Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDUHULUAN

1.1.  Latar Belakang

Appendicitis merupakan penyakit yang sering dijumpai sehingga harus

dicurigai sebagai keadaan yang paling mungkin menjadi penyebab nyeri akut

abdomen. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.

Insidensi pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Insidensi tertinggi pada

laki-laki pada usia 10-14 tahun, sedangkan pada perempuan pada usia 15-19

tahun. Penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 2 tahun.

Diagnosis appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya

tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data-data tersebut. Tak

jarang kasus-kasus appendicitis yang lolos dari diagnosis bahkan ada yang salah

didiagnosis. Kadang-kadang untuk menegakkan diagnosis appendicitis sulit

karena letak appendix di abdomen sangat bervariasi.2,3

Penatalaksanaan appendicitis dilakukan dengan appendectomi, yaitu suatu

tindakan bedah dengan mengangkat appendix. Keputusan untuk melakukan

tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan

menimbulkan penyulit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas,

seperti dapat menyebabkan terjadinya perforasi atau ruptur  pada appendix.1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Apendiks

Apendiks/Appendix Vermiformis adalah organ sempit berbentuk tabung

yang mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid di dalam

dindingnya. Apendiks melekat pada permukaan posteromedial caecum sekitar 1

inci (2,5 cm) di bawah Juntura Iliocaecalis. Apendiks diliputi seluruhnya oleh

peritoneum, yang melekat pada mesenterium intestinum tenue oleh

mesenteriumnya sendiri yang pendek disebut Mesoappendix. Mesoappendix berisi

arteria dan vena appendicularis dan nervus.1

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks


Appendix Vermiformis terletak di fossa iliaca eksterna dan, dalam

hubungannya dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke

atas di garis yang menghubungkan Spina Iliaca Anterior Superior dan Umbilicus

(titik McBurney) di dalam Abdomen, dasar Appendix Vermiformis dapat mudah

ditemukan dengan mencari taenia colli caecum dengan mengikutinya sampai

Appendix Vermiformis, dimana taenia ini bersatu dengan membentuk tunica

muscularis longitudinalis yang lengkap.1

Perdarahan Appendix Vermiformis didapatkan dari Arteria Appendicularis

yang merupakan cabang dari Arteria Ceacalis Psoterior. Begitu pula dengan

venanya, Vena Appendicularis mengalirkan darahnya menuju Vena Caecalis

Posterior. Sedangkan pembuluh limfe mengalirkan cairan limfe mesoappendix

dan akhirnya bermuara di nodi mesenterici superiores. Perdarahan apendiks

berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri  tanpa kolateral. Jika arteri

ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami

gangren.2

Appendix Vermiformis dipersarafi oleh saraf simpatis dan N. Vagus dari

Pleksus Mesentericus Superior. Serabut saraf aferen yang mengantarkan rasa

nyeri visceral dari apendiks berjalan bersama saraf simpatik dan masuk ke Medula

Spinalis setinggi Vertebra Thoracica X.1

Dalam proses perkembangannya, appendiks pertama kali dapat dilihat pada

minggu kedelapan dari kehamilan sebagai tonjolan dari caecum. Dalam proses

perkebangan caecum melebihi appendiks dan menggeser appendik kearah medial

dekat dengan katup iliocaecal. Namun dasar dari appendiks sendiri tidak berubah

posisi. Ujung dari appendiks dapat ditemukan retrocekal, pelvis, subcaecal,


preileal, atau pericolic dextra. Appendiks dapat memanjang dari kurang 1 cm

sampai melebihi 30 cm. Umumnya appendiks memiliki panjang 6 – 9 cm.3

2.2. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1 -2 ml per hari. Lendir itu

normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.

Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan dalam patogenesis

apendisitis.2

Appendiks merupakan organ imunologis yang berperan dalam

menyekresikan imunoglobulin. Terutaman imunoglobulin A (IgA). Walaupun

appendiks memiliki komponen integral yang berhubungan dengan sistem jaringan

limfoid pencernaan (Gut-Associated Lymphoid Tissue/GALT), namun fungsinya

tidak essensial dan tindakan appendektomi tidak berhubungan dengan berbagai

kondisi penurunan daya tahan tubuh/imunitas. Jaringan limfoid pada appendiks

muncul sekitar 2 minggu setelah kelahiran dan meningkat saat pubertas, stabil

pada dekade muda, dan mulai mengalami penurunan yang terus menerus sejalan

dengan menuanya usia.3

2.3 Apendisitis

a. Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis

akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah

rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus

ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan


laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak

terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok

ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.4

b. Epidemiologi

Kelompok usia yang sering mengalami apendisitis berkisar diantara

usia 20 hinga 30 tahun. Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat

terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena

penyakit apendiks pada tahun tersebut telah mencapai 28.949 pasien, berada

diurutan keempat setelah dispepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan

duodenitias (33.035 pasien rawat inap) dan penyakit saluran cerna lainnya

(31.450). satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupny.

Insidens tertinggi ada pada laki-laki berusia 10 -14 tahun, dan wanita yang

berusia 15 – 19 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis

dibandigkan dengan wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun.

Apendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak –anak dibawah 2 tahun.5

Penelitian epidemiologi meunjukan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan menaikan tekakan intrasekal, yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora

kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.

Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya


menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebbakan oleh meningkatnya

penggunaan makanan berserat dalam menu sehari – hari.2

d. Etiologi

Apendisitis dipercaya terjadi akibat obstruksi lumen apendiks.

Obstruksi umumnya terjadi karena fekalit, dimana merupakan akumulasi dan

pengendapan sisa – sisa serat makanan yang dimakan. Pelebaran folikel

limfoid berhubungan dengan infeksi virus (campak), barium yang mengendap,

cacing (Ascaris, Taenia), dan tumor   (karsinoid/karsinoma) dapat menebabkan

obstruksi dari lumen.7

e. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hyperplasiafolikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangansebelumnya, atau neoplasma.9 Obstruksi lumen yang tertutup

disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada

peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi

tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.

Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding

appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi

sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia

merupakan salah satudari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi

peningkatan sekresi yangcukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi


perforasi.5 Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks

mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan

invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah

(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah

intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi

dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena

ditentukan banyak faktor. 9,10

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum

setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini

disebut dengan apendisitis supuratif akut.9

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang

diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.

Bila dindingyang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. 9

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local

yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat

menjadi abses atau menghilang.9 Infiltrat apendikularis merupakan tahap

patologi apendisitis yang dimulai dimukosadan melibatkan seluruh lapisan

dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, inimerupakan usaha

pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks

dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk


massaperiapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses

yang dapatmengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan

sembuh dan massaperiapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan

mengurai diri secaralambat.2

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya

tahan tubuh yang masihkurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan

pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh

darah.9

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi

mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,

usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,

uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila

proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan

timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih

belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis,

oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).4

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi

akanmembentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan

jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang

diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan

dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 2


f. Gambaran Klinis

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh

terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda

setempat, baik disertai maupun tidak disertai denga rangsang peritoneum lokal.

Pada appendisitis kronik, biasanya pada anamnesa terdapat appendisitis akut

kemudian sembuh setelah beberapa lama kumat lagi tapi lebih ringan, penyakit

terjadi berulang-ulang.4

Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang

merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan

ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan

menurun. Dalam beberpaa jam, nyeri berpindah ke kanan bawah ke titik

McBurney. Di sini, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga

merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi

terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya

perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh

sakit perut bila berjalan dan batuk. 7

Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan

bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena

apendiks terlindung oleh caecum. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau

nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang

menegang dari dorsal.9

Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan

gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis


meningkat dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika

apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan

frekuensi kencing akibat rangsangan apendiks terhadap kandung kemih.9

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada awalnya, anak

sering hanya menunjukan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak

bisa melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah

sehingga menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,

apendistis sering baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-90%

apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 2

Demam biasanya ringan denga suhu sekitar 37.50C – 38.50C. bila suhu

lebih tinggi,  mungkin sudah terjadi perforasi. Bila terdapat perbedaan suhu

aksilar dan rektal sampai 10C. Pada inspkesi perut, tidak ditemukan gambaran

spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.

Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses

peripendikular.4

        Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbtas pada regio iliaka kanan, bisa

disertai nyeri lepas. Defans muskular menunjukan adanya rangsangan

peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci

diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri di perut

kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal dan

retroileal dipelrukan palpasi lebih dalam untuk menetukan rasa nyeri.9

        Peristaltis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang akibat adanya

ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh apendisitis


perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi

dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.9

h. Diagnosis 10

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut.

Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi

pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh

perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi N. Vagus. Obstipasi

karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika

timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi,

antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi

perforasi.

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan

membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila

terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada

apendikuler abses.

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit

kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan

sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status

lokalis abdomen kuadran kanan bawah:

• Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri

tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini

merupakan tanda kunci diagnosis.

• Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound

tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen


kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah

sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.

Burney.

• Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis.

Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen

yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

• Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran

kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian

kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang

dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

• Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan

muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

• Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi

bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah

dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan

apendiks terletak pada daerah hipogastrium.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat

peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena

peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak

banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau

sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada

pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-

12.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan

skor Alvarado, yaitu:

Skor Alvarado
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1
Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5C) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
Neutrofilia dari ≥ 75% 1
Total 10

Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak

memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.11

i. Diagnosis Banding2

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan

sebagai diagnosis banding

1. Gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa nyeri.

Nyeri perut sifatnya lebih ringan dan tidak berbatas tegas.

Sering dijumpai adanya hiperperitalsis. Panas dan leukositosis

kurang menonjol dibandingkan dengan apendisitis akut.

2. Demam dengue, demam dengue dapat dimulai dengan nyeri

perut mirip peritonitis. Pada penyakit ini, didapatkan hasil tes

positif untuk Rumple Leed, trombositopenia, dan peningkatan

hematokrit.

3. Limfadenitis Mesenterika, limfadenitis mesenterika yang

biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis, ditandai

dengan nyeri perut, terutama perut sebelah kanan, serta


perasaan mual dan nyeri tekan parut yang sifatnya samar,

terutama perut sebelah kanan.

4. Kelainan Ovulasi, folikel ovarium yang pecah pada ovulasi

dapat menyebabkan nyeri perut kanan bawah di tengah siklus

mentruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul

lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, nyeri biasa hilang dalam

waktu 24 jam, tetapi mungin dapat mengganggu selama dua

hari.

5. Infeksi Panggul, salpingitis akut karena sering dikacaukan

dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada

apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus.

Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai dengan

keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul

nyeri hebat dipanggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat

dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding.

6. Kehamilan Ektopik Terganggu, hampir selalu ada riwayat

terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada

ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan

perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus didaerah

pelvis dan mungin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan

vagina, didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Doughlas dan

pada kuldosentesis didapatkan darah.

7. Kista Ovarium Terpuntir, timbul nyeri mendadak dengan

intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis


pada pemeriksaan perut. Colok vagina, atau colk rektal. Tidak

terdapat demam. Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat

menentukan diagnosis.

8. Endometriosis Eksterna, endometrium diluar rahim akan

menimbulkan nyeri di tempat endometriosis berada, dan darah

menstruasi terkumpul ditempat itu karena tidak ada jalan

keluar.

9. Urolitiasis Pielum, ada riwayat kolik dari pinggang ke perut

yang menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran khas.

Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi

intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis

sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri

kostovertebral disebelah kanan, dan piuria.

10. Penyakit saluran cerna lainnya.

j. Tatalaksana2

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan satu-satunya

yang terbaik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi,

biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa

atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan

antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.


Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi.

Bila apendektomi terbuka, insisi mcburney banyak dipilih oleh ahli bedah.

Pada penderita dengan diagnosis yang tidak jelas, sebaiknya dilakukan

observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboraturium dan ultrasonografi dapat

dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia

lapaorskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat

segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.

k. Komplikasi 2

Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi. Baik berupa

perforasi bebas mauun perforasi pada apendiks yang tleah mengalami

pendinginan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,

sekum, dan lekuk usus halus.

a. Massa Periapendikular

Massa apendiks terjadi bila apendisitis gangrenosa atau

mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/lekuk usus

halus. Pada Massa Periapendikuler dengan pembentukan dinding yang

belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh ronga

peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata.

b. Apendisitis Perforata

Perforasi Apendiks akan mengakibatkan peritonotis purulenta yang

ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh

perut, dan perut menjadi kembung dan tegang. Nyeri tekan dan defans

muskular terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum

maksimum di regio iliaka kanan; peristaltis usus apat menurun sampai


menghilang akibat adanya ileus paralitik. Abses rongga peritoneum dapat

terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi di suatu tempat, paling sering

di rongga pelvis dan subdiagfragma. Adanya massa intraabdomen yang

nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses.

l. Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa

penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau

telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan

lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia

pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes

mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10

sampai 28 hari.12

Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di

dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu

dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi

karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan

tidak diobati secara benar.12

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S. 2002. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta : EGC

2. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.

Jakarta: EGC.
3. Brunicardi, F. Charles; Andersen, Dana K.; Billiar, Timothy R.; Dunn,

David L.; Hunter, John G.; Pollock, Raphael E. 2006. Swartz’s Manual Of

Surgery. 8thed. USA : McGraw Hill

4. Docstoc. 2010. Apendisitis. Available from:

http://www.docstoc.com/docs/22262076/ -apendisitis [Accessed 11

January 2017]

5. McCance, Kathryn L., Hether, Sue E. 2006. Pathopysiology: The Biologic

Basis for Disease in Adults and Children. 5thed. Philadelphia : Elsevier

Mosby

6. Crawford, J. Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC

7. Longo, Dan L., Fauci, Anthony S. 2013. Harrison’s Gastroenterology and

Hepatology. 2nded. New York : McGrew Hill Education.

8. Lee, d. 2009. Appedicitis and Appendectomy. Diunduh dari:

http://www.eapsa.org/parents/resources/Appendicitis.cfm. 11 January

2017

9. Rosai, J. 1996. Ackerman’s Surgical Pathology. 8th. Missiori : Mosby.

10. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendik. Available from:

http://www.bedahugm.net/tag/appendix [Accessed 11 January 2017].

11. Wiyono, Mellisa H. 2011. Aplikasi Skor Alvarado pada Penatalaksanaan

Apendisitis Akut. Jakarta : J. Kedokt Meditek Vol.17

12. Sanyoto, D., 2007. Masa Remaja dan Dewasa. Dalam: Utama, Hendra, ed.

Bunga Rampai Masalah Kesehatan dari dalam Kandungan sampai Lanjut

Usia. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 297-300.

Anda mungkin juga menyukai