Appendisitis Akut
Disusun Oleh :
dr. Ezra Louis Patrick Sumampouw
Dokter Pendamping:
dr. Venny Tiho
PENDAHULUAN
Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat
awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang
tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut
appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang umumnya
berbahaya.
I. ANATOMI
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch membentuk
produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15
cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di ileocaecum
dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia
omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik McBurney,
yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS
kanan.
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum
berisi a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup
ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan
lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal,
menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan
jaringan elastik membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa
dan submukosa terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam
sama dan berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum
dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8
yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal dan postnatal,
pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi appendiks, yang akan berpindah
dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan menyempit
ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis
pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang kolonasendens, atau di tepi lateral
kolon asendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak appendiks.
II. FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian
berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di
appendiks dan terjadi penghancuran lumen appendiks komplit.
III. DEFINISI
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan akut
appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.
IV. ETIOLOGI
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah erosi mukosa
appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan
peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya appendicitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.3
V. PATOFISIOLOGI
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.3
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah
terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai
tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat.2
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.3
Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan nyeri di
abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh karena iritasi dari
peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral. Sering positif pada
appendicitis namun tidak spesifik.
Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di kuadran
kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran kiri bawah lalu
melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas kontralateral.
Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien
digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menunjukkan
appendiks mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang
saat dilakukan manuver.
Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae
dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif bila pasien
merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini
menunjukkan adanya perforasi apendiks, abses lokal, iritasi m.obturatorius
oleh appendiks dengan letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai
meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL, hitung leukosit >
11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki sensitivitas 86% dan spesifitas
90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari
iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi
appendiks. Namun pada appendicitis akut dalam sample urine catheter tidak akan
ditemukan bakteriuria.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis appendicitis akut,
namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Adanya fecalith
jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis.
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT scan
diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk melakukan
percutaneous drainage secara tepat.
Vomitus 1
Anorexia 1
Total point 10
d. Peradangan Pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-oovoritis atau
adneksitis. Didapatkan riwayat kontak seksual pada diagnosis penyakit ini.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan pada wanita. Pada colok
vaginal (vaginal toucher) terasa nyeri bila uterus diayunkan.
e. Kehamilan Ektopik
Riwayat menstruasi terhambat dengan keluhan tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
f. Demam Dengue
Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan
hematokrit yang meningkat.
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam
rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok rektal. Tidak
terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menetukan diagnosis.
h. Endometriosis Eksterna
X. PENATALAKSANAAN
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi dilindungi
oleh omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk
tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan
granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada
appendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus
mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah
sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan tindakan operasi
untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari dalam massa perlekatan ringan
yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih
terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu
pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periappendikular yang dindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke
seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh
karena itu, massa periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan
untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular
yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan
diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis.
Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan
frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta
bertambahnya angka leukosit.
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikhawatirkan akan
terjadi abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada appendicitis sederhana tanpa perforasi.
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah
apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa
appendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut.
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun
tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,
wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periappendikular
infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar
6-8 minggu kemudian, dilakukan appendectomy. Kalau sudah terjadi abses,
dianjurkan drainase saja dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu
kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya
48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka
harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan
terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri
tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila
appendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena appendiks ini akan menjadi
sumber infeksi. Bila appendiks sukar dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan
karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase
dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa
drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain dapat
diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap
hari penderita diperiksa colok dubur.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular yang fixed, ini
berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan
berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 4
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance muscular yang menyeluruh.
Perut distended.
Bising usus berkurang.
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke rongga
abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
XII. PROGNOSIS
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. FR
Umur : 27 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Swasta
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Urongo
Tanggal Pemeriksaan : 26 Januari 2022
II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu
b. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD DR Sam Ratulangi Tondano dengan keluhan
Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu. Awalnya nyeri dirasakan di
ulu hati lalu berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri terasa semakin hebat
sejak 1 hari ini. Demam ada sejak 3 hari yang lalu, tidak tinggi, tidak
menggigil, tidak terus menerus, dan tidak berkeringat. Nafsu makan berkurang
semenjak sakit. Mual tidak ada, muntah tidak ada. Riwayat sakit maag tidak
ada. BAB tidak ada sejak 2 hari yang lalu. BAK tidak ada kelainan.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Pasien memiliki riwayat asthma bronchiale dan alergi sea food. Pasien tidak
memiliki riwayat sakit gastritis sebelumnya
d. Riwayat pengobatan:
Pasien sering mengkonsumsi obat penghilang nyeri yang dijual bebas di
warung bila timbul gejala sakit perut atau sakit kepala.
e. Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan seperti pasien.
f. Riwayat kebiasaan:
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan rendah serat. Minum ± 2 liter air
mineral setiap hari.
Kepala : Normocephal
Mata : Conjuctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharinx hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Cor :
o Inspeksi : IC tidak tampak
o Palpasi : IC teraba di linea midclavicula sinistra RIC V
o Perkusi : Batas jantung normal
o Auskultasi: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
o Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
o Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
o Perkusi : Sonor/Sonor
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
o Inspeksi : Dinding perut = dinding dada
o Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, Nyeri tekan (+) di titik McBurney dan
epigastrium, nyeri lepas (+), rovsing (+), Psoas sign (+), obturator sign (+), defans
muskuler (-). Tidak teraba massa di perut kanan bawah
o Perkusi : Tympani
o Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
Ekstremitas : Edema (-), CRT < 2 detik
Rectal Toucher :
- Anus : tenang
- Sfingter : menjepit
- Mukosa : licin
- Ampula : tidak teraba massa, nyeri pada arah jam 9 dan 11
- Handschoen : darah (-), feses (+)
Hb : 15,1 gr/dl
Leukosit : 18.900/mm3
Trombosit : 270.000/mm3
Hematokrit : 51, 6%
CT :4‘
BT : 2’
Ureum : 8 mg/dl
Kreatinin : 1,1 mg/dl
GDR : 112 mg/dl
Gol. Darah : A
Urinalisa :
- Warna : kuning
- Glukosa : normal
- Protein : (+)
- Reduksi : (-)
- Bilirubbin : (-)
- Urobilin : (-)
- Sedimen : eritrosit (-), leukosit (+), silinder (-), kristal (-), sel epitel (-)
Alvarado score:
Migration of pain :1
Anorexia :1
Nausea/vomiting :-
RLQ tenderness :2
Rebound :1
Elevated temperatur : 1
Leukocytosis :2
Left shift :-
Total points :8
Dari penilaian Alvarado score dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien ini
kemungkinan besar menderita Appendisitis akut.
V. DIAGNOSIS KERJA
Appendisitis Akut
VI. TATALAKSANA
- IVFD Ringer Lactat 20 gtt/menit
- Inj Ceftriaxone 2x1 gr IV
- Inj Ranitidin 2x1 amp 50mg IV
- Konsul dokter spesialis bedah: Appendectomy cito pukul 15.30 WITA
BAB IV
PEMBAHASAN
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2004. Jakarta: EGC. p. 865-75.
3. Schwatz, et al. Principles of Surgery 8th Edition Volume 2. Jakarta: EGC. p. 1383 –
93.
4. Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. p. 109 – 12.
UNPAD-RSHS.