Anda di halaman 1dari 28

PAPPER

APPENDICITIS

Disusun oleh :

Imam Mulyadi 19360250

Pembimbing

dr. M. Bob Muharly Rambe, M. Ked (Surg), Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS
MALAHAYATI 2021

1
DAFTAR ISI

BAB 1
Pendahulan

1.1 Latar Belakang

BAB 2
Tinjauan Pustaka
2.1 definisi
2.2 Anatomi dan Fisiologi
2.3 Etiologi dan Faktor resiko
2.4 Patofiologi dan Fisiologi
2.5 Klasifikasi
2.6 Diagnosa
2.7 Penatalaksanaan

BAB 3
3.1 Kesimpilan

DAFAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

2
1.1 Latar Belakang
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering2. Apendiks disebut juga umbai
cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat,
karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum. Sampai saat ini belum
diketahui secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering
sekali menimbulkan masalah kesehatan.3. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut,
tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits.
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Namun
lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun. Insidensinya meningkat pada pubertas
dan mencapai puncaknya pada usia remaja dan pada usia 20 tahun. Insiden terbanyak
appendisitis akut berada pada kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian perforasi
dari kasus apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia <12 tahun dan > 65
tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi negatif sebesar 20 % dan
angka perforasi sebesar 20-30 %.
Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %. Pemakaian
laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning (CT-scan), merupakan
upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis appendisitis akut maupun kronis. Beberapa
pemeriksaan laboratorium dasar masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang
appendisitis akut. Jumlah sel leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah
penanda yang sensitif bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah, cepat, dan murah
untuk Rumah Sakit di daerah.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, salah
satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak invasif . Alfredo Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat
keparahan appendisitis. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah
klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis
dan temuan durante operasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Definisi
Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis. karena
tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus.
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks
dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermikularis Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan
pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah terjadi perforasi,
maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum, abses, dan komplikasi pascaoperasi
seperti fistula dan infeksi luka operasi.

Gambar 1. Apendisitis Akut

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung


dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.
Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil. 3,10

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,
muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin
tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang
menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.

4
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan
saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes.
Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut
crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular
layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk
mencari apendiks.3

Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup
ileosekal. 2

Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada
kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon
asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.7

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika


superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks
berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene. 7
Menurut Wakeley (1997) lokasi appendiks adalah sebagai berikut: retrosekal
(65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan postileal serta parakolika
kanan (0,4%).

5
Gambar 2. Anatomi appendiks

Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan appendiks


memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya
mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak retroperitoneal yaitu di belakang
sekum, dibelakang kolon asenden atau tepi lateral kolon asenden. Gejala klinis appendisitis
ditentukan oleh letak dari apendiks. Pada posisi retrosekal, terkadang appendiks menjulang
kekranial ke arah ren dekstra, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di regio flank kanan.
Terkadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada keadaan tertentu karena appendiks yang
mengalami inflamasi ini secara kebetulan terlindungi oleh sekum yang biasanya mengalami
sedikit dilatasi. Letak appendiks mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai untuk
penanda kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai
melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang mengakibatkan nyeri
perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi usus, appendiks bisa sampai diregio
epigastrum, berdekatan dengan gaster atau hepar lobus kanan.
Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada pertemuan ketiga taenia
koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga taenia tersebut terutama taenia anterior
yang digunakan sebagai penanda untuk mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di
fossa iliaka kanan, bila diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah
yang disebut dengan titik Mc Burney.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila terjadi
peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu alat pertahanan tubuh
apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk apendiks. Pada anak-anak appendiks
lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan lebih
mudah mengalami perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih
tipis, pendek dan lembut serta belum mampu membentuk pertahanan atau pendindingan

6
(walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis umum karena appendisitis akut lebih sering
terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai
lapisan otot longitudinal, mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks
berbentuk kerucut. Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini
kemungkinan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut.
Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing, dan apeksnya
menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 - 15 mm. Lapisan epitel lumen
appendiks seperti pada epitel kolon tetapi kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon.
Appendiks mempunyai lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang
merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar berbentuk
muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli diperbatasan antara sekum
dan appendiks. Appendiks vermiformis (umbai cacing) terletak pada puncak caecum ,pada
pertemuan ke-3 tinea coli yaitu:
∙ Taenia libra
∙ Taenia omentalis
∙ Taenia mesokolika
Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan limfoid.
Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu setelah lahir,
jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 folikel antara
usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami atropi dan menghilang
pada usia 60 tahun. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar
umbilikus.
Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika, yang merupakan
cabang a. mesenterika superior, yaitu a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral,
sehingga apabila terjadi trombus pada apendisitis akut akan berakibat terbentuknya gangren,
dan bahkan perforasi dari apendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari
arteri ileokolika dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang pada
mesenterium yang inkomplet, arteri ini terletak pada dinding sekum. Pada mesoapendiks
yang pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir (immobile).

7
Gambar 3. Vaskularisasi appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran
cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan
appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh

Gambar 4. Posisi Apendiks

8
2.3 Etiologi & Faktor Resiko
Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi :
2.3.1 Obstruksi
∙ Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
∙ Fekalit (35%), masa feses yang membatu
∙ Corpus alienum (4%), biji - bijian
∙ Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

2.3.2 Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia, tonsillitis, dsb.
Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan Streptococcus. Beberapa
penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi terjadinya apendisitis akut diantaranya
obstruksi lumen apendiks, obstruksi bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet
rendah serat. Pada keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60%
obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35% disebabkan oleh fekalit,
dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain. Diperkirakan pula bahwa pada penderita
tua obstipasi merupakan faktor resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah
pembengkakan sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan
konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis.


Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem gastrointestinal. Sekresi
immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated Lymphoid Tissues (GALT) dan hasil sekresi
yang dominan adalah IgA. Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan
mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks
sebagai sistem imun tidak begitu penting. Hal ini dapat dibuktikan pada pengangkatan
apendiks tidak terjadi efek pada sistem imunologi.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam
bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan
penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap
apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama
Escherichia coli banyak ditemukan. Ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk
Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Sebagian besar

9
penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi ditemukan bakteri anaerobik
terutama Bacteroides fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa, submukosa, dan muskularis,
yang menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti lokal vaskuler, dan hiperplasi kelenjar
limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis dan perforasi.
Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu: akumulasi cairan
intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan
kongesti dinding apendiks, dan hipoksia jaringan, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan
obstruksi berakibat terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan
meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks akan terhambat
keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada:
∙ Limfe
Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi ulserasi mukosa
mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.
∙ Vena
Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat mengakibatkan timbulnya pus
hingga menjadi apendisitis supuratif.
∙ Arteri
Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan terjadinya
apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang mengakibatkan terjadinya
peritonitis umum.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal sekum, yang dapat
diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
kolon. Penyebab utama konstipasi adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat
menyebabkan feses memadat, lebih lengket dan makin membesar, sehingga membutuhkan
proses transit dalam kolon yang lebih lama. Diet tinggi serat tidak hanya memperpendek
waktu transit feses dalam kolon, tetapi juga dapat mengubah kandungan bakteri.
Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara normal dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Karena apendiks merupakan suatu
kantong yang buntu dengan lumen yang sempit dan secara normal berisi bakteri.
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.1

10
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60
cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi
peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.2

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,


menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan

11
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. 1,9

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. 1

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.1

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa


dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.1

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,


daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi

12
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh
karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest). 3

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 7
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut sehingga dapat
terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan apendisitis kronis. Apendisitis
rekurens adalah apendisitis yang secara klinis memberikan serangan yang berulang, durante
operasi pada apendiks terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan
tanda peradangan akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai apendisitis yang
secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu, pendapatan durante operasi maupun
pemeriksaan histopatologis menunjukkan tanda inflamasi kronis, dan serangan menghilang
setelah dilakukan apendektomi.
Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana apendiks akan
dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan kadang-kadang terdapat pita-pita
bekas peradangan dari apendiks keorgan lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk,
terputar atau terjadi kinking, kadang-kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang
mengalami distensi dan berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi fragmentasi dari
apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh pita-pita jaringan parut.
Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu apendisitis kronik.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali adanya sumbatan
dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan dengan obstruksi yang disebabkan
hiperplasia jaringan limfoid submukosa disebutkan lebih banyak terjadi pada anak-anak,
sementara obstruksi karena fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan pada orang
dewasa. Adanya fekalit dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat
fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan apendiks telah
mengalami komplikasi yaitu gangren.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting. Pada penderita
muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan terjadi reaksi radang dan
selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi sehingga mengakibatkan penyumbatan lumen
apendiks.
Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang sebelumnya telah
terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi karena terjadinya peningkatan

13
tekanan intraluminar apendiks. Ada kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi
enterogen ini adalah kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu fokus di hidung atau
tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses peradangan pada apendiks. Secara
hematogen dikatakan mungkin saja dapat terjadi karena apendiks dianggap tonsil abdomen.
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai penyebab dan
mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan yang berlebihan dan terus menerus
dari laksatif pada kasus konstipasi akan memberikan kerugian karena hal tersebut akan
merubah suasana flora usus dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hiperemia usus yang
merupakan permulaan dari proses inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan
apendisitis maka pemberian purgative akan merangsang peristaltik yang merupakan
predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

2.5 Klasifikasi Apendisitis


Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

1. Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak
normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak adatya eksudat serosa.

2. Apendisitis Supurativa (grade Il): Sering didapatkan adanya obstruksi, apendiks dan
mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah, mungkin didapatkan adanya
petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah
cairan peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off
oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.

3. Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi didapatkan


juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan, kecoklatan atau merah
kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi,
kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau busuk.

4. Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur apendiks,
umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal
sangat purulen dan berbau busuk.

5. Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur, abses terbentuk
disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum,
retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi apendisitis akut grade I dan II belum terjadi perforasi (apendisitis

14
simpel) sedangkan apendisitis akut grade III, IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis
komplikata).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis
Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi menjadikan presentasi
klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten. Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri
abdomen. Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul tumpul
dengan sifat nyeri ringan sampai berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten. Hal
tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka
nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal. Nyeri
abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi,
distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami
peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam), nyeri akan beralih dan menetap di
kuadran kanan bawah. Pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir,
serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan. Pasien biasanya lebih menyukai
posisi supine dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan
nyeri.
Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia, nausea dan
vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang
timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita
appendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan.
Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila
peradangan appendiks dekat dengan vesika urinaria. Penderita appendisitis akut juga
mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare,
hal tersebut timbul biasanya pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum.
Obstipasi dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan.
Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang
beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di
kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, nyeri kuadran kanan bawah
secara klasik ada bila appendiks yang meradang terletak di anterior, appendiks retrosekal
akan menyebabkan nyeri flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan menyebabkan

15
nyeri pada suprapubik dan appendiks retroileal bias menyebabkan nyeri testikuler, mungkin
karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter. Urutan kejadian gejala mempunyai
kemaknaan diagnosis banding yang besar, lebih dari 95% appendisitis akut, anoreksia
merupakan gejala pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru diikuti oleh vomitus.
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih dari 1oC, yaitu
antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit meninggi. Adanya perubahan atau
peninggian yang besar menunjukkan telah terjadi komplikasi seperti perforasi atau diagnosis
lain yang perlu diperhatikan.

2.6.2 Pemeriksaan fisik Appendisitis


2.6.2.1 Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit. Perut
kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler
abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena
setiap ekstensi meningkatkan nyeri.
2.6.2.2 Palpasi
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai
dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah
kuadran kanan bawah. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah, antara lain: ∙ Nyeri tekan
Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran kanan bawah atau
titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis. Oleh Mc.Burney titik ini
dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina iliaca anterior superior (SIAS) pada garis
lurus yang ditarik dari SIAS ke umbilikus.
∙ Rebound tenderness
Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan
dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan atau iritasi peritoneum.
∙ Defans muskuler
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus abdominis. Tahanan muskuler
terhadap palpasi abdomen sejajar dengan derajat proses peradangan, yang pada awalnya
terjadi secara volunter seiring dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan
spamus otot, sehingga kemudian terjadi secara involunter.

16
∙ Rovsing sign
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan
penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan tekanan merangsang
peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang
meradang (iritasi peritoneal).
∙ Psoas sign
Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator sign. Psoas sign
terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada
apendiks letak retrocaecal.
Ada 2 cara pemeriksaan :
o Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien diminta
memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan positif jika menimbulkan nyeri
perut kanan bawah.
o Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh pemeriksa,
dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah.
∙ Obturator Sign
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan
kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

2.6.2.3 Perkusi

Nyeri ketok abdomen positif

2.6.2.4 Auskultasi

Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Peristaltik


biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata
maka bunyi usus menurun ataupun tidak terdengar bunyi peristaltik usus.

2.6.2.5 Rectal Toucher


Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

2.6.2.6 Gejala dan tanda pada komplikasi appendisitis


Untuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya perforasi,
peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu sebagai berikut: ∙ Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi apendiks paling sering

17
terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium. Oleh sebab itu
pada perforasi appendiks jarang didapatkan gambaran udara bebas ekstralumen pada
pemeriksaan foto polos abdomen. Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih
sering terjadi dengan gejaladan tanda sebagai berikut:
⮚ Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri bertambah hebat dan
mulai dirasakan menyebar.
⮚ Demam tinggi > 38,50C
⮚ Leukositosis (leukosit > 14.000)
⮚ Dehidrasi dan asidosis
⮚ Distensi
⮚ Menghilangnya bising usus
⮚ Nyeri tekan kuadran kanan bawah
⮚ Rebound tenderness sign
⮚ Rovsing sign
Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis yang telah
mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan kelanjutan dari peritonitis lokal
tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan
ileus paralitik merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan
timbul gejala-gejala sepsis menunjukkan peritonitis yang makin berat.

Abses atau Infiltrat


Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses apendikuler.
Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kadang
keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma sekum, penyakit Crohn, amuboma dan
Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik
Terganggu (KET), Adneksitis dan Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya
terletak pada anamnesis yang khas.7

Tumor caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek,
anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin
test. Pada anak-anak tumor caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium.
Pada apendisitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat

18
disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas
badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral
bawah kanan, kadang-kadang teraba massa. 3

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:

1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi; 2.
pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat
pergeseran ke kiri.

Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan

1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.13
Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan
bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan inflamasi abses yang terfiksasi dan
berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


2.6.3.1 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam menegakkan
diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan appendisitis akut, 70-90% menunjukkan
peningkatan jumlah leukosit terutama neutrofil (shift to the left), walaupun hal ini tidak
spesifik untuk appendisitis. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan
memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis
akut.
Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik appendisitis
akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3. Jika jumlah leukosit
>18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Namun beberapa
penderita dengan apendisitis akut terkadang memiliki jumlah leukosit dan granulosit normal.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan

19
kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada pasien
dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi
saluran kencing. Apendisitis yang menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada
pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan jumlah sel leukosit 10-15 sel/lapangan pandang.

2.6.3.7 Sistem skor Alvarado


Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi
apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado
adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang
invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala,
tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi
dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem skor
Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan
laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin
mendekati 10, dan ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi.
Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin
mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Alvarado
merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien dengan skor ≥ 7 dan
melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5 atau 6.

Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:


Gejala dan tanda Skor

Nyeri berpindah 1

Anoreksia 1

Mual-muntah 1

Nyeri fossa iliaka kanan 2

Rebound tenderness 1

Peningkatan suhu tubuh 1

Leukositosis > 10.000 sel/mm3 2

Shift to the left (persentase neutrofil > 75%) 1

20
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Tindakan Umum
Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut
tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan pasien sudah sakit berat. Timbul
dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris.
Pasien memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan
pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah dan pasien dipuasakan.
Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun sepsis maka
diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena, kemudian diikuti dengan
pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya
dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan, serta pantau output urin.

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum
jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular
yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu,
operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien
dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna,
dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran
massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang,
dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3
bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila
terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya
angka leukosit. 7

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses
apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya
mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana
tanpa perforasi. 13

21
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah
terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera
bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. 13
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. 7

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan
bedah.3,7

Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas 380C pada saat
masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam.
Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien. Tetapi tidak
dianjurkan pemberian analgetik pada pasien dengan akut abdomen yang penyebabnya belum
diketahui karena dapat mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena
pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang akan menjalani
prosedur pembedahan laparotomi.

2.7.2 Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang

22
dilakukan pembedahan sekitar 20%. Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney.
Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa
apendektomi yang dicapai melalui laparotomi. Pembedahan darurat (cito), dilakukan pada
kasus apendisitis akut, abses, dan perforasi, sedangkan pembedahan elektif dilakukan pada
apendisitis kronik.
Indikasi dari apendektomi antara lain:
1. Appendisitis akut (apendektomi Chaud)
2. Appendisitis kronis (apendektomi Froid)
3. Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
4. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu
5. Appendisitis perforasi

Pada appendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu kemudian operasi


elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara lain:
∙ Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg)
∙ Diet rendah serat
∙ Antibiotika spektrum luas
∙ Metronidazol
∙ Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, leukosit. Bila
keadaan membaik dianjurkan untuk mobilisasi dan selanjutnya dipulangkan.

2.7.3 Terapi medikamentosa


Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien dengan apendisitis.
Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian
antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas
diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi
anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan selama
5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita.
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas
diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB),
gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan klindamisin (40 mg/kgBB) dalam dosis terbagi selama 24 jam
cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi.
Metronidazol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan
tubuh dan jaringan.

23
BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix merupakan

24
derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap individu.
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan. Faktor
faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya Appendicitis meliputi faktor
obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis
acuta.
Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri berpindah,
dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah kemudian
nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat
dijumpai dan manuver diagnostik pada kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign,
Obturator sign, Blumberg’s sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence
musculare, nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.
Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan laboratorium,
SkorAlvarado, ultrasonografi, dan radiologi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi, peritonitis,
Appendicular infiltrat. Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta meliputi; pemberian
kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia, puasakan pasien,
analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah, pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang
menjalani laparotomi.
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta. Appendicular
infiltrat adalah proses radang Appendix yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum
dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (Appendiceal mass)
yang lebih sering dijumpai pada pasien berumur 5 tahun atau lebih karena daya tahan tubuh
telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.
Etiologi dan patofisiologi Appendicular infiltrat diawali oleh adanya Appendicitis acuta.
Dimulai dari acute focal Appendicitis 🡪 acute suppurative Appendicitis 🡪 gangrenous
Appendicitis (tahap pertama dari Appendicitis yang mengalami komplikasi) 🡪 dapat terjadi 3
kemungkinan:
o perforated Appendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau rongga
peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama kelamaan akan
mengecil dan menghilang)
o Appendicitis kronis, merupakan serangan ulang Appendicitis yang telah sembuh.
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat

25
Appendicitis acuta, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri tekan di RLQ.
Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan tumor Caecum, limfoma
maligna intra abdomen, Appendicitis tuberkulosa, amoeboma, Crohn’s disease, dan juga
kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun torsi kista ovarium. Terapi Appendicular
infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif (konservatif) yang diikuti dengan
Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian), tetapi apabila massa tetap dan nyeri perut
pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa harus segera dibuka dan dilakukan
drainase.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc

26
Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.

3. Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03
September 2004.

4. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is there still a role
for rectal examination in suspected appendicitis in adults?. Am J Emerg Med. Mar
2008;26(3):359-60.

5. Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of acute


appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med Arh. 2000;54(2):109-10.

6. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ. Laboratory tests in
patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. Jan-Feb 2006;76(1-2):71-4.

7. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

8. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of
Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas

9. Tundidor Bermudez AM, Amado Dieguez JA, Montes de Oca Mastrapa JL. Urological
manifestations of acute appendicitis. Arch Esp Urol. Apr 2005;58(3):207-12.

10. Harswick C, Uyenishi AA, Kordick MF, Chan SB. Clinical guidelines, computed
tomography scan, and negative appendectomies: a case series. Am J Emerg Med. Jan
2006;24(1):68-72

11. Poortman P, Oostvogel HJ, Bosma E, Lohle PN, Cuesta MA, de Lange-de Klerk ES, et
al. Improving diagnosis of acute appendicitis: results of a diagnostic pathway with
standard use of ultrasonography followed by selective use of CT. J Am Coll Surg. Mar
2009;208(3):434-41.

12. Tzanakis NE, Efstathiou SP, Danulidis K, et al. A new approach to accurate diagnosis
of acute appendicitis. World J Surg. Sep 2005;29(9):1151-6, discussion 1157.

13. Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis. Ann Emerg
Med. May 1986;15(5):557-64.

14. Eriksson S, Granstrom L. Randomized controlled trial of appendicectomy versus


antibiotic therapy for acute appendicitis. Br J Surg. Feb 1995;82(2):166-9.

15. Bickell NA, Aufses AH, Rojas M. How time affects the risk of rupture in appendicitis.
J Am Coll Surg. Mar 2006;202(3):401-6.

16. Abou-Nukta F, Bakhos C, Arroyo K, et al. Effects of delaying appendectomy for acute
appendicitis for 12 to 24 hours. Arch Surg. May 2006;141(5):504-6; discussioin 506-7.

17. Liang MK, Lo HG, Marks JL. Stump appendicitis: a comprehensive review of

27
literature. Am Surg. Feb 2006;72(2):162-6.

18. Lin HF, Wu JM, Tseng LM, et al. Laparoscopic versus open appendectomy for
perforated appendicitis. J Gastrointest Surg. Jun 2006;10(6):906-10.

19. Thomas SH, Silen W. Effect on diagnostic efficiency of analgesia for undifferentiated
abdominal pain. Br J Surg. Jan 2003;90(1):5-9.

20. Kalesaran, Laurens. Diagnosis Sistem Skoring pada appendicitis akut. Undip
Semarang. Nov 1996

28

Anda mungkin juga menyukai