Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

POST OP APPENDIKTOMI

PRAKTIK PRENERS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

CT : Diah Retno Wulan,Ns.,M.Kep

CI : Nurhikmah, S.Kep.Ners

Disusun Oleh :

Winda Lestari

( 1714201110092 )

Kelompok 6B

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

POGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Appendiktomi


1. Definisi
Apendiksitis adalah inflamasi pada apendiks, yang merupakan saluran sempit dan buntu
sepanjang bagian bawah sekum (Lewis, 2000, Medical Surgical Nursing, Assessment and
Management of Clinical Problem, hal. 1150).

Apendiksitis adalah inflamasi pada apendiks vermiformis yang banyak terjadi pada
remaja dan dewasa muda (Luckman and Sorensen, 1993, Medical Surgical Nursing: A
Psychophysiologic Approach (fourth edition), hal 1635)
Klasifikasi: Apendiksitis dibagi atas apendiksitis akut dan apendiksitis kronik.

a. Apendiksitis akut dibagi atas :


 Apendiksitis akut fokalis atau segmentalis.
Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh rongga appendiks 1/3
distal berisi nanah. Untuk diagnosa yang penting ialah ditemukannya nanah dalam
luwen bagian itu. Kalau radangnya menjalar maka dapat terjadi:
 Apendiksitis akut purulenta/supperotiva diffusa disertai pembentukan nanah yang
berlebihan. Jika radanya lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan
disebut apendiksitis yang renosa dapat terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam
rongga perut dengan akibat peritonitis.
b. Apendiksitis Kronik dibagi atas:
- Apendiksitis Kronik Fokalis
Secara mikroskopik tampak fibrosis setempat yang melingkar, sehingga dapat
menyebabkan stenosis.
- Apendiksitis Kronik Obsiteratif
Terjadi fibrosis yang luas sepanjang apendiks pada jaringan submukosa dan subserosa.
Sehingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen) terutama di bagian distal dengan
menghilang selaput lendir pada bagian itu.

2. Anatomi Fisiologi

Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4


inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan
lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi
(apendiksitis). Apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik.

Apendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin


dan musin. Apendiks diperdarahi oleh cabang arteri mesentrika superior sedangkan aliran
baliknya menuju vena mesentrika yang dilanjutkan ke vena porta hepatika.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendiksitis. Imunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh Galt (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA, imunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Dengan berkurangnya jaringan limfoid. Terjadi fibrosis dan
pada kebanyakan masuk timbul konstriksi lumen.

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15),


dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya
dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insidens apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa
dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah
dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks
retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Departemen Bedah UGM,
2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus
(Sjamsuhidajat, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, 2004)

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci),
melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Apendiks berisi makanan dan
mengosongkan diri secara ke dalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif, dan
lumennya kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi
(apendiksitis). Apendiks mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik.

Apendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin dan musin.
Apendiks diperdarahi oleh cabang arteri mesentrika superior sedangkan aliran baliknya
menuju vena mesentrika yang dilanjutkan ke vena porta hepatika.

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam
lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendiksitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh Galt (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks ialah IgA, imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Dengan berkurangnya jaringan limfoid. Terjadi fibrosis dan pada kebanyakan masuk
timbul konstriksi lumen.

3. Etiologi

Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis


dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks
akibat parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat, 2011).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut

Haryono (2012) diantaranya:


a. Faktor sumbatan

Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)


yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing, dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
b. Faktor bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis


akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96%
dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari


organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.


Bangsa kulit putih yang dulunya mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang
pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang kejadiannya terbalik. Bangsa
kulit putih telah mengubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
negara berkembang yang dulunya mengonsumsi tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, kini memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.
a. Fekalit (massa keras dari feses)
b. Tumor atau benda asing
c. Pembengkakan usus besar
d. Kekakuan pada apendiks

4. Patofisiologi
Obstruksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung,
makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding apendiks
sehingga mengganggu aliran limfe dan menyebabkan dinding apendiks edema serta
merangsang tunika serosa dan peritoneum viseral dan dirasakan sakit di daerah sekitar
perut kanan bawah (Mc Burney).
Mukus yang terkumpul terinfeksi bakteri dan menjadi nanah kemudian timbul
gangguan sirkulasi. Karena terjadi gangguan sirkulasi darah maka timbul gangren, dan
dapat terjadi kerapuhan dinding apendiks yang menyebabkan perforasi.
Bila semua proses di atas hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat
apendicularis, peradangan apendiks tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang
masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Seringkali perforasi ini terjadi dalam 24-
36 jam. Bila proses ini berjalan lambat, organ-organ di sekitar ileum terminal, sekum, dan
omentum dalam membentuk dinding mengitari apendiks sehingga berbentuk abses yang
terlokalisasi.

5. Tanda dan Gejala


a. Demam
b. Nyeri perut
c. Mual, muntah
d. Anoreksia
e. Nyeri tekan di titik Mc. Burney
f. Konstipasi

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah lengkap: menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit.
b. Pemeriksaan urin rutin: ditemukan sejumlah kecil eritrosit dan leukosit.
c. Foto abdomen: gambaran fekalit, adanya massa jaringan lunak di abdomen kanan
bawah, dan mengandung gelembung-gelembung udara.
d. USG menunjukkan gambaran apendiksitis.
e. Pemeriksaan fisik nyeri tekan pada titik Mc Burney.
7. Komplikasi
a. Abses akibat dari perforasi dinsing apendiks
b. Peritonitis akibat infeksi dari perforasi dinding apendiks yang menyebar keseluruh
rongga perut

8. Terapi dan Pengelolaan Medik


a. Pre Operasi
 Istirahat tirah baring: untuk observasi dalam 8-12 jam setelah keluhan.
 Puasa: pemberian cairan parenteral jika pembedahan langsung dilakukan.
 Terapi pharmacologic: narkotik dihindari karena dapat menghilangkan tanda dan
gejala, antibiotik untuk menanggulangi infeksi.
 NGT untuk mengeluarkan cairan lambung jika diperlukan.
 Enema dan laxantria tidak boleh diberikan karena dapat meningkatkan peristaltik
usus meningkat dan menyebabkan perforasi.
 Pembedahan: apendiktomi secepatnya dilakukan bila diagnosanya tepat.
b. Post Operasi
 Observasi TTV: syok, hipertermi, gangguan pernafasan
 Klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.
 Berikan minum mulai 15 ml/am selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari berikutnya lunak.
 Aktivitas: satu hari pasca operasi klien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat
tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua klien dapat berdiri dan duduk di luar
kamar.
 Antibiotik dan analgesik.
 Jahitan diangkat hari ketujuh.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan.
- Riwayat penyakit
b. Pola nutrisi metabolik
- Kebiasaan makan makanan berbiji, rendah serat
- Mual, muntah
- Anoreksia
- Demam
c. Pola eliminasi
- Konstipasi
d. Pola tidur dan istirahat
- Gangguan tidur karena nyeri
e. Pola persepsi kognitif
- Nyeri perut
- Nyeri tekan di titik Mc Burney.
f. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
- Cemas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan peradangan pada apendiks.
2) Resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan dengan muntah pembatasan
cairan peroral (pre op).
3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah, dan anoreksia.
4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ruptur apendiks.
5) Hipertermi berhubungan dengan peradangan apendiks.
6) Kurang pengetahuan mengenai persiapan pre operatif dan perawatan post
operatif.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
2) Resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan dengan intake kurang,
pembatasan pemasukan cairan secara oral (puasa post op).
3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah, puasa post op.
4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.
5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Pre Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan peradangan pada apendiks.
HYD: - Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, intensitas 2-3.

4. Ekspresi wajah dan posisi tubuh tampak relaks.


5. Mampu tidur atau istirahat
Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-tanda vital.


Rencana: Deteksi dini terhadap tanda-tanda komplikasi.

b) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan intensitas nyeri.


Rencana: Karakteristik nyeri dapat menunjukan bahaya dari proses
apendiksitis.

c) Pertahankan istirahat, beri posisi semi fowler.


Rencana: Sebagai teknik relaksasi dan menghilangkan tegangan dengan posisi
terlentang.

d) Ajarkan teknik nafas dalam.


Rencana: Untuk mengurangi tekanan dan membantu otot-otot untuk relaksasi.

e) Berikan aktivitas hiburan seperti baca koran, baca buku.


Rencana: Meningkatkan teknik relaksasi dan meningkatkan kemampuan
koping.

f) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.


Rasional: Therapi analgetik dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri.
2) Resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan dengan muntah pembatasan
cairan peroral (pre op).
HYD: Mempertahankan keseimbangan cairan ditandai dengan:

6. Kelembaban membran mukosa.


7. Turgor kulit elastis.
8. Keseimbangan intake dan output.
9. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Suhu: 36,5oC-37,5oC

Nadi: 60 x/menit-100 x/menit.

Tekanan darah: < 120/80 mmHg

Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardi.


Rencana: Mengevaluasi keefektifan terapi cairan dan respon pada pengobatan.

b) Observasi membran mukosa, turgor kulit.


Rencana: Indikator adekuatnya sirkulasi perifer.

c) Pantau dan catat intake output, catat warna urine.


Rencana: Penurunan output urine atau konsentrasi urine pekat
mengidentifikasi dehidrasi.

d) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan parenteral.


Rencana: Menjaga keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit.

3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah, dan anoreksia.
HYD: - Keluhan mual, muntah, anoreksia tidak ada.

10. Klien menghabiskan 1 porsi makan yang diberikan.


11. IMT normal (20,5-25 kg/m2).
Rencana Tindakan:
a) Kaji keluhan mual, muntah, anoreksia.
Rencana: Untuk menetapkan cara mengatasinya.

b) Timbang BB tiap hari.


Rencana: Mengetahui status gizi pasien.

c) Beri porsi kecil.


Rencana: Menghindari mual dan muntah.

d) Hidangkan makanan selagi hangat.


Rencana: Untuk meningkatkan nafsu makan.

e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antiemetik.


Rencana: Mengurangi mual.

4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan ruptur apendiks.


HYD: Klien bebas dari resiko infeksi, ditandai dengan:

12. Suhu tubuh dalam batas normal.


13. Tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, panas, nyeri).
14. Leukosit 4.800-10.800/ul.
Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-tanda vital.


Rencana: Peningkatan suhu tubuh dapat terkontrol selama proses infeksi
berlangsung.

b) Kaji tanda-tanda infeksi: kemerahan, bengkak, nyeri.


Rencana: Menentukan intervensi sesuai masalah pasien.

c) Kaji dan catat kuantitas, lokasi, dan intensitas nyeri.


Rencana: Nyeri hebat merupakan tanda-tanda terjadi ruptur.

d) Kaji tingkat nyeri pasien dengan skala nyeri (0-10).


Rencana: Mengetahui nyeri.

e) Kolaborasi medis untuk pemeriksaan darah.


Rencana: Untuk mengetahui terjadinya peradangan.

f) Kolaborasi medis untuk pemberian antibiotik.


Rasional: Untuk mengurangi nyeri.

5) Hipertermi berhubungan dengan peradangan apendiks.


HYD: - Suhu tubuh 36,5o-37,5oC.

Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-vita vital.


Rencana: Peningkatan suhu tubuh dapat terkontrol selama proses infeksi.

b) Anjurkan klien minum 2-3 liter/hari.


Rencana: Mengganti cairan tubuh yang hilang melalui proses evaporasi.

c) Beri kompres hangat.


Rencana: Meningkatkan proses evaporasi dalam upaya menurunkan suhu
tubuh.

d) Anjurkan klien istirahat di tempat tidur.


Rencana: Mencegah terjadinya komplikasi perdarahan.

e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik.


Rencana: Dapat digunakan sebagai penurun panas.

6) Kurang pengetahuan mengenai persiapan pre operatif dan perawatan post operatif.
HYD: - Klien akan mengemukakan/mengulang kembali penjelasan mengenai
persiapan pre operasi yang telah diberikan.

15. Klien dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif, nafas dalam dan
melatih ekstremitas lebih dini.
16. Menunjukkan motivasi yang baik terhadap proses belajar.
Rencana Tindakan:
a) Kaji kemampuan/pengetahuan pasien mengenai proses penyakit dan kondisi
serta keadaan penyakitnya, komplikasi dan pengobatan.
Rencana: Membantu memberikan penjelasan yang tepat dan sesuai kebutuhan.

b) Jelaskan kepada klien mengenai jalan prosedur mengenai persiapan operasi:


termasuk mendemonstrasikan batuk efektif, nafas dalam dan latihan otot.
Rencana: Klien akan lebih mudah mengingat dan lebih kooperatif dan
memahami apa yang harus dilakukan, mudah mengikuti persiapan per operasi
dan lebih cepat untuk mencoba meningkatkan aktivitas secara bertahap.

b. Post Operasi

1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.


HYD: - Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, intensitas 2-3.

17. Ekspresi wajah dan posisi tubuh tampak relaks.


18. Mampu tidur atau istirahat
Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-tanda vital.


Rencana: Dapat mengidentifikasi rasa sakit dan ketidak-nyamanan.

b) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan intensitas nyeri.


Rencana: Menentukan intervensi selanjutnya.

c) Pertahankan istirahat, beri posisi semi fowler.


Rencana: Sebagai teknik relaksasi dan menghilangkan tegangan dengan posisi
terlentang.

d) Ajarkan teknik nafas dalam.


Rencana: Untuk mengurangi tekanan dan membantu otot-otot untuk relaksasi.

e) Tekan daerah insisi dengan bantal selama/pada saat aktivitas.


Rencana: Mengurangi keluhan nyeri saat beraktivitas.

f) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.


Rasional: Therapi analgetik dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri.
2) Resiko tinggi kurang volume cairan berhubungan dengan intake kurang,
pembatasan pemasukan cairan secara oral (puasa post op).
HYD: Mempertahankan keseimbangan cairan ditandai dengan:

19. Kelembaban membran mukosa.


20. Turgor kulit elastis.
21. Keseimbangan intake dan output.
22. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Suhu: 36,5oC-37,5oC

Nadi: 60 x/menit-100 x/menit.

Tekanan darah: < 120/80 mmHg

Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-tanda vital.


Rencana: Hipotensi, takikardi, peningkatan pernafasan, mengidentifikasi
kekurangan cairan.

b) Observasi membran mukosa, turgor kulit, capillary refill.


Rencana: Indikator adekuatnya sirkulasi perifer.

c) Kaji dan catat adanya mual dan muntah.


Rencana: Mual yang terjadi selama 12-24 jam post op umumnya karena efek
anestesi.

d) Observasi balutan luka, drain.


Rencana: Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu pada hipovolemik.

e) Catat intake output, catat warna urine.


Rencana: Penurunan output urine atau konsentrasi urine pesat
mengidentifikasi dehidrasi.
3) Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual, muntah, puasa post op.
HYD: - Keluhan mual, muntah tidak ada.

23. Bising usus 5-30 kali/menit.


Rencana Tindakan:

a) Kaji keluhan mual, muntah.


Rencana: Mual yang terjadi selama 12-24 jam post op umumnya karena efek
anestesi.

b) Kaji bising usus dan distensi abdomen.


Rencana: Mengetahui fungsi usus telah kembali normal.

c) Jaga agar nutrisi peroral dihindari sampai dengan bising usus kembali.
Rencana: Mencegah muntah.

d) Catat intake dan output.


Rencana: Mengetahui keseimbangan pemasukan dan pengeluaran nutrisi.

e) Kolaborasi medis untuk pemberian cairan parenteral.


Rencana: Pemenuhan nutrisi.

4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.


HYD: Klien terbebas dari infeksi luka, ditandai dengan:

24. Suhu tubuh 36,5o-37,5oC.


25. Tidak ada tanda-tanda infeksi (merah, panas, nyeri).
26. Luka balutan bersih, kering, tidak ada rembesan.
Rencana Tindakan:

a) Observasi tanda-tanda vital.


Rencana: Sebagai identifikasi tanda-tanda infeksi.

b) Kaji tanda-tanda infeksi.


Rencana: Deteksi dini jika terjadi faktor resiko/tanda dan gejala infeksi.

c) Observasi keadaan balutan luka dan sekitarnya.


Rencana: Memberikan deteksi dini terjadinya infeksi.

d) Rawat luka dengan prinsip antiseptik.


Rencana: Meminimalkan resiko adanya organisme infeksius.

e) Kolaborasi medis dalam pemberian antibiotik.


Rencana: Antibiotik dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan
mikroorganisme.

5) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan.


HYD: Klien dalam waktu 3 hari setelah post operasi akan menunjukkan:

27. Suhu 36,5-37,5oC.


28. Luka jahitan bersih, kering dan tidak tanda-tanda infeksi.
Rencana Tindakan:

a) Monitor suhu tubuh.


Rencana: Peningkatan suhu tubuh merupakan tanda penting terjadinya infeksi.

b) Kaji daerah sekitar balutan luka.


Rencana: Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi.

c) Jaga luka jahitan tetap kering dan bersih.


Rencana: Mengurangi resiko infeksi. Daerah insisi yang lembab/basah dapat
meningkatkan pertumbuhan mikro-organisme.

d) Gunakan teknik aseptik pada saat merawat luka jahitan.


Rencana: Teknik aseptik mencegah transmisi infeksi bakterial pada luka
jahitan karena pembedahan.

e) Perhatikan intake nutrisi tiap shift.


Rencana: Intake protein, kalori, vitamin dan mineral adalah bagian penting
untuk meningkatkan penyembuhan luka.

4. Perencanaan Pulang
1. Klien diinstruksikan untuk membuat janji menemui ahli bedah yang akan
mengangkat jahitan hari ke-5 dan 7.
2. Aktivitas normal biasanya dapat kembali dilakukan 2-4 minggu.
3. Jaga balutan luka operasi agar tetap kering dan tidak lembab.
4. Pasien dan keluarga diajarkan cara merawat luka.
5. Memperhatikan nutrisi yang bergizi untuk perbaikan jaringan yang sudah rusak.

DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilynn E. (1993). Nursing Care Plans Guidelines for Planning and Documenting
Patient Care. Ahli Bahasa I Made Kariasa (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Ignatavicius D. Donna. VB. Marilynn (2002). Medical Surgical Nursing: Clinical Management
for Continuity of care. Fifth Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Lewis, Sharon Mantik (2000). Medical Surgical Nursing: Assessment and Management of
Clinical Problems. Fifth Edition. By Mosby Inc.

Luckman and Sorensen’s (1993). Medical Surgical Nursing: A Psychophysiologic Approach.


Fourth Edition. By. W.B. Saunders Company.

Long C. Barbara (1996). Perawatan Medikal Bedah. Yayasan IAPK Padjajaran Bandung.

Price, Sylvia Anderson (1994). Pathophysiology Clinical Concepts of Disease Processes. Fourth
Edition. Alih bahasa: Peter Anugerah (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC.

Mansjoer Arif M. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI. Jakarta.

Noer Sjaifoellah (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai