot pasien serta kelemahan yang dialami.

h) Sistem Endokrin

Disfungsi sistem endokrin menyebabkan perubahan fisik


sebagai dampaknya terhadap keseimbangan cairan dan
elektrolit, metabolisme dan energi.
i) Sistem Reproduksi
Inspeksi dan palpasi
Menginspeksi karakteristik warna kulit sekitar genetalia apa ada
gangguan serta menginspeksi apa ada nyeri tekan
j) Sistem Pengindraan

Inspeksi dan palpasi

Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal


(CSS) keluar dari telinga (otore serebrospinal) (Batticaca F. B.,
2012)

11
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017).
Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa keperawatan utama yang
dapat muncul pada appendicitis, antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (inflamasi
appendicitis). (D.0077)
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik(Prosedur oprasi).
(D.0077)
c. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (Infeksi pada appendicitis).
(D.0130)
d. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif
(muntah). (D.0034)
e. Resiko hipovolemia ditandai dengan efek agen farmakologis (D.0034)
f. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi (D.0080)
g. Resiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur infasive (D.0142).
3. Intervensi
Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan adalah perumusan
tujuan, tindakan dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien
berdasarkan analisa pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan klien
dapat diatasi (Nurarif, A. H., & Kusuma, 2016).
Intervensi keperawatan Pre operatif
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238).
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi :
agen pencedera diharapkan tingkat nyeri 1. Identifikasi lokasi,
fisiologi (inflamasi (L.08066) dapat karakteristik, durasi,
appendicitis). (D.0077) menurun dengan Kriteria frekuensi, kulaitas nyeri,
Hasil : skala nyeri, intensitas
1. Keluhan nyeri nyeri
menurun. 2. Identifikasi respon nyeri
2. Meringis menurun non verbal.

12
3. Sikap protektif 3. Identivikasi factor yang
menurun. memperberat dan
4. Gelisah menurun. memperingan nyeri.
Terapeutik :
4. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
5. Fasilitasi istirahat dan
tidur.
6. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
Edukasi :
7. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
8. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri .
Kolaborasi :
9. Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2 Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen hipertermia
berhubungan dengan tindakan keperawatan (I.15506).
proses penyakit diharapkan Observasi :
(Infeksi pada termoregulasi (L.14134) 1. Identifikasi penyebab
appendicitis). (D.0130) membaik dengan hipertermia.
Kriteria Hasil : 2. Monitor suhu tubuh.
1. Menggigil menurun. 3. Monitor haluaran urine.
2. Takikardi menurun. Terapeutik :
3. Suhu tubuh 4. Sediakan lingkungan
membaik. yang dingin.
4. Suhu kulit membaik. 5. Longgarkan atau
lepaskan pakaian.
6. Berikan cairan oral

13
Edukasi :
7. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
8. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu.
3 Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen hypovolemia
berhubungan dengan tindakan keperawatan (I.03116).
kehilangan cairan Status cairan (L.0328) Observasi :
secara aktif (muntah). membaik dengan 1. Periksa tanda dan gejala
(D.0034) Kriteria Hasil : hipovolemia.
1. Kekuatan nadi 2. Monitor intake dan output
meningkat. cairan.
2. Membrane mukosa Terapeutik :
lembap. 3. Berikan asupan cairan
3. Frekuensi nadi oral
membaik. Edukasi :
4. Tekanan darah 4. Anjurkan memperbanyak
membaik. asupan cairan oral.
5. Turgor kulit 5. Anjurkan menghindari
membaik. perubahan posisi
mendadak.
Kolaborasi :
6. Kolaborasi peberian
cairan IV.
4 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan Reduksi ansietas (I.09314).
dengan kurang terpapar tindakan keperawatan Observasi :
informasi (D.0080) tingkat ansietas 1. Identivikasi saat tingkat
(L.01006) menurun ansietas berubah.
dengan Kriteria Hasil : 2. Monitor tanda tanda
1. Verbalisasi ansietas verbal non
kebingungan verbal.
menurun. Terapeutik

14
2. Verbalisasi khawatir 3. Temani klien untuk
akibat menurun. mengurangi kecemasan
3. Prilaku gelisah jika perlu.
menurun. 4. Dengarkan dengan penuh
4. Prilaku tegang perhatian.
menurun. 5. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan.
Edukasi
6. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami.
7. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama klien, jika
perlu.
8. Anjurkan
mengungkapkan perasaan
dan persepsi.
9. Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian
obat antiansietas jika
perlu.
Intervensi keperawatan post operatif
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi :
agen pencedera tingkat nyeri (L.08066) 1. Identifikasi lokasi ,
fisik(Prosedur oprasi). menurun dengan Kriteria karakteristik, durasi,
(D.0077) Hasil : frekuensi, kulaitas nyeri,
1. Keluhan nyeri intensitas nyeri, skala
menurun. nyeri.
2. Meringis menurun. 2. Identifikasi respon nyeri

15
3. Sikap protektif non verbal.
menurun. 3. Identivikasi factor yang
4. Gelisah menurun. memperberat dan
5. Frekuensi nadi memperingan nyeri.
membaik. Terapeutik :
4. Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
5. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
6. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi :
7. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri.
8. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
9. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
10. Kolaborasi pemberian
analgetik bila perlu.
2 Risiko hipovolemia Setelah dilakukan Manajemen hypovolemia
ditandai dengan efek tindakan keperawatan (I.03116)
agen farmakologis Status cairan (L.0328) Observasi :
(D.0034) membaik dengan 1. Periksa tanda dan gejala
Kriteria Hasil : hipovolemia.
1. Kekuatan nadi 2. Monitor intake dan
meningkat. output cairan.
2. Membrane mukosa Terapeutik :

16
lembap. 3. Berikan asupan cairan
3. Frekuensi nadi oral
membaik. Edukasi :
4. Tekanan darah 4. Anjurkan memperbanyak
membaik. asupan cairan oral.
5. Turgor kulit 5. Anjurkan menghindari
membaik. perubahan posisi
mendadak.
Kolaborasi :
6. Kolaborasi peberian
cairan IV.
3 Risiko Infeksi ditandai Setelah dilakukan Pencegahan infeksi (I.14539)
dengan efek prosedur tindakan keperawatan Observasi :
infasive (D.0142). tingkat infeksi (L.14137) 1. Monitor tanda dan gejala
dengan Kriteria Hasil : infeksi local dan sistemik.
1. Kebersihan tangan 2. Batasi jumlah
meningkat. pengunjung
2. Kebersihan badan 3. Berikan perawatan kulit
meningkat. pada area edema.
3. Demam, kemerahan, 4. Cuci tangan seblum dan
nyeri, bengkak sesudah kontak dengan
menurun. klien dan lingkungan
4. Kadar sel darah klien.
putih meningkat. 5. Pertahankan teknik
aseptic pada klien
beresiko tinggi.
Edukasi :
6. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi.
7. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar.
8. Ajarkan etika batuk.
9. Anjurkan meningkatkan

17
asupan nutrisi.
10. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan.
Kolaborasi :
11. Kolaborasi pemberian
imunisasi jika perlu.

18
DAFTAR PUSTAKA

Cristie, J. O., Wibowo, A. A., Noor, M. S., Tedjowitono, B., Aflanie, I., Studi, P., Dokter, P.,
Kedokteran, F., Mangkurat, U. L., Digestif, D. B., Ilmu, D., Masyarakat, K., Kedokteran,
F., Mangkurat, U. L., Onkologi, D. B., Forensik, D., Kedokteran, F., & Mangkurat, U. L.
2021. Literature Review : Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Apendisitis Akut. Jurnal Homeostasis, 4(1), 59–68.
Dewi, A. A. W. T. 2015. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada klien Operasi
Appendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RS Baptis Batu Jawa Timur.
Hariyanto, A. dan R. S. 2015. Keperawatan Medikal Bedah I (R. KR (ed.); 1st ed.). AR-Ruzz
Media.
Hidayatullah, R. M. R. 2014. Efektivitas Antibiotik Yang Digunakan Pada Pasca Operasi
Appendisitis Di Rumkital Dr . Mintohardjo Jakarta Pusat.
Kurniawati. 2020. Gambaran Tentang Kejadian Appendisitis Di Rs. Tk II Pelamonia
Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 15(4), 371–377.
Lalani, A. dan S. S. 2012. Kegawat Daruratan Pediatri. EGC.
Lolo, L. L., & Novianty, N. 2018. Pengaruh Pemberian Guided Imagery Terhadap Skala
Nyeri Pada Pasien Post Operasi Appendisitis Hari Pertama Di Rsud Sawerigading Kota
Palopo Tahun 2017. Fenomena Kesehatan, 01(01), 20–25.
Mulya, R. E. 2015. Pemberian Mobilisasi Dini Terhadap Lamanya Penyembuhan Luka Post
Operasi Apendiktomi.
Ningsih, M. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Apendiksitis Di Ruangan
Bedah Rs.Dr. Reksodiwiryo Padang. Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Mediaction.
PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Sari, W. A. 2020. Asuhan Keperawatan pada klien post operasi Apendektomi dengan nyeri
akut di ruang melati lantai IV RSUD Soekardjo Tasikmalaya. Universitas Bhakti
Kencana.
Sofiah, W. 2017. Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Post Op Apendiktomi Dengan
Resiko Infeksi di RSUD Kota Jakarta Utara. 8(2), 1–10.
Sulikhah, N. M. 2014. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasein Operasi
Apendiktomi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi.
Susanti, H. 2015. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Pada Pasien Apendisitis Dengan
Nyeri Akut Di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rsud Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Tahun 2015. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Samarinda.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Nuha Medika.
19
20

Anda mungkin juga menyukai