Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN


HIPOSPADIA

Disusun Oleh:

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA


PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN
KRIKILAN-GLENMORE-BANYUWANGI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suatu kelainan yang dibawa sejak lahir merupakan hal yang tidak
ketahui sebelumnya oleh siapapun. Kelainan-kelainan yang terjadi
terutama pada alat kelamin merupakan salah satu masalah yang
memerlukan perhatian khusus. Kelainan pada alat genitalia terutama pada
penis seperti hipospadia yang merupakan kelainan kongenital pada anak.
Secara fisiologis organ genitalia, yaitu penis memiliki beberapa fungsi
yaitu sebagai saluran pembuangan urin, selain itu juga berfungsi sebagai
organ seksual. Berdasarkan survei yang telah dilakukan kelainan
kongenital ini banyak terjadi pada laki-laki. (Kliegman, 2012)
Hipospadia merupakan suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra
eksternus (lubang kencing) terletak di bagian bawah dari penis dan
letaknya lebih kearah pangkal penis dibandingkan normal. Sehingga
lubang penis sebagai saluran kencing yang seharusnya letaknya lurus
tetapi terletak dibawah. Faktor genetic, hormon dan lingkungan merupakan
faktor penyebab yang mempengaruhi terjadinya hipospadia. (Behrman,
2014)
Angka kejadian diperkirakan 1 diantara 500 bayi baru lahir.
Berdasarkan data yang dicatat oleh Metropolitan Atlanta Congenital
Defect Program (MACDP) dan Birth Defect Monitoring Program
(BDMP) menyatakan bahwa insidensi hipospadia mengalami dua kali
lipat peningkatan antara 1970-1990. Prevalensi dilaporkan antara 0,3%
menjadi 0,8% sejak tahun 1970an. (Pillitteri, 2010)

B. Batasan Masalah
Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan klien yang
mengalami Hipospadia

1|Page
C. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep penyakit Hipospadia ?
Bagaimana konsep asuhan keperawatan klien Hipospadia?

D. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan dengan penyakit
hipospadia
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui konsep penyakit hipospadia
Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan klien hipospadia

2|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi

Hipospadia berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “dibawah”
dan “spadon” yang berarti keratan yang panjang. Hipospadia
merupakan suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra eksternus
(lubang kencing) terletak di bagian bawah dari penis dan letaknya
lebih kearah pangkal penis dibandingkan normal (Mansjoer, 2000).
Menurut Corwin (2009), hipospadia adalah kelainan kongenital berupa
kelainan letak lubang uretra pada pria dari ujung penis ke sisi ventral.
Hipospodia adalah penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak
lengkap sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis (Sylvia
dan Lorraine, 2005).
Hipospadia adalah defek uretral ketika lubang uretra tidak terletak di
ujung penis tetapi di bagian ventral penis dimana meatus mungkin
terletak di dekat glan, ditengah atau dibawah penis (Pillitteri, 2002)
Hipospadia adalah kelainan dimana meatus uretra bermuara pada
bagian ventral glan penis dimana terdapat malformasi glan dan
ditandai dengan adanya chordee (penis berbelok ke arah ventral)
(Behrman, Kliegman, dan Arvin, 2000).

3|Page
Hipospadia merupakan kelainan kelamin sejak lahir. Keadaan ini dapat
ringan atau ekstrem. Pada kasus paling ringan, meatus uretra bermuara
pada bagian ventral glans penis, terdapat berbagai derajat malformasi
glans dan kulup zakar tidak sempurna pada sisi ventral dengan
penampilan suatu kerudung dorsal. Dengan bertambahnya tingkat
keparahan, penis berbelok ke arah ventral (chordee) dan uretra penis
lebih pendek secara progresif, tetapi jarak antara meatus dan glans
tidak dapat bertambah secara signifikan sampai chordee dikoreksi.
Karenanya, klasifikasi hipospadia semata-mata didasarkan atas dasar
meatus. Pada beberapa kasus, meatus terletak pada sambungan
penoskrotal. Pada kasus ekstrem, uretra bermuara pada perineum,
skrotum bifida dan kadang-kadang meluas ke basis dorsal penis
(transposisi skrotum) dan chordee (pita jaringan fibrosa). Pada 10 %
anak laki-laki dengan hipospadia testis tidak turun.
2. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005), penyebab hipospadia sebenarnya sangat
multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti.
Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dan dianggap paling
berpengaruh antara lain:
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Pengaruh estrogen terhadap kejadian hipospadia bahwa estrogen
sangat berperan dalam pembentukan genital eksterna dari laki-laki
saat embrional. Faktor hormon androgen sangat berpengaruh
terhadap kejadian hipospadia karena berpengaruh terhadap proses
maskulinisasi masa embrional. Androgen dihasilkan oleh testis dan
placenta karena terjadi defisiensi androgen akan menyebabkan
penurunan produksi dehidrotestosterone (DHT) yang dipengaruhi
oleh 5 ɑ reduktase yang berperan dalam pembentukan penis
sehingga apabila terjadi defisiensi androgen akan menyebabkan
kegagalan pembentukan bumbung uretra yang disebut hipospadia.
Hormone yang dimaksud adalah hormone androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria) atau karena reseptor hormone

4|Page
androgen di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga
walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan
tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan
memberikan suatu efek yang semestinya atau enzim yang berperan
dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan
berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi
karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut
sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi. 12 % berpengaruh
terhadap kejadian hipospadia bila punya riwayat keluarga yang
menderita hipospadia. 50 % berpengaruh terhadap kejadian
hipospadia bila bapaknya menderita hipospadia.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan
dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan
mutasi. Pencemaran limbah industri berperan sebagai endocrin
discrupting chemicals baik bersifat eksogenik maupun anti
androgenik seperti polychorobiphenyls, dioxin, furan, peptisida,
organochlorin, alkiphenol polyethoxsylates dan phtalites. Seperti
yang telah diketahui bahwa setelah tingkat indefenden maka
perkembangan genital eksterna laki-laki selanjutnya dipengaruhi
oleh estrogen yang dihasilkan oleh testis primitif. Suatu hipotesis
mengemukakan bahwa kekurangan estrogen atau terdapat anti
androgen akan mempengaruhi pembentukan genetalia eksterna
laki-laki.
4. Faktor eksogen yang lain adalah pajanan prenatal terhadap kokain,
alcohol, fenitoin, progestin, rubella, atau diabetes gestasional.,

3. Manifestasi Klinis

5|Page
a. Gland penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di
bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di
bagian punggung penis.
c. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus
dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras
dari jaringan sekitar.
d. Kulit penis bagian bawah sangat tipis. Tunika dartos, fasia Buch
dan korpus spongiosum tidak ada.
e. Tunika dartos, fasia buch, dan korpus spongiosum idak ada
f. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari gland
penis.
g. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi
bengkok.
h. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung
skrotum).
i. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
j. Pancaran air kencing pada saat BAK tidak lurus, bisa kearah
bawah, menyebar, mengalir melalui batang penis, sehingga anak
akan jongkok saat BAK.

6|Page
4. Patofisiologi
Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu
eksoderm dan endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-
tengah yaitu mesoderm, sedangkan di bagian inferior tetap bersatu
membentuk membrane kloaka. Pada permulaan minggu ke-6,
terbentuk tonjolan antara umbilical cord dan tail yang disebut genital
tubercle. Dibawahnya pada garis tengah terbentuk lekukan dimana di
bagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold.
Selama minggu ke-7, genital tubercle akan memanjang dan
membentuk glans. Ini adalah bentuk primordial dari penis bila embrio
adalah laki-laki, bila wanita akan menjadi klitoris. Bila terjadi agenesis
dari mesoderm, maka genital tubercle tak terbentuk, sehingga penis
juga tak terbentuk.Bagian anterior dari membrane kloaka, yaitu
membrane urogenitalia akan rupture dan membentuk sinus. Sementara
itu genital fold akan membentuk sisi-sisi dari sinus urogenitalia, bila
genital fold gagal bersatu diatas sinus urogenitalia. Adanya fusi digaris
tengah dari lipatan uretra tidak lengkap sehingga lewat meatus uretra
terbuka pada sisi ventral dari penis dan kelainan letak pada meatus ini
menyebabkan sedikit pergeseran pada glans diperinium, yang akhirnya
prepisium tidak ada pada sisi ventral dan terjadi kurvatura
(lengkungan) ventral dari penis.
Hipospadia terjadi dikarenakan fusi (penyatuan) dari garis tengah
dari lipatan uretra tidak lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka
pada sisi ventral dari penis. Ada berbagai derajat kelainan letak meatus
ini, dari yang ringan yaitu sedikit pergeseran pada glans, kemudian
disepanjang batang penis, hingga akhirnya di perineum. Prepusium
tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang menutup sisi
dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee,
pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari
penis. Tidak ada masalah fisik yang berhubungan dengan hipospadia
pada bayi baru lahir atau pada anak-anak remaja. Namun pada orang
dewasa dapat menghalangi hubungan seksual.

7|Page
PATHWAY
Pre Operasi

Gangguan dan
ketidakseimbangan Faktor eksogen Lingkungan
Genetika
hormon

Malformasi kongenital

kelainan anatomis

Hipospadia

Grandular Gandistal Penile Penoskrotal Skrotal


penile

Adanya chordee

Penis melengkung
Dewasa: disfungsi ke bawah saat
seksual ereksi

Duduk saat berkemih

Gangguan citra diri

8|Page
Post Operasi

Penatalaksanaan: pembedahan
eksisi chordee urethroplasty

Proses Efek anastesi Pemasangan


pembedahan kateter

Nyeri Cemas Hipersalivasi Tempat masuknya


bakteri

Kurang Penumpukan sekret


pengetahuan berlebih Resiko tinggi
infeksi
Obstruksi jalan
napas

Bersihan jalan
napas tidak efektif

5. Klasifikasi
Tipe hipospodia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/meatus:
a. Tipe sederhana/Tipe anterior
Tipe anterior terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan
koronal. Pada tipe ini meatus terletak pada pangkal gland penis.
Secara klinis kelainan ini bersifat asimptomatik dan tidak
memerlukan suatu tindakan. bila meatus agak sempit dapat
dilakukan dilatasi atau meatotomi.

9|Page
b. Tipe penil/Tipe Middle
Tipe midle terdiri dari distal penil, proksimal penil, dan pene-
escrotal. Pada tipe ini meatus terletak antara gland penis dan
skrotum, biasanya disertai dengan kelainan penyerta yaitu tidak
adana kulit prepusium bagian ventral sehingga penis terlihat
melengkung ke bawah atau gland penis menjadi pipih. Pada
kelainan tipe ini diperlukan intervensi tindakan bedah secara
bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada
maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa
kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
c. Tipe posterior
Tipe posterior terdiri dari tipe scrotal dan perineal. Pada tipe ini
ummnya pertumbuhan akan terganggu kadang disertai dengan
skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar, dan umumnya testis
tidak turun.

5. Komplikasi
Menurut Elizabeth (2009), komplikasi hipospadia yaitu dapat terjadi
disfungsi ejakulasi pada pria dewasa. Apabila chordee-nya parah,
maka penetrasi selama berhubungan intim tidak dapat dilakukan.
Komplikasi akut pasca operasi hipospadia menyimpulkan bahwa rata-
rata 5% komplikasi terjadi pada tipe distal hipospadia dan rata-rata
10% komplikasi terjadi pada proksimal hipospadia.

Komplikasi yang terjadi setelah rekonstruksi penis meliputi:


a. Pendarahan
b. Infeksi
c. Fistel uretrokutan, komplikaasi ini digunakan sebagai parameter
untuk menili keberhasilan operasi
d. Edema yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematoma atau kumpulan darah
dibawah kulit
e. Striktur pada proksimal anastomosis yang kemungkinan
disebabkan oleh angulasi dan anastomosis

10 | P a g e
f. Divertikel uretra, terjadi pada pembentukan neurouretra yang
terlalu lebar, atau adanya stenosis meatal yang mengakibatkan
dilatasi yang lanjut
Prognosis baik jika mendapatkan penanganan intensif dan cepat.
Dengan perbaikan pada prosedur anastesi, alat jahitan, balutan, dan
antibiotik yang ada sekarang, operasi hipospadia telah menjadi operasi
yang cukup sukses dilakukan. Hasil yang fungsional dari koreksi
hipospadia secara keseluruhan sukses diperoleh, insidens fistula atau
stenosis berkurang, dan lama perawatan rumah sakit serta prognosis
juga lebih baik untuk perbaikan hipospadia (Arvin, 2000)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
1. Identitas
a. Nama
b. Umur: biasanya terjadi pada bayi baru lahir,
c. Jenis kelamin: pada umumnya terjadi pada laki-laki,
d. Pendidikan,
e. Pekerjaan,
f. Diagnosa medis: Hipospadia.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya orang tua pasien mengeluh dan ketakutan dengan
kondisi anaknya karena penis yang melengkung ke bawah dan adanya
lubang kencing yang tidak pada tempatnya. Pada pasien yang
mengalami hipospadia biasanya akan mengeluh tidak bisa buang air
kecil dengan berdiri.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang

11 | P a g e
Pada umumnya pasien dengan hipospadia ditemukan adanya
lubang kencing yang tidak pada tempatnya sejak lahir dan tidak
diketahui dengan pasti penyebabnya.
b. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat ibu pada saat kehamilan, misalnya adanya
gangguan atau ketidakseimbangan hormone dan factor lingkungan.
Pada saat kehamilan ibu sering terpapar dengan zat atau polutan
yang bersifat tertogenik yang menyebabkan terjadinya mutasi gen
yang dapat mempengaruhi perkembangan embrio pada
pembentukan penis terutama pada meatus uretra.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Adanya riwayat keturunan atau genetic dari orang tua atau saudara-
saudara kandung dari pasien yang pernah mengalami hipospadia.

4. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan genetalia
Saat dilakukan inspeksi bentuk penis lebih datar dan ada lekukan
yang dangkal dibagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra
eksternus, pada kebanyakan penderita penis melengkung ke bawah
(chordee) yang tampak jelas pada saat ereksi, preputium (kulup)
tidak ada dibagian bawah penis tetapi menumpuk dibagian
punggung penis, testis tidak turun ke kantong skrotum.
Letak meatus uretra berada sebelah ventral penis dan sebelah
proximal ujung penis.
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau
pembesaran pada ginjal, karena kebanyakan penderita hipospadia
sering disertai dengan kelainan pada ginjal.
c. Perhatikan kekuatan dan kelancaran aliran urin
Pada hipospadia aliran urin dapat membelok kearah bawah atau
menyebar dan mengalir kembali sepanjang batang penis. Anak
dengan hipospadia penoskrotal atau perineal berkemih dalam posisi
duduk. Pada hipospadia glanduler atau koronal anak mampu untuk
berkemih dengan berdiri, dengan sedikit mengangkat penis ke atas.
5. Pemeriksaan penunjang:
a. Uretroscopy dan cytoscopy

12 | P a g e
Pemeriksaan uretroscopy dan cytoscopy dilakukan untuk memastikan
organ-organ seks interna terbentuk secara normal.
b. Excretory urography
Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya
abnormalitas congenital pada ginjal dan ureter.
c. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna meskipun jarang
dilakukan adalah pemeriksaan radiologis urografi (IVP,
sistouretrografi) untuk menilai gambaran saluran kemih secara
keseluruhan dengan bantuan kontras. Pemeriksaan ini biasanya baru
dilakukan bila penderita mengeluh sulit berkemih. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui keadaan ginjal,
mengingat hipospadi sering disertai dengan kelainan pada ginjal.
6. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nyeri/kenyamanan
Pada umumnya pasien tidak mengalami gangguan kenyamanan dan
tidak mengalami nyeri. Setelah dilakukan pembedahan rekontruksi
penis, pasien akan mengalami nyeri akut.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada umumnya pasien hipospadia nutrisi cairan dan elektrolit dalam
tubuhnya tidak mengalami gangguan.
c. Pola aktivitas
Aktifitas pasien hipospadia tidak ada masalah.
d. Pola eliminasi
Pada saat BAK keluarga mengatakan anak biasanya jongkok saat
berkemih karena pancaran kencing pada saat BAK tidak lurus dan
biasanya kearah bawah, menyebar dan mengalir melalui batang
penis.
e. Pola tidur dan istirahat
Pada umumnya pasien dengan hipospadia tidak mengalami
gangguan atau tidak ada masalah dalam istirahat dan tidurnya.
f. Pola sensori dan kognitif
Secara fisik daya penciuman, perasa, peraba dan daya penglihatan
pada pasien hipospadia adalan normal, secara mental kemungkinan
tidak ditemukan adanya gangguan.
g. Pola persepsi diri

13 | P a g e
Adanya rasa malu pada orang tua kalau anaknya mempunyai
kelainan. Pada pasien sendiri apabila sudah dewasa juga akan merasa
malu dan kurang percaya diri atas kondisi kelainan yang dialaminya.
h. Pola hubungan dan peran
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami hambatan dalam
menjalankan perannya selama sakit.
i. Pola seksual
Adanya kelainan pada alat kelamin terutama pada penis pasien akan
membuat pasien mengalami gangguan pada saat berhubungan
seksual karena penis yang tidak bisa ereksi secara normal.
j. Pola penanggulangan stress
Biasanya orang tua pasien akan mengalami stress pada kondisi
anaknya yang mengalami kelainan.
k. Pola higiene.
Pada umumnya pola hygiene pasien tidak ada masalah.

Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1. Ganguan citra diri berhubungan dengan kelainan anatomis
2. Disfungsi seksual berhubungan dengan kelainan anatomis: penis
melengkung ke bawah saat ereksi
3. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan
4. Kurang pengetahuan orang tua berhubungan dengan proses pembedahan

Post operasi
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
berlebih
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses pembedahan
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter

14 | P a g e
Intervensi Keperawatan
Pre operasi
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Gangguan citra tubuh NOC: NIC :
Citra diri (Body image)
berhubungan dengan 1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien
Setelah dilakukan tindakan
malformasi konginetal terhadap tubuhnya
keperawatan selama …. gangguan
DS:
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
a. Depersonalisasi bagian body image
pasien teratasi dengan kriteria 3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan
tubuh
hasil: dan prognosis penyakit
b. Perasaan negatif tentang
a. Body image positif
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
tubuh b. Mampu mengidentifikasi
5. Identifikasi arti pengurangan kecemasan melalui
c. Secara verbal menyatakan kekuatan personal
c. Mendiskripsikan secara pemakaian alat bantu
perubahan gaya hidup
faktual perubahan fungsi 6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam
DO :
tubuh kelompok kecil
a. Perubahan aktual struktur
d. Mempertahankan interaksi
dan fungsi tubuh
b. Kehilangan bagian tubuh sosial
c. Bagian tubuh tidak
berfungsi
2. Disfungsi seksual berhubungan NOC 1. Kaji riwayat seksual mengenai pola, pengetahuan, dan

15 | P a g e
dengan kelainan anatomis: penis a. Fungsi seksual masalah seksual
b. Identitas seksual 2. Identifikasi masalah seksual
melengkung ke bawah saat
3. Beri informasi yang diperlukan untuk meningkatkan
Setelah dilakukan tindakan
ereksi
fungsi seksual
keperawatan, disfungsi seksual
4. lakukan kolaborasi dengan melakukan perujuakan atau
pasien teratasi dengan kriteria
konsultasi dengan anggota tim pelayanan kesehatan
hasil:
lain terkait disfungsi seksual yang dihadapi.
a. Menunjukkan keinginan
untukmendiskusikan
perubahan fungsi seksual
b. Meminta informasi yang
dibutuhkan tentang perubahan
fungsi seksual
c. Beradaptasi dengan model
ekspresi seksual terhadap
perubahan fisik akibat
penyakit

3. Kecemasan orang tua


NOC : NIC :
a. Kontrol kecemasan
berhubungan dengan prosedur 1. Identifikasi tingkat kecemasan
b. Koping
pembedahan yang ditandai Setelah dilakukan asuhan 2. Gunakan pendekatan yang menenangkan

16 | P a g e
dengan: keperawatan kecemasan klien 3. Jelaskan semua prosedur dan hal-hal yang dirasakan
DO/DS:
teratasi dengan kriteria hasil: selama prosedur pembedahan
a. Insomnia
a. Klien mampu mengidentifikasi
b. Kontak mata kurang 4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
c. Berfokus pada diri sendiri dan mengungkapkan gejala
mengurangi takut
d. Takut
cemas
e. Penurunan/ peningkatan TD 5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis,
b. Mengidentifikasi,
dan denyut tindakan prognosis
f. nadi mengungkapkan dan
g. Diare, mual, kelelahan 6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
menunjukkan tehnik untuk
h. Gemetar 7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik
i. Bingung mengontol cemas
j. Bloking dalam pembicaraan c. Tanda vital dalam rentang relaksasi
k. Sulit berkonsentrasi normal (kesadaran: 8. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
komposmetis, TD: 120/80 kecemasan
mmHg, nadi: 20x/menit, RR: 9. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
20x/menit, suhu: 36,5-37,5⁰C) ketakutan, persepsi
d. Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
dengan skala cemas 1 (tidak
menunjukkan kecemasan)

17 | P a g e
4. Kurang pengetahuan orang tua NOC NIC :
1. Pengetahuan: proses penyakit
berhubungan dengan proses 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga terkait
2. Pengetahuan: perilaku
pembedahan yang ditandai kesehatan prosedur pembedahan
Setelah dilakukan tindakan
dengan: 2. Berikan informasi pada pasien tentang prosedur
DS: keperawatan, pasien
pembedahan
a. Menyatakan secara verbal
menunjukkan pengetahuan
adanya masalah 3. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan
DO: tentang prosedur pembedahan
pasien
a. Ketidakakuratan mengikuti
dengan kriteria hasil:
4. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
instruksi, perilaku tidak a. Pasien dan keluarga
5. Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
sesuai menyatakan pemahaman
mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat
tentang penyakit, kondisi,
atau diindikasikan
prognosis dan program
6. Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan,
pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu dengan cara yang tepat
melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar
c. Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya

18 | P a g e
Post operasi
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan
Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Bersihan jalan napas tidak NOC: 1. Kaji frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan
2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
efektif berhubungan dengan a. Status pernapasan: ventilasi
b. Status pernapasan: Kepatenan (semi fowler)
penumpukan sekret berlebih
3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
jalan napas
ditandai dengan: 4. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
Setelah dilakukan tindakan 5. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan
DS: Dispneu
keperawatan, pasien menunjukkan pada sputum, seperti warna, karakter, jumlah, dan bau
DO:
6. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk melakukan
keefektifan jalan nafas dibuktikan
a. Penurunan suara nafas
fisioterapi dada jika perlu, dengan farmasi terkait obat
b. Orthopneu dengan kriteria hasil :
c. Cyanosis bronkodilator
a. pasien akan dapat melakukan
d. Kelainan suara nafas (rales,
e. wheezing) batuk efektif
f. Kesulitan berbicara b. pasien akan dapat
g. Batuk, tidak efekotif atau
mengeluarkan sekret secara
h. tidak ada
i. Gelisah efektif
j. Perubahan frekuensi dan c. pasien akan menunjukkan
irama nafas
jalan nafas yang paten
d. pasien akan mempunyai irama
pernafasan dalam rentang

19 | P a g e
normal, tidak ada suara nafas
abnormal
e. pasien akan mampu
mengidentifikasikan dan
mencegah faktor yang menjadi
penyebab.

2. Nyeri akut berhubungan dengan NOC NIC :


proses pembedahan a. Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
DS: b. pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

Laporan secara verbal c. comfort level kualitas dan faktor presipitasi


2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
DO: Setelah dilakukan tindakan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
keperawatan, pasien tidak
a. Posisi untuk menahan nyeri menemukan dukungan
b. Tingkah laku berhati-hati mengalami nyeri, dengan kriteria 4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
c. Gangguan tidur (mata sayu, hasil: seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
tampak capek, sulit atau a. Mampu mengontrol nyeri (tahu 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
gerakan kacau, penyebab nyeri, mampu
intervensi
menyeringai) menggunakan tehnik 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
d. Terfokus pada diri sendiri
e. Fokus menyempit nonfarmakologi untuk relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
mengurangi nyeri, mencari

20 | P a g e
(penurunan persepsi waktu, bantuan) 9. Tingkatkan istirahat
b. Melaporkan bahwa nyeri 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
kerusakan proses berpikir,
berkurang dengan nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan
penurunan interaksi dengan
menggunakan manajemen nyeri antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
orang dan lingkungan)
c. Mampu mengenali nyeri (skala, 11. Kolaborasi pemberian obat nyeri (ex. analgesi)
f. Tingkah laku distraksi,
12. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
intensitas, frekuensi dan tanda
contoh: jalan-jalan,
pemberian analgesik pertama kali
nyeri)
menemui orang lain
d. Menyatakan rasa nyaman
dan/atau aktivitas, aktivitas
setelah nyeri berkurang
berulang-ulang) e. Tanda vital dalam rentang
g. Respon autonom (seperti
normal (kesadaran:
diaphoresis, perubahan
komposmetis, TD: 120/80
tekanan darah, perubahan
mmHg, nadi: 20x/menit, RR:
nafas, nadi dan dilatasi
20x/menit, suhu: 36,5-37,5⁰C)
pupil) f. Tidak mengalami gangguan tidur
h. Perubahan autonomic
dalam tonus otot (mungkin
dalam rentang dari lemah
ke kaku)
i. Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah, merintih,

21 | P a g e
menangis, waspada,
iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
j. Perubahan dalam nafsu
makan dan minum
3. Resiko tinggi infeksi NOC : NIC :
berhubungan dengan a. Immune Status 1. Pertahankan teknik aseptif
2. Batasi pengunjung bila perlu
pemasangan kateter b. Knowledge : Infection control
3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
Faktor-faktor risiko: c. Risk control
keperawatan
1. Prose Setelah dilakukan tindakan 4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
5. Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan
dur Infasif keperawatan selama…… pasien
2. Keru petunjuk umum
tidak mengalami infeksi dengan
6. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
sakan jaringan dan peningkatan kriteria hasil:
infeksi kandung kencing
paparan lingkungan a. Klien bebas dari tanda dan 7. Tingkatkan intake nutrisi
3. Penin 8. Berikan terapi antibiotik
gejala infeksi
gkatan paparan lingkungan 9. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
b. Menunjukkan kemampuan 10. Pertahankan teknik isolasi k/p
patogen 11. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
untuk mencegah timbulnya
4. Pertahan primer tidak adekuat kemerahan, panas, drainase
infeksi
(kerusakan kulit, trauma 12. Monitor adanya luka
c. Jumlah leukosit dalam batas 13. Dorong masukan cairan
jaringan, gangguan peristaltik) 14. Dorong istirahat
normal

22 | P a g e
d. Menunjukkan perilaku hidup 15. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
16. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4
sehat
jam
e. Status imun, gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas
normal

23 | P a g e
4.4 Implementasi
4.4.1 Pre operasi
No. Hari, Tanggal, waktu No.Dx Implementasi

1. Senin, 30 September Dx. 1 1. Telah dikaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Telah dimonitor frekuensi mengkritik dirinya
2013, pukul 08.00 WIB
3. Telah dijelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
4. Telah diberikan dorongan klien mengungkapkan perasaannya
5. Telah diidentifikasi arti pengurangan kecemasan melalui pemakaian alat bantu
6. Telah difasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil

4.4.2 Post operasi


No. Hari, Tanggal, waktu No.Dx Implementasi

1. Senin, 30 September Dx. 1 1. Telah dikaji frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan
2. Telah diposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi (semi fowler)
2013, pukul 14.00 WIB
3. Telah diauskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
4. Telah dianjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
5. Telah diajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum,
seperti warna, karakter, jumlah, dan bau
6. Telah dilakukan kolaborasi dengan fisioterapis untuk melakukan fisioterapi
dada jika perlu, dan dengan farmasi terkait pemberian obat bronkodilator

24 | P a g e
25 | P a g e
Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk melihat respon pasien setelah dilakukan asuhan
keperawatan. Setelah perawat menentukan bahwa hasil yang diharapkan dan
tujuan telah tercapai, perawat mengklarifikasikan evaluasi dengan klien jika
perawat dan klien setuju. Bahwa hasil yang diharapkan telah dipenuhi, perawat
menghentikan rencana asuhan keperawatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda, N. A. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Jogjakarta: Mediaction


Publishing Jogjakarta.

Behrman, Kliegman, Arvin. (2014). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

black , j. M., & HAWKS, J. H. (2014). KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


Manajemen klinis untuk hasil yang di harapkan . singapore: Elsevier.

Joyce M. Black, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Singapura: Elsevier.

Kliegman, A. (2012). Narsol Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

26 | P a g e
Mubin, H. (2014). MUBIN PANDUAN PRAKTIS ILMU PENYAKIT DALAM:
DIAGNOSIS DAN TERAPI. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Salemba Medika.

muttaqin, A., & sari, K. (2011). Gangguan Gastrointestinal:Aplikasi Asuhan


Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. (2012). Pengkajian Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik.


Jakarta: Salemba Medika.

Nuari, N. A. (2015). Asuhan Keperawatan pada Gangguan Sistem Gastro


Intestinal. Jakarta: CV Trans Info Media.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta:
Mediaction.

Pillitteri. (2010). Ilmu Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: EGC.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K, M. S., & Setiati, S. (2010). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna.

Wilkinson. (2016). Diagnose Keperawatan. Jakarta: EGC.

Wilkinson, J. M. (2011). Diagnosis Keperawatan edisi 9. Jakarta: EGC.

27 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai