Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Apendiks vermicularis.


Apendiks merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang
berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali
menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Apendiks atau Apendisitis
akut menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan
tindakan bedah.
Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Apendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak
umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Apendisitis akut
mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan
peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik.
Diagnosis apendisitis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera
dilakukan. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan
hal yang paling penting dalam mendiagnosis Apendisitis. Keterlambatan diagnosis
dapat menyebabkan penyulit perforasi dengan segala akibatnya. Peranan
pemeriksaan penunjang khusunya di bidang radiologi sangat penting untuk
membantu penegakan diagnosis apendisitis sehingga penanganan yang diberikan
dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan akurat berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APENDIKS


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm
(3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proximal dan
melebar di bagian distal. Namun pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar di
pangkal, dan sempit di ujung. Keadaan ini mungkin menjadi penyebab rendahnya
insiden apendisitis pada usia tersebut. Kebanyakan terletak intraperitoneal dan
dapat digerakkan. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu
dipersambungkan sekum dan bisa berguna sebagai penanda tempat untuk
mendeteksi apendiks. Kebanyakan kasus, apendiks terletak intra abdominal.
Posisi ini memungkinkan apendiks bergerak bebas dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks di penggantungnya. Pada kasus
selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang
kolon asenden, atau di tepi lateral kolon asenden.
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a. ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendik merupakan jaringan lemak yang
mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan

serosa. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastis
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis epitel kolumnar
dan terdiri dari kantong yang disebut crypta liberkulin.

Gambar 1. Appendix vermicularis


Pangkal apendiks dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis MonroePichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal
apendiks terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney.

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Lendir itu


normalnya dicurahkan ke-dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenensis
apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associatted
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna, termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jaringan limf di sini kecil sekali, jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Persarafan apendiks meliputi simpatis dan parasimpatis. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterika superior
dan a. appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.

2.2 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks versiformis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Apendiks
disebut juga umbai cacing. Apendisitis akut merupakan peradangan pada apendiks
yang timbul mendadak dan dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan cacing ascaris yang dapat
menimbulkan penyumbatan. Dapat terjadi pada semua umur, insidensi tertinggi
pada umur 20-30 tahun, namun jarang dilaporkan terjadi pada anak berusia kurang

dari 1 tahun. Apendisitis akut memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang secara umum berbahaya. Jika diagnosis terlambat ditegakkan,
dapat terjadi ruptur pada apendiks sehingga mengakibatkan terjadinya peritonitis
atau terbentuknya abses di sekitar apendiks.

2.3 INSIDENSI
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari
satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada laki-laki lebih tinggi.

2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Apendisitis umumnya terjadi karena adanya proses radang bakteri. Berbagai
hal berperan sebagai faktor pencetus. Diantaranya adalah hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini seperti yang diakibatkan oleh
E. Histolytica. Namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya:
2.4.1 Obstruksi (Sumbatan)
Obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Obstruksi terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras atau fekalit,
hyperplasia jaringan limfoid (60%), 35% karena statis fekal, tumor apendiks,

benda asing dalam tubuh (4%) dan cacing askaris serta parasit dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan.
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burneys. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran
infeksi Apendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.

2.4.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix
normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Apendisitis didapatkan
bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi
Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang
menginvasi mukosa ketika pertahanan

mukosa terganggu oleh peningkatan

tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan
peranan penting pada perubahan Apendisitis akut ke Apendisitis gangrenosa dan
Apendisitis perforata.
Apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus
didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang
mengalami perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada
Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali
Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri
yang umumnya terdapat di Appendix, Apendisitis akut dan Apendisitis perforasi
adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan
bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.

Tabel 1. Mikrorganisme yang ditemukan pada Apendisitis akut


Bakteri Aerob dan Fakultatif
Batang Gram (-)

Bakteri Anaerob
Batang Gram (-)

Eschericia coli

Bacteroides fragilis

Pseudomonas aeruginosa

Bacteroides sp.

Klebsiella sp.

Fusobacterium sp.

Coccus Gr (+)

Batang Gram (-)

Streptococcus anginosus

Clostridium sp.

Streptococcus sp.

Coccus Gram (+)

Enteococcus sp.

Peptostreptococcus sp.

Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Apendisitis non


perforata. Pada Apendisitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara
intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam.
Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal
masih kontroversi.

2.4.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene


Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat
berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang
mempunyai kecenderungan untuk timbul fekalit.

2.5 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi appendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian


menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks
menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan
pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama
mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di
dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga
hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga
mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus
meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang
timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga
menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
appendisitis supuratif akut.
Jika kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
appendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren
ini pecah, itu berarti appendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya

perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali


menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.

2.6 STADIUM APENDISITIS


o Stadium awal appendisitis: Obstruksi lurnen apendiks mengarah pada edema
mukosa, ulserasi mukosa dengan akumulasi cairan dan peningkatan tekanan
intraluminer. Pasien menampakkan gejala nyeri periumbilikal atau epigastrik.
o Appendisitis supuratif : Peningkatan tekanan intraluminer mengakibatkan
peningkatan tekanan perfusi kapiler, yang bersamaan dengan obstruksi
limfatik dan drainase vena, diikuti invasi cairan inflamasi dan bakterial pada
dinding

appendisitis.

Penyebaran

transmural

bakterial

menyebabkan

appendisitis supuratif akut. Ketika inflamasi serosa apendiks bersentuhan


dengan peritoeum parietal secara klinis nyeri pasien berpindah dari
periumbilikus ke kuadran perut kanan bawah, selanjutnya menjadi lebih berat.
o Appendisitis

gangrenosa

Vena

intramural

dan

thrombosis

arteri,

menghasilkan appendisitis gangrenosa.


o Appendisitis perforasi : Hasil dari iskemia jaringan adalah infark appendisitis
dan perforasi. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis terlokalisasi atau
generalisata.
o Phlegmon appendisitis atau abses: Inflamasi atau perforasi apendiks dapat
dilingkupi dengan omentum majus yang berdekatan atau loop usus halus
menghasilkan appendisitis phlegmon atau abses fokal.

10

2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi.

Anamnesis

Nyeri / Sakit perut


Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Terjadi karena

peristaltik untuk mengatasi obstruksi yang terjadi pada seluruh saluran cerna,
sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut. Mula-mula daerah
epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6
jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.

Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus


Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,

merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal ini
tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan. Gejala disuria
juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria.

Obstipasi karena penderita takut mengejan

11

Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa


nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada
letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.

Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi


Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0

38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Pemeriksaan Fisik

Rovsings sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Apendisitis namun tidak spesifik.

Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan
pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae
dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa
12

nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan


adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
Apendisitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Blumbergs sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

Wahls sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.

Baldwins test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk.

Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.

Dunphys sign (nyeri ketika batuk)


Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein


reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000 20.000/ml ( leukositosis ) dan neutrofil diatas 75 %,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan radiologis, ultrasonografi dan CTscan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada
13

tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan


CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.

Rontgen foto polos, tidak spesifik, secara umum tidak cost effective.
Kurang dari 5% pasien akan terlihat adanya gambaran opak fekalith yang
nampak di kuadran kanan bawah abdomen.

USG : pada kasus appendisitis akut akan nampak adanya : adanya struktur
yang aperistaltik, blind-ended, keluar dari dasar caecum. Dinding apendiks
nampak jelas, dapat dibedakan, diameter luar lebih dari 6mm, adanya
gambaran target, adanya appendicolith, adanya timbunan cairan
periappendicular, nampak lemak pericecal echogenic prominent.

CT scan : diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan
dinding appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement
gambaran dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran
perubahan inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory
fat stranding, phlegmon, free fluid, free air bubbles, abscess, dan
adenopathy.

Skor Alvarado

14

Semua penderita dengan suspek Apendisitis akut dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy,
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.
Skor Alvarado untuk membantu menegakkan diagnosis.
Value
1
1
1
Tanda
2
1
1
Lab
2
1
Total poin
10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor 7-9
Gejala

Gejala Klinik
Adanya migrasi nyeri
Anoreksia
Mual/muntah
Nyeri RLQ
Nyeri lepas
Peningkatan suhu 37,30C
Leukositosis
Shift to the left

apendicitis akut perlu perubahan maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.


Gejala Apendisitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri
lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis
difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien
dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Apendisitis biasanya
menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan
tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri
lokal di titik Mc Burneys. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal
menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan
15

Diagnosis Apendisitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat
sehingga Apendisitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan
penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia.
Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


2.8.1 Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya
didapatkan pada keadaan akut, Apendisitis tanpa komplikasi dan sering disertai
predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal
tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Apendisitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3
pada Apendisitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah
tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau
tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis
oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai
meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP 8 mcg/mL, hitung
leukosit 11000, dan persentase neutrofil 75% memiliki sensitivitas 86%, dan
spesifisitas 90.7%.

16

Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari


saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari
iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi
Appendix, pada Apendisitis akut dalam sample urine catheter tidak akan
ditemukan bakteriuria.

2.8.2.Ultrasonografi
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Apendisitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus
yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif
bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih.
Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari
Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran
tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis
Apendisitis akut. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan
tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Apendisitis
akut tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga
abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia
reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan
transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit
ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis
Apendisitis akut dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96%

17

dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan
wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.
USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada
pemakai.

Penilaian

positif

palsu

dapat

terjadi

dengan

ditemukannya

periapendisitis dari peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing


(inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas
Appendix mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut
melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila
Apendisitis terbatas hanya pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix
dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami
perforasi oleh karena tekanan.

2.8.3. Pemeriksaan radiologi


Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Apendisitis akut, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Apendisitis akut, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal
ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada
foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus
kanan bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan
radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat
daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT

18

Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan
percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan
Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara
50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Apendisitis harus
dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda
atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Apendisitis perforata


dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis

19

Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix


(panah) dengan appendicolith

Tabel 3. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Apendisitis

Sensitivitas

USG
85%

CT Scan Appendix
90-100%

Spesifitas

92%

95-97%

Penggunaan

Evaluasi pasien pada

Evaluasi pasien pada

Keuntungan

pasien Apendisitis
Aman

pasien Apendisitis
Lebih akurat

Relatif murah

Lebih baik dalam

Dapat menyingkirkan

mengidentifikasi

penyakit pelvis pada

Appendix normal,

wanita

phlegmon dan abscess

Lebih baik pada anak-

20

Kerugian

anak
Tergantung operator

Mahal

Secara teknik tidak

Radiasi ionisasi

adekuat dalam menilai

Kontras

gas
Nyeri

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding dari Apendisitis akut pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses
akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan
yang sama seperti Apendisitis akut.
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada
umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Apendisitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan.
Diagnosis banding Apendisitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi
anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai
yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien.
1. Adenitis Mesenterica Akut

21

Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Apendisitis akut pada


anak-anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi
sekarang ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan
rasa sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada
Apendisitis. Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis
Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah penyakit yang self
limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera.
2. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Apendisitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi
akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya
diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului
terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.
3. Penyakit urogenital pada laki-laki.
Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding Apendisitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis
akut, karena nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal
penyakit ini, Vesikulitis seminalis dapat juga menyerupai Apendisitis namun
dapat dibedakan dengan adanya pembesaran dan nyeri Vesikula seminalis
pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.
4. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Apendisitis
akut. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena

22

Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti


Apendisitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
5. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Apendisitis akut karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Apendisitis sangat jarang dibawah umur
2 tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah
umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan
berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih
pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium
enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Apendisitis
akut sangat berbahaya.
6. Chrons enteritis
Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan
leukositosis sering dikelirukan sebagai Apendisitis. Selain itu, terdapat diare
dan anorexia. Mual dan muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis
kepada enteritis namun tidak menyingkirkan diagnosis Apendisitis akut.

7. Perforasi ulkus peptikum


Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Apendisitis jika cairan
gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara
spontan menutup, gejala nyeri abdomen bagian atas menjadi minimal.
8. Epiploic appendagitis

23

Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder


dari torsi Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat
berlangsung hingga beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi
mual dan muntah, dan nafsu makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada
daerah yang terkena. Pada 25% kasus, nyeri berlangsung terus menerus hingga
epiploic appendage yang mengalami infark dioperasi.
9. Infeksi saluran kencing
Pyelonephritis akut, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
Apendisitis akut letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.
10. Batu Urethra
Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan
Apendisitis retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis,
hematuria, dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu.
Pyelografi dapat memperkuat diagnosis.
11. Peritonitis Primer
Peritonitis primer jarang menyerupai Apendisitis akut simplex namun
dapat ditemukan gambaran yang sangat mirip dengan peritonitis difus
sekunder yang disebabkan oleh ruptur Appendix. Diagnosis ditegakkan
dengan aspirasi peritoneal. Bila ditemukan bakteri coccus pada pewarnaan
Gram, peritonitis tersebut adalah peritonitis primer dan terapinya adalah obat
obatan. Bila ditemukan bermacammacam bakteri, peritonitis tersebut adalah
peritonitis sekunder.

24

12. Purpura HenochSchonlein


Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus.
Nyeri abdomen merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi,
purpura dan nephritis juga hampir selalu ditemukan.
13. Yersiniosis
Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk
adenitis mesenterica, ileitis, colitis dan Apendisitis akut. Umumnya infeksinya
ringan dan self limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis sistemik
yang umumnnya sangat fatal bila tidak diobati. Kecurigaan pada diagnosis
preoperatif tidak boleh menunda operasi, karena secara klinis Apendisitis yang
disebabkan oleh Yersinia tidak dapat dibedakan dengan Apendisitis oleh sebab
lainnya. Sekitar 5% dari kasus Apendisitis akut disebabkan oleh infeksi
Yersinia.
14. Kelainankelainan ginekologi
Umumnya kesalahan diagnosis Apendisitis akut tertinggi pada wanita
dewasa muda disebabkan oleh kelainankelainan ginekologi. Angka rata-rata
Appendectomy yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan
adalah 32%45% pada wanita usia 1545 tahun. Penyakitpenyakit organ
reproduksi pada wanita sering dikelirukan sebagai Apendisitis, dengan urutan
yang tersering adalah PID, ruptur folikel de Graaf, kista atau tumor ovarium,
endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik. Laparoskopi mempunyai peranan
penting dalam menentukan diagnosis.

Pelvic Inflammatory Disease (PID)

25

Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah
kanan dapat menyerupai Apendisitis. Mual dan muntah hampir selalu terjadi
pada pasien Apendisitis. Pada pasien PID hanya sekitar separuhnya.

Ruptur Folikel de Graaf

Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler serta


nyeri yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan
berasal dari ovarium kanan, dapat dikelirukan dengan Apendisitis. Nyeri dan
nyeri tekan agak difus. Leucositosis dan demam minimal atau tidak ada.
Karena nyeri ini terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut
mittelschmerz.

2.10 KOMPLIKASI

2.7.1. Perforasi
2.7.2. Peritonitis
2.7.3. Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro atau
makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa Appendix terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa
Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena
daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.

26

2.11 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien Apendisitis akut yaitu
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala
klinis dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur
dan didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika
profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

Teknik operasi Appendectomy


a. Open Appendectomy
1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
2. Dibuat sayatan kulit:
Horizontal

Oblique

27

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:


a. Pararectal/ Paramedian
Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M.
rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada
waktu penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat
terjadi hernia cicatricalis.
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting
Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.
1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral
atas ke medial bawah.

Keterangan gambar:
28

Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi
kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus
abdominis externus.
2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke
lateral bawah.

Keterangan gambar:
Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi
searah dengan seratnya ke arah lateral.
3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

Keterangan gambar:

29

Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar


tak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N.
iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di
sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan
yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan
saraf.
4. Peritoneum dibuka.

Keterangan gambar:
Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar.
Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di
bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini
ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang
sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset,
memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat.

5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri


untuk mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem

30

dengan klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah


kontaminasi ke jaringan sekitarnya).
Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:
Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya,
diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

Keterangan gambar:
Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem
Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat
mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem
ujung bebas mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh
terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi.

6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi
lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah
Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang
pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga
tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam
Caecum).
31

7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

32

8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara:


a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix
diinversikan ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan
jahitan Z.
b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko
kontaminasi dan adhesi.
c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung
rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.

9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru
dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).

33

10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

b. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Apendisitis akut. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian
bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit
akut ginekologi dari Apendisitis akut.

2.12 KOMPLIKASI POST OPERASI


1. Fistel berfaeces Apendisitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces;
karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 2427 jam setelah
Appendectomy, kadangkadang setelah 1014 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena
emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

2.13 PROGNOSIS
Mortalitas dari Apendisitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000
pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Apendisitis adalah sarana

34

diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan
darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi
tepat sebelum terjadi perforasi.

BAB III
KESIMPULAN

Apendisitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda
tiap individu. Apendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling
sering ditemukan. Faktor-faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya
Apendisitis meliputi faktor obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen
adalah penyebab utama pada Apendisitis akut.
Gejala klinis Apendisitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri
berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang
tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik
pada kasus Apendisitis adalah Rovsings sign, Psoas sign, Obturator sign,
Blumbergs sign, Wahls sign, Baldwin test, Dunphys sign, Defence musculare,
nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.

35

Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Apendisitis adalah pemeriksaan


laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding
Apendisitis antara lain; Adenitis Mesenterica Akut, Gastroenteritis akut, penyakit
urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chrons enteritis,
perforasi ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing, batu
urethra, peritonitis primer, Purpura HenochSchonlein, Yersiniosis, serta
kelainankelainan ginekologi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Apendisitis adalah perforasi,
peritonitis, Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial
pyemia dengan Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien
Apendisitis akut meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan konsultasi
ahli bedah, pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Apendisitis akut.
Appendicular infiltrat adalah proses radang Appendix yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga
membentuk massa (Appendiceal mass) yang lebih sering dijumpai pada pasien
berumur 5 tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan
baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses
radang.
Etiologi dan patofisiologi Appendicular infiltrat diawali oleh adanya
Apendisitis akut. Dimulai dari acute focal Apendisitis acute suppurative

36

Apendisitis gangrenous Apendisitis (tahap pertama dari Apendisitis yang


mengalami komplikasi) dapat terjadi 3 kemungkinan:
o

perforated Apendisitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam


ruang atau rongga peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.

terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa


lama kelamaan akan mengecil dan menghilang)

Apendisitis kronis, merupakan serangan ulang Apendisitis yang


telah sembuh.
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya

riwayat Apendisitis akut, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri tekan
di RLQ. Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan tumor
Caecum, limfoma maligna intra abdomen, Apendisitis tuberkulosa, amoeboma,
Crohns disease, dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun
torsi kista ovarium.
Terapi Appendicular infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif
(konservatif) yang diikuti dengan Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian),
tetapi apabila massa tetap dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi
abses dan massa harus segera dibuka dan dilakukan drainase.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartzs Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:111934
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
4. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingots
Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis
H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222
5. Prinz RA, Madura JA. Apendisitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of
Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins. 2001: 1466-78

38

6. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.

39

Anda mungkin juga menyukai