Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

APPENDICITIS ACUTE

Disusun Oleh :
dr. Basaria Manurung
Pembimbing :
dr. Prabudi Sp. B (K) Onk, M. Kes, FICS

Pendamping :

dr. Suwandi

Dokter Internship

Periode 23 Februari 2021 – 24 Februari 2022

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA


RSUD BRIDJEND HASAN BASRY
KANDANGAN
KALIMANTAN SELATAN
2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

PORTOFOLIO KASUS BEDAH

dr. Basaria Manurung

APPENDICITIS ACUTE

Telah menyusun portofolio medik sebagai salah satu tugas dalam rangka progam
internship di RSUD Brigjen H. Hasan Basry, Kandangan

Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Hulu Sungai Selatan, 14 juli 2021

Mengetahui

Pembimbing,

dr. Prabudi Sp.B (K) Onk, M. Kes, FICS

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5
BAB III LAPORAN KASUS.............................................................................18
BAB IV PEMBAHASAN KASUS....................................................................25
BAB V KESIMPULAN......................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................27

3
PENDAHULUAN

Appendiks adalah disebut juga umbai cacing. Appendiks merupakan peradangan dari
appendiks vermiformis yang lebih dikenal dengan sebutan infeksi usus buntu dan ini
merupakan penyakit yang sering dijumpai. Appendicitis akut dapat menyebabkan kematian
karena peritonitis dan syok.Pada masyarakat dengan kebiasaan diet tinggi serat, appendicitis
jarang terjadi, dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat waktu
transit feses dan menghambat pembentukan fekalit. Fekalit dapat menyebabkan obstruksi
pada lumen appendiks. Kejadian appendicitis dapat berkurang karena kebiasaan diet tinggi
serat.
Appendisitis adalah salah satu kasus abdomen yang paling sering terjadi didunia.
Appendektomi merupakan salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia . Data dari WHO
bahwa insiden appendisitis di Asia dan afirika pada tahun 2004 adalah 4,8 % dan 2,6 % dari
total popuasi penduduk.
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan appendisitis menempati
urutan keempat penyakit terbanyak di indonesia dengan jumlah rawat inap sebanyak 28.040
orang.
Appendisitis yang tidak segera ditatalaksanakan menimbulkan komplikasi yang
sangat membahayakan adalah perforasi. Perforasi appendisitis berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

APPENDICITIS AKUT
2.1 ANATOMI
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch membentuk
produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm)
dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di ileocaecum dan
merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum).
Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik McBurney, yaitu titik pada
garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung
dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi
a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal.
Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa,
submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa.
Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan
peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum
dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan submukosa
terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari
kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan
caecum (inner circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh
pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior
digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu
bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari
caecum yang berlebih akan menjadi appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileosekal.

5
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan
appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks
penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang
caecum, di belakang kolonasendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
appendicitis ditentukan oleh letak appendiks.

Jenis-jenis Posisi Appendiks : 4

1. Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium


sacri.
2. Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
3. Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
4. Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
5. Pelvic Descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
6. Retrocaecal : intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar
ke atas ke belakang caecum.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika


superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan
appendiks berasal dari a. appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren.2
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama seperti usus besar.
Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa oleh mukosa maskularis. Bagian
luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika
serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus
oleh tunika serosa.4

6
Histologis : 4

- Tunika Mukosa : memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.


- Tunika Submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika Muskularis : stratum circulare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah luar.
- Tunika Serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.

2.2 FISIOLOGI
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah
lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian
berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di

7
appendiks dan terjadi penghancuran lumen appendiks komplit.

2.3 DEFINISI
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan akut
appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya.

2.4 ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit merupakan
penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan
limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk
ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada
appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65% merupakan appendicitis
gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus appendicitis gangrenous dengan ruptur.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah erosi mukosa
appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
appendicitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.

2.5 PATOFISIOLOGI
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Kapasitas
lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan
tekanan intralumen sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit yang dapat

8
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangren atau
terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam
24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak
faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi appendicitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
appendicularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang dimulai di
mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama,
ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periappendikular. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

Dalam pathogenesis appendicitis akut urutan kejadiannya adalah :


1. Obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal.
2. Ketika tekanan intraluminal meningkat, tekanan dalam mukosa venula dan limfatik
meningkat, aliran darah dan limfe terhambat karena tekanan meningkat pada dinding
appendiceal.

9
3. Ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa inflamasi dan ulserasi
kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam lumen dan bakteri menyerang mukosa dan
submukosa sehingga terjadi inflamasi transmural, edema, vascular stasis, dan nekrosis dari
muscular. Perforasi mungkin dapat terjadi.

Pada perjalanan penyakitnya, penyakit appendicitis akut dapat berubah menjadi :


1. Phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.
Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar. Pada orang dewasa, terjadi
karena keterlambatan dalam menegakkan diagnosa, sedangkan pada anak kecil disebabkan
appendiks kecil dan kurang komunikatif.
2. Mikroperforasi massa / infiltrate periappendiks.
Mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan jaringan sekitarnya. Tubuh
melokalisir perforasi oleh karena daya tahan tubuh meningkat (dengan pemberian antibiotik).
Jika peradangan tidak sempurna, dapat terjadi penyebaran pus dari ruangan omentum.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh
karena itu penderita harus benar-benar istirahat.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.

2.6 MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala Klinis
Appendicitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai adanya

10
massa periapendikular. Gejala appendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai
dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala klasik appendicitis akut biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Nyeri menetap, kadang disertai
kram yang hilang-timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan
menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Pada permulaan timbulnya penyakit belum
ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif.
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Suhu tubuh
biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan perforasi suhu tubuh meningkat hingga
>39oC. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan
muntah. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien
terutama anak-anak.
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali
saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya urutan munculnya gejala
appendisitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri
perut, maka diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri perut
mengarah pada diagnosis gastroenteritis.
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar.Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum
maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal.
Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena
kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan
rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke

11
kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.

Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani
pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik.
Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan
rasa nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan
menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering appendicitis diketahui
setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah.
Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

b. Tanda Klinis
Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu diingat bahwa letak
anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi pangkal caecum.
Appendisitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina
iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rektal.
Secara teori, peradangan akut appendiks dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (rectal toucher). Namun pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
appendicitis jika tanda-tanda appendicitis lain telah positif.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik :

 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan nyeri di abdomen kuadran
kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh karena iritasi dari peritoneum. Disebut juga nyeri tekan
kontralateral. Sering positif pada appendicitis namun tidak spesifik.

12
 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di kuadran kanan bawah saat
pemeriksa menekan di abdomen kuadran kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri
lepas kontralateral.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut pasien dan tangan kiri
menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan ke arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan
kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.
 Obturator Test
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi.
Tes ini positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada
manuver ini menunjukkan adanya perforasi apendiks, abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh
appendiks dengan letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya didapatkan pada


keadaan akut. Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the
left, diagnosis appendicitis akut harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih
lebih dari 18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di
atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan atau
13
tanpa abses. Pada appendicitis infiltrat, LED akan ditemukan meningkat.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati
sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12
jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL, hitung leukosit >
11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki sensitivitas 86% dan spesifitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran
kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi urethra atau
vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis
akut dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.

b. Pemeriksaan Radiologi

Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis appendicitis akut, namun
bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto
polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis.
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis appendicitis. USG
dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau nyeri pada pelvis
pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran
appendiks lebih dari normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal, divertikulum Meckel’s,
endometriosis dan pelvic inflammatory disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada
hasil USG.
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, namun jauh
lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT scan diperiksa terutama saat
dicurigai adanya abses appendiks untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan tidak
spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan appendiks yang kosong dan
dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 48-50%.

2.8 ALVARADO SCORE

14
< 4: Low
5-6 Moderete
>7 : High

2.9 Diagnosa Banding


Appendicitis ruptur
Gastroentiritis
Infeksi Saluran Kemih

2.10 PENATALAKSANAAN
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya
dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi
menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas
batasnya.
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan tindakan operasi
untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari dalam massa perlekatan ringan yang
longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi
dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan

15
abses yang dapat mudah didrainase.
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periappendikular yang dindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke
seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periappendikular yang masih bebas disarankan segera
dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa
periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat
dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis.
Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikhawatirkan akan terjadi
abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-
baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis
sederhana tanpa perforasi.
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa appendiks
telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan
segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periappendikular infiltrat :

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap

16
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan appendectomy. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase
saja dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak
ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan
bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam
gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendectomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap
hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan
adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila appendiks
mudah diambil, lebih baik diambil karena appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila
appendiks sukar dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar,
dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah
kurang dari 100 cc/hari, drain dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci
tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk
mengecek pengecilan abses tiap hari penderita diperiksa colok dubur.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh.
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance muscular yang menyeluruh.

17
 Perut distended.
 Bising usus berkurang.

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :


1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke rongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

2.12 PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat menurunkan
tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
mortalitas dan morbiditas terutama bila telah terjadi komplikasi. Serangan berulang juga
dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.

BAB III
LAPORAN KASUS

ANAMNESIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Alamat : Kandangan

B. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasakan nyeri perut bawah atas sekitar 1 minggu yang lalu dan memperberat 1
jam smrs. Sifat nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk. Nyeri perut hilang timbul. Todak disertai

18
demam. Mual (-) Muntah (-). Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien
sering membeli obat anti nyeri. Ada riwayat pasien urut diperut.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi, diabetes melitus, asthma disangkal
E. Riwayat Penggunaan Obat
Obat anti nyeri
3.2 Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum : Sedang
• Kesadaran : Kompos Mentis
• Tekanan Darah : 150/110 mmHg
• Nadi : 80 x/menit
• Pernapasan : 20 x/menit
• Suhu : 36,5
• SaO2 : 100%

Status Gizi
• BB : 50 kg
• TB : 165 cm
• IMT : 16,5 kg/M2

Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Telinga : Normotia
Hidung : Sekret (-)
Mulut : bibir tidak kering, oral hygiene cukup.
Leher : KGB tidak membesar
Thoraks : Normochest
Jantung : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara Nafas vesikuler, rhonki (-/-), whezzing (-/-)
Abdomen : Bentuk simetris, bising usus normal, nyeri tekan (+). Hepar tidakteraba
membesar, Lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral Hangat (+/+)

Status Lokalis Abdomen

19
Inspeksi : Bentuk Simetris, Massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Perkusi : Tidak dilakukan karena pasien mengeluhkan kesakitan.
Palpasi : Nyeri Tekan (+) terutama regio kanan atas
(Mc. Burney sign +), nyeri tekan lepas (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign
(+), defas muscular (-), Rectal Toucher : DBN

: Alvarado Score +3

3.3 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium 10 Juli 2021

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,3 12,00 – 15,60 g/dL
Leukosit 6,21 3,50-9.50 ribu/uL
Eritrosit 3.92 4,00 – 5,30 juta/uL
Hematokrit 34.0 37,00 – 47,00 vol%
Trombosit 355.000 150.000 – 450.000 /ul

Pemeriksaan Penunjang

Foto
USG

20
LAPORAN OPERASI

FOTO OPERASI

21
3.4 Diagnosa Kerja
Appendicitis Akut

3.5 Diagnosa Banding


Appendicitis Perforasi
Gastroentiritis
Infeksi Saluran Kemih

3.6 Penatalaksanaan
Instalasi Gawat Darurat
• IVFD RL 20 TPM
• Inj. Ceftriaxone 2x 1 gr
• Inj. Metronidazole 3x500 mg
• Inj. Ranitidine 2x 1 amp.
• Inj. Ketorolac 3x 1 amp.
• VIP albumin 2x 1 caps
• Metcloperamid 1 amp/12 jam
Konsul Dokter Spesialis Bedah :appendectomi

3.7 Follow Up Harian


Tanggal 10 Juli 2021
• S : Nyeri Bekas post Op (+)
• O : TD : 150/110, N : 80, R : 24, T : 36,5
• Kepala : anemis (-/-)
• Abdomen : Nyeri Tekan (+) 
• A : Appencitis Perforasi Post Laparatomy appendectomy

ascites

Hipertensi
• P : - IVFD RL 20 gtt s/d Nacl 0,5 20 gtt.
• Inj. Ceftriaxone 1 x 12 jam
• Drip Metronidazol 500 mg/8 jam
• Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
• Inj. Ranitidin 1 gr/12 jam
• Drip Tramadol 1amp/8 jam
• Rawat luka
• Evaluasi Drain
• Cek Albumin dan Fungsi hati

22
Tanggal 11 Juli 2021
• S : Nyeri Perut Berkurang, Kentut(+) BAB (-)
• O : KU : Sedang
• TD : 100/70, N : 84, R : 21, T : 36,5
status abdomen
I : Kembung (-)
Luka dibalut perban
Draine 500cc kuning
NGT Residu 100 cc Kuning
A: Bu (+)
P : Soepel, nyeri pada luka operasi
P : timpani
• A : -Appendicitis Perforasi Post Appendectomy laparatomy

- Hipoalbumin

-Ascites
• P : evaluasi draine dan KU

Klaim NGT evaluasi

VIP Albumin tab 2x1

Stop Tramadol Drip

Tanggal 12 Juli 2021


• S : Nyeri Perut Berkurang, Kentut (+)
• O : TD : 133/93, N : 78, R : 20, T : 36,3
I : Soepel, Nyeri Bekas opeasi tertutup kassa. Draine 150cc
A: BU (+)
P : Nyeri Tekan (+)
P: Timpani
• A : Appencitis Perforasi Post Appendectomy laparatomy
• P : terapi lanjut
Draine evaluasi
AFF NGT
Mobilisasi berjalan dan duduk
Inj. Metcloperamid 1 amp/12 jam

23
Konsul Kardio dengan hipertensi
Diet Bubur

Tanggal 13 Juli 2021

• S : Nyeri Perut Berkurang, Kentut (+)


• O : TD : 133/93, N : 78, R : 20, T : 36,3
I : Soepel, Nyeri Bekas opeasi tertutup kassa. Draine 300cc
A: BU (+)
P : Nyeri Tekan (+)
P: Timpani
• A : Appencitis Perforasi Post Appendectomy laparatomy
• P : terapi lanjut
mobilisasi Berjalan

• Advice dr. Lina Sp.JP :


Tidak ada kardiomegali
Observasi Tekanan Darah

24
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan atas yang hilang timbul, nyeri tersebut
merupakan nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini disebabkan oleh
sekresi mukus yang terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Nyeri tekan daerah
McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang menyebabkan nyeri somatis.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan Alvarado score dengan total
skor +3, karena pasien selama ini mengkonsumsi obat obatan seperti obat anti nyeri dan
dilakukan usg abdomen.

Penilaian Skor yang Didapat Skor Ajuan


Gejala -Migrain of pain 0 1
-Anoreksia 0 1
-Mual / muntah 0 1
Tanda -Nyeri perut kanan bawah 2 2
(Mc Burney point)
-Nyeri lepas 1 1
-Kenaikkan temperature 0 1
(> 37.5 oC)
Laboratorium -Leukositosis (> 10.000/ul) 0 2
-Neutrofil bergeser ke kiri (> 0 1
72%)
Total Skor 3 10

25
BAB V
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendicitis merupakan


kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor predisposisi dan etiologinya
bisa bermacam-macam, namun obstruksi lumen adalah penyebab utamanya.
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney disertai
nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu. Tidak dijumpai mual,
muntah, anoreksia, dan demam. Karena pasien mengkonsumsi obat anti nyeri selama ini.
Dapat dilakukan manuver Rovsing’s sign, Blumberg sign, Illiopsoas sign, dan Obturator test
dalam membantu penegakan diagnosis.
Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah appendicitis akut. Dari hasil
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah cukup terpenuhi.
Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi pasien saat pulang telah dalam
keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1.Alvarado A. A practical score for the early diagnosis of acute appendicitis.. Ann Emerg Med. 1986;
15 (5): p.557-64.

2.Bailley & loves short practice of surgery 25 th end


3.Craig S. Appendicitis. In: Brenner BE, Appendicitis. New York, NY:
WebMD. http://emedicine.medscape.com/article/773895-treatment. Updated: December 27, 2015.
Accessed: December 14, 2016.
4.Martin RF. Acute appendicitis in adults: Clinical manifestations and differential diagnosis. In: Post
TW, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate. https://www.uptodate.com/contents/acute-
appendicitis-in-adults-clinical-manifestations-and-differential-diagnosis#H5346248.Last updated:
February 5, 2016. Accessed: December 12, 2016.

5.Salminen P, Paajanen H, Rautio T, et al. Antibiotic Therapy vs Appendectomy for Treatment of


Uncomplicated Acute Appendicitis: The APPAC Randomized Clinical Trial.. JAMA. 2015; 313 (23):
p.2340-8. doi: 10.1001/jama.2015.615
6.Schwatz, et al. Principles of Surgery 8th Edition Volume 2. Jakarta: EGC. p. 1383 – 93.

7.Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2004. Jakarta: EGC. p. 865-75.

8.Sugandi . W. Referat Appendicitis. Sub Bagian Bedah Digestif. 2005. Bandung: FK UNPAD-
RSHS.
9. Tao Le, Vikas Bhushan, Deol M, Reyes G. First Aid for the USMLE Step 2 CK, Tenth Edition. New
York: McGraw-Hill Education ; 2018

27

Anda mungkin juga menyukai