Anda di halaman 1dari 51

Case Report Session

PERITONITIS DIFUS EC APPENDISITIS PERFORASI

Oleh :
Oktafiani Tri Ananda
1840312253

Preseptor :
dr. Charlie Dicky Arnold, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD. M. ZEIN PAINAN

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya tulis ilmiah berupa Case
Report Session yang berjudul Peritonitis Difus ec Appendisitis perforasi dapat
penulis selesaikan.
Terima Kasih penulis ucapakan kepada staf pengajar yang telah
membimbing penulis selama menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Bedah, serta dr. Charlie Dicky Arnold, Sp.B sebagai pembimbing dalam penulisan
karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan segala kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua di masa mendatang.

Painan, Februari 2019

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Appendisitis atau peradangan pada appendix vermiformis merupakan

penyebab tersering terjadinya akut abdomen pada dewasa muda. Insiden tertinggi

pada kelompok umur 20-30 tahun. Rasio kejadian antara laki-laki dan perempuan

sama2,7. Apendisitis secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks

akibat infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat

obstruksi. Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran lendir apendiks,

dimana menyebabkan tekanan intralumen meningkat sehingga terjadi kolonisasi

bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada daerah tersebut.

Gejala yang ditimbulkan pada penderita appendisitis akut berupa nyeri

perut muncul mendadak dirasakan pada daerah epigastrium atau periumbilikus

kemudian nyeri menjalar di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis

khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus. Nyeri perut

kanan bawah ini dapat disertai dengan adanya keluhan mual dan muntah dan

anoreksia. Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien

dengan radang atau nyeri akut. Takikardia dan demam ringan-sedang sering

ditemukan. Pada apendisitis, tanda-tanda lain yang dapat ditemukan adalah nyeri

tekan dan nyeri lepas pada perut kanan bawah, terutama pada titik McBurney,

adanya Rovsing sign, Blumberg, Psoas sign dan Obturator sign.

3
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan berdasarkan penemuan klinis dari

anamnesis mengenai gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan

tanda-tanda yang khas apendisitis. Tatalaksana apendisitis adalah apendiktomi,

sebelum dilakukan tindakan operasi perlu pemberian medikamentosa berupa

analgetik, antibiotik dan obat simptomatik lainnya untuk mengurangi gejala

apendisitis pasien.

Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka

penanganan segera adalah perforasi. Perforasi merupakan komplikasi yang paling

ditakutkan pada apendisitis karena selain angka morbiditas tinggi, penanganan

akan menjadi semakin kompleks. Perforasi apendisitis dapat menyebabkan

peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut, demam

tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan menghilang

karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang

paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang

dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparatomi eksploratif untuk

membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi

drainase pus dengan laparaskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah12.

1.2 Tujuan penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk memahami serta

menambah pengetahuan tentang Apendisitis Perforasi.

1.3 Batasan Masalah

4
Batasan penulisan case report session ini membahas mengenai anatomi,

definisi, epidemiologi, etiologi dan patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,

penatalaksanaan dan prognosis Apendisitis perforasi.

1.4 Metode penulisan

Penulisan case report session ini menggunakan metode penulisan tinjauan

kepustakaan merujuk pada berbagai literatur.

BAB 2

5
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi, Fisiologi, dan Embriologi Appendix

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara


Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi
dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena
itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3

Gambar 1. Appendix vermicularis4)

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul
limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

6
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia
caealis pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang
terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi
lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

7
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir
ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT),
fungsinya tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi
sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.2

1.2 Etiologi dan Patofisiologi

1.2.1 Obstruksi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada
pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor
carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65%
pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus
Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7)

8
Gambar 4. Appendicitis (dengan fecalith) 8)

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-
samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2)

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat.
Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata.
Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7 )

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap


kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan
arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami
kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan
vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark
di batas antemesenterik. 1,2,6,7)

9
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala
gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.6
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah
timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran
infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.

10
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut.
Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48
jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi
tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak
yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess
tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat
pemeriksaan fisik.6
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat
iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis.6

1.2.2 Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri
jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix
yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi
mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan
iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada
perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis
perforata. 1,2,7)

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus


didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang
2)
mengalami perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada
Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali
Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri

11
yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi
dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7)

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta 2)

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-) Batang Gram (-)

Eschericia coli Bacteroides fragilis

Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.

Klebsiella sp. Fusobacterium sp.

Coccus Gr (+) Batang Gram (-)

Streptococcus anginosus Clostridium sp.

Streptococcus sp. Coccus Gram (+)

Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata


dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai,
seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur
dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara
spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan
keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan
pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan
antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada
Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga
leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi
antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi.
2,6)

1.2.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene 7)

12
Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan
dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel,
carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih
jarang diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih
tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan
motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan
untuk timbul fecalith.

1.3 Manifestasi Klinis

1.3.1 Gejala Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai


dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta
adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu
menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-
12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi
di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri,
sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ
menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan
1,2,3,7,8
nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix,


biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh
meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada
75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja.
Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya
gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah
mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. 2,8 Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis.

13
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan
banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul
2,3,8
pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah
terjadinya perforasi Appendix.12,13

Tabel 2. Gejala Appendicitis acuta 9)

Gejala* Frekuensi (%)

Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian


anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian 50
demam yang tidak terlalu tinggi)

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya
ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy,
dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.11)

Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

14
Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.2

Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang
menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri
lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis
difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien
dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya
menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.12,13

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan


tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri
lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal
menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan
Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal
toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien
dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.12

Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau
terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat
sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan
penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia.
Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.13

15
1.3.2 Tanda Klinis

Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan


gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya
jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis
letak retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter
sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.6

Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha


kanan, karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang.
Hal tersebut akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut
berkurang. 6

Gambar 5. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut10)

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa


letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360 o mengelilingi
pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri
di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis
dapat menyebabkan nyeri rectal.6

Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri
pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik
untuk Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka
pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.6

16
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 10

 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan
pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini
menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi
langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak
bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 6. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 10

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki
kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa
memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae
dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa
nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan
adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh
Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

17
Gambar 7. Cara melakukan Obturator sign10)

Gambar 8. Dasar anatomis Obturator sign10)

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan
positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan
perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada
auskultasi.

 Baldwin’s test

18
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat
tungkai kanannya ditekuk.

 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.

 Nyeri pada daerah cavum Douglasi


Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum
Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.

 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

1.4 Pemeriksaan Penunjang

1.4.1 Laboratorium2,3,6,7)

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan


pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan
shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus
dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada
Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa
abscess.

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai
meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.

Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥


11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%.

19
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari
iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi
Appendix, pada Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan
ditemukan bakteriuria.

1.4.2.Ultrasonografi1,2,6,7)

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.


Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus
yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal,
Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif
bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih.
Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari
Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran
tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis
Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan
tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis
Appendicitis acuta tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain
dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada
wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan
pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan
penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis
Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96%
dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan
wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.

USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.


Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang
dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak

20
tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu
banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya
pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan
dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena
tekanan.

Gambar 9.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 10)

1.4.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7)

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi


dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus,
hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada
foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus
kanan bawah.

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop


leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada

21
USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan
diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan
percutaneous drainage secara tepat.

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan


yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti,
memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.

Gambar 10. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata

dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1)

22
Gambar 11. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix

(panah) dengan appendicolith1)

1.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari
akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu
penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi
pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses
akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan
yang sama seperti Appendicitis acuta. 2,6)

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada


umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh
Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan
menjadi lebih buruk dengan pembedahan. 2,6)

Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi


dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang
perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien. 2,6)

1. Adenitis Mesenterica Acuta

Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada


anak-anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi
sekarang ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan
rasa sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada
Appendicitis. Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis
Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah penyakit yang self
limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera.

2. Gastroenteritis akut

23
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan
dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi
akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya
diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului
terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.

3. Penyakit urogenital pada laki-laki.

Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai


diagnosis banding Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis,
epididimitis akut, karena nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal
pada awal penyakit ini, Vesikulitis seminalis dapat juga menyerupai
Appendicitis namun dapat dibedakan dengan adanya pembesaran dan nyeri
Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.

4. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis


acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.

5. Intususseption

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk


membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat
berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah
umur 2 tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di
bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan
berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih
pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium
enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis
acuta sangat berbahaya.

24
6. Chron’s enteritis

Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan


leukositosis sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare
dan anorexia. Mual dan muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis
kepada enteritis namun tidak menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.

7. Perforasi ulkus peptikum

Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendicitis jika cairan


gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara
spontan menutup, gejala nyeri abdomen bagian atas menjadi minimal.

8. Epiploic appendagitis

Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder


dari torsi Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat
berlangsung hingga beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi
mual dan muntah, dan nafsu makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada
daerah yang terkena. Pada 25% kasus, nyeri berlangsung terus menerus hingga
epiploic appendage yang mengalami infark dioperasi.

9. Infeksi saluran kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat


menyerupai Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo
vertebra kanan, dan terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk
membedakan keduanya.

10. Batu Urethra

Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan


Appendicitis retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis,

25
hematuria, dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu.
Pyelografi dapat memperkuat diagnosis.

11. Peritonitis Primer

Peritonitis primer jarang menyerupai Appendicitis acuta simplex namun


dapat ditemukan gambaran yang sangat mirip dengan peritonitis difus
sekunder yang disebabkan oleh ruptur Appendix. Diagnosis ditegakkan
dengan aspirasi peritoneal. Bila ditemukan bakteri coccus pada pewarnaan
Gram, peritonitis tersebut adalah peritonitis primer dan terapinya adalah obat–
obatan. Bila ditemukan bermacam–macam bakteri, peritonitis tersebut adalah
peritonitis sekunder.

12. Purpura Henoch–Schonlein

Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus.


Nyeri abdomen merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi,
purpura dan nephritis juga hampir selalu ditemukan.

13. Yersiniosis

Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk


adenitis mesenterica, ileitis, colitis dan Appendicitis acuta. Umumnya
infeksinya ringan dan self limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis
sistemik yang umumnnya sangat fatal bila tidak diobati. Kecurigaan pada
diagnosis preoperatif tidak boleh menunda operasi, karena secara klinis
Appendicitis yang disebabkan oleh Yersinia tidak dapat dibedakan dengan
Appendicitis oleh sebab lainnya. Sekitar 5% dari kasus Appendicitis acuta
disebabkan oleh infeksi Yersinia.

14. Kelainan–kelainan ginekologi

Umumnya kesalahan diagnosis Appendicitis acuta tertinggi pada wanita


dewasa muda disebabkan oleh kelainan–kelainan ginekologi. Angka rata-rata
Appendectomy yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan

26
adalah 32%–45% pada wanita usia 15–45 tahun. Penyakit–penyakit organ
reproduksi pada wanita sering dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan
urutan yang tersering adalah PID, ruptur folikel de Graaf, kista atau tumor
ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik. Laparoskopi
mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.

 Pelvic Inflammatory Disease (PID)


Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah
kanan dapat menyerupai Appendicitis. Mual dan muntah hampir selalu terjadi
pada pasien Appendicitis. Pada pasien PID hanya sekitar separuhnya.

 Ruptur Folikel de Graaf


Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler serta
nyeri yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan
berasal dari ovarium kanan, dapat dikelirukan dengan Appendicitis. Nyeri dan
nyeri tekan agak difus. Leucositosis dan demam minimal atau tidak ada.
Karena nyeri ini terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut
mittelschmerz.

1.6 Komplikasi

 Perforasi
 Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini
biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi
saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura
appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Peritonitis pada
perforasi appendiks merupakan peritonitis sekunder.
Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

27
dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.

 Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro
atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi
oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa Appendix
terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur
lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik
dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses
radang.16Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut Appendicularis infiltrat. Peradangan
Appendix tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.17

Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai


dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa
sehingga terbentuk massa periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk
abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi
tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 17

28
1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7)

1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala


klinis dehidrasi atau septikemia.

2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral

3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.

4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.

5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur


dan didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.

Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika


profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan
single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

Teknik operasi Appendectomy 1,2,6,8):

a. Open Appendectomy

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting


c. Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk
pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy
sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian
bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit
akut ginekologi dari Appendicitis acuta.1)

29
1.8 Komplikasi Post Operasi 1)

1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces;


karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis.

2. Hernia cicatricalis.

3. Ileus

4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah


Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah
echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena
emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum.

1.9 Prognosis 2)

Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000
pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana
diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan
darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi
tepat sebelum terjadi perforasi.

1.10 Komplikasi Appendisitis

Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka


penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya
diawali dengan adanya masa periapendikuler terlebih dahulu. Masa
periapendikuler terjadi apabila gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk
usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh
setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko terjadinya abses dan
penyebaran pus dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga massa periapendikuler ini
adalah target operasi apendiktomi.

30
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis
karena selain angka morbiditas tinggi, penanganan akan menjadi semakin
kompleks. Perforasi apendisitis dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang
ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut, demam tinggi dan kembung pada perut.
Bising usus dapat menurun bahkan menghilang karena ileus paralitik. Pus yang
menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang paling umum dijumpai pada
rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang dilakukan pada kondisi berat
ini adalah laparatomi eksploratif untuk membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang
ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparaskopi sehingga
pembilasan dilakukan lebih mudah12.

2. Peritonitis

2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi


rongga abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari
luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup
Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering
kali masuk dari luar.13,14
2.2 Etiologi

Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder


1. Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang
langsungdari rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita : 15,16
- sirosis hepatis dengan asites
- nefrosis
- SLE
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis

31
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak
akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi. 15,16,17
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:

 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung


empedu, hepar, lien, kehamilan extra tuba yang pecah
 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii
pecah, ruptur buli dan ginjal.
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke
dalam
cavum peritoneal.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi
kuman, danakibat tindakan operasi sebelumnya. 14,15

2.3. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.14
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.

32
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.14
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi
sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.13,14,16
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.17
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat
seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah
epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh
perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase
peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium
berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.14,15

33
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.14,17
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai
organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai
dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia
sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat
dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah
lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi
gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritonium.14,16

2.4 Manifestasi Klinis


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di
bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.16
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.4 Rangsangan
ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran

34
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lain.16,17
2.5 Diagnosis
2.5.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut
nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan
pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi
atau sepsis juga perlu diperhatikan. 18
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak
baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis
hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan
karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga
abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien
bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin
berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan
syok sepsis.19
Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran
usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis
biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distended. 13,14

Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral


yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling
sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak
dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak
nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity)
menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri
somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada
inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan
tekanan15,17

35
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk
melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat. 13,17

Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,


adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani
karena adanya udara bebas tadi.19,20

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan


pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan
1,7
diagnosis. Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang
memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan
adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis, abses, atau adneksitis.
Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis. Colok dubur dapat pula
membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena pada paralisis
dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula
biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan
kelainan pada alat kelamin dalam perempuan. 13,14

Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara


bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau
menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal. 15, 20

2.5.2 Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk


pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 17, 19

36
1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP ).
2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.14,19

Gambar 3 Foto BNO pada peritonitis.8


2.5.3 Pemeriksaan Laboratorium
1.Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematokrit yang meningkat
2.BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar karbondioksida
yang disebabkan oleh hiperventilasi.
3. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi
dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.14, 21

2.7. Differential Diagnosa


Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,
gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu.16

2.8. Penatalaksanaan
 Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna

37
dengan :22
- Memuasakan pasien
- Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
- Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena
- Pemberian antibiotik yang sesuai
- Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya
1. Pemberian oksigen
Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh
pulse oximetri atau BGA.16
2. Resusitasi cairan
Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus
dikateterisasi untuk memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena
sentral dan penggunaan inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis
atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan
dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan
menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.16,22
3. Analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.16
4. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien
yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran
anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi
lini kedua diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam.
Terapi antifungal juga harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan
terpapar spesies Candida. 16, 17

 Definitif
Pembedahan
1. Laparotomi

38
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang
dikira. Tujuannya untuk : 21,22
- menghilangkan kausa peritonitis
- mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ
yang mengalami inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami
perforasi).
- Peritoneal lavage
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-
laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan
peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau
timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang
terencana biasanya dibuat dengan membuka dinding abdomen dengan pisau bedah
sintetik untuk mencegah eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate
di RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada
relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu
diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga
memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan support organ. Mengatasi
masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi adalah sangat penting karena
sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
2. Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami
inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan
appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan
pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok
dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.22
3. Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada
dinding sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada

39
banyak kejadian yang memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis
setelah laparotomi.

2.9. Komplikasi
1. Syok Sepsis13
Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU
2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten. 21
Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus
disertakan CT dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat anastomosis
in-situ). Re-laparotomi diperlukan apabila terdapat peritonitis generalisata.
Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan terbaik merupakan terapi pada
tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik disesuaikan dengan kultur yang diambil
dari hasil drainase. Sepsis abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%.
Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas adalah :
- Usia
- Penyakit kronis
- Wanita
- Sepsis pada daerah upper gastrointestinal

40
- Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.
3. Adhesi
Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.

2.10. Prognosa
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.13

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Tn. AF
Usia : 15 tahun
Alamat : Kambang, Pesisir selatan
No. RM : 26.55.54
Tanggal Masuk : 24 Februari 2019
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Nyeri seluruh lapangan perut sejak 2 hari sebelum masuk RS.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
 Nyeri dirasakan di seluruh lapangan perut terutama di sekitar pusat sejak

2 hari yang lalu.


 Nyeri awalnya dirasakan di sekitar pusar kemudian berpindah dan

menetap di perut kanan bawah


 Nyeri dirasakan terus menerus, bertambah dengan pergerakan
 Riwayat mual (+), muntah (-), penurunan nafsu makan (+) ,demam (+).

41
 BAB dengan konsisten cair berwarna kuning kecoklatan sejak 2 hari yang

lalu.
 BAK tidak ada kelainan. Nyeri BAK tidak ada, BAK sering tidak ada.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat alergi obat tidak ada
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada
Rriwayat asma, diabetes melitus, dan hipertensi tidak ada.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan

pasien.
3.2.5 Riwayat Sosial Ekonomi dan lain-lain
- Pasien seorang pelajar SMP, dan memiliki riwayat kurang makan sayur

dan buah.
- Riwayat kebiasaan: merokok (-) minum alkohol (-) penyalahgunaan obat

(-)
3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tekanan darah : 120/70 mmHg


Nadi : 98 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 36,4°C
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5 – 2 cmH2O, tidak teraba pembesaran kgb

dan tiroid
Thorak : Jantung dan Paru dalam batas normal
Jantung
Inspeksi, iktus kordis tidak terlihat
Palpasi, iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi, atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial

LMCS RIC IV)


Auskultasi, S1S2 reguler, murmur (-), bising (-)
Paru

42
Inspeksi, simetris kiri = kanan
Palpasi, fremitus kiri = kanan
Perkusi, sonor
Auskultasi, suara napas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak kelainan
Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di seluruh

lapangan perut
 Rovsing sign (+) Blumberg sign (+)
 Psoas sign (-)
 Obturator sign (-)
 Defans muscular (+) di seluruh lapangan perut.
Perkusi : tympani
Auskultasi : Bising usus menurun

Anus
Rectal Toucher : Anus tenang, Tonus muskulus sfingterani baik,

Mukosa licin dan tidak teraba adanya massa, ampula teraba

menyempit

Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat


3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Laboratorium

Hb : 15 g/dl

Ht : 42 %

Leukosit : 23.700 /mm3

Trombosit : 293.000/mm3
Kesan : Leukositosis
3.4.2 Rontgen abdomen

43
Kesan : tampak ambaran udara bebas subdiafragma
3.5 Diagnosis
Peritonitis difus ec susp appendisitis perforasi
3.6 Penatalaksanaan
Rencana tindakan : Laparotomi eksplorasi
Laporan Operasi :
• Posisi supine dalam spinal anastesi
• Prosedur aseptik dan antiseptik
• Insisi midline bawah dan atas pusat
• Buka fascia, splitting muscle, buka peritoneum, keluar nanah

kurang lebih 100ml, lakukan laparotomi eksplorasi.


Tampak infeksi colon descenden dengan penyumbatan colon descenden

oleh perlengketan di tempat infeksi operasi, Pada daerah operasi

dihilangkan sumbatan dengan melakukan anastomose end to end

(wedging) dan reseksi colon.


• Hentikan perdarahan. Cuci rongga peritoneum sampai bersih.
• Jahit luka operasi lapis demi lapis dengan meninggalkan drain.

Medikamentosa :

- IVFD Asering : Aminofluid 1:1 20 tpm


- Inj Meropenem 2 x 1 gr (IV)
- Inj Ranitidine 2x1gr (IV)
- Inj Metronidazole 3 x 500 mg (IV)
- Drip tramadol 2 x 1 (IV)

44
- Pronalges supp 2 x 1

Diagnosis Post Op :

Peritonitis Difus ec Appendisitis Perforasi

BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 15 tahun datang ke IGD RSUD M.Zein

Padang dengan keluhan utama nyeri seluruh lapangan perut sejak 2 hari sebelum

masuk rumah sakit. Diagnosis pada pasien ini ditegakan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

Keluhan nyeri seluruh lapangan perut ini awalnya dirasakan di sekitar

pusar kemudian berpindah dan menetap di perut kanan bawah. Keluhan ini

disertai dengan mual, dan penurunan nafsu makan. Kemungkinan diagnosis yang

45
bisa dipikirkan dari gejala pasien tersebut antara lain penyakit (akut abdomen)

yang berhubungan dengan organ-organ di regio perut kanan bawah antara lain:

appendisitis akut, Crohn’s disease, gastroentetitis, colic ureter, divertikulitis kolon,

limfadenitis mesentrika, dan lain-lain.


Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengalami nyeri yang

berkala dan BAB berdarah yang merupakan gejala tersering pada penyakit

Chron’s. Gastroentritis juga dapat disingkirkan dengan tidak adanya riwayat

muntah. Buang air kecil juga tidak dirasakan nyeri, frekuensi tidak sering dan

tidak ada nyeri pada bagian suprapubis, sehingga tidak memungkinkan diagnosis

vesicolitiasis Diverticulitis kolon pada bagian perut kanan bawah juga mirip

dengan nyeri apendisitis, pada diverticulitis kolon terdapat gejala lain yaitu, mual,

muntah, kembung dan konstipasi.Limfadenitis mesentrika biasanya didahulu oleh

gastroenteritis, dengan gejala nyeri dan perasaan mual.


Menurut Depkes (2006), apendisitis menempati urutan penyakit terbanyak

pada saluran cerna setelah gastritis dan duodenitis di Indonesia. Secara

epidemiologi apendisitis akut yang merupakan akut abdomen sering terjadi pada

usia muda. Gejala yang ditimbulkan pertama kali adalah nyeri perut kanan bawah

yang diawali disekitar umbilikus atau epigastrium yang kemudian menjalar ke

titik Mc Burney di sepertiga lateral garis yang menguhubungkan Spina Ischiadika

Anterior Superior Dextra dan umbilikus. Hal ini sesuai dengan karakteristik nyeri

yang dikeluhkan oleh pasien.

Apendisitis terjadi karena adanya infeksi apendix oleh mikroorganisme

yang didukung oleh adanya faktor pencetus berupa hiperplasia limfoid dan

obstruksi lumen apendix oleh berbagai sebab seperti fekalit, infestasi cacing, dan

46
lain-lain. Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks,

akumulasi mucus akhirnya meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan

tekanan intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi

edem mukosa, submukosa, serosa hingga peritoneum visceral. Selama masa ini

terjadi nyeri visceral di periumbilikal yang disertai mual, muntah. Nyeri pada

perut kanan bawah terjadi 6-8 jam kemudian, Nyeri ini terjadi akibat inflamasi

yang progresif hingga mengenai peritoneum parietal. Lokasi nyeri umumnya

berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina

iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus.

Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakukan

penanganan segera adalah perforasi. Perforasi merupakan komplikasi yang paling

ditakutkan pada apendisitis karena selain angka morbiditas tinggi, penanganan

akan menjadi semakin kompleks. Perforasi apendisitis dapat menyebabkan

peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat seluruh perut, demam

tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan menghilang

karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen yang

paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang

dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparatomi eksploratif untuk

membersihkan pus-pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi

drainase pus dengan laparaskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah.

Dari hasil anamnesis, didapatkan adanya nyeri yang tersebar di seluruh

lapangan perut yang dirasakan terus menerus dan bertambah dengan adanya

pergerakan. Nyeri disertai dengan adanya mual, penurunan berat badan dan

47
demam. Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya nyeri tekan dan

nyeri lepas di seluruh lapangan perut. Adanya nyeri tekan dan nyeri lepas di

seluruh lapangan perut menunjukkan bahwa pasien mengalami peritonitis. Selain

itu juga ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah apabila dilakukan

penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing Sign) dan nyeri saat dilepaskan

(Blumberg Sign), adanya Rovsing Sign dan Blumberg dapat membantu

menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pemeriksaan lain yaitu Psoas Sign

dan Obturator Sign, keduanya tidak ditemukan pada pasien. Hal ini dapat

membantu memperkirakan kemungkinan letak appendix. Pasien juga

mengeluhkan nyeri bila tersentuh pada perut kanan bawah (hipersestesia).

Dari hasil laboratorium didapatkan jumlah leukosit pasien 23.700 mm3

dimana jumlah nya meningkat dari nilai normal 5000-10000 mm3 yang

menunjukkan telah terjadinya infeksi pada pasien dan dalam kasus ini

mengarahkan kepada kecurigaan terjadinya appendisitis pada pasien. Hasil

anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien menunjukkan

adanya keadaan peritonitis difus yang dicurigai disebabkan oleh adanya

komplikasi appendisitis yaitu appendisitis perforasi. Pada pasien ditegakan

terjadinya peritonitis difus ec suspect appendiritis perforasi karena klinis pasien

menunjukan adanya nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada seluruh lapangan

perut, demam (+), mual (+), Rovsing dan Blumberg sign (+), Bising usus

menurun, defans muskular (+).

Pada pasien peritonitis , terapi utama yang direncakan adalah laparotomi

eksplorasi sesegera mungkin. Pada penanganan kasus pasien ini, sudah dilakukan

48
dengan benar karena telah dilakukan laparotomi eksplorasi. Pada saat operasi,

ditemukan adanya nanah yangkeluar sebanyak 100 ml. Tampak infeksi colon

descenden dan perforasi appendiks dengan penyumbatan colon descenden oleh

perlengketan di tempat infeksi operasi, Pada daerah operasi dihilangkan sumbatan

dengan melakukan anastomose end to end (wedging) dan reseksi appendiks. Dari

operasi laparotomi eksplorasi tersebut dapat ditegakkan diagnosis peritonitis difus

ec appendisitis perforasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery.
17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery
Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL,
Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-
34

3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition.
Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72

4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www


.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg

49
5.http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendic
itis1x.jpg

6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s


Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis
H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222

7 Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1.
Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI,
Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62

8 Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of
Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott
Williams & Wilkins. 2001: 1466-78

9 Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of


Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at
October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html

10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif

11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the
Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?
artid=1294889&blobtype=pdf

12. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing; 2006. H. 123-27.

13. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta :
EGC.

14. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam


Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493

15. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.

50
16. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.

17. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu
Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
18. Putz R & Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia:Sobotta, jilid.2.Jakarta
:EGC
19. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
20. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
21. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
22. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen
dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma,
Binarupa Aksara, Jakarta

51

Anda mungkin juga menyukai