Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

APPENDISITIS AKUT

dr. Erik Ahmad Hasyim

Dokter Pembimbing:

dr. Dayang Marta Susilawati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M TH DJAMAN

SANGGAU

2022

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama Dokter Internsip : dr. Erik Ahmad Hasyim

Judul Laporan kasus : Appendisitis Akut

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Program Dokter Internsip


Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah M TH Djaman Sanggau.

Sanggau, Januari 2022

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Dayang Marta Susilawati

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena
berkat dan rahmat-Nya sehingga laporan kasus Program Dokter Internsip
Indonesia ini dapat kami selesaikan. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.
Dayang Marta Susilawati sebagai pembimbing sekaligus pendamping PIDI kami
yang telah memberi masukan dan saran dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun sebagai upaya integrasi standar profesi pada
praktik kedokteran dengan pemahiran dan pemandirian kompetensi peserta PIDI.
Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini, dapat dihasilkan suatu kesatuan
yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai penyakit yang akan dibahas.
Laporan kasus ini mengenai topik Appendisitis Akut. Penulis menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun
sistematika penulisan. Oleh karena itu, kami mohon maaf dan dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan ke depannya.

Sanggau, Februari 2022

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.


Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang
berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali
menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau
Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera
dilakukan tindakan bedah.1
Appendisitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering
ditemukan. Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia. Semua kasus
appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix yang terinflamasi,
baik dengan laparotomi maupun dengan laparoscopi. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama
yang menjelaskan bahwa Appendisitis akut merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.2

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendix Vermicularis


A. Anatomi, Fisiologi, dan Embriologi
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di
antara Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5
kehamilan dan Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu
tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi
kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis.
Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir
pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan
Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi
Caecum.2,3,4

Gambar 2.1 Appendix Vermicularis5


Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica.
Gambaran histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid
pada submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih
nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang
dewasa.2,3

5
Gambar 2.2 Potongan Transversa Appendix6
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot
yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas
vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.7
 Tunika Mukosa: memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
 Tunika Submukosa: banyak folikel lymphoid.
 Tunika Muskularis: stratum circulare sebelah dalam dan
stratum longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah luar.
 Tunika Serosa: bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus.8
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm,
dengan rata-rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan
dengan Taenia caealis pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi
lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang

6
akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix
mengalami peradangan.3,4

Gambar 2.3 Variasi lokasi Appendix vermicularis3


Jenis-jenis Posisi Appendiks:7
1. Promontorik: ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium sacri.
2. Retrocolic: appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
3. Antecaecal: appendiks berada di depan caecum.
4. Paracaecal: appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
5. Pelvic Descenden: appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
6. Retrocaecal: intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke
atas ke belakang caecum.
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-
akhir ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif
mensekresikan Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun
Appendix merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated
Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak
akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi
lainnya.9

7
2.2 Appendisitis
A. Definisi
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.1
B. Insidensi
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada
anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1.4
C. Etiologi10,11
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen,
diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses
inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar
65% merupakan appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
appendicitis gangrenous dengan ruptur.
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.
D. Patofisiologi
1. Obstruksi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta.
Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar
20% pada anak dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan
perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia

8
jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris
vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata,
dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau
akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat
diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat
pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat
terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji
sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor
lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress
psikologis, dan herediter.12
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses
inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta
sederhana, sekitar 65% pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa
perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa dengan
perforasi.3,4,12,13

Gambar 2.4 Appendicitis (dengan fecalith)14


Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal
dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi.
9
Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL
pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60
cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau
di bawah epigastrium.4
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak
terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan
nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa
Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan
perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.4,12,13
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan
terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang
melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling
sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi,
invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi
biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik.3,4,12,13
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami
gejala gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan,
perubahan kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan
penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.12
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri
awal ini bersifat nyeri tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin
bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah
timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat
dipikirkan diagnosis lain.12
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik
bagi perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan

10
intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang
lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal
Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan
aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan
intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan
invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika
eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan
dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan
nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang
berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau
keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi
Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal
atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas
ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap
perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu
melebihi 38.6oC, leukositosis >14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi,
dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak
omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi
akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau

11
remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan
fisik.12
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai.
Diare sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu
yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.12
2. Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora
Appendix normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari
Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang
didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen
merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan
mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan
Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis
perforata.3,4,13
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa
kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada
pasien yang mengalami perforasi.4 Flora normal pada Appendix sama
dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap
konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya
terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix,
Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan
Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan
anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.3,4,13

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob


Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis

12
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.
Tabel 2.1 Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta.4
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis
perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil
kultur selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi,
organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur
organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal
harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat
dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess
setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam
pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata,
antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau
pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada
drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi.4,12
3. Diet dan Higiene15
Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang
Barat dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula
buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan.
Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada
orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang
memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan
motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai
kecenderungan untuk timbul fecalith.
E. Gejala dan Tanda Klinis

13
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam,
dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama
Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus
terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang
timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri
yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi
Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang
panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di
daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis,
retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.2,3,4,13,14
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,
biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis.
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua
kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan
munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan
muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis
diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada
diagnosis gastroenteritis. 4,14

Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare
timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah
terjadinya perforasi Appendix.2,4,14

14
Tabel 2.2 Gejala Appendicitis acuta.16
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor
>6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah
Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan
hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan
radang akut.17

Tabel 2.3 Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.4


Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor
>6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.4
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan
dengan tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri
pada nyeri lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix
retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign,
obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik.

15
Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik,
khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering
terlambat sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal
perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan
anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri. Appendix
umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya
nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak
pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.12
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun,
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda
Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal toucher tidak
diperlukan lagi.12
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:18
1. Rovsing’s Sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada
Appendicitis namun tidak spesifik.
2. Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa
memegang lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya.
Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah
anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan
kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini
tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
3. Obturator sign

16
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan
pada telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi
lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien
dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di
hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini
menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M.
Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya
hernia obturatoria.
4. Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya.
Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien
merasakan nyeri di RLQ.
5. Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri
pada saat dilakukan perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan
peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.
6. Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri
di flank saat tungkai kanannya ditekuk.
7. Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
8. Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada
abscess di cavum Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
9. Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi
lateral
10. Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)
F. Pemeriksaan Laboratorium2,4,12,13
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm 3, biasanya
didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering

17
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis
Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih
lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel
darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung
leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%,
dan spesifisitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi
dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau
eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh
inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta dalam sample urine catheter
tidak akan ditemukan bakteriuria.
G. Pemeriksaan Radiologi19,20
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan
sangat mendukung diagnosis.
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal, divertikulum
Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease (PID) dapat
menyebabkan positif palsu pada hasil USG.

18
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT
scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada
penemuan tidak spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan
appendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 48-50%.
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah
diagnosis dari akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak
spesifik untuk suatu penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi
atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat
diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di sekitar cavum
peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti Appendicitis
acuta.4,12
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun
pada umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan
oleh Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau
tidak akan menjadi lebih buruk dengan pembedahan.4,12
Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi
anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple
sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien.4,12 Diantaranya
sebagai berikut:
1. Adenitis Mesenterica Acuta
2. Gastroenteritis akut
3. Penyakit urogenital pada laki-laki.
4. Diverticulitis Meckel
5. Intususseption
6. Chron’s enteritis
7. Perforasi ulkus peptikum

19
8. Epiploic appendagitis
9. Infeksi saluran kencing
10. Batu Urethra
11. Peritonitis Primer
12. Purpura Henoch–Schonlein
13. Yersiniosis
14. Kelainan–kelainan ginekologi
I. Komplikasi21
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan appendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah:
1. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
2. Suhu tubuh naik tinggi sekali.
3. Nadi semakin cepat.
4. Defance muscular yang menyeluruh.
5. Perut distended.
6. Bising usus berkurang.
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya:
1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk
ke rongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
J. Penatalaksanaan22,23
Penatalaksanaan definitif appendicitis adalah dengan apendektomi.
Rujuk pasien ke rumah sakit dengan fasilitas ruang operasi untuk melakukan
apendektomi. Walau demikian, pada appendicitis akut dengan kondisi khusus

20
seperti tidak ada akses untuk operasi atau apendektomi berisiko tinggi bagi
pasien, pemberian terapi nonbedah berupa antibiotik dapat menjadi pilihan.
Appendektomi dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparatomi.
Appendektomi melalui laparoskopi memiliki beberapa keunggulan yaitu nyeri
pasca operasi yang lebih ringan, hasil estetik yang lebih baik, risiko infeksi
yang lebih rendah, dan waktu penyembuhan yang lebih cepat.
Observasi aktif atau antibiotik dapat menjadi pilihan pada keadaan
tertentu. Antibiotik yang menjadi pilihan untuk appendicitis adalah antibiotik
spektrum luas yang mencakup bakteri aerob dan anaerob. Berikan antibiotik
IV selama perawatan dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama 7 hari.
Contoh antibiotik yang dapat menjadi pilihan adalah cefotaxime,
levofloxacin, metronidazole, gentamisin.
Studi telah membandingkan efektivitas antibiotik oral saja dan
kombinasi antibiotik oral bersama antibiotik intravena untuk terapi
appendicitis akut. Hasil menunjukkan bahwa keduanya efektif, tetapi
kombinasi antibiotik oral bersama antibiotik intravena lebih superior.
Penggunaan antibiotik bila dibandingkan dengan appendektomi dapat
bermanfaat pada appendicitis yang tidak memiliki komplikasi. Namun harus
diingat bahwa penggunaannya perlu mempertimbangkan tingkat edukasi
pasien dan askes terhadap layanan kesehatan. Pasien yang mampu mengerti
mengenai risiko kekambuhan serta memiliki akses yang baik terhadap
layanankesehatan dapat dipertimbangkan untuk mendapat antibiotik saja.
Pada pasien dengan suspek appendicitis, pemberian asupan via oral
dihindari. Lakukan pemasangan IV line 3-jalur, untuk pemberian cairan dan
obat, serta pengambilan sampel darah. Berikan analgesik dan antiemetik
secara parenteral, bilamana perlu. Berikan antibiotika spektrum luas untuk
kuman aerob dan anaerob secara intravena kepada pasien yang menunjukkan
tanda klinis septikemia, atau kepada pasien yang akan menjalani
apendektomi.
K. Prognosis4

21
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per
100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor-
faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis
adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik,
ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang
mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi. Prognosis appendicitis akan
membaik dengan diagnosis dan penanganan dini karena jika terlambat akan
meningkatkan risiko komplikasi, bahkan dapat berakhir dengan kematian.

BAB III

PRESENTASI KASUS

IDENTITAS

22
 Nama : Ny. MM
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 39 tahun
 Agama : Katholik
 Alamat : Dsn. Sebuduh Kembayan
 Pekerjaan : IRT
 Status : BPJS
 Tanggal Periksa : 10 Januari 2022 (14.15 wib)
 No. RM : 0516xx

A. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh melalui autoanamnesis terhadap pasien dan
aloanamnesis terhadap suami pasien.

Keluhan Utama
Nyeri perut sejak 3 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh nyeri perut sejak 3 hari SMRS. Nyeri terasa di bagian
perut kanan bawah dan menjalar ke belakang daerah pinggang. Nyeri terasa
seperti ditusuk-tusuk. Nyeri awalnya hilang-timbul dan mulai menetap sejak
kemarin sore. Nyeri tidak terkait dengan aktifitas fisik.
Nyeri perut disertai dengan munculnya demam sejak kemarin. Demam
muncul perlahan dan naik turun dengan obat penurun panas. Pasien juga
mengeluh mual dan nafsu makan yang menurun. BAB dan BAK baik. Haid
terakhir 1 minggu lalu.
Makan terakhir 2 jam SMRS. Obat yang diminum: parasetamol 500
mg (12.00 wib).

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa: disangkal
 Riwayat Maag: diakui

23
 Riwayat SC 2 kali (tahun 2007 dan 2014)
 Riwayat alergi: Kotrimoksazol
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Stroke : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Kolestrol Tinggi : disangkal
 Riwayat Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Penyakit Paru : disangkal
 Riwayat Penyakit Liver : disangkal
 Riwayat Operasi: disangkal
 Riwayat Obat-obatan rutin: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat penyakit ginjal : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat penyakit liver : disangkal
 Riwayat stroke : disangkal

Riwayat Kebiasaan dan Perilaku


Pasien merupakan Ibu Rumah Tangga dari seorang Suami yang
berprofesi sebagai PNS, keduanya tinggal di Kecamatan Kembayan
bersama 2 orang anaknya. Kebiasaan makan 3 kali/hari, cukup sayur

24
dan buah-buahan. Kebiasaan olahraga kurang. Pasien tidak merokok
dan tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.

B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: Tampak sakit sedang.
Kesadaran: Compos mentis.
Tanda vital:
- TD (Tekanan Darah): 80/60 mmHg
- HR (Nadi) : 108x/menit, reguler, kuat angkat
- RR (Laju Nafas) : 21x/menit
- Suhu : 36,7oC
- SpO2 : 98% free air
- BB : 65 Kg
- TB : 163 cm
- IMT : 24,5 Kg/m2
Status Internus
1. Kepala-Leher
Mata : Konjungtiva anemis (-); Sklera ikterik (-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa oral basah; Sianosis (-)
Leher : Soepl; Trakea di tengah; Pembesaran KBG (-)
2. Thorax
 Inspeksi : Bentuk simetris; Pergerakan simetris; Retraksi (-)
 Palpasi : Massa tumor (-); Vocal fremitus tidak diperiksa;
Pergerakan napas normal
 Perkusi : Suara ketuk sonor dextra et sinistra
 Auskultasi :
 Pulmo: Suara napas vesikuler; Rhonki (-);
Wheezing (-)

25
 Cor: S1S2 tunggal, reguler; Mur-mur (-);
Gallop (-)
3. Abdomen
 Inspeksi : Soepl; Guarding (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) 3x/min
 Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (+) regio lumbal kanan dan
inguinal kanan, hepar dan lien tidak teraba, murphy’s sign (-)
 Perkusi : Timpani (+), ascites (-) , ketuk CVA (-/-)
4. Ekstremitas
Extremitas hangat
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-
5. Pemeriksaan Khusus
Psoas Sign (+)
Obturator Sign (+)
Rovsign Sign (+)
McBurney’s Point (+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Polos Thorax dan Abdomen

26
Interpretasi Thorax PA:
 Foto polos thorax Ny. MM
 Inspirasi adekuat
 Penetrasi cukup
 Simetris, angulasi (-)
 Proyeksi PA
 Trakea baik, tidak devisasi
 Jantung tidak membesar, CTR ≤ 50%
 Mediastinum baik, tidak melebar
 Hilus baik, tidak menebal
 Corakan bronkovaskuler baik, tidak tampak kelainan
 Sudut kostophrenikus baik, kiri dan kanan
 Diafragma baik
 Tulang-tulang intak
 Jaringan lunak baik
Kesan: Foto thorax tidak tampak kelainan

Interpretasi Abdomen AP:


 Foto polos abdomen Ny. MM
27
 Penetrasi cukup
 Simetris
 Proyeksi AP
 Udara usus sampai distal
 Tidak tampak massa
 Ginjal tidak tampak kalsifikasi abnormal
 Tulang kosta, pelvis, sacrum, dan vertebra intak, tidak tampak
kelainan
 Psoas muscle’s line simetris
Kesan: Foto Abdomen tidak tampak kelainan

2. Hematologi

Parameter Hasil Angka Normal Satuan


Hemoglobin 14,2 12-16 g/dl
Jumlah Lekosit 19,82 5-10 103/uL
Neutrofil 19,15 2-7,5 103/uL
Eosinofil 0,04 0-5 103/uL
Limfosit 0,38 1,3-4 103/uL
Monosit 0,24 0,15-0,7 103/uL
Hematokrit 37,5 36-48 %
MCV 91,4 76-96 fL
MCHC 37,9 30-35 g/dl
MCH 34,6 27-32 pg
Jumlah Trombosit 182 150-400 103/uL
Swab Antigen Negatif Negatif -
Covid-19
GDS 138 76-200 mg/dl
HbsAg Negatif Negatif -
HIV Negatif Negatif -
Bleeding Time 2’30” 1’-3’ Menit
Clothing Time 5’30” 1’-6’ Menit

28
D. DIAGNOSA KERJA

Appendisitis Akut dd Perforasi

E. PENATALAKSANAAN

Resusitasi RL/D5 2 L
IVFD RL/D5 drip Antrain/Tramadol (1:1) 30 tpm
Ij. Ketorolac 30 mg/8 jam iv
Ij. Ondansetron 4 mg/12 jam iv
Ij. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Ij. Ceftriaxone 1 gr/12 jam iv
Inf. Metronidazole 500 mg/8 jam iv
DC

29
BAB IV

DISKUSI

Anamenesis pada kecurigaan appendicitis akut pada pasien dewasa yang


terpenting ada beberapa:
 Nyeri perut yang diawali di sekitar pusar atau ulu hati kemudian
berpindah ke kanan bawah dan menetap
 Diikuti mual dan muntah setelah nyeri tersebut
 Suhu badan naik subfebris (sampai 38 derajat celcius)
Apendicitis akut merupakan bagian dari kasus akut abdomen, dan pada
akut abdomen kuncinya adalah history (anamnesis) yang baik untuk membedakan
dengan diagnosis banding akut abdomen yang lain. Pada pasien ini keluhan nyeri
perut langsung dirasakan di bagian perut kanan bawah dan menjalar ke belakang
daerah pinggang. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk. Nyeri awalnya hilang-timbul
dan mulai menetap sejak kemarin sore. Nyeri tidak terkait dengan aktifitas fisik.
Nyeri perut diikuti dengan munculnya demam dan mual tanpa muntah serta nafsu
makan yang menurun. Nyeri perut yang hilang timbul, nyeri tersebut merupakan
nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini disebabkan oleh
sekresi mukus yang terus berlanjut sehingga tekanan terus meningkat.
Penegakan diagnosis secara cepat dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas. Akan tetapi jika terjadi overdiagnosis, apendektomi yang dikerjakan
akan sia-sia. Oleh karena itu perlu penegakan diagnosis yang tepat dan sedini
mungkin untuk mencegah komplikasi appendicitis. Diagnosis appendicitis
ditegakkan berdasarkan penilaian klinis yang meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis juga dapat dibantu
dengan menggunakan sistem skoring.

30
Tabel 2.3 Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi skor Alvarado adalah sebagai berikut:
 5-6 : Kemungkinan appendicitis (compatible)
 7-8 : Kemungkinan besar appendicitis (probable)
 9-10 : Pasti appendicitis (very probable)
Skor Alvarado pada pasien ini adalah 9 (minus “migrasi nyeri”). Pasien
sebaiknya dilakukan tindakan apendektomi jika skor ≥7. Jika skor 5-6 disarankan
untuk observasi dan dilakukan evaluasi ulang tiap empat atau enam jam.
Kemungkinan penyakit lain harus dipikirkan jika skor <5.
Untuk pemeriksaan rektal (colok dubur) atau digital rectal examination
(DRE) dulu memang menjadi pemeriksaan yang digunakan untuk membantu
penegakan diagnosis appendisitis akut, namun saat ini pemeriksaan tersebut telah
diteliti melalui telaah sistematik dan didapatkan hasil bahwa pemeriksaan rektal
tidak rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis appndisitis akut. Hal ini
disebabkan karena letak appendix yang sangat bervariasi.24
Untuk pemeriksaan USG abdomen, lebih digunakan untuk mengeksklusi
penyakit lain yang menjadi diagnosis banding dari appendisitis akut, misalnya
kehamilan ektopik terganggu, kista ovarium terpuntir dan batu saluran kemih.
Pemeriksaan USG abdomen juga dapat digunakan pada kondisi kecurigaan
appendisitis akut yang sudah mengalami komplikasi misalnya perforasi. Sehingga
pemeriksaan ini juga tidak rutin dilakukan.25
USG abdomen memiliki kekurangan yaitu operator dependent.
Appendicogram hanya digunakan secara terbatas dan bukan merupakan alat gold
standar penegakan diagnosis appendisitis. Sedangkan CT scan abdomen dapat

31
digunakan untuk menegakkan diagnosis appnedicitis, namun perlu
dipertimbangkan efek radiasi pengion dan biaya yang relatif mahal.
Pada pasien ini diberikan cairan resusitasi berdasarkan tekanan darah
80/60 mmHg dan nadi 108x/min. Resusitasi cairan merupakan tata laksana yang
paling sering dilakukan pada manajemen kasus akut. Secara umum, resusitasi
cairan diindikasikan pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik yang dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti sepsis, trauma, maupun gangguan
kardiovaskuler. Tindakan resusitasi cairan ini dilakukan sebagai tindakan life-
saving sebelum klinisi mencari sebab dari ketidakstabilan hemodinamik. Diantara
tanda-tanda tersebut diantranya:
 Tekanan darah diastolik < 100mmHg
 Denyut jantung > 90 kali per menit
 Capillary refill time > 2 detik
 Laju pernafasan > 20 kali per menit
Pada pasien ini diberikan antibiotik di IGD berupa Ij. Ceftriaxone 1 gr/12
jam iv dan Inf. Metronidazole 500 mg/8 jam iv sebagai terapeutik, yakni sebelum
dilakukan operasi appendektomi. Adapun sebagai profilaksis, maka diberikan 1
jam sebelum insisi. Pada kasus juga diberikan drip Antrain + Tramadol (1:1)
dalam RL 30 tpm serta Ij. Ketorolac 30 mg/8 jam iv. Pemberian analgesia pada
kasus appendisitis akut hingga saat ini memang masih menjadi kontroversi.
Namun, sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa pemberian analgesia
pada kasus appendisitis akut tidak mengurangi akurasi dalam penegakan
diagnosis. Hal ini disebabkan memang masih kurangnya pemahaman dari proses
penyakit itu sendiri, dimana proses rangsang peritoneal terjadi pada appendisitis
akut, dimana akan tetap berlangsung selama appendix vermiformis tersebut
meradang.26
Yang menjadi tantangan bagi para dokter umum yaitu terkadang tidak lah
gampang mendiagnosis appendisitis pada kesempatan pertama, karena sering
disamarkan dengan kondisi lain seperti dyspepsia, adenitis mesenterial, adnexitis,
PID, kista terpuntir, ISK dan bahkan batu saluran kemih, yang kesannya setelah
diberikan obat-obatan terutama analgesia akan dirasakan seakan-akan sembuh.
32
Pilihan utama penanganan kasus appendisitis adalah operasi
appendektomi. Walaupun hingga saat ini banyak literatur yang mencoba
menunjukkan tatalaksana non operatif, namun belum dapat diterima secara umum.
Hal ini dikarenakan sekali terjadi kondisi appendisitis, dan hanya ditangani
dengan penanganan konservatif, maka akan berkembang menjadi kondisi kronis,
dimana keluhan akan tetap dirasakan walaupun hilang timbul.
Seiring dengan diagnosis dan penanganan dini di IGD, prognosis pasien
ini adalah bonam. Keterlambatan diagnosis dan penanganan bedah akan
meningkatkan risiko komplikasi, bahkan dapat berakhir dengan kematian.

33
BAB V
KESIMPULAN

Ny. MM 39 tahun datang ke IGD RSUD M Th Djaman pada tanggal 10


Januari 2022 pukul 14.15 WIB dengan keluhan nyeri perut sejak 3 hari SMRS.
Nyeri dirasakan di bagian perut kanan bawah dan menjalar ke belakang daerah
pinggang. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk. Nyeri awalnya hilang-timbul dan
mulai menetap sejak kemarin sore. Nyeri tidak terkait dengan aktifitas fisik. Nyeri
perut diikuti dengan munculnya demam dan mual tanpa muntah serta nafsu makan
yang menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 80/60 mmHg
dan nadi 108x/min, nyeri tekan di regio lumbal kanan dan inguinal kanan, Psoas
Sign (+), Obturator Sign (+), Rovsign Sign (+), dan McBurney’s Point (+).
Pemeriksaan hematologi menunjukkan leukositosis dan shift to the left.
Pemeriksaan foto polos thorax dan abdomen dalam batas normal. Pasien
didiagnosis dengan Appendisitis Akut dd Perforasi, mendapatkan terapi resusitasi
cairan dengan kristaloid, analgetik, antibiotik, serta terapi simptomatik tambahan
untuk mual dan mengatasi stres lambung selama perawatan. Pasien dijadwalkan
untuk appendektomi. Prognosis pasien ini adalah bonam.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Bartimeus, H. (2021). Hubungan Hiperbilirubinemia Dengan Derajat


Keparahan Appendicitis Akut= The Relationship of Hyperbilirubinemia
With The Severity Of Acute Appendicitis (Doctoral dissertation,
Universitas Hasanuddin).
2. Doherty, G. M., & Way, L. W. (2006). Current surgical diagnosis &
treatment. In Current surgical diagnosis & treatment.
3. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of
Surgery. 17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
4. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn
DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc.
2005:1119-34
5. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From:
http://www.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
6. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/
Appendicitis1x.jpg
7. Martin RF. Acute appendicitis in adults: Clinical manifestations and
differential diagnosis. In: Post TW, ed. UpToDate. Waltham, MA:
UpToDate. https://www.uptodate.com/contents/acute-appendicitis-in-
adults-clinical-manifestations-and-differential-diagnosis#H5346248.Last
updated: February 5, 2016.
8. Williams, N. S., Bullstrode, C. J., & O'Connell, P. R. (2010). Bailey &
Love's Short Practice of Surgery, 25th edn.
9. Vajdy, M., Sethupathi, P., & Knight, K. L. (1998). Dependence of
antibody somatic diversification on gut-associated lymphoid tissue in
rabbits. The Journal of Immunology, 160(6), 2725-2729.

35
10. Fransisca, C., Gotra, I. M., & Mahastuti, N. M. (2019). Karakteristik
Pasien dengan Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2015-2017. Jurnal Medika Udayana, 8(7).
11. Suprayitno, J., Budiman, R., & Ruchimat, T. (2020). Peran Fibrinogen
Serum sebagai Prediktor Perforasi pada Pasien Apendisitis Akut di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung 2018. Jurnal llmu Bedah Indonesia, 48(1), 3-
14.
12. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s
Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI,
Ellis H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001:
1191-222
13. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol
1. Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass
HI, Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
14. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery
of Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 1466-78
15. Kusharto, C. M. (2006). Serat makanan dan perannya bagi
kesehatan. Jurnal gizi dan pangan, 1(2), 45-54.
16. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy
of Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at
October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html
17. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the
Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?
artid=1294889&blobtype=pdf
18. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif
19. Abdillah, A. (2020). Hubungan Jumlah Leukosit Dan Rasio Neutrofil
Limfosit Dengan Kejadian Komplikasi Pada Pasien Apendisitis Akut=
Relationship of Leukocyte count and Neutrophil Lymphocyte ratio with

36
Complication events in Acute Appendicitis patients (Doctoral dissertation,
Universitas Hasanuddin).
20. Finansah, Y. W., Prastya, A. D., & Mawaddatunnadila, S. (2021). Tata
Laksana Apendisitis Akut di Era Pandemi Covid-19. Proceeding
Umsurabaya.
21. Wijaya, W., Eranto, M., & Alfarisi, R. (2020). Perbandingan Jumlah
Leukosit Darah Pada Pasien Appendisitis Akut Dengan Appendisitis
Perforasi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 9(1), 341-346.
22. Pratiwi, D. B. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Post Operasi
Apendiktomi Dengan Gangguan Rasa Nyaman: Nyeri (Doctoral
dissertation, STIKES Muhammadiyah Klaten).
23. Firdaus, I. M. S. (2015). Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada
Pasien Operasi Apendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung
Provinsi Bali Tahun 2011. Skripsi Program Sarjana, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
24. Takada, T., Nishiwaki, H., Yamamoto, Y., Noguchi, Y., Fukuma, S.,
Yamazaki, S., & Fukuhara, S. (2015). The role of digital rectal
examination for diagnosis of acute appendicitis: a systematic review and
meta-analysis. PLoS One, 10(9), e0136996.
25. Hosseini, A., Omidian, J., & Nazarzadeh, R. (2018). Investigating
diagnostic value of ultrasonography in acute appendicitis. Advanced
Biomedical Research, 7.
26. Amoli, H. A., Golozar, A., Keshavarzi, S., Tavakoli, H., & Yaghoobi, A.
(2008). Morphine analgesia in patients with acute appendicitis: a
randomised double-blind clinical trial. Emergency Medicine
Journal, 25(9), 586-589.

37

Anda mungkin juga menyukai