Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN

APPENDISITIS AKUT

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Definisi
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10
cm (94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks
berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung
menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudart, 2002
dalam Albert, 2015)
Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada
apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering
ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah
artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah
caecum. Apendisitis merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai
faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks dan
cacing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan.
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing.
Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus
memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.
Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritoneum
( selaput perut ) dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur
2. Anatomi dan Fisiologi
a. Anatomi
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang
kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah
perbatasan dengan usus ileum kuadran kanan bawah. Apendiks memiliki
lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal. Saat
lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum.
b. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml perhari. Lendir dicurahkan ke
caecum. Jika terjadi hambatan maka akan terjadi patogenesa apendisitis akut.
GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat pada apendiks
menghasilkan Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe
yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada
pada saluran cerna lain.(Albert, 2015 )
3. Etiologi
Apendisitis dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
hyperplasia yaitu pembentukan jaringan secara berlebihan karena
bertambahnya jumlah sel, jaringan limfe, fekalith atau batu tinja, pengerasan
isi usus sekitar inti tinja yang keras, tumor apendiks, dan cacing gelang
penyebab penyakit askariasis, yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan
tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis
(90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh
hyperplasia jaringan lymphoid sub-mukosa, 35% karena stasis fekal, 4%
karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh
parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui
pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya; fekalith ditemukan
40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis
akut ganggrenosa tanpa rupture (robek atau koyak) dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan ruptur.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada
apendisitis. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan
stagnasi atau tertahannya feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lactobacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi
atau lubang di lumen appendik adalah kuman anaerob sebesar 96% dan
aerob<10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter
dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik
dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan
dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah
serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi
lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-
hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak
serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah
merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru negara
berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
4. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
appendisitis perforasi Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan
usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu
massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih
pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan
tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007 dalam Albert, 2015 )
5. Manifestasi Klinis
a. Nyeri kuadran bawah
b. Demam ringan
c. Mual-muntah
d. Hilangnya nafsu makan
e. Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney
f. Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan
dilepaskan)
g. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri
yang secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran
kanan bawah
h. Distensi abdomen akibat ileus paralitik
i. Kondisi pasien memburuk (Smeltzer, Suzanne, C, 2001)
6. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Appendisitis.
Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor
penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi
kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit,
dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
Appendisitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua.CFR
komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak
memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan
belum berkembang sempurna memudahk an terjadinya perforasi, sedangkan
pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi
diantaranya:
a. Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba
massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-
mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung
pus. Hal ini terjadi bila Appendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi
oleh omentum.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis umum. Aktivitas pezristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Sel darah putih
Lekositosis diatas 12000/mm3, netrofil meningkat sampai 75%
b. Urinalisis
Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada
c. Foto abdomen
Adanya pergeseran material pada appendiks (fekalis) ileus terlokalisir
d. Tanda rovsing (+)
Dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis meliputi terapi medis dan
terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan
antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat
terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang
diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien
apendisitis yang mempunyai resiko operasi yang tinggi.
Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan
sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada
absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik
profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas
kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam
untuk apendisitis perforasi.
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik
sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus
termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
a. Cairan intravena
Cairan yang secara massive atau padat ke rongga peritonium harus
di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik,
atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur
tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau
berupa ringer laktat (RL) harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi
hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran
urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan
atau dengan perdarahan secara bersamaan.
b. Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri
patogen, antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3
cephalosporins, ampicillin– sulbaktam, dan lain-lain dan metronidazol
atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus
di ubeah berdasarkan kultur dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan
sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki
keadaan umum dengan infus, antibiotic serta pemasangan pipa nasogastrik
perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari apendisitis
perforasi.
Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan
pencucian rongga peritonium untuk mengangkat material seperti darah,
fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid
isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi
cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena menimbulkan
adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan
secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam kadar
bakterisid.
Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan
tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan
bisul residual, pada kadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap
kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada
permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko
perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian
seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
c. Pembedahan
Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks
dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. (Smeltzer
Suzanne, C., 2001 dalam Albert, 2015 ). Terapi bedah meliputi
apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi. Apendiktomi terbuka
merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup Mc Burney,
Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui oblique
eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle
spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks
dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa
yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang
melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke
dalam perut dan insisi ditutup.
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Klien akan mendapatkan nyeri di sekitar epigastrium menjalar ke
perut kanan bawah. Timbul keluhan Nyeri perut kanan bawah mungkin
beberapa jam kemudian setelah nyeri di pusat atau di epigastrium
dirasakan dalam beberapa waktu lalu. Nyeri dirasakan terus-menerus.
Keluhan yang menyertai antara lain rasa mual dan muntah, panas.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien merasa nyeri disekitar perut kanan bawah, nyeri ini
dirasakan terus menerus dan terkadang merasa mual dan muntah,
peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit organ pencernaan lainnya.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
yang sama atau penyakit organ pencernaan lainnya.
e. Riwayat Psikososial
Mekanisme koping yang digunakan klien untuk mengatasi masalah
dan bagaimana besarnya motivasi kesembuhan dan cara klien menerima
keadaannya.
3. Pola Fungsi Kesehatan
a. Aktivitas/ istirahat: Malaise
b. Sirkulasi : Tachikardi
c. Eliminasi
1) Konstipasi pada awitan awal
2) Diare (kadang-kadang)
3) Distensi abdomen
4) Nyeri tekan/lepas abdomen
5) Penurunan bising usus
d. Cairan/makanan : anoreksia, mual, muntah
e. Kenyamanan
Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat
berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney meningkat karena berjalan,
bersin, batuk, atau nafas dalam
f. Keamanan : demam
g. Pernapasan
1) Tachipne
f. Pernapasan dangkal (Albert, 2015)
4. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut
tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks
yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel
di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan
letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
5. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (mis, abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan )
b. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasi
c. Ansietas b.d krisis situasional
d. Risiko ketidaksembangan cairan b.d prosedur pembedahan mayor
e. Gangguan mobilitas fisik b.d efek agen farmakologis
6. Intervensi
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (mis, abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan )
NOC :
- Kontrol nyeri

SKALA :
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
INDICATOR :
- Mengenali kapan nyeri
- Menggambarkan faktor penyebab
- Menggunakan tindakan pengurangan nyeri tanpa analgesic
INTERVENSI
a. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, frekuensi, kualitas
b. Berikan informasi mengenai nyeri seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan dirasakan
c. Ajarkan metode farmakologi untuk menurunkan nyeri
d. Bantu kelurga dalam mencari dan menyediakan dukungan
e. Dorong pasien untuk menggunakan obat-obatan penurunan nyeri
yang adekuat
b. Risiko infeksi b.d efek prosedur invasi
NOC
- Control risiko : proses infeksi

SKALA :

1. Tidak pernah menunjukkan


2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan
INDICATOR :
- Mengidentifikasi faktor riiko
- Memonitor faktor risiko individu
INTERVENSI
1) Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
3) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
4) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
5) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
6) Anjurkan untuk meningkatkan asupan nutrisi
c. Ansietas b.d krisis situasional
NOC :
- Tingkat kecemasan

SKALA :

1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
INDIKATOR :
- Tidak dapat beristirahat
- Meremas-remas tangan
- Perasaan gelisah
- Tidak bisa mengambil keputusan
INTERVENSI
1) Identifikasi saat tingkat ansietas (mis, kondisi, waktu, stressor)
2) Pahami situasi yang membuat ansietas
3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
4) Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang mungkin dialami
5) Latih teknik relaksasi
d. Risiko ketidaksembangan cairan b.d prosedur pembedahan mayor
NOC :
- Keseimbangan cairan
SKALA
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
INDIKATOR
- Tekanan darah
- Denyut nadi radial
- Turgor kulit

INTERVENSI

1) Monitor status hidrasi ( mis, frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,


pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
2) Monitor berat badan harian
3) Berikan cairan intravena, jika perlu
4) Kolaborasi pemberian diuretic, jika perlu
e. Gangguan mobilitas fisik b.d efek agen farmakologis
NOC :
- Ambulasi
SKALA :
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
INDIKATOR
- Berjalan dengan tepat
- Berjalan mengelilingi kamar
INTERVENSI :
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
2) Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3) Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
ambulasi
4) Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi

Anda mungkin juga menyukai