Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

( APPENDISITIS )

Oleh:

Muthia Varena
21030056

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PEKANBARU MEDICAL CENTER
T.A 2021/2022
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. Definis
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil, panjangnya kira-kira 10 cm
(4 inchi), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi (Smeltzer & Bare, 2002). Apendisitis adalah
infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces),
hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran


mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006). Apendisitis
merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur yang terpuntir,
appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul dan multiplikasi
(Chang, 2010) Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya
apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
B. Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik, tetapi ada factor
prediposisi yaitu :
a. Obstruksi lumen
Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi
Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
c. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30
tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
d. Anatomi apensiks
1) Appendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)

C. Pathway Apendicitis
D. Klasifikasi
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada
dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi
dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat
keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan
menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan
supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi,
apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang
kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam
lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum
local seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri
pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh
perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik
antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di
perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apendiktomi dan hasil patologi
menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut
pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak pernah kembali ke bentuk
aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangan
lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi
yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan
apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat
adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa.
Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang, mukokel
dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan
bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi
infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendiktomi atas
indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan
hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik
dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah, tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid
berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme
bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid
perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif
dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik
apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi
ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan.

E. Manifestasi Klinik
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan, mual,
muntah dan hilangnya nafsu makan
b. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan
c. Nyeri tekan lepas dijumpai
d. Terdapat konstipasi atau diare
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau ureter
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen terjadi
akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien mungkin
tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b. Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CTscan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
G. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan apendisitis menurur Mansjoer (2001) :


a. Pre Operatif
1) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2) Pemasangan kateter untuk control produksi urin
3) Terapi Cairan IV (rehidrasi)
4) Antibiotic dengan spectrum luas dan dosis tinggi diberikan secara
IV
5) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil,
largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer
diberikan setelah rehidrasi tercapai.
6) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.
b. Intra Operatif
1) Apabila apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.
2) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin
mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka
waktu beberapa hari.
3) Tindakan apendiktomi Ada dua teknik operasi apendiktomi yang
biasa digunakan, yaitu :
a. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di
bagian bawah kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika
apendisitis sudah mengalami perforasi.
b. Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar dua sampai empat
buah. Satu didekat pusar, yang lainnya diseputar perut.
Laparoskopi berbentuk seperti benang halus denagn kamera
yang akan dimasukkan melalui sayatan tersebut. Kamera
akan merekam bagian dalam perut kemudian ditampakkan
pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu
jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan untuk
operasi akan dimasukkan melalui sayatan di tempat lain.
Pengangkatan apendiks, pembuluh darah, dan bagian dari
apendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.
c. Post Operatif
1) Observasi TTV
2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga
aspirasi cairan lambung dapat dicegah.
3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler
4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi
gangguan, selama pasien dipuasakan.
5) Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi,
puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.
6) Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan
menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan
saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.
7) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak
di tempat tidur selama 2×30 menit.
8) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar
kamar.
9) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat.
H. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan
terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus.
Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis.
Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi
rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
b. Perforasi Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus
sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi
dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak
sakit, panas lebih dari 38,5oC, tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
c. Peritononitis Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan
komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan
hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut
yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.

I. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway: penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan
mengenai adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada
klien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan napas bersih.
Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti
snoring. Namun pada kasus apendiksitis biasanya tidak terjadi
gangguan pada system pernafasan.

2) Breathing: kaji frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu


pernapasan, retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi
pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas
tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada
dada.

3) Circulation: dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac


output serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status
hemodinamik, warna kulit, nadi.

4) Disability : kaji tingkat kesadaran dan GCS. Penurunan tingkat


kesadaran merupakan tanda ekstrim pertama pada pasien yang
membutuhkan pertolongan di ruang intensive

5) Exposure : pada saat stabil dapat ditanyakan riwayat dan


pemeriksaan lainnya.

b. Pengkajian sekunder Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan


pemeriksaan fisik sebagai berikut :

1) Keluhan utama klien : biasanya akan mendapatkan nyeri di sekitar


epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan nyeri
perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian setelah nyeri
di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam beberapa waktu lalu.
Sifat keluhan nyeri dirasakan terusmenerus, dapat hilang atau timbul
nyeri dalam waktu yang lama. Keluhan yang menyertai biasanya
klien mengeluh rasa mual dan muntah, panas.

2) Riwayat kesehatan masa lalu : biasanya berhubungan dengan


masalah kesehatan klien sekarang

3) Diet : biasanya pasien mempunyai kebiasaan makan makanan


rendah serat

4) Pemeriksaan Fisik :

a. Keadaan umum klien biasanya tampak sakit


ringan/sedang/berat

b. TTV : tanda – tanda vital biasanya akan mengalami peningkatan

c. Head to toe : pada pemeriksaan abdomen, kemungkinan adanya


distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan
atau tidak ada bising usus. Pada pemeriksaan rektal toucher,
dapat teraba benjolan, dan penderita merasa nyeri pada daerah
prolitotomi.

5) Aktivitas / istirahat : biasanya mengalami malaise


6) Eliminasi : dapat mengalami konstipasi pada awitan awal, diare
kadang-kadang

7) Nyeri/kenyamanan : umumnya mengalami nyeri abdomen sekitar


epigastrium dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi
pada titik Mc. Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau
napas dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi
kaki kanan/posisi duduk tegak.

8) Data psikologis klien nampak gelisah


II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Pre Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
b. Hipertermia b.d proses penyakit
c. Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
Intra Operatif :
a. Risiko infeksi yang dibuktikan oleh efek prosedur invasive
b. Risiko perdarahan yang dibuktikan oleh tindakan pembedahan
Post Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Nausea b.d efek agen farmakologis
c. Risiko infeksi yang dibuktikan oleh efek prosedur infasif
(SDKI, 2017)
III. INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Dx.Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi


1 Setelah dilakukan asuhan Manajemen nyeri
Nyeri akut b.d agen
1. Identifikasi lokasi,
keperawatan selama …. x
pencedera fisiologis /
karakteristik, durasi,
… jam, diharapkan tidak
fisik
frekuensi, kualitas, intensitas
terjadi nyeri akut dengan
nyeri
kriteria hasil : Tingkat
2. Identifikasi skala nyeri
Nyeri
3. Identifikasi faktor yang
1. Tidak mengeluh nyeri
memperberat dan
2. Tidak meringis
memperingan nyeri
3. Tidak ada sikap protektif
4. Monitor tanda – tanda vital
4. Tidak gelisah
5. Berikan teknik non
5. Tanda – tanda vital dalam
farmakologis untuk
batas normal (TD : 90 – 130
mengurangi rasa nyeri (mis :
/ 60 – 90 mmHg, N : 60 –
TENS, hypnosis,
100 x/menit, RR : 16 – 20
akupresure, terapi music,
x/menit)
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat atau dingin,
terapi bermain)
6. Fasilitasi istirahat dan tidur
7. Berikan analgetik, jika perlu
2. Hipertermia b.d
Setelah dilakukan asuhan Manajemen hipertermia
proses penyakit
keperawatan selama ... x Regulasi temperature
… jam, diharapkan tidak 1. Identifikasi penyebab
hipertermia (mis. dehidrasi,
terjadi hipertermia dengan
terpapar lingkungan panasm
kriteria hasil: penggunaan incubator)
Termoregulasi 2. Monitor komplikasi akibat
hipertermia
1. Tidak menggigil
3. Monitor suhu tubuh, tekanan
darah, frekuensi pernapasan
2. Warna kulit normal
dan nadi
3. Tidak kejang 4. Monitor warna dan suhu kulit
5. Berikan cairan oral
4. Suhu tubuh dalam batas
6. Ganti linen setiap hari atau
normal (36.50C – 37.50C)
lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat
berlebih)
7. Anjurkan tirah baring
8. Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena 9.
Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu
3 Ansietas b.d Reduksi Ansietas
Setelah dilakukan asuhan
kekhawatiran
keperawatan selama ... x 1. Monitor tanda – tanda ansietas
mengalami (verbal & non verbal)
… jam, diharapkan tidak
kegagalan 2. Monitor tanda tanda vital
terjadi ansietas dengan
kriteria hasil : Tingkat 3. Berikan terapi relaksasi napas
Ansietas dalam

1. Tidak tampak wajah 4. Jelaskan prosedur, termasuk


sensasi yang mungkin didalam
kebingungan / khawatir
5. Kolaborasi pemberian obat
2. Tidak gelisah antiansietas, jika perlu

3. Tidak mengalami
tremor 4. Tanda – tanda
vital dalam batas normal
(TD : 90 – 130 / 60 – 90
mmHg, N : 60 – 100
x/menit, RR : 16 – 20
x/menit)
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes,E.Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3).Jakarta :EGC


Elizabeth, J, Corwin. 2009. Biku saku Fatofisiologi. Jakarta: EGC
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner danSuddarth (Edisi
8).Jakarta:EGC
Suratun. 2010. .Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta:
Trans Info Media
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai