Anda di halaman 1dari 24

I.1.

Apendisitis

I.1.1. Anatomi

Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran

kurang lebih 6–10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung

dengan lumen yang sempit pada bagian proksimal dan melebar pada bagian distal,

kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1 ml. Organ ini tersusun dari jaringan

limfoid dan merupakan bagian integral dari Gut Associated Lymphoid Tissue

(GALT). Lokasi apendiks terbanyak  berasal dari bagian posteromedial

caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium

yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian

posterior mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.

Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada

variasi dari lokasi apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal

sementara sisanya retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan

gejala yang akan muncul saat terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks

terhadap caecum adalah sebagai berikut: (Aschraff, 2000)

1. Retrocaecal (65%)

2. Pelvic

3. Antecaecal

4. Preileal

5. Postileal
Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat

ditemukan dengan menelusuri ketiga taenia yang terdapat pada caecum,

yaitu taenia colica, taenia libra dan taenia omentalis.

Gambar 2. 1. Variasi Posisi Appendix

Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan

cabang dari arteri mesenterika superior. Cabang arteri ileokolika ini disebut arteri

appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan

kembali ke vena mesenterika superior. Arteri appendicularis ini tidak memiliki

kolateral sehingga ketika terjadi oklusi apapun penyebabnya, maka mudah terjadi

iskemia dan gangren, hingga akhirnya perforasi. Persarafan parasimpatis berasal

dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a.


appendicularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh

karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.

I.1.2. Fisiologi

Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch

(analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks

adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada

bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada

Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal

appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm,

diameter 0,7 cm.  Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian

distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di

ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia

colica, dan taenia omentum).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran

lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem

imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh

GALT yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.

Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh


karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan

jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu

setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa

dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada

jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.

Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti

usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh

mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama.

Apendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh

darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak

retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

Histologis:

 Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.

 Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.

 Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum

longitudinale (gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.

 Tunika serosa :bila letaknya intraperitoneal asalnya dari

peritoneum visceral.

I.2. Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks

vermiformis, dan merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai
saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis

dapat disebabkan karena infeksi atau obstruksi pada apendiks. Obstruksi

menyebabkan apendiks menjadi bengkak, perubahan flora normal dan mudah

diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi perforasi

pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses

disekitar apendiks (Schwartz, 2009).

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria

yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan

limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi

mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa

faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya: (Sabiston,

2008)

1.   Faktor sumbatan (obstruksi)

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis

(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh

hyperplasia jaringan lymphoid submukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena

benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing

2.   Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis

akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk

dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam

lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi

antara Bacteriodes fragililis dan E. coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus,


Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan

perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

3.   Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.

Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko

lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih

telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara

berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan

rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

I.3. Etiologi

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan

sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen

apendiks. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.

namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,

diantaranya (Sabiston, 2008):

1.    Faktor sumbatan (obstruksi)

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia

jaringanlymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda

asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

2.    Faktor Bakteri


Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis

akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk

dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen

apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara

Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,

Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah

kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

3.   Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-

hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko

lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih

telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara

berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan

rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

I.4. Patofisiologi

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke saikum. Hambatan aliran

lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma.


Obstruksi appendiks menyebabkan peningkatan tekanan intralumen

dengan akumulasi mukus yang tersumbat dan berisi proliferasi kuman.

Penyumbatan limfatik dan vena terjadi kemudian. Bila tidak diberi terapi

peningkatan tekanan akan menyebabkan gangguan suplai arterial dengan akibat

nekrosis dan perforasi. Meskipun perjalanan appendiks yang tidak diterapi

biasanya menjadi perforasi atau abses. Namun secara pastinya belum jelas karena

ada appendisitis pasien anak, kurang dapat menjelaskan keluhan sehingga 82%

anak dibawah 5 tahun datang dalam keadaan perforasi dan hampir 100% anak

kurang dari setahun (Moh.Adjie Pratignyo, 2011)

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian

proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa

apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi

mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,

namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga

menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya

sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen

sekitar 60 cmH20 .

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami

hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.

Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin

iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).

Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi

waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum

setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

dengan Apendisitis supuratif akut.

Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan

obstruksi lumen apendiks oleh kalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri

terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya

gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang

telah rapuh tersebut pecah, akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya

ke dalam rongga peritoneum yang mengakibatkan peritonitis dan dapat

berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan kematian (Hermanto, 2011).

I.5. Gambaran Klinis Apendisitis Akut pada Anak

I.5.1. Anamnesis

Pada permulaan apendisitis, pasien bisa tidak demam atau subfebris.

Peningkatan suhu yang lebih tinggi dihubungkan dengan apendisitis perforasi

(Lee, 2013). Berdasarkan anamnesis dapat ditemukan 2 (dua) jenis gejala

apendisitis, yaitu:

a. Gejala klasik
Gejala klasik hanya dijumpai pada 55% kasus, yaitu jika apendiks berada

di anterior. (Lee, 2013) Gejala diawali oleh nyeri perut di periumbilikus yang

memberat dalam 24 jam. Nyeri menjadi lebih tajam dan berpindah ke fosa iliaka

kanan, lalu menetap. Ditemukan juga gejala hilangnya nafsu makan, mual,

muntah, dan konstipasi (Lee, 2013). Berdasarkan sebuah penelitian, muntah dan

demam lebih sering ditemukan pada anak dengan diagnosis apendisitis daripada

penyebab lain nyeri abdomen (Minkes, 2013).

Gambar 2. 2. Lokasi Nyeri Klasik Apendisitis Akut

b. Gejala atipikal

Gejala atipikal berhubungan dengan variasi letak anatomi apendiks (Lee,

2013). Nyeri tumpul sering muncul ketika ujung apendiks terletak di retrosekal.

Jika ujung apendiks terletak di pelvis, pasien akan mengeluhkan disuria, sering

berkemih, dan nyeri di suprapubis karena apendiks yang inflamasi mengiritasi

kandung kemih. Pasien juga dapat mengeluhkan diare atau tenesmus jika ujung

apendiks yang inflamasi dekat dengan rektum (Lee, 2013). Namun, jika ditanya
lebih lanjut, biasanya diare berupa buang air besar yang lunak, sedikit-sedikit,

tetapi sering (Minkes, 2013).

Sebuah penelitian yang dilakukan pada 63 pasien apendisitis usia

kurang dari 3 tahun melaporkan bahwa awalnya 57% mengalami salah diagnosis.

Sebanyak 33% memiliki keluhan utama diare. Sebanyak 84 % telah mengalami

perforasi dan/ atau gangren (DynaMed, 2013). Berdasarkan penelitian cohort pada

755 anak, apendisitis pada anak-anak dapat menunjukkan gejala atipikal. Gejala

klasik hanya ditemukan pada 50 – 68% anak (DynaMed, 2013).

I.5.2. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisik pada anak-anak bisa bervariasi tergantung pada

usia anak. Iritabilitas bisa menjadi satu-satunya tanda apendisitis pada neonatus.

Pada anak yang lebih tua sering terlihat tidak nyaman atau menyendiri, lebih suka

berbaring diam karena iritasi peritoneum. Remaja sering memiliki tanda klasik

apendisitis (Minkes, 2013).

Kebanyakan anak-anak dengan apendisitis tidak demam atau subfebris

(Minkes, 2013). Pada pemeriksaan fisik umum biasanya didapati suhu 38 oC atau

lebih rendah, suhu yang berfluktuasi mungkin mengindikasikan adanya abses

apendiks (DynaMed, 2013).

Pada pemeriksaan fisik jantung dan paru dapat ditemukan takikardi dan

takipnoe karena dehidrasi atau kesakitan (Minkes, 2013).

Pemerikasaan abdomen bertujuan untuk mencari kontraksi involunter dari

muskulus rektus atau oblikus (tanda peritoneal). Pada awal apendisitis, anak
mungkin tidak menunjukkan tanda peritoneal. Sementara, anak yang lebih muda

lebih sering memiliki nyeri abdomen difus dan peritonitis, mungkin karena

omentumnya belum berkembang dengan sempurna dan tidak dapat membungkus

perforasi (Minkes, 2013).

Nyeri maksimal dapat ditemukan di titik McBurney pada abdomen

kuadran kanan bawah. Dapat teraba massa jika apendiks sudah perforasi (Minkes,

2013). Temuan fisik yang paling spesifik pada apendisitis adalah nyeri lepas, nyeri

pada perkusi, dan tanda peritoneal. Walaupun nyeri abdomen kuadran kanan

bawah ditemukan pada 96% pasien, ini bukan merupakan temuan spesifik.

Kadang-kadang, nyeri abdomen kuadran kiri bawah menjadi keluhan utama pada

pasien dengan situs inversus (Craig, 2013).

Pada pasien dengan apendiks yang terletak di medial, dapat ditemukan

nyeri tekan suprapubis. Pada pasien dengan apendiks yang terletak di lateral

sering ditemukan nyeri pada daerah panggul kanan. Pada pasien dengan apendiks

yang terletak di retrosekal bisa tidak ditemukan nyeri tekan sampai apendisitis

sudah lanjut atau perforasi (Minkes, 2013).

Ditemukannya tanda Rovsing (nyeri pada abdomen kuadran kanan bawah

setelah dilakukan palpasi atau perkusi pada abdomen bagian kiri) menunjukkan

ada iritasi peritoneal (Minkes, 2013).

Untuk memeriksa tanda Psoas, baringkan anak miring ke kiri dan

hiperekstensikan sendi panggul kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif)

mengindikasikan adanya massa inflamasi di atas otot psoas (apendisitis retrosekal)

(Minkes, 2013).
Untuk memeriksa tanda obturator, lakukan fleksi dan internal rotasi pada

sendi paha kanan. Ditemukannya nyeri (respon positif) menunjukkan adanya

massa inflamasi di atas daerah obturator (apendisitis pelvik) (Minkes, 2013).

Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan adanya iritasi

peritoneal antara lain dengan memerintahkan pasien sit up di tempat tidur, batuk,

atau posisi berdiri dan jongkok begantian. Akan timbul nyeri yang

mengindikasikan adanya iritasi peritoneum (Minkes, 2013).

Pada bayi laki-laki dan anak-anak kadang-kadang datang dengan keluhan

inflamasi pada hemiskrotum karena migrasi cairan atau pus dari apendiks yang

inflamasi melalui prosesus vaginalis yang patent (Craig, 2013).

Sebagai tambahan, penting untuk dilakukan pemeriksaan rektal pada setiap

pasien dengan gejala klinis yang tidak jelas, serta pemeriksaan pelvis pada

perempuan yang mengeluhkan nyeri abdomen (Craig, 2013).

Menurut Minkes Digital Rectal Examination (DRE) bermanfaat untuk

menegakkan diagnosis yang tepat, khususnya pada anak-anak dengan apendisitis

yang terletak di pelvis. Temuan klasik pemeriksaan ini adalah nyeri pada bagian

kanan rektum. Dapat juga untuk memastikan adanya feses yang keras atau massa

inflamasi. (Minkes, 2013) Namun, menurut Craig tidak ada bukti ilmiah bahwa

DRE bermanfaat untuk menegakkan diagnosis apendisitis (Craig, 2013).

I.6. Diagnostik

I.6.1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Darah Lengkap dengan Diftel


Jumlah leukosit meningkat pada 70 – 90 % kasus apendisitis akut. Namun,

peningkatan tersebut biasanya ringan dan baru jelas terlihat setelah lebih dari 24

jam perjalanan penyakit atau setelah proses penyakit berlanjut. Peningkatan

neutrofil juga ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 % pasien apendisitis akut

(Craig, 2013). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm 3 dan jumlah neutrofil

kurang dari 7.500/mm3 dapat mengeksklusi apendisitis pada anak (level 2 [mid

level] evidence). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 memiliki negative

likelihood ratio 0,35 (DynaMed, 2013).

I.6.2. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan Histopatologi merupakan standard baku emas diagnosis

apendisitis. Pada stadium awal apendisitis, secara makroskopis apendiks tampak

edema dengan dilatasi pembuluh darah serosa. Secara mikroskopis, tampak

infiltrat neutrofil pada lapisan mukosa dan muskularis hingga ke lumen apendiks.

Selanjutnya, secara makroskopis dinding apendiks tampak menebal, lumen

berdilatasi, dan terbentuk eksudat serous. Pada stadium ini, secara mikroskopis

tampak nekrosis mukosa. Pada stadium lanjut apendisitis, secara makroskopis

tampak tanda-tanda nekrosis mukosa hingga lapisan luar dinding apendiks dan

bisa ditemukan gangren. Pada stadium ini, secara mikroskopis tampak mikroabses

multipel pada dinding apendiks dan nekrosis berat pada semua lapisan. Pada

stadium ini terjadi perforasi apendiks. Sebuah penelitian melaporkan bahwa

bagian tengah apendiks lebih sering mengalami perforasi daripada bagian ujung

apendiks.
Temuan apendiks normal pada saat operasi membutuhkan pemeriksaan

histopatologi yang teliti. Kadang-kadang, apendisitis derajat 1 (early Appendicitis)

baru teridentifikasi pada pemeriksaan histologi dan secara klinis dikorelasikan

dengan resolusi dari gejala-gejala sebelum operasi dilakukan.

Klasifikasi Histopatologi:

Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini

banyak dianut adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis

dari Robbins Cotran, klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan

temuan durante operasi:

a. Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau

hiperemis ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.

Gambar 2. 3. Sel–sel radang akut di lapisan mukosa

b. Apendisitis Supurativa (grade Il):

Sering didapatkan adanya obstruksi, apendiks dan mesoapendiks tampak

edema, kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan


terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan

peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling

off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.

Gambar 2. 4. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa, submukosa dan

muskularis

c. Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding

apendiks yang berwarna keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area

gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan

peritoneal yang purulen dengan bau busuk.


Gambar 2. 5. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan

daerah nekrotik

d. Apendisitis Ruptur (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang

antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen

dan berbau busuk.

Gambar 2. 6. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding

apendiks

e. Apendisitis Abses (grade V):


Sebagian apendiks mungkin sudah hancur, abses terbentuk disekitar apendiks

yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,

subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Gambar 2. 7. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya

tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan

pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh

darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi

mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,

usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,

uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila

proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul

peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup

kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu

pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).


Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan

bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan

mengalami eksaserbasi akut (Santacrose, 2006).

Gambar 2. 8. Apendisitis (A dan B, apendisitis akut; C dan D, apendisitis

kronik).

Pada penelitian Hani Noh (2012) semua pasien di klasifikasikan dalam

kelompok appendisitis sederhana dan kelompok appendisitis terkomplikasi yang

didasarkan pada histopatologi pascaoperatif. Appendisitis terkomplikasi

didefenisikan sebagai appendisitis gangren dan atau perforasi. Perbedaan ini tidak

jelas dan hanya perbedaan yang relevan secara klinik dari appendisitis sederhana

dan Appendisitis terkomplikasi yang akan digunakan.

Di departemen Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik juga

menggunakan pengelompokan histopatologi apendisitis menjadi 2 kelompok yaitu


simpel dan komplikata, yang dikatakan simpel adalah apendisitis akut dan yang

dikatan komplikata adalah apendisitis perforasi dan gangren. Maka dari itu,

pengelompokan histopatologi penelitian ini menggunakan kelompok akut dan

komplikata.

2.7. Tatalaksana

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat dilakukan pada

apendisitis akut adalah apendektomi, namun ada beberapa literatur yang

mengatakan untuk mencoba terapi konservatif pada kasus yang diduga bukan

apendisitis akibat obstruksi apendiks. Terapi konservatif ini biasa dipilih pada

pasien dengan risiko tinggi operasi. Terapi yang dilakukan berupa

mengistirahatkan usus dan pemberian antibiotik intravena, biasanya metronidazol

dan sefalosporin generasi ketiga. 80-90% terapi konservatif memberikan hasil

yang baik, namun 15% menunjukkan angka kejadian apendisitis berulang dalam 1

tahun.

Selain itu, terapi yang penting lainnya adalah pemberian cairan intravena

yang cukup, pemasangan kateter urin bila perlu, pemberian antipiretik, dan terapi

simptomatis lainnya.

Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka atau laparoskopi.

Apendektomi dilakukan dengan anestesi umum, pada posisi supine. Ada berbagai

macam insisi yang dapat dilakukan pada apendektomi terbuka dan masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan, diantaranya sebagai berikut (O’Connell,

2013):
 Insisi oblique muscle splitting (McArthur-McBurney)

 Insisi Gridion

 Insisi transverse (Rockey-Davis)

 Insisi Rutherford Morison

 Insisi transverse skin crease (Lanz)

 Insisi lower midline abdominal

Pasien yang menjalani apendektomi laparoskopi biasanya mengalami

nyeri post operatif yang lebih ringan dan pulih dalam waktu yang lebih singkat

dibandingkan dengan pasien yang menjalani apendektomi terbuka. Apendektomi

laparoskopi juga memiliki angka kejadian infeksi pada luka operasi yang lebih

kecil, namun angka kejadian sepsis pascaoperasi lebih tinggi untuk kasus

apendisitis gangrenosa dan perforasi. Apendektomi laparoskopi lebih

menguntungkan dikerjakan pada pasien obesitas dan awal kehamilan (Brunicardi,

2015)

Jika pada pemeriksaan dijumpai adanya massa apendiks (massa flegmon),

dianjurkan untuk menatalaksananya terlebih dahulu dengan regimen konservatif

Ochsner-Sherren, dengan alasan bahwa proses inflamasi sudah terlokalisasi dan

jika dilakukan operasi maka akan sangat sulit menemukan apendiks dan mungkin

sudah terbentuk fistula fekal. Hal yang dilakukan adalah memeriksa

perkembangan massa setiap hari (lebih mudah dengan membuat marka pada

dinding abdomen pasien), pemberian antibiotik, dan melakukan pemeriksaan CT

scan kontras. Jika terdapat abses, maka evakuasi dapat dilakukan dengan bantuan

radiologi. Suhu dan denyut nadi pasien juga dipantau per 4 jam, dan
mempertahankan keseimbangan cairan. Perbaikan klinis biasanya sudah dapat

dijumpai dalam 24-48 jam setelah terapi (O’Connell, 2013).

Kriteria untuk menghentikan terapi konservatif dan memulai tindakan

pembedahan pada massa apendiks adalah:

 Peningkatan denyut nadi

 Nyeri perut yang meningkat atau menyebar

 Ukuran massa yang membesar

Peran apendektomi di kemudian hari pada pasien yang gejala

apendisitisnya menghilang setelah dilakukan terapi konservatif masih belum jelas.

Namun beberapa penelitian mengatakan bahwa jika terapi konservatif berhasil,

maka dianjurkan untuk dilakukan apendektomi dalam 2-4 bulan setelah gejala

akut menghilang. Hal ini dilakukan untuk mencegah apendisitis berulang di

kemudian hari (Richmond, 2017).

Jika tanda-tanda peritonitis dijumpai, sebaiknya segera lakukan

laparotomi (O’Connell, 2013).

2.8. Komplikasi

Komplikasi yang tersering adalah perforasi, baik itu pada apendiks yang bebas

maupun pada apendiks yang telah menjadi massa flegmon yang terdiri atas

kumpulan apendiks, sekum, dan usus halus.

Perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis difusa yang ditandai dengan

adanya demam tinggi, nyeri makin hebat pada perut, perut menjadi lebih tegang

dan kembung, serta nyeri tekan dan defans muskulare yang terjadi di seluruh

lapisan perut. Abses rongga peritoneum dapat terjadi jika pus yang menyebar
terlokalisasi di satu tempat, paling sering di subdiafragma dan pelvis. Adanya

massa intraabdomen disertai demam tinggi harus dicurigai sebagai abses

(Sjamsuhidayat, 2010).

Adapun komplikasi post operatif yang dapat terjadi adalah infeksi pada

luka operasi, abses intraabdomen, ileus paralitik, fistula fekal dan ileus obstruktif

akibat adhesi usus (O’Connell, 2013).

2.8. Leukosit dan Neutrofil pada Apendisitis Akut pada Anak

Jumlah leukosit meningkat pada 70 – 90 % kasus apendisitis akut. Namun,

peningkatan tersebut biasanya ringan dan baru jelas terlihat setelah lebih dari 24

jam perjalanan penyakit atau setelah proses penyakit berlanjut. Peningkatan

neutrofil juga ditemukan yaitu lebih dari 75 % pada 78 % pasien apendisitis akut

(Craig, 2013). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm 3 dan jumlah neutrofil

kurang dari 7.500/mm3 dapat mengeksklusi apendisitis pada anak (level 2 [mid

level] evidence). Jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3 memiliki negative

likelihood ratio 0,35 (DynaMed, 2013).


14.

Anda mungkin juga menyukai