APPENDISITIS AKUT
Dokter Pembimbing:
SANGGAU
2022
1
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat-Nya sehingga laporan kasus Program Dokter Internsip
Indonesia ini dapat kami selesaikan. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Dayang Marta Susilawati sebagai pembimbing sekaligus pendamping PIDI kami
yang telah memberi masukan dan saran dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun sebagai upaya integrasi standar profesi pada
praktik kedokteran dengan pemahiran dan pemandirian kompetensi peserta PIDI.
Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini, dapat dihasilkan suatu kesatuan
yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai penyakit yang akan dibahas.
Laporan kasus ini mengenai topik Appendisitis Akut. Penulis menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun
sistematika penulisan. Oleh karena itu, kami mohon maaf dan dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan ke depannya.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 2.2 Potongan Transversa Appendix6
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot
yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas
vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.7
Tunika Mukosa: memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
Tunika Submukosa: banyak folikel lymphoid.
Tunika Muskularis: stratum circulare sebelah dalam dan
stratum longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah luar.
Tunika Serosa: bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus.8
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm,
dengan rata-rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan
dengan Taenia caealis pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi
lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang
6
akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix
mengalami peradangan.3,4
7
2.2 Appendisitis
A. Definisi
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.1
B. Insidensi
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada
anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1.4
C. Etiologi10,11
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen,
diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses
inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar
65% merupakan appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
appendicitis gangrenous dengan ruptur.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.
D. Patofisiologi
1. Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar
20% pada anak dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan
perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia
8
jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris
vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata,
dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat
diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat
pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji
sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor
lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress
psikologis, dan herediter.12
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses
inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta
sederhana, sekitar 65% pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa
perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa dengan
perforasi.3,4,12,13
10
intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang
lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal
Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan
aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan
intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan
invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika
eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan
dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan
nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang
berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal
atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas
ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap
perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu
melebihi 38.6oC, leukositosis >14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,
dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak
omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi
akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau
11
remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan
fisik.12
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai.
Diare sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu
yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.12
2. Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora
Appendix normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari
Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang
didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen
merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan
mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan
Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis
perforata.3,4,13
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa
kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada
pasien yang mengalami perforasi.4 Flora normal pada Appendix sama
dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap
konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya
terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix,
Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan
Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan
anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.3,4,13
12
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.
Tabel 2.1 Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta.4
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis
perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil
kultur selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi,
organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur
organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal
harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat
dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess
setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam
pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata,
antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau
pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada
drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi.4,12
3. Diet dan Higiene15
Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang
Barat dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula
buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan.
Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada
orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang
memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan
motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai
kecenderungan untuk timbul fecalith.
E. Gejala dan Tanda Klinis
13
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam,
dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama
Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus
terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang
timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri
yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi
Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang
panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis,
retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.2,3,4,13,14
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis.
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua
kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan
munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan
muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis
diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada
diagnosis gastroenteritis. 4,14
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare
timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah
terjadinya perforasi Appendix.2,4,14
14
Tabel 2.2 Gejala Appendicitis acuta.16
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor
>6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah
Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan
hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan
radang akut.17
15
Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik,
khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering
terlambat sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal
perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan
anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri. Appendix
umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya
nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak
pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.12
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun,
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda
Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal toucher tidak
diperlukan lagi.12
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:18
1. Rovsing’s Sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada
Appendicitis namun tidak spesifik.
2. Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa
memegang lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya.
Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini
tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
3. Obturator sign
16
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan
pada telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi
lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien
dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini
menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M.
Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya
hernia obturatoria.
4. Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya.
Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien
merasakan nyeri di RLQ.
5. Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri
pada saat dilakukan perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan
peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.
6. Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri
di flank saat tungkai kanannya ditekuk.
7. Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
8. Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada
abscess di cavum Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
9. Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi
lateral
10. Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)
F. Pemeriksaan Laboratorium2,4,12,13
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm 3, biasanya
didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
17
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis
Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih
lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel
darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung
leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%,
dan spesifisitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi
dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau
eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh
inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta dalam sample urine catheter
tidak akan ditemukan bakteriuria.
G. Pemeriksaan Radiologi19,20
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan
sangat mendukung diagnosis.
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal, divertikulum
Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease (PID) dapat
menyebabkan positif palsu pada hasil USG.
18
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT
scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan tidak spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan
appendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 48-50%.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah
diagnosis dari akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak
spesifik untuk suatu penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi
atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat
diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di sekitar cavum
peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti Appendicitis
acuta.4,12
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun
pada umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan
oleh Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau
tidak akan menjadi lebih buruk dengan pembedahan.4,12
Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi
anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple
sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien.4,12 Diantaranya
sebagai berikut:
1. Adenitis Mesenterica Acuta
2. Gastroenteritis akut
3. Penyakit urogenital pada laki-laki.
4. Diverticulitis Meckel
5. Intususseption
6. Chron’s enteritis
7. Perforasi ulkus peptikum
19
8. Epiploic appendagitis
9. Infeksi saluran kencing
10. Batu Urethra
11. Peritonitis Primer
12. Purpura Henoch–Schonlein
13. Yersiniosis
14. Kelainan–kelainan ginekologi
I. Komplikasi21
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah:
1. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
2. Suhu tubuh naik tinggi sekali.
3. Nadi semakin cepat.
4. Defance muscular yang menyeluruh.
5. Perut distended.
6. Bising usus berkurang.
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya:
1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
ke rongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
J. Penatalaksanaan22,23
Penatalaksanaan definitif appendicitis adalah dengan apendektomi.
Rujuk pasien ke rumah sakit dengan fasilitas ruang operasi untuk melakukan
apendektomi. Walau demikian, pada appendicitis akut dengan kondisi khusus
20
seperti tidak ada akses untuk operasi atau apendektomi berisiko tinggi bagi
pasien, pemberian terapi nonbedah berupa antibiotik dapat menjadi pilihan.
Appendektomi dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparatomi.
Appendektomi melalui laparoskopi memiliki beberapa keunggulan yaitu nyeri
pasca operasi yang lebih ringan, hasil estetik yang lebih baik, risiko infeksi
yang lebih rendah, dan waktu penyembuhan yang lebih cepat.
Observasi aktif atau antibiotik dapat menjadi pilihan pada keadaan
tertentu. Antibiotik yang menjadi pilihan untuk appendicitis adalah antibiotik
spektrum luas yang mencakup bakteri aerob dan anaerob. Berikan antibiotik
IV selama perawatan dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 7 hari.
Contoh antibiotik yang dapat menjadi pilihan adalah cefotaxime,
levofloxacin, metronidazole, gentamisin.
Studi telah membandingkan efektivitas antibiotik oral saja dan
kombinasi antibiotik oral bersama antibiotik intravena untuk terapi
appendicitis akut. Hasil menunjukkan bahwa keduanya efektif, tetapi
kombinasi antibiotik oral bersama antibiotik intravena lebih superior.
Penggunaan antibiotik bila dibandingkan dengan appendektomi dapat
bermanfaat pada appendicitis yang tidak memiliki komplikasi. Namun harus
diingat bahwa penggunaannya perlu mempertimbangkan tingkat edukasi
pasien dan askes terhadap layanan kesehatan. Pasien yang mampu mengerti
mengenai risiko kekambuhan serta memiliki akses yang baik terhadap
layanankesehatan dapat dipertimbangkan untuk mendapat antibiotik saja.
Pada pasien dengan suspek appendicitis, pemberian asupan via oral
dihindari. Lakukan pemasangan IV line 3-jalur, untuk pemberian cairan dan
obat, serta pengambilan sampel darah. Berikan analgesik dan antiemetik
secara parenteral, bilamana perlu. Berikan antibiotika spektrum luas untuk
kuman aerob dan anaerob secara intravena kepada pasien yang menunjukkan
tanda klinis septikemia, atau kepada pasien yang akan menjalani
apendektomi.
K. Prognosis4
21
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per
100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor-
faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis
adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik,
ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang
mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi. Prognosis appendicitis akan
membaik dengan diagnosis dan penanganan dini karena jika terlambat akan
meningkatkan risiko komplikasi, bahkan dapat berakhir dengan kematian.
BAB III
PRESENTASI KASUS
IDENTITAS
22
Nama : Ny. MM
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 39 tahun
Agama : Katholik
Alamat : Dsn. Sebuduh Kembayan
Pekerjaan : IRT
Status : BPJS
Tanggal Periksa : 10 Januari 2022 (14.15 wib)
No. RM : 0516xx
A. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh melalui autoanamnesis terhadap pasien dan
aloanamnesis terhadap suami pasien.
Keluhan Utama
Nyeri perut sejak 3 hari SMRS.
23
Riwayat SC 2 kali (tahun 2007 dan 2014)
Riwayat alergi: Kotrimoksazol
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Kolestrol Tinggi : disangkal
Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat Penyakit Liver : disangkal
Riwayat Operasi: disangkal
Riwayat Obat-obatan rutin: disangkal
24
dan buah-buahan. Kebiasaan olahraga kurang. Pasien tidak merokok
dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: Tampak sakit sedang.
Kesadaran: Compos mentis.
Tanda vital:
- TD (Tekanan Darah): 80/60 mmHg
- HR (Nadi) : 108x/menit, reguler, kuat angkat
- RR (Laju Nafas) : 21x/menit
- Suhu : 36,7oC
- SpO2 : 98% free air
- BB : 65 Kg
- TB : 163 cm
- IMT : 24,5 Kg/m2
Status Internus
1. Kepala-Leher
Mata : Konjungtiva anemis (-); Sklera ikterik (-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa oral basah; Sianosis (-)
Leher : Soepl; Trakea di tengah; Pembesaran KBG (-)
2. Thorax
Inspeksi : Bentuk simetris; Pergerakan simetris; Retraksi (-)
Palpasi : Massa tumor (-); Vocal fremitus tidak diperiksa;
Pergerakan napas normal
Perkusi : Suara ketuk sonor dextra et sinistra
Auskultasi :
Pulmo: Suara napas vesikuler; Rhonki (-);
Wheezing (-)
25
Cor: S1S2 tunggal, reguler; Mur-mur (-);
Gallop (-)
3. Abdomen
Inspeksi : Soepl; Guarding (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) 3x/min
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (+) regio lumbal kanan dan
inguinal kanan, hepar dan lien tidak teraba, murphy’s sign (-)
Perkusi : Timpani (+), ascites (-) , ketuk CVA (-/-)
4. Ekstremitas
Extremitas hangat
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-
5. Pemeriksaan Khusus
Psoas Sign (+)
Obturator Sign (+)
Rovsign Sign (+)
McBurney’s Point (+)
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Polos Thorax dan Abdomen
26
Interpretasi Thorax PA:
Foto polos thorax Ny. MM
Inspirasi adekuat
Penetrasi cukup
Simetris, angulasi (-)
Proyeksi PA
Trakea baik, tidak devisasi
Jantung tidak membesar, CTR ≤ 50%
Mediastinum baik, tidak melebar
Hilus baik, tidak menebal
Corakan bronkovaskuler baik, tidak tampak kelainan
Sudut kostophrenikus baik, kiri dan kanan
Diafragma baik
Tulang-tulang intak
Jaringan lunak baik
Kesan: Foto thorax tidak tampak kelainan
2. Hematologi
28
D. DIAGNOSA KERJA
E. PENATALAKSANAAN
Resusitasi RL/D5 2 L
IVFD RL/D5 drip Antrain/Tramadol (1:1) 30 tpm
Ij. Ketorolac 30 mg/8 jam iv
Ij. Ondansetron 4 mg/12 jam iv
Ij. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Ij. Ceftriaxone 1 gr/12 jam iv
Inf. Metronidazole 500 mg/8 jam iv
DC
29
BAB IV
DISKUSI
30
Tabel 2.3 Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi skor Alvarado adalah sebagai berikut:
5-6 : Kemungkinan appendicitis (compatible)
7-8 : Kemungkinan besar appendicitis (probable)
9-10 : Pasti appendicitis (very probable)
Skor Alvarado pada pasien ini adalah 9 (minus “migrasi nyeri”). Pasien
sebaiknya dilakukan tindakan apendektomi jika skor ≥7. Jika skor 5-6 disarankan
untuk observasi dan dilakukan evaluasi ulang tiap empat atau enam jam.
Kemungkinan penyakit lain harus dipikirkan jika skor <5.
Untuk pemeriksaan rektal (colok dubur) atau digital rectal examination
(DRE) dulu memang menjadi pemeriksaan yang digunakan untuk membantu
penegakan diagnosis appendisitis akut, namun saat ini pemeriksaan tersebut telah
diteliti melalui telaah sistematik dan didapatkan hasil bahwa pemeriksaan rektal
tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis appndisitis akut. Hal ini
disebabkan karena letak appendix yang sangat bervariasi.24
Untuk pemeriksaan USG abdomen, lebih digunakan untuk mengeksklusi
penyakit lain yang menjadi diagnosis banding dari appendisitis akut, misalnya
kehamilan ektopik terganggu, kista ovarium terpuntir dan batu saluran kemih.
Pemeriksaan USG abdomen juga dapat digunakan pada kondisi kecurigaan
appendisitis akut yang sudah mengalami komplikasi misalnya perforasi. Sehingga
pemeriksaan ini juga tidak rutin dilakukan.25
USG abdomen memiliki kekurangan yaitu operator dependent.
Appendicogram hanya digunakan secara terbatas dan bukan merupakan alat gold
standar penegakan diagnosis appendisitis. Sedangkan CT scan abdomen dapat
31
digunakan untuk menegakkan diagnosis appnedicitis, namun perlu
dipertimbangkan efek radiasi pengion dan biaya yang relatif mahal.
Pada pasien ini diberikan cairan resusitasi berdasarkan tekanan darah
80/60 mmHg dan nadi 108x/min. Resusitasi cairan merupakan tata laksana yang
paling sering dilakukan pada manajemen kasus akut. Secara umum, resusitasi
cairan diindikasikan pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik yang dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti sepsis, trauma, maupun gangguan
kardiovaskuler. Tindakan resusitasi cairan ini dilakukan sebagai tindakan life-
saving sebelum klinisi mencari sebab dari ketidakstabilan hemodinamik. Diantara
tanda-tanda tersebut diantranya:
Tekanan darah diastolik < 100mmHg
Denyut jantung > 90 kali per menit
Capillary refill time > 2 detik
Laju pernafasan > 20 kali per menit
Pada pasien ini diberikan antibiotik di IGD berupa Ij. Ceftriaxone 1 gr/12
jam iv dan Inf. Metronidazole 500 mg/8 jam iv sebagai terapeutik, yakni sebelum
dilakukan operasi appendektomi. Adapun sebagai profilaksis, maka diberikan 1
jam sebelum insisi. Pada kasus juga diberikan drip Antrain + Tramadol (1:1)
dalam RL 30 tpm serta Ij. Ketorolac 30 mg/8 jam iv. Pemberian analgesia pada
kasus appendisitis akut hingga saat ini memang masih menjadi kontroversi.
Namun, sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa pemberian analgesia
pada kasus appendisitis akut tidak mengurangi akurasi dalam penegakan
diagnosis. Hal ini disebabkan memang masih kurangnya pemahaman dari proses
penyakit itu sendiri, dimana proses rangsang peritoneal terjadi pada appendisitis
akut, dimana akan tetap berlangsung selama appendix vermiformis tersebut
meradang.26
Yang menjadi tantangan bagi para dokter umum yaitu terkadang tidak lah
gampang mendiagnosis appendisitis pada kesempatan pertama, karena sering
disamarkan dengan kondisi lain seperti dyspepsia, adenitis mesenterial, adnexitis,
PID, kista terpuntir, ISK dan bahkan batu saluran kemih, yang kesannya setelah
diberikan obat-obatan terutama analgesia akan dirasakan seakan-akan sembuh.
32
Pilihan utama penanganan kasus appendisitis adalah operasi
appendektomi. Walaupun hingga saat ini banyak literatur yang mencoba
menunjukkan tatalaksana non operatif, namun belum dapat diterima secara umum.
Hal ini dikarenakan sekali terjadi kondisi appendisitis, dan hanya ditangani
dengan penanganan konservatif, maka akan berkembang menjadi kondisi kronis,
dimana keluhan akan tetap dirasakan walaupun hilang timbul.
Seiring dengan diagnosis dan penanganan dini di IGD, prognosis pasien
ini adalah bonam. Keterlambatan diagnosis dan penanganan bedah akan
meningkatkan risiko komplikasi, bahkan dapat berakhir dengan kematian.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35
10. Fransisca, C., Gotra, I. M., & Mahastuti, N. M. (2019). Karakteristik
Pasien dengan Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2015-2017. Jurnal Medika Udayana, 8(7).
11. Suprayitno, J., Budiman, R., & Ruchimat, T. (2020). Peran Fibrinogen
Serum sebagai Prediktor Perforasi pada Pasien Apendisitis Akut di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung 2018. Jurnal llmu Bedah Indonesia, 48(1), 3-
14.
12. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s
Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI,
Ellis H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001:
1191-222
13. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol
1. Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass
HI, Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
14. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery
of Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 1466-78
15. Kusharto, C. M. (2006). Serat makanan dan perannya bagi
kesehatan. Jurnal gizi dan pangan, 1(2), 45-54.
16. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy
of Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at
October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html
17. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the
Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?
artid=1294889&blobtype=pdf
18. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif
19. Abdillah, A. (2020). Hubungan Jumlah Leukosit Dan Rasio Neutrofil
Limfosit Dengan Kejadian Komplikasi Pada Pasien Apendisitis Akut=
Relationship of Leukocyte count and Neutrophil Lymphocyte ratio with
36
Complication events in Acute Appendicitis patients (Doctoral dissertation,
Universitas Hasanuddin).
20. Finansah, Y. W., Prastya, A. D., & Mawaddatunnadila, S. (2021). Tata
Laksana Apendisitis Akut di Era Pandemi Covid-19. Proceeding
Umsurabaya.
21. Wijaya, W., Eranto, M., & Alfarisi, R. (2020). Perbandingan Jumlah
Leukosit Darah Pada Pasien Appendisitis Akut Dengan Appendisitis
Perforasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 9(1), 341-346.
22. Pratiwi, D. B. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi
Apendiktomi Dengan Gangguan Rasa Nyaman: Nyeri (Doctoral
dissertation, STIKES Muhammadiyah Klaten).
23. Firdaus, I. M. S. (2015). Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada
Pasien Operasi Apendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung
Provinsi Bali Tahun 2011. Skripsi Program Sarjana, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
24. Takada, T., Nishiwaki, H., Yamamoto, Y., Noguchi, Y., Fukuma, S.,
Yamazaki, S., & Fukuhara, S. (2015). The role of digital rectal
examination for diagnosis of acute appendicitis: a systematic review and
meta-analysis. PLoS One, 10(9), e0136996.
25. Hosseini, A., Omidian, J., & Nazarzadeh, R. (2018). Investigating
diagnostic value of ultrasonography in acute appendicitis. Advanced
Biomedical Research, 7.
26. Amoli, H. A., Golozar, A., Keshavarzi, S., Tavakoli, H., & Yaghoobi, A.
(2008). Morphine analgesia in patients with acute appendicitis: a
randomised double-blind clinical trial. Emergency Medicine
Journal, 25(9), 586-589.
37