Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN ANAK

DENGAN APENDISITIS DI RUANG ASTER


RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Disusun oleh:
VIRGI ANGGRAINI
14.401.17.085

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA


D-III KEPERAWATAN
KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI
TAHUN 2019
1. Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi (Smeltzer, 2002).
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia antara 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2007).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh
fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapt terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya
apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2009).
Gambar 3. Apendisitis

Gambar 4. (a) Apendiks normal, (b) Apendisitis

2. Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu (Nuzulul, 2009):
a. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks

3. Klasifikasi
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh
proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks.Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan
menghilang satelah apendektomi.
Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut
dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens
apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko
untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens
biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada
apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.
Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang
dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan  hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas. Meskipun diragukan sebagai keganasan,
karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga
diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan
karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi
ileosekal atau hemikolektomi kanan.

4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks
lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .

5. Manifestasi
a) Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b) Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c) Nyeri tekan lepas dijumpai.
d) Terdapat konstipasi atau diare.
e) Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f) Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g) Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
h) Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i) Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j) Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k) Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

Nama pemeriksaan Tanda dan gejala


Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri pada
sisi kanan.
Psoas sign atau Obraztsova’s Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
sign dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif
jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul. Positif
jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s sign Nyeri yang semakin bertambah pada perut
kuadran kanan bawah saat pasien dibaringkan
pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian dilepaskan tiba-
tiba

6. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi Apendisitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah
2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada
anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a) Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
b) Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38, 50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
c) Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin
hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

7. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b) Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
c) Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
f) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
g) Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan
obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
1) Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
2) Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan
abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan
nanah).
3) Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan (Akhyar, 2008). Analgetik dapat diberikan
setelah diagnose ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat
apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau spinal,
secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru
yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih
oleh para ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi
dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Apabila terdapat laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer, 2002).

D. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Umum
1) Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2) Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh
penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3) Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama : Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar
umbilikus.
b. Riwayat kesehatan dahulu: Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang: Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa
lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana
keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
4) Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi: Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
abdomen.
b. Palpasi : Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri, nyeri tekan perut
kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan
bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan
pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan
bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur: Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis untuk menentukkan letak apendiks apabila letaknya sulit
diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka
kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan
ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator: Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel
pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar, 2008 ).
5) Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000)
adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan,
penurunan atau tidak ada bising usus.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah.
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah
jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba
diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai rasa
nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks,
contoh : retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan
bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak, nyeri
lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
f. Pernapasan:
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
g. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).
6) Pemeriksaan Diagnostik
1) Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan
jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat.
2) Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-
scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian
memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian
menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang
mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi (distensi jaringan
intestinal oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan penurunan
peritaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah.
4) Cemas  berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
b. Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post operasi
appenditomi).
2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi post
pembedahan).
3) Defisit self care berhubungan dengan nyeri.
4) Kurang pengetahuan tentang kondisi prognosis dan kebutuhan pengobatan
b.d kurang informasi.
3. Rencana tindakan keperawatan

PRE OPERASI
N DIAGNOSA
NOC NIC
O KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan - Kaji tingkat nyeri, loka
dengan agen injuri keperawatan, diharapkan nyeri klien karasteristik nyeri.
biologi (distensi berkurang dengan kriteria hasil:
jaringan intestinal oleh - Klien mampu mengontrol nyeri
inflamasi) (tahu penyebab nyeri, mampu - Jelaskan pada pasien te
menggunakan tehnik penyebab nyeri
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri, mencari - Ajarkan tehnik
bantuan) pernafasan diafrag
- Melaporkan bahwa nyeri lambat / napas dalam
berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri - Berikan aktivitas hi
- Tanda vital dalam rentang normal (ngobrol dengan an
: TD (systole 110-130mmHg, keluarga)
diastole 70-90mmHg), HR(60- - Observasi tanda-tanda v
100x/menit), RR (16-24x/menit),
suhu (36,5-37,50C) - Kolaborasi dengan
- Klien tampak rileks mampu medis dalam pemb
tidur/istirahat analgetik
2. Perubahan pola Setelah dilakukan asuhan - Pastikan kebiasaan
eliminasi (konstipasi) keperawatan, diharapkan konstipasi defekasi klien dan gaya
berhubungan dengan klien teratasi dengan kriteria hasil: hidup sebelumnya.
penurunan peritaltik. - BAB 1-2 kali/hari - Auskultasi bising usus
- Feses lunak
- Bising usus 5-30 kali/menit
- Tinjau ulang pola diet d
jumlah / tipe masukan
cairan.

- Berikan makanan tingg


serat.

- Berikan obat sesuai ind


contoh : pelunak feses

3. Kekurangan volume Setelah dilakukan asuhan - Monitor tanda-tanda vi


cairan berhubungan keperawatan diharapkan
dengan mual muntah. keseimbangan cairan dapat
dipertahankan dengan kriteria hasil: - Kaji membrane mukosa
- kelembaban membrane mukosa tugor kulit dan pengisia
        turgor kulit baik kapiler.
- Haluaran urin adekuat: 1 cc/kg - Awasi masukan dan
BB/jam haluaran, catat warna
- Tanda-tanda vital dalam batas urine/konsentrasi, berat
normal : TD (systole 110- jenis.
130mmHg, diastole 70-90mmHg), - Auskultasi bising usus,
HR(60-100x/menit), RR (16- kelancaran flatus, gerak
24x/menit), suhu (36,5-37,50C) usus.
- Berikan perawatan mul
sering dengan perhatian
khusus pada perlindung
bibir.
- Pertahankan penghisap
gaster/usus.

- Kolaborasi pemberianc
IV dan elektrolit

4. Cemas  berhubungan Setelah dilakukan asuhan - Evaluasi tingkat ansieta


dengan akan keperawatan, diharapkan kecemasan catat verbal dan non ve
dilaksanakan operasi. klien berkurang dengan kriteria pasien.
hasil :
- Melaporkan ansietas menurun - Jelaskan dan persiapkan
sampai tingkat teratasi untuk tindakan prosedu
- Tampak rileks sebelum dilakukan
- Jadwalkan istirahat ade
dan periode menghentik
tidur.
- Anjurkan keluarga untu
menemani disamping k
POST OPERASI

N DIAGNOSA
NOC NIC
O KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan, - Kaji skala nyeri lokasi,
dengan agen injuri fisik diharapkan nyeri berkurang dengan karakteristik dan laporka
(luka insisi post operasi kriteria hasil: perubahan nyeri dengan
appenditomi). - Melaporkan nyeri berkurang tepat.
- Klien tampak rileks - Monitor tanda-tanda vita
- Dapat tidur dengan tepat
- Tanda-tanda vital dalam batas - Pertahankan istirahat den
normal : TD (systole 110- posisi semi powler.
130mmHg, diastole 70-90mmHg), - Dorong ambulasi dini.
HR(60-100x/menit), RR (16- - Berikan aktivitas hiburan
24x/menit), suhu (36,5-37,50C) - Kolaborasi tim dokter da
pemberian analgetika.

2. Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Kaji adanya tanda-tanda


berhubungan dengan diharapkan infeksi dapat diatasi infeksi pada area insisi
tindakan invasif (insisi dengan kriteria hasil: - Monitor tanda-tanda vita
post pembedahan). - Klien bebas dari tanda-tanda infeksi Perhatikan demam,
- Menunjukkan kemampuan untuk menggigil, berkeringat,
mencegah timbulnya infeksi perubahan mental
- Nilai leukosit (4,5-11ribu/ul) - Lakukan teknik isolasi u
infeksi enterik, termasuk
tangan efektif.
- Pertahankan teknik asept
ketat pada perawatan luk
insisi / terbuka, bersihkan
dengan betadine.
- Awasi / batasi pengunjun
dan siap kebutuhan.
- Kolaborasi tim medis da
pemberian antibiotik

3. Defisit self care Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Mandikan pasien setiap h
berhubungan dengan diharapkan kebersihan klien dapat sampai klien mampu
nyeri. dipertahankan dengan kriteria hasil: melaksanakan sendiri ser
- klien bebas dari bau badan cuci rambut dan potong k
- klien tampak bersih klien.
- ADLs klien dapat mandiri atau - Ganti pakaian yang koto
dengan bantuan dengan yang bersih.
- Berikan
Hynege Edukasipada klie
dan keluarganya tentang
pentingnya kebersihan d
- Berikan pujian pada klie
tentang kebersihannya.
- Bimbing keluarga klien
memandikan / menyeka
pasien
- Bersihkan dan atur posis
serta tempat tidur klien.

4. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan - Kaji ulang pembatasan


tentang kondisi diharapkan pengetahuan bertambah aktivitas pascaoperasi
prognosis dan dengan kriteria hasil:
kebutuhan pengobatan - menyatakan pemahaman proses - Anjuran menggunakan
b.d kurang informasi. penyakit dan pengobatan laksatif/pelembek feses
- berpartisipasi dalam program ringan bila perlu dan hin
pengobatan enema
                                          - Diskusikan perawatan in
termasuk mengamati bal
pembatasan mandi, dan
kembali ke dokter untuk
mengangkat jahitan/peng
- Identifikasi gejala yang
memerlukan evaluasi me
contoh peningkatan nyer
edema/eritema luka, adan
drainase, demam
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, D.C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner
dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Bulecked, G.M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). United
Sates of America: Elsevier.

Corwin. 2009. Buku saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Mansjoer, A.  2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius


FKUI.

Moorhead, S., et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). United Sates
of America: Elsevier.

NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017.


Jakarta: EGC.
Pearce, E.C. 2013. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia. Jakarta: Erlangga.

Price, A & Wilson, L. 2004. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC.

Smeltzer, Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &


Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC.

Soemantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai