Anda di halaman 1dari 41

REFLEKSI KASUS

08 Januari 2022

“Periappendicular Mass”

Mutia Mutmainnah
15 19 777 14 340

Pembimbing:
dr. Roberthy D. Maelissa, Sp.B, FINACS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa mahasiswa yang bersangkutan sebagai
berikut:

Nama : Mutia Mutmainnah


No stambuk : 15 19 777 14 340
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Alkhairaat
Judul Refka : Periappendicular Infiltat
Bagian : Ilmu Bedah

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Bedah RSU
Anutapura Palu, Fakultas Kedokteran Universitas Al-Khairaat.

Palu, 08 Januari 2022

Mengetahui,

Pembimbing Dokter Muda

dr. Roberthy D. Maelissa, Sp.B, FINACS Mutia Mutmainnah, S.Ked


BAB I
PENDAHULUAN

Appendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi pada
Appendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen Appendiks.
Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut
kanan bawah. Organ ini mensekresikan Ig A namun seringkali menimbulkan masalah bagi
kesehatan. Appendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering
ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya obstruksi lumen yang berlanjut
kerusakan dinding appendiks dan pembentukkan abses.1,2

Massa periappendicular atau periappendicular mass adalah proses radang appendiks yang
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus-usus dan peritoneum disekitarnya
sehingga membentuk massa (periappendiceal mass). Umumnya massa appendiks terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum.2

Periappendicular mass merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa dan
melibatkan seluruh lapisan dinding Appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan
usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup Appendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Massa
periapendikular didahului oleh keluhan Appendicitis akut yang kemudian disertai adanya massa
periapendikular. Gejala utama Appendicitis adalah nyeri perut.3

Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendicular tanpa pus yang telah ditenangkan.
Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob.
Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada
anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau
berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan
drainase apendektomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika, pada saat dilakukan
drainase bedah, appendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi
Appendiks vermivormis adalah struktur berbentuk cacing yang muncul dari posteromedial
dari dinding sekum, kira-kira 2 cm di bawah ileum. Posisi ini mungkin menempati dari beberapa
posisi. Posisi Appendiks yang lain sepeti retrosekal, retrokolik (dibelakang sekum atau kolon
ascenden), pelvical atau descenden (pinggir panggul atau tergantung didekat ovarium atau rahim.
Itu semua adalah posisi yang paling sering dijumpai di praktek. Posisi lain yang kadang-kadang
terlihat terutama ketika ada mesentrium Appendiks yang panjang memungkinkan mobilitas yang
lebih besar, termasuk subcaecal (di bawah sekum), preilial (ke anterior terminal ileum), postileal
(belakang terminal ileum). Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang
terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.1
Persarafan parasimpatis pada Appendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada Appendicitis bermula disekitar umbilikus.2
Arteri appendicularis merupakan cabang arteri ileocaecalis (cabang a.mesenterica superior).
Arteri appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi maka appendiks akan mengalami gangren. Aliran darah balik yaitu
melalui vena appendikularis mengalirkan darahnya ke vena ileocaecal, kemudian menuju vena
mesenterika superior dan masuk ke sirkulasi portal. 2

Gambar 1. Letak appendiks pada rongga abdomen


Gambar 2. Anatomi Appendiks

Gambar 3. Variasi Posisi Appendiks


2. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara Appendiks
berperan dalam patogenesis appendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di saluran cerna, termasuk Appendiks ialah IgA.
Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan Appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfoid
disini kecil sekali jika dibandingkan denan jumlah nya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.2

B. Massa Periappendicular
1. Definisi
Massa periappendicular atau periappendicular mass adalah proses radang appendiks yang
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus-usus dan peritoneum disekitarnya
sehingga membentuk massa (periappendiceal mass). Umumnya massa appendiks terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum.3

2. Epidemiologi
Appendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan appendectomy
merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia. Faktor potensialnya
adalah diet rendah serat dan konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi. Kejadian
appendicitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insidensi appendicitis
lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. 3,4,5
Appendicitis ini paling sering terjadi antara usia 10 dan 20 tahun dengan persentase 8,6%
pada laki-laki dan 6,7% pada wanita, dengan insidensi tertinggi pada dekade kedua atau ketiga.
Insidens Appendicitis dapat terjadi pada semua usia, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Setelah diteliti ternyata hiperplasia dari limfoid menjadi penyebab
meningkatnya insidens Appendicitis pada usia muda. Anak yang lebih muda memiliki resiko
tinggi sebesar 50 – 85% mengalami perforasi. Appendicitis pada pediatrik rata-rata terjadi saat
usia 6 – 10 tahun. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja.3,4,5

3. Etiologi
Massa Appendiks terbentuk di awali oleh adanya Appendicitis akut. Appendicitis akut
merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen
Appendiks merupakan faktor yang di ajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia
jaringan limfoid, fekalit, tumor Appendiks, dan cacing askaris. Penyebab lain yang di juga dapat
menyebabkan Appendicitis adalah erosi mukosa Appendiks akibat parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap imbulnya Appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional Appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman
flora kolon.4,5

4. Patofisiologi
Etiologi Appendicitis akut adalah infeksi bakteri (sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan
dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob) akibat obstruksi lumen.5 Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa
barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan parasit. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya Appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional Appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini mempermudah timbulnya Appendicitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat
sejalan dengan keparahan proses inflamasi.4,5

Gambar 4. Appendiks yang mengalami inflamasi


Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi. Distensi
merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar,
nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen Appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.5,6
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan Appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan Appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding Appendiks). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Appendicitis
supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding Appendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan Appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi Appendicitis perforasi. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam.5,7
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
kearah Appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut periappendicular mass.
Peradangan Appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Periappendicular mass
merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan
dinding Appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh
dengan membatasi proses radang dengan menutup Appendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, Appendicitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.2,3,7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendiks lebih panjang, dinding
Appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.3,7
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan
tubuh, fibrosis pada dinding Appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga
organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan
timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat
menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus
benar-benar istirahat (bedrest).3,7
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.4
5. Gejala Klinis
Massa periapendikular didahului oleh keluhan Appendicitis akut yang kemudian disertai
adanya massa periapendikular. Gejala utama Appendicitis adalah nyeri perut. Pada Appendicitis
akut gejala khas yang sering timbul adalah adanya radang mendadak pada appendiks yang
memberikan gejala lokal. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di periumbilical, kemudian
terlokalisir di RLQ, yang akan menetap dan di perberat bila berjalan atau batuk. Rasa nyeri lebih
kearah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Variasi
dari lokasi anatomi Appendiks berpengaruh terhadap lokasi nyeri. Appendiks yang terletak
retrosekal retroperitoneal (antara sekum dan otot psoas mayor), tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal karena appendiks terlindung oleh sekum.2,6
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks, biasanya suhu naik
hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC. Anoreksia
hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 7-5% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya
terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.3
Biasanya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan
muntah. Gejala gastrointestinal yang terjadi sebelum onset nyeri mengarahkan ke etiologi yang
berbeda, seperti gastroenteritis. Penderita Appendicitis juga dapat mengeluhkan sensasi obstipasi
sebelum onset nyeri dan merasa onset nyeri berkurang dengan defekasi.3
Nyeri atipikal biasanya timbul jika appendiks terletak di dekat otot obturator internus, rotasi
dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien ditemui ketika ujung appendiks terletak di
panggul. Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristaltis meningkat dan pengosongan rectum
menjadi lebih cepat serta berulang. Appendiks yang menempel ke kandung kemih dapat
menimbulkan dysuria dan peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan appendiks terhadap
dinding kandung kemih.3,6
Gambar 5. Nyeri pada Appendicitis akut, awalnya nyeri dirasakan di ulu hati atau sekitar pusat
sebagai nyeri viseral, kemudian menjadi nyeri lokal akibat rangsangan pada peritoneum
setempat.

6. Diagnosis
1) Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut.
Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa
dilihat pada massa atau abses appendikuler.6
b. Palpasi
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-
38,5C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
aksilar dan rektal sampai 1C.1 Appendicitis infiltrat terlihat dengan adanya penonjolan di perut
kanan bawah. Pada palpasi di dapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka dekstra, bisa disertai
nyeri lepas. Defans muskular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Pada
Appendicitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa
nyeri. Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah Appendiks maka selain ada nyeri pada fosa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan unutk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang
terfiksir dengna nyeri tekan dan tepi atas massa daapt teraba. Jika Appendiks intrapervikal maka
massa dapat diraba pada rectal toucher sebagai massa yang hangat. Peristaltik usus sering
normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
Appendicitis perforasi.7,8
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 7
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan tangan
kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat
refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendiks. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 6. Psoas sign


 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien
dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini
menunjukkan adanya perforasi Appendiks, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 7. Obturator sign


 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif bila pada
saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.
 Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan perkusi di
RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.
 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai kanannya
ditekuk.
 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendiks.
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum Douglasi atau
Appendicitis letak pelvis.
 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

*
Gambar 8. Titik McBurney’s (1, spina iliaca anterior superior; 2, umbilicus; x, titik McBurney’s)

c. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat appendisitis perforata.

2) Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendicitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat,
LED akan meningkat. Leukosit meningkat dengan neutrofil lebih dari 75% pada sebagian besar
pasien. Hitung leukosit yang tinggi (>20.000/mL) mengarah pada komplikasi appendisitis
dengan gangren atau perforasi.3

- Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi
saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendisitis.3

b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan ini
dilakukan terutama pada anak-anak.8

c. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada
wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. Gambaran USG yang
merupakan kriteria diagnosis appendicitis akut adalah appendiks dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih. Jika inflamasi berlanjut, dapat terlihat periappendiceal fat
stranding, edema, cairan peritoneal, phlegmon, atau abses periappendiceal. Fekalit dapat dengan
mudah divisualisasikan, tetapi adanya fekalit bukan patognomonik dari appendisitis.8

d. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini
dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat
akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan
lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.8

e. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan
komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.8

f. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam abdomen,
appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh
anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks
maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.

g. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis appendisitis
akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi appendisitis akut.
Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi
appendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi Appendicitis akut pada
orang yang tidak dilakukan operasi. 8

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Semua penderita dengan suspek Appendicitis akut dibuat skor Alvarado untuk membantu
penegakan diagnosis.
Skor penilaian yaitu 0-4: tidak mungkin Appendicitis, 5-6: samar-samar, 7-8: mungkin
apendisiitis, 9-10: kemungkinan besar Appendicitis.9,10,12

Tabel 2. Skor Alvarado


Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari
inflamasi Appendiks, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur
dan jenis kelamin.8
a. Gastroenteritis akut
b. Ileitis akut
c. Limfadenitis mesenterika
d. Kelainan ovulasi
e. Infeksi panggul (salfingitis, PID)
f. Kehamilan ektopik
g. Torsio kista ovarium
h. Endometriosis eksterna
i. Batu saluran kemih
j. Divertikulitis
k. Kelainan urogenital pada pria
l. Demam dengue
8. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang terbaik adalah apendektomi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau
dengan laparoskopi. Dalam apendektomi terbuka insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih
dahulu. Pemeriksaan labotarorium dan ultrasonografi dapat dilakukan bila dalam observasi
masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparaskop, tindakan laparaskopi diagnostic pada kasus
meragukan dapat segera menentukkan akan dilakukan operasi atau tidak.9,11,12

Manajemen bedah pada massa apendikular masih kontroversial. Penanganan non operatif
awal di kenalkan oleh ochsner pada tahun 1901. Hal ini meliputi :8
F regimen (Ochsner-Sherren Regimen)
 Semi-Fowler Position
 Fluids by mouth atau intravena
 Four hourly atau lebih sering, observasi nadi dan 2x sehari ukur suhu.
 Feel, palpasi massa apakah mengecil atau makin membesar
 Fungi, antibiotik
 Forbidden analgetic
Gambar 9. Posisi Fowler dan Semi-Fowler
Manajemen non operatif pada massa Appendiks membutuhkan penilaian yang berkelanjutan
terhadap perkembangan pasien. Terdapatnya abses Appendiks harus dilakukan drainase selama
followup, apendektomi elektif di rekomendasikan setelah terjadi resolusi massa Appendiks.
Biasanya disarankan dengan periode interval kira-kira 4-8 minggu.10,11
Apendektomi segera pada pasien dengan massa apendikular adalah pilihan terapi konservatif
konvensional. Tujuan utamanya adalah perbaikan yang lebih awal dan kesembuhan total selama
serangan awal. Disisi lain hal ini memiliki komplikasi kira-kira 36% pasien dengan massa
Appendiks. Komplikasi yang sering setelah apendektomi segera adalah infeksi luka, fistula
intestinal, small bowel obstruksi, abses intraabdomen, dan sepsis.10,11
Massa Appendiks bervariasi dari flegmon sampai abses dan ini terbentuk 2%-6% kasus yang
di awali dengan Appendiciis akut. Pada kasus abses Appendiks yang jelas tidak terdapat
kontroversi terhadap manajemen nya. Operasi drainase segera (perkutaneus atau open) adalah
tatalaksana pilihan oleh sebagian besar spesialis bedah. Untuk flegmon, dapat dilakukan
beberapa pendekatan tatalaksana pilihan dari konservatif sampai agresif. Terdapat tiga
pendekatan yang populer dilakukan untuk tatalaksana massa Appendiks. a) terapi konservatif
diikuti dengan apendektomi interval 6-8 minggu kemudian, b) apendektomi segera jika terdapat
resolusi massa inflamasi, c) konservatif secara keseluruhan tanpa apendektomi interval pada
pasien dengan massa Appendiks.3,10
Masalah bagi ahli bedah adalah jika penderita ditemui setelah 48 jam, ahli bedah akan
mengoperasi untuk membuang Appendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa
perlengketan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah
menjadi lebih terfiksasi dan vaskular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus
menunggu pembentukan abses yang dapat mudah di drainase. Massa periapendikular yang masih
bebas (mobile) disarankan segera dioperasi unutk mencegah penyulit. Selain itu operasi lebih
mudah. Pada anak dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pada pasien dewasa dengan
massa periapendikular yang berdinding sempurna di anjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil di awasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya perionitis. Bila sudah tidak
ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan
apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan
dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses Appendiks. hal ini di
tandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit. Massa Appendiks dengan proses radang yang masih
aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien di persiapkan, karena
ditakutkan terjadi abses Appendiks dan peritonitis umum.3,11
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi dari pada pembedahan pada Appendicitis sederhana dan tanpa perforasi. Pada
periapendikular infiltrat dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan lebih
sulit dan perdarahan lebih banyak, terlebih jika massa Appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi
abses dengan ataupun tanda peritonitis umum. Terapi sementara untuk 8- 12 minggu adalah
konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, di anjurkan operasi segera. Bila pada waktu
membuka perut terdapat periapendikualr infiltrat maka luka operasi di tutup lagi, Appendiks
dibiarkan saja. Jika sudah terjadi abses, di anjurkan drainase saja dan apendektomi dilakukan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, sangat di
pertimbangkan membatalkan tindakan bedah. Analgesik di berikan hanya kalau perlu saja.
Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam akan mereda. Bila gejala menghebat tandanya terjadi
perforasi maka harus dipertimbangkan apendektomi. Batas dari massa hendaknya di beri tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke 5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Jika
massa tidak juga mengecil artinya sudah terjadi abses dan massa harus segera di buka untuk di
drainase. Cara dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan
adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila Appendiks
mudah di ambil lebih baik di ambil karena Appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila
Appendiks sukar dilepas, maka Appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses di drainase dengan selang berdiameter besar, dan
dikeluarkan lewat samping peru. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang
dari 100 cc/hari, drain dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci setiap hari.
Antibiotik sistemik di lanjutkan sampai minmal 5 hari post operasi.11,12
Terapi Operatif
Indikasi Appendiktomi :11
1) Appendisitis akut
2) Appendisitis kronik
3) Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
4) Appendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
5) Appendicitis perforata.
Teknik operasi Apendiktomi :11
1) Open Appendectomy
- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik
- Dibuat sayatan kulit
2) Lokasi Incisi
- Incisi Grid Iron (McBurney Incision) :Insisi Gridiron pada titik Mc Burney. Garis insisi
paralel dengan otot oblikus eksternal, melewati titik Mc Burney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus.11
- Lapisan kulit yang dibuka pada Appendiktomi : cutis - sub cutis - fascia scarfa fascia camfer
- aponeurosis MOE – MOI - M. Transversus - fascia transversalis - pre peritoneum –
peritoneum.Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia.11
- Otot – otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal ( mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang disayat
secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang besar dan
mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya haustrae dan taenia koli, sedangkan ileum lebih
kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae dan taenia koli.Basis appendiks dicari pada
pertemuan ketiga taenia koli.Teknik inilah yang paling sering dikerjakan karena
keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi
minimum pada alat –alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa
penyembuhannya lebih cepat.Kerugiannya adalah lapangan iperasi terbatas, sulit diperluas,
dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara
tajam.11
Gambar 9. Incisi Grid Iron (McBurney Incision)

Teknik apendiktomi Mc Burney :11

1) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian lakukan tindakan
asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
2) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan dinding perut dibelah
menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut – turut M. Oblikus abdominis eksternus, M.
Abdominis internus, sampai tampak peritonium.
3) Peritonium disayat cukup lebar untuk eksplorasi.
4) Sakum dan Appendiks diluksasi keluar.
5) MesoAppendiks dibebaskan dan dipotong dari Appendiks secara biasa, dari Appendiks ke
arah basis.
6) Semua perdarahan dirawat.
7) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis Appendiks dengan sutra, basis Appendiks kemudian
dijahit dengan catgut.
8) Lakukan pemotongan Appendiks apikal dari jahitan tersebut.
9) Puntung Appendiks diolesi betadine.
10) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.
MesoAppendiks diikat dengan sutera.
11) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat – alat didalamnya, semua
perdarahan dirawat.
12) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
13) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan untuk
memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic cat gut dan otot – otot
dikembalikan.
14) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fasia dengan sutera, sub cutis dengan cat gut dan
akhirnya kulit dengan sutera.
15) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.
16) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.
Gambar 10. Tekhnik apendektomi
9. Komplikasi

a. Appendicitis Perforata
Keterlambatan diagnosis, merupakan faktor utama yang berperan dalam terjadinya perforasi
Appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%.
Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang
samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi Appendiks berupa penyempitan lumen
dan arteriosklerosis. Inidens tinggi pada anak disebabkan oleh dinding Appendiks yang masih
tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses
pendindingan kurang sempurna akibat perforasi yang cepat dan omentum anak belum
berkembang.12
Perforasi Appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri makin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi tenggang dan kembung.
Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum
maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang akibat
adanya ileus paralitik. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi yang panjang, supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin yang adekuat secara
mudah serta pembersihan kantong nanah. Akhir-akhir ini, mulai banyak dilaporkan pengelolaan
Appendicitis perforasi secara laparoskopi apendiktomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat
dibilas dengan mudah. Hasilnya dilaporkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi
terbuka.12
10. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit
ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila
terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.10

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas

1. Nama lengkap : An. S


2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur : 12 tahun
4. Pekerjaan : Siswa
5. Alamat : Jl. towua
B. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien laki-laki usia 12 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul dan memberat ketika ditekan.
Awalnya nyeri terasa pada uluhati kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Pasien juga
mengeluh demam sejak 1 hari yang lalu bersifat naik turun dan turun saat minum obat penurun
panas. Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun. Pasien juga sempat mual disertai muntah
sebanyak 3x sebelum masuk Rumah Sakit diawali dengan nyeri uluhati. Nyeri saat berkemih (-),
BAK lancar, BAB biasa.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa.

I. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata
Keadaan umum : tampak sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda vital
 Tekanan darah: 110/70 mmHg
 Nadi : 135 x/ menit
 Nafas : 22 x/ menit
 Suhu : 38,20C
Kulit : warna kulit kecoklatan, sianosis (-), pucat (-), ikterik (-)
Kepala : tidak ada kelainan bentuk, simetris.
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Rhinorea (-), Deviasi septum (-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher : pembesaran limfonodi (-)

Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : iktus kordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
 Perkusi : batas atas: SIC II linea parasternal sinistra
batas jantung kiri : SIC IV linea midklavikularis
batas jantung kanan : SIC V linea parasterna dekstra
 Auskultasi : BJ I/II reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru
- Inspeksi : statis : simetris, dinamis : gerakan paru simetris
- Palpasi : fremitus taktil sama di paru dekstra-sinistra
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara nafas pokok vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar simetris, darm contour (-) darm steifung (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+) normal
- Palpasi : Nyeri tekan (+) regio iliaca dextra, teraba massa pada regio iliaca dextra
berukuran± 6cm x 10 cm, konsistensi padat, permukaan rata, immobile
(+), dan tidak berbenjol-benjol defans muscular (-) hepar dan lien tidak
teraba
- Perkusi : Tympani (+)

Ekstremitas
Edema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill < 2 detik pada anggota gerak atas dan
bawah.

Status Lokalis (Regio Iliaca Dextra)


- Inspeksi : Distensi (-), darm contour (-) darm steifung (-)
- Auskultasi : Peristaltik (+) normal
- Palpasi : Nyeri tekan (+) regio iliaca dextra, teraba massa pada regio iliaca dextra
± 6cm x 10 cm, konsistensi padat, permukaan rata, immobile (+) dan
tidak berbenjol-benjol. defans muscular (-) hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : Tympani (+)
 Alvarado Score :
- Migration of pain :1
- Anorexia :1
- Nausea :1
- Tenderness :2
- Rebound pain :1
- Elevated temperature : 1
- Leucocytosis :2
- Shift to the left :-

Total skor : 9 (Appendicitis akut)

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium ( 19 Desember 2021)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hb 13,9 14 -18 g/dL
Hct 40,9 42 – 52 %
Wbc 23,5 4.800-10.800/ul
Rbc 4,95 4.7 juta-6,1 juta/ ul
MCV 82,6 80-99 fl
MCH 28,1 27 – 32 pg
MCHC 34,0 31-36 g/Dl
ELEKTROLIT
K+ 4,14 3,48 – 5.50 mmol/L
Na+ 132,71 135,37 – 145.00 mmol/ L
Cl 95,10 9.00 –m106.00 mmol/L
Darah
Albumin 3,56 Nilai Rujukan
AST/GOT 16 11 – 18 detik

Urea 42
Creatinine 0,57 12.1 – 17.5 detik
ALT/GPT 11 27-42 detik
Darah
LED I 64
LED II 93
Pemeriksaan Hasil
SARS CoV-2-Antibody Non reaktif
Foto USG Abdomen (19/12/2021)
Kesan:
-Appendicitis Akut
-Organ-organ intraabdomen yang terscan lainnya dalam batas normal

RESUME
Pasien laki-laki usia 12 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul dan memberat ketika ditekan.
Awalnya nyeri terasa pada uluhati kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Pasien juga
mengeluh demam sejak 1 hari yang lalu bersifat naik turun dan turun saat minum obat penurun
panas. Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun. Pasien juga sempat mual disertai muntah
sebanyak 3x sebelum masuk Rumah Sakit diawali dengan nyeri uluhati.
Keadaan umum sakit sedang dengan kesadaran compos mentis E4 M6 V5, tanda vital
didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 135 x/ menit, pernafasan 22 x/ menit, suhu
38,20C. Pemeriksaan kepala, thorax, jantung, dan ekstremitas dalam batas normal.
Status lokalis. Inspeksi : Tampak datar simetris, darm contour (-) darm steifung (-),
Auskultasi: Peristaltik (+) normal. Palpasi: Nyeri tekan (+) regio iliaca dextra, teraba massa pada
regio iliaca dextra berukuran ±6x10 cm, konsistensi padat, permukaan rata, immobile (+), dan
tidak berbenjol-benjol defans muscular (-) hepar dan lien tidak teraba. Perkusi:Tympani (+)
Pemeriksaan tambahan : Alvarado score : Total skor : 9 (Appendicitis akut).
Pada pemeriksaan penunjang : laboraturium : WBC : 23,5/uL, Na+ : 132,71 mmol/L, Cl- :
95,10 mmol/L. Foto USG Abdomen. Kesan:
-Appendicitis Akut
-Organ-organ intraabdomen yang terscan lainnya dalam batas normal

III. DIAGNOSIS
Periappendicular Mass

IV. TERAPI/TATALAKSANA
- IVFD RL 1300 cc/24jam/iv
-Inj. Ceftriaxone 850 gram/12 jam/iv
-inj. Tofedec ½ amp/12jam/iv
-Drips paracetamol drips 300 mg/8 jam/iv
-Diet lunak (bubur, rendah lemak, tidak pedis)
-Posisi Semifoler
-Rencana Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi

V. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanactionam : dubia ad bonam
Follow up

Hari/ Tanggal Follow Up


19 Desember 2021 S : Nyeri perut kanan bawah. Mual (-), muntah (-)
/PH 0
O : KU: sakit sedang, compos mentis (E4V5M6)

TD: 100/70 mmHg, N: 135 x/menit, RR: 22x/menit,

S: 37 oC, SPO2: 99%, VAS : 5-6

Palpasi abdomen: Teraba massa pada regio iliaca dextra berukuran ±


6 cm x 10 cm

A : Periappendicular Mass

P:

- IVFD RL 1300 cc/24jam/iv


-Inj. Ceftriaxone 850 gram/12 jam/iv
-inj. Tofedex ½ amp/12jam/iv
-Drips paracetamol drips 300 mg/8 jam/iv
-Diet lunak (bubur, rendah lemak, tidak pedis)
-Posisi Semifoler
-Rencana Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi
20 Desember 2021 / S : Nyeri perut kanan bawah berkurang. Mual (-), muntah (-)
PH 1
O : KU: sakit sedang, compos mentis (E4V5M6)

TD: 110/80 mmHg, N: 125 x/menit, RR: 21x/menit,

S: 36.8 oC, SPO2: 99%, VAS : 4-5

Palpasi abdomen: Teraba massa pada regio iliaca dextra berukuran ±


6 cm x 10 cm

A : Periappendicular Mass
P:

-IVFD RL 14 tpm
-Inj. Ceftriaxone 850 gram/12 jam/IV
-Inj. Tofedex ½ amp/iv
-Bila demam paracetamol drips 300 mg/iv
-Diet lunak (bubur, rendah lemak, tidak pedis)
-Posisi Semifoler
-Rencana Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi

21 Desember 2021 / S : Nyeri perut kanan bawah berkurang. Mual (-), Muntah (-)
PH 2
O : KU: sakit sedang, compos mentis (E4V5M6)

TD: 120/70 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 216x/menit,

S: 36.5 oC, SPO2: 99%, VAS : 3-4

Palpasi abdomen: Teraba massa pada regio iliaca dextra mengecil


berukuran ± 5 cm x 8 cm

A : Periappendicular Mass

P:

-IVFD RL 14 tpm
-Inj. Ceftriaxone 850 gram/12 jam/IV
-Inj. Tofedex ½ amp/iv
-Bila demam paracetamol drips 300 mg/iv
-Diet lunak (bubur, rendah lemak, tidak pedis)
-Posisi Semifoler
-Rencana Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi

22 Desember 2021 / S : Nyeri perut kanan bawah (-). Mual (-), Muntah (-)
PH 3
O : KU: sakit sedang, compos mentis (E4V5M6)
TD: 120/70 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 21x/menit,

S: 36.5 oC, SPO2: 99%, VAS : 1-2

Palpasi abdomen: Teraba massa pada regio iliaca dextra mengecil


berukuran ± 5 cm x 6 cm

A : Periappendicular Mass

P:

-IVFD RL 14 tpm
-Inj. Ceftriaxone 850 gram/12 jam/IV
-Inj. Tofedex ½ amp/iv
-Bila demam paracetamol drips 300 mg/iv
-Diet lunak (bubur, rendah lemak, tidak pedis)
-Posisi Semifoler
-Rencana Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi

23 Desember 2021 / S : Nyeri perut kanan bawah (-). Mual (-), Muntah (-)
PH 4
O : KU: sakit sedang, compos mentis (E4V5M6)

TD: 110/70 mmHg, N: 89 x/menit, RR: 21x/menit,

S: 36.5 oC, SPO2: 99%, VAS : 0

Palpasi abdomen: Teraba massa pada regio iliaca dextra mengecil ±


5 cm x 6 cm

A : Periappendicular Mass

P:

-Cefadroxyl 3 x 500 mg

-Asam mefenamat 3x1 bila nyeri


-Rencana Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki usia 12 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Nyeri bersifat hilang timbul dan
memberat ketika ditekan. Awalnya nyeri terasa pada uluhati kemudian menjalar ke perut
kanan bawah. Pasien juga mengeluh demam sejak 1 hari yang lalu bersifat naik turun dan
turun saat minum obat penurun panas. Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun.
Pasien juga sempat mual disertai muntah sebanyak 3x sebelum masuk Rumah Sakit
diawali dengan nyeri uluhati.
Gejala utama Appendicitis adalah nyeri perut. Pada Appendicitis akut gejala khas yang
sering timbul adalah adanya radang mendadak pada appendiks yang memberikan gejala lokal.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di periumbilical, kemudian terlokalisir di RLQ, kadang
disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6
jam. Persarafan parasimpatis pada Appendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada Appendicitis bermula disekitar umbilikus.
Keadaan umum sakit sedang dengan kesadaran compos mentis E 4 M6 V5, tanda vital
didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 135 x/ menit, pernafasan 22 x/ menit, suhu
38,20C. Pemeriksaan kepala, thorax, jantung, dan ekstremitas dalam batas normal.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendiks, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang
umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan parasit.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada 9peningkatan sekresi normal dari mukosa Appendiks yang distensi. Distensi
merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar,
nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen Appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan Appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan Appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding Appendiks). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi
infark dinding Appendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan
Appendicitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi Appendiks
perforasi. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam.

Pada pasien ini saat dilakukan pemeriksaan palpasi abdomen dan didapatkan nyeri
tekan hasil positif pada regio iliaca dextra serta teraba massa pada regio iliaca dextra
berukuran±6 cm x 10 cm, konsistensi padat, permukaan rata, immobile (+), dan tidak
berbenjol-benjol defans muscular (-) hepar dan lien tidak teraba.

Alvarado score
Interpretasi:
Dinyatakan appendicitis akut apabila nilai > 7 poin.
Penanganan berdasarkan Alvarado Score :
1–4 Dipertimbangkan appendisitis akut, diperlukan observasi.
5–6 Possible appendicitis, tidak perlu operasi. Terapi antibiotik.
7 – 10 Appendisitis akut, perlu operasi dini.

Pada pasien ini didapatkan total score Alvarado : 9


Migration of pain :1

Anorexia :1

Nausea :1

Tenderness in right lower quadrant :2

Rebound pain :1

Elevated temperature :1

Leucocytosis :2

Shift of white blood cell count to the left :-

Total skor : 9 (Appendicitis akut )

Pada pasien ini gejala Appendicitis yang muncul sejak 4 hari yang lalu yang lalu
kemudian berkembang menjadi periappendicular mass. Kecepatan rentetan peristiwa
tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding
Appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika
urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses
melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis.
Berdasarkan pemeriksaan fisik abdomen ditemukan adanya nyeri tekan kanan bawah dan
teraba massa pada perut kanan bawah karena adanya inflamasi local Appendiks yang diikuti oleh
apendictis gangrenosa ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah Appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan Appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Periappendicular mass
merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan
dinding Appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh
dengan membatasi proses radang dengan menutup Appendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular.
Terdapat beberapa maneuver diagnostic yang biasa digunakan pada pemeriksaan
Appendicitis. Pada pasien ini didapatkan tanda positif pada titik Mc. Burney, Rovsing sign,
Blumberg sign, psoas sign dan obturator sign. Maneuver ini umumnya bergantung pada letak
Appendiks pasien.
Pada pasien ini didapatkan peningkatan jumlah leukosit pada pemeriksaan
laboratorium yaitu WBC : 23,5 u/L Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
leukositosis.
Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukositosis ringan umumnya
pada Appendicitis sederhana. Jumlah leukosit umumnya meningkat pada Appendicitis akut yakni
sekitar 10.000-18.000 sel/mm3, C-reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan
meningkat. Leukosit meningkat dengan neutrofil lebih dari 75% pada sebagian besar pasien. Hitung
leukosit yang tinggi (>20.000/mL) mengarah pada komplikasi appendisitis dengan gangren atau perforasi.
Keterlambatan diagnosis dan penanganan, merupakan faktor utama yang berperan dalam
terjadinya perforasi Appendiks. Insidens perforasi pada penderita di atas usia 60 tahun
dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua
adalah gejalanya yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi Appendiks
berupa penyempitan lumen dan arteriosklerosis.

Pada pemeriksaan status lokalis pada region abdomen didapatkan inspeksi: Tampak
datar simetris, darm contour (-) darm steifung (-), Auskultasi: Peristaltik (+) normal.
Palpasi: Nyeri tekan (+) regio iliaca dextra, teraba massa pada regio iliaca dextra
berukuran 6 cm x 10 cm6, konsistensi padat, permukaan rata, immobile (+), dan tidak
berbenjol-benjol defans muscular (-) hepar dan lien tidak teraba. Perkusi:Tympani (+).
Nyeri tekan kanan bawah dan teraba massa pada perut kanan bawah karena adanya inflamasi
local Appendiks yang diikuti oleh apendictis gangrenosa ditutupi atau dibungkus oleh omentum
dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah Appendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan Appendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Periappendicular mass merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama,
ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
Appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular.
Pada pasien ini, terapi yang diberikan adalah IVFD RL 1300 cc/24jam/iv, Inj.
Ceftriaxone 850 gram/12 jam/iv, inj. Tofedex ½ amp/12jam/iv, Drips paracetamol drips
300 mg/8 jam/iv, Diet lunak (bubur, rendah lemak, tidak pedis), Posisi Semifoler, Rencana
Internal appendectomy 6 minggu pasca terapi.
Massa Appendiks bervariasi dari flegmon sampai abses dan ini terbentuk 2%-6% kasus yang
di awali dengan Appendicitis akut. Pada kasus abses Appendiks yang jelas tidak terdapat
kontroversi terhadap manajemen nya. Operasi drainase segera (perkutaneus atau open) adalah
tatalaksana pilihan oleh sebagian besar spesialis bedah. Untuk flegmon, dapat dilakukan
beberapa pendekatan tatalaksana pilihan dari konservatif sampai agresif. Terdapat tiga
pendekatan yang populer dilakukan untuk tatalaksana massa Appendiks. a) terapi konservatif
diikuti dengan apendektomi interval 6-8 minggu kemudian, b) apendektomi segera jika terdapat
resolusi massa inflamasi, c) konservatif secara keseluruhan tanpa apendektomi interval pada
pasien dengan massa Appendiks.
Manajemen bedah pada massa apendikular masih kontroversial. Penanganan non operatif awal di
kenalkan oleh ochsner pada tahun 1901. Hal ini meliputi :8
F regimen (Ochsner-Sherren Regimen)
 Semi-Fowler Position
 Fluids by mouth atau intravena
 Four hourly atau lebih sering, observasi nadi dan 2x sehari ukur suhu.
 Feel, palpasi massa apakah mengecil atau makin membesar
 Fungi, antibiotik
 Forbidden analgetic

Ceftriaxone 850 gram/12 jam diberikan sebagai antibiotik spectrum luas yang mana salah satu
penyebab Appendicitis adalah infeksi yang juga ditandai dengan leukositosis pada hasil
pemeriksaan laboratorium pasien. Terapi konservatif diberikan apabila pasien merasa nyeri dapat
diberikan anti nyeri berupa deksketoprofen dan paracetamol.
DAFTAR PUSTAKA

1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. 2016


http://medchrome.com/basiscience/anatomy/anatomy-appendix appendicitis/.
2. Schwatz, et al. Principles of Surgery 10th Edition Volume 2. Jakarta: EGC. p. 1383 – 93.
3. Sjamsuhidajat R. Usus Halus, Appendiks, Kolon, dan Anorektum: Appendiks Vermiformis.
In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Theddeus OHP, Rudiman Reno. Buku Ajar Ilmu
Bedah Sjamsuhidajat-deJong. 4th ed. Jakarta:EGC, 2014
4. Warsiningsih. Appendisitis Akut. Diakses dari https://med.unhas.ac.id, pada 24 Desember
2021.
5. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran edisi ke-7.
2010. Jakarta: EGC. h. 600-02.
6. Yousfani ZA, et al. 2016. APPENDICULAR MASS AND ABSCESS. Departement of
Surgery, Jansharo. Diakses dari https://www.jscimedcentral.com, pada 24 Desember 2021
7. Frederick Thurston Drake, Anee Bangu, et all. 2015. Acute Appendicitis : Modern
Understanding Of Phatogenesis, Diagnosis And Manajement. Emergency Surgery 1. Vol 386
september 26, 2015.https://www.researchgate.net. 24 Desember 2021.
8. Petroainu Andi and Vinicius Thiago. 2016. Review article Pathophysiology of Acute
Appensicitis. Department of Surgery, School of Medicine of the Federal University of Minas
Gerais, Brazil. Diakses dari https://www.jscimedcentral.com, pada 25 Desember 2021
9. Raikwar, Dhakad Varsha, et all. 2017. A Comparitive Study of Alvarado Score and Ripasa
Score in the Diagnosis of Acute Appendicitis. Department of Surgery, MGM Medical College
And M.Y. Hospital. Diakses dari https://pdfs.semanticscholar.org, pada 25 Desember 2021
10. Demetrashvili Z, Kenchadze G,Pipia I, Ekaladze E, Kamkamidze G. 2015. Management of
Appendiceal Mass and Abscess. An 11-Year Experience. Department of Surgery, Tbilisi
State Medical University, Tbilisi, Georgia. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pada
28 Desember 21
11. Sathyakrishna B R , Shinde P, Nayar S. 2016. Early Surgical Management of Appendicular
Mass: A Retrospective Analysis. Department of Surgery, St. Martha Hospital, Bengaluru,
India. Diakses dari https://www.jss-sn.com pada 28 Desember 2021
12. Shindholimath V.V, Thinakaran K, Rao T.N, Veerappa Y.V. 2016. Laparoscopic
management of appendicular mass. Departments of Surgery and 1 Pathology, PES Institute
of Medical Sciences and Research, Kuppam, 517 425, District Chittoor, Andhra Pradesh,
India. Diakses dari https://www.researchgate.net/ pada 28 Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai