Oleh :
Oktafiani Tri Ananda
1840312253
Preseptor :
dr. Charlie Dicky Arnold, Sp.B
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis ilmiah berupa Case
Report Session yang berjudul Peritonitis Difus ec Appendisitis perforasi dapat
penulis selesaikan.
Terima Kasih penulis ucapakan kepada staf pengajar yang telah
membimbing penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Bedah, serta dr. Charlie Dicky Arnold, Sp.B sebagai pembimbing dalam penulisan
karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua di masa mendatang.
Penulis
2
BAB 1
PENDAHULUAN
penyebab tersering terjadinya akut abdomen pada dewasa muda. Insiden tertinggi
pada kelompok umur 20-30 tahun. Rasio kejadian antara laki-laki dan perempuan
sama2,7. Apendisitis secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks
obstruksi. Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran lendir apendiks,
kemudian nyeri menjalar di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis
khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus. Nyeri perut
kanan bawah ini dapat disertai dengan adanya keluhan mual dan muntah dan
dengan radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering
ditemukan. Pada apendisitis, tanda-tanda lain yang dapat ditemukan adalah nyeri
tekan dan nyeri lepas pada perut kanan bawah, terutama pada titik McBurney,
3
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan berdasarkan penemuan klinis dari
apendisitis pasien.
peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut, demam
tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan menghilang
karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang
paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang
4
Batasan penulisan case report session ini membahas mengenai anatomi,
BAB 2
5
TINJAUAN PUSTAKA
6
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia
caealis pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi
lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2
7
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir
ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT),
fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi
sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.2
1.2.1 Obstruksi
8
Gambar 4. Appendicitis (dengan fecalith) 8)
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-
samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2)
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat.
Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata.
Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7 )
9
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala
gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah
timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran
infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.
10
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut.
Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48
jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi
tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak
yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess
tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat
pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat
iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis.6
1.2.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri
jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix
yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi
mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan
iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada
perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis
perforata. 1,2,7)
11
yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi
dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7)
12
Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan
dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel,
carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih
jarang diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih
tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan
motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan
untuk timbul fecalith.
13
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul
2,3,8
pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah
terjadinya perforasi Appendix.12,13
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy,
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.11)
14
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.2
Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri
lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis
difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien
dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya
menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.12,13
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat
sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan
penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia.
Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.13
15
1.3.2 Tanda Klinis
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri
pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik
untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka
pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.6
16
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 10
Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan
pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae
dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa
nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan
adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
17
Gambar 7. Cara melakukan Obturator sign10)
Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.
Baldwin’s test
18
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk.
Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)
1.4.1 Laboratorium2,3,6,7)
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai
meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
19
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari
iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi
Appendix, pada Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan
ditemukan bakteriuria.
1.4.2.Ultrasonografi1,2,6,7)
20
tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu
banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya
pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan
dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena
tekanan.
21
USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan
diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan
percutaneous drainage secara tepat.
22
Gambar 11. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix
Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses
akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan
yang sama seperti Appendicitis acuta. 2,6)
2. Gastroenteritis akut
23
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi
akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya
diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului
terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.
4. Diverticulitis Meckel
5. Intususseption
24
6. Chron’s enteritis
8. Epiploic appendagitis
25
hematuria, dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu.
Pyelografi dapat memperkuat diagnosis.
13. Yersiniosis
26
adalah 32%–45% pada wanita usia 15–45 tahun. Penyakit–penyakit organ
reproduksi pada wanita sering dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan
urutan yang tersering adalah PID, ruptur folikel de Graaf, kista atau tumor
ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik. Laparoskopi
mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.
1.6 Komplikasi
Perforasi
Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini
biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura
appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Peritonitis pada
perforasi appendiks merupakan peritonitis sekunder.
Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
27
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.
Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro
atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa Appendix
terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur
lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik
dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses
radang.16Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut Appendicularis infiltrat. Peradangan
Appendix tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.17
28
1.7 Penatalaksanaan
a. Open Appendectomy
29
1.8 Komplikasi Post Operasi 1)
2. Hernia cicatricalis.
3. Ileus
1.9 Prognosis 2)
Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000
pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana
diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan
darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi
tepat sebelum terjadi perforasi.
30
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis
karena selain angka morbiditas tinggi, penanganan akan menjadi semakin
kompleks. Perforasi apendisitis dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut, demam tinggi dan kembung pada perut.
Bising usus dapat menurun bahkan menghilang karena ileus paralitik. Pus yang
menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang paling umum dijumpai pada
rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang dilakukan pada kondisi berat
ini adalah laparatomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang
ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparaskopi sehingga
pembilasan dilakukan lebih mudah12.
2. Peritonitis
2.1 Definisi
31
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. 15,16,17
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:
2.3. Patofisiologi
32
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.14
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.13,14,16
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.17
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.14,15
33
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.14,17
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.14,16
34
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain.16,17
2.5 Diagnosis
2.5.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut
nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi
atau sepsis juga perlu diperhatikan. 18
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak
baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis
hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan
karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga
abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien
bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin
berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan
syok sepsis.19
Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran
usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis
biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. 13,14
35
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat. 13,17
36
1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP ).
2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.14,19
2.8. Penatalaksanaan
Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna
37
dengan :22
- Memuasakan pasien
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
- Pemberian antibiotik yang sesuai
- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
1. Pemberian oksigen
Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh
pulse oximetri atau BGA.16
2. Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus
dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena
sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis
atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan
dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan
menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.16,22
3. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.16
4. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien
yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran
anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi
lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam.
Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan
terpapar spesies Candida. 16, 17
Definitif
Pembedahan
1. Laparotomi
38
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang
dikira. Tujuannya untuk : 21,22
- menghilangkan kausa peritonitis
- mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ
yang mengalami inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami
perforasi).
- Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-
laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan
peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau
timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang
terencana biasanya dibuat dengan membuka dinding abdomen dengan pisau bedah
sintetik untuk mencegah eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate
di RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada
relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu
diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga
memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support organ. Mengatasi
masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah sangat penting karena
sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
2. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami
inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan
appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan
pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok
dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.22
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada
dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada
39
banyak kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis
setelah laparotomi.
2.9. Komplikasi
1. Syok Sepsis13
Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU
2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten. 21
Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus
disertakan CT dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat anastomosis
in-situ). Re-laparotomi diperlukan apabila terdapat peritonitis generalisata.
Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan terbaik merupakan terapi pada
tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik disesuaikan dengan kultur yang diambil
dari hasil drainase. Sepsis abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%.
Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas adalah :
- Usia
- Penyakit kronis
- Wanita
- Sepsis pada daerah upper gastrointestinal
40
- Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.
3. Adhesi
Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.
2.10. Prognosa
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.13
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. AF
Usia : 15 tahun
Alamat : Kambang, Pesisir selatan
No. RM : 26.55.54
Tanggal Masuk : 24 Februari 2019
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Nyeri seluruh lapangan perut sejak 2 hari sebelum masuk RS.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri dirasakan di seluruh lapangan perut terutama di sekitar pusat sejak
41
BAB dengan konsisten cair berwarna kuning kecoklatan sejak 2 hari yang
lalu.
BAK tidak ada kelainan. Nyeri BAK tidak ada, BAK sering tidak ada.
pasien.
3.2.5 Riwayat Sosial Ekonomi dan lain-lain
- Pasien seorang pelajar SMP, dan memiliki riwayat kurang makan sayur
dan buah.
- Riwayat kebiasaan: merokok (-) minum alkohol (-) penyalahgunaan obat
(-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Komposmentis
dan tiroid
Thorak : Jantung dan Paru dalam batas normal
Jantung
Inspeksi, iktus kordis tidak terlihat
Palpasi, iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi, atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial
42
Inspeksi, simetris kiri = kanan
Palpasi, fremitus kiri = kanan
Perkusi, sonor
Auskultasi, suara napas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak kelainan
Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di seluruh
lapangan perut
Rovsing sign (+) Blumberg sign (+)
Psoas sign (-)
Obturator sign (-)
Defans muscular (+) di seluruh lapangan perut.
Perkusi : tympani
Auskultasi : Bising usus menurun
Anus
Rectal Toucher : Anus tenang, Tonus muskulus sfingterani baik,
menyempit
43
Kesan : tampak ambaran udara bebas subdiafragma
3.5 Diagnosis
Peritonitis difus ec susp appendisitis perforasi
3.6 Penatalaksanaan
Rencana tindakan : Laparotomi eksplorasi
Laporan Operasi :
• Posisi supine dalam spinal anastesi
• Prosedur aseptik dan antiseptik
• Insisi midline bawah dan atas pusat
• Buka fascia, splitting muscle, buka peritoneum, keluar nanah
Medikamentosa :
44
- Pronalges supp 2 x 1
Diagnosis Post Op :
BAB 4
DISKUSI
Padang dengan keluhan utama nyeri seluruh lapangan perut sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit. Diagnosis pada pasien ini ditegakan melalui anamnesis,
pusar kemudian berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Keluhan ini
disertai dengan mual, dan penurunan nafsu makan. Kemungkinan diagnosis yang
45
bisa dipikirkan dari gejala pasien tersebut antara lain penyakit (akut abdomen)
yang berhubungan dengan organ-organ di regio perut kanan bawah antara lain:
berkala dan BAB berdarah yang merupakan gejala tersering pada penyakit
muntah. Buang air kecil juga tidak dirasakan nyeri, frekuensi tidak sering dan
tidak ada nyeri pada bagian suprapubis, sehingga tidak memungkinkan diagnosis
vesicolitiasis Diverticulitis kolon pada bagian perut kanan bawah juga mirip
dengan nyeri apendisitis, pada diverticulitis kolon terdapat gejala lain yaitu, mual,
epidemiologi apendisitis akut yang merupakan akut abdomen sering terjadi pada
usia muda. Gejala yang ditimbulkan pertama kali adalah nyeri perut kanan bawah
Anterior Superior Dextra dan umbilikus. Hal ini sesuai dengan karakteristik nyeri
yang didukung oleh adanya faktor pencetus berupa hiperplasia limfoid dan
obstruksi lumen apendix oleh berbagai sebab seperti fekalit, infestasi cacing, dan
46
lain-lain. Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks,
tekanan intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi
edem mukosa, submukosa, serosa hingga peritoneum visceral. Selama masa ini
terjadi nyeri visceral di periumbilikal yang disertai mual, muntah. Nyeri pada
perut kanan bawah terjadi 6-8 jam kemudian, Nyeri ini terjadi akibat inflamasi
berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina
peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut, demam
tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan menghilang
karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang
paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang
lapangan perut yang dirasakan terus menerus dan bertambah dengan adanya
pergerakan. Nyeri disertai dengan adanya mual, penurunan berat badan dan
47
demam. Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya nyeri tekan dan
nyeri lepas di seluruh lapangan perut. Adanya nyeri tekan dan nyeri lepas di
itu juga ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah apabila dilakukan
penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing Sign) dan nyeri saat dilepaskan
menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pemeriksaan lain yaitu Psoas Sign
dan Obturator Sign, keduanya tidak ditemukan pada pasien. Hal ini dapat
dimana jumlah nya meningkat dari nilai normal 5000-10000 mm3 yang
menunjukkan telah terjadinya infeksi pada pasien dan dalam kasus ini
menunjukan adanya nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada seluruh lapangan
perut, demam (+), mual (+), Rovsing dan Blumberg sign (+), Bising usus
eksplorasi sesegera mungkin. Pada penanganan kasus pasien ini, sudah dilakukan
48
dengan benar karena telah dilakukan laparotomi eksplorasi. Pada saat operasi,
ditemukan adanya nanah yangkeluar sebanyak 100 ml. Tampak infeksi colon
dengan melakukan anastomose end to end (wedging) dan reseksi appendiks. Dari
ec appendisitis perforasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-
34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
49
5.http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendic
itis1x.jpg
7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1.
Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,
Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
8 Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of
Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins. 2001: 1466-78
10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif
11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the
Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?
artid=1294889&blobtype=pdf
12. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing; 2006. H. 123-27.
13. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.
15. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
50
16. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
17. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
18. Putz R & Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia:Sobotta, jilid.2.Jakarta
:EGC
19. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
20. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
21. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
22. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen
dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma,
Binarupa Aksara, Jakarta
51