Anda di halaman 1dari 23

Case Report Session

Apendisitis Akut

Oleh:
Suri Hanifa Efendi
1740312214

Preseptor:
Dr. dr. Afriwardi, Sp.KO, MA

PUSKESMAS BUNGUS PADANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Apendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan
pada anak-anak dan remaja.
Semua kasus apendisitis memerlukan tindakan pengangkatan dari apendiks yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak
dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang
menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya
akut abdomen di seluruh dunia 3.
Appendisitis yang bersifat akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kuarng dari 1 tahun
jarang dilaporkan. Insiden tertinggi terjadi pada usia 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insiden pada laki-laki sebanding dengan perempuan.3
Appendisitis akut yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan
appendisitis perforasi. Perforasi pada appendiks dapat menyebabkan terbentuknya kavitas
dengan abses yang berisis pus, yang dapat pecah dan menyebabkan peritonitis. Pada kasus
seperti ini, laparotomi emergensi dan irigasi dari rongga peritoneal sangat penting untuk
dilakukan. Bila tidak segera dilakukan operasi, dapat menyebabkan kematian pada pasien.5

1.2 Tujuan Penelitian


Penulisan makalah ini bertujuan untuk memahami serta menambah pengetahuan
tentang appendisitis akut.

1.3 Rumusan Masalah


Makalah ini membahas tentang:
 Anatomi, definisi, etiologi, pathogenesis, diagnosis dan manifestasi klinis,
penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis appendisitis akut

2
1.4 Metode Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan pustaka yang
merujuk pada berbagai literature.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Appendix Vermiformis
Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga
abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal.
Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan
menyempit di distal. Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang didasarkan
pada letak terhadap struktur-struktur sekitarnya yaitu retrosekal, retroileal, ileosekal dan di
rongga pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh persarafan otonom parasimpatis dari nervus
vagus dan persarafan simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan
radang pada apendiks akan dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh
arteri apendikularis yang tidak memiliki kolateral2.

Gambar 2.1 Variasi Posisi Appendix7

Fungsi apendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan
lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan
minimal,pengangkatan apendiks dikatakan tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa
saluran cerna. Apendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran
ini akan dialirkan ke sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks.
Apendisitis seringkali terjadi karena gangguan aliran cairan apendiks ini2.

4
Gambar 2.2 Gambaran histologis apendiks vermiform7

2.2 Epidemiologi Appendisitis


Insidens apendisitis akut dinegara maju lebih tinggi daripada negara berkembang.
Namun, dalam 3-4 desawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006 menyebutkan bahwa apendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis,
duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak
28.040 orang. Kejadian appendisitis di provinsi Sumatera Barat tergolong cukup tinggi
(Depkes RI, 2006; Longo et al, 2012).
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Pada anak < 1 tahun jarang
dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Rasio kejadian antara laki-
laki dan perempuan sama2,3.
2.3 Etiologi Appendisitis
Etiologi terjadinya apendisitis akut adalah adanya infeksi oleh bakteri yang
didukung oleh faktor pencetus antara lain:
a) Hiperplasia jaringan limfa
b) Masa fekalith
c) Striktur Fibrosis
d) Penekanan sekitar misalnya tumor
2.4 Patofisiologi Appendisitis
Apendisitis akut secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks akibat
infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat obstruksi
a. Stadium Kataralis

5
Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi
mucus akhirnya meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan tekanan intralumen ini
akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa,
serosa hingga peritoneum visceral. Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri
aerob dan anaerob saluran cerna. Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri. Edema
dinding apendiks menyebabkan diapedesis kuman ke submukosa dan terjadilah ulkus.
Resolusi dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotik
b. Stadium Purulent
Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi
iskemia. Selama iskemia bakteri menyebar menembus dinding menyebabkan
apendisitis akut. Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding apendiks
dan terjadi perangsangan peritoneum parietal lokal.
c. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri yang
menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan menyebabkan masa
lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi penyebaran bakteri dan
melokalisir radangnya. Masa ini disebut apendisitis infiltrate, bila masa lokal itu berisi
pus maka disebut apendisitis abses. Tidak jarang terjadi resolusi.
d. Stadium perforasi
Penyebaran bakteri ke rongga peritoneal atau peritonitis merupakan dampak yang
ditakutkan pada apendisitis akut. Peritonitis ini dapat timbul oleh:
- Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang gangren
- Atau delayed-perforasi dari apendisitis abses.7
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya
operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut
sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak
dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat
apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar2,3,4. Faktor risiko lain perforasi diantaranya
terapi immunosupresi, diabetes mellitus, fekalit, appendix pelvis, operasi abdomen
sebelumnya

6
Gambar 2.3 Patogenesis Apendisitis2

2.5 Manifestasi Klinis Appendisitis


Gejala appendisitis akut:
a) Nyeri Perut
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien
dengan apendisitis akut. Karakteristik nyeri perut penting untuk diperhatikan klinisi
karena nyeri perut pada apendisitis memiliki ciri-ciri dan perjalanan penyakit yang
cukup jelas.
1. Nyeri kolik ringan yang tidak terlokalisasi
Nyeri ini merupakan nyeri visceral yang dirasakan sebagai perasaan tidak
nyaman di periumbilikal. Pada saat ini terjadi proses obstruksi dan peradangan
apendiks, nyeri ini merupakan nyeri kolik yang intensitasnya lebih ringan dari
kolik usus halus. Saat kondisi ini biasanya disertai anorexia, mual dan muntah.
2. Nyeri akibat iritasi peritoneum parietal di iliaka kanan
Nyeri ini terjadi akibat inflamasi yang progresif hingga mengenai peritoneum
parietal. Nyeri somatik ini terjadi 6-8 jam setelah nyeri visceral periumbilikal
Lokasi nyeri umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari
garis khayalan dari spina iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus. 7 Nyeri
somatik dirasakan lebih tajam, dengan intesitas sedang sampai berat. Pada suatu

7
metaanalisis, ditemukan bahwa nyeri perut yang berpindah dan berubah dari
viseral menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat untuk menegakkan
diagnosis apendisitis2,3. Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa
manusia letak apendiks berada retrosekal atau berada pada rongga
retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut
yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke
peritoneum minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul
apabila pasien berjalan dan terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara
dorsal2,3. Posisi apendiks pelvic tidka pernah menyebabkan nyeri yang pada
dinding anterior abdomen, nyeri biasanya dirasakan sebagai rasa tak nyaman
pada daerah suprapubic dan tenesmus, nyeri hanya ditemukan pada
pemeriksaan rectal touché.
b) Mual dan Muntah
Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan
atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis2,3.
c) Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam
bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan
adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Diare terjadi karena
perangsangan dinding rektum oleh peradangan pada apendiks pelvis atau
perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks retrosekal. Akan tetapi,
apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan terdapat penyakit penyerta lain.
Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan
ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik2,3.
Tanda appendisitis akut:
a) Keadaan Umum
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien dengan
radang atau nyeri akut.
- Takikardia dan demam ringan-sedang sering ditemukan. Demam pada
apendisitis umumnya sekitar 37,5 – 38,5°C. Demam yang terus memberat dan
mencapai demam tinggi perlu dipikirkan sudah terjadinya perforasi2,3.
- Pasien biasanya tidur dengan melipat sendi panggul pada kaki kanan. Jika
berdiri pasien biasanya membungkuk kedua hal ini akan merelaksasikan otot
Psoas.

8
b) Keadaan Lokal
Pada apendisitis, tanda-tanda yang ditemukan adalah karena adanya
rangsangan langsung atau tidak langsung pada peritoneum oleh apendiks.
Rangsangan langsung menyebabkan ditemukannya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
perut kanan bawah, terutama pada titik McBurney. Selain itu pada inspeksi dan
palpasi abdomen akan mudah dilihat terdapat defans muscular sebagai respons dari
nyeri somatik yang terjadi secara lokal.
Rangsangan tidak langsung ditunjukkan oleh beberapa tanda, antara lain
Rovsing sign yang menandakan nyeri pada perut kiri bawah apabila dilakukan
penekanan pada titik McBurney. Begitupula Blumberg sign adalah nyeri pada perut
kiri bawah apabila dilakukan pelepasan pada iliaka kiri.
Hiperefleksia kulit iliaka kanan, pada pasien dengan klinis apendisitis yang
jelas. Hiperestesia meningkat bila kulit dicukit dengan spuit maupun dicubit.
Pada apendisitis retrosekal, tanda-tanda umum di atas seringkali tidak muncul
akan tetapi dapat cukup khas ditegakkan dengan Psoas sign dan Obturator sign.
Tanda psoas adalah nyeri timbul apabila pasien melakukan ekstensi maksimal
untuk meregangkan otot psoas. Secara praktis adalah dengan fleksi aktif sendi
panggul kanan kemudian paha kanan diberikan tahanan. Hal ini akan menimbulkan
rangsangan langsung antara apendiks dengan otot psoas sehingga timbul nyeri.
Tanda obturator muncul apabila dilakukan fleksi dan endorotasi sendi panggul yang
menyebabkan apendiks bersentuhan langsung dengan muskulus obturator internus.

9
Gambar 2.4 Gejala dan tanda apendisitis akut2
2.6 Diagnosis Appendisitis
Diagnosis apendisitis bergantung pada penemuan klinis, yaitu dari anamnesis
mengenai gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas
pada apendisitis. Anamnesis mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya,
gejala penyerta seperti mual-muntah-anoreksia, dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.
Menyingkirkan gejala aku abdomen lainnya juga penting bila apendisitis akut tidak khas.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga sudah
dapat mengarah ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang merupakan tanda-
tanda yang sering ditemukan. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap
tahap.. Pada inspeksi, dapat ditemukan bahwa dinding perut terlihat kaku dan kemudian
dikonfirmasi dengan palpasi. Pada palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta
terdapat tahanan (deffense muscular). Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik
apendisitis yaitu titik McBurney, uji Rovsig, dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator
juga dapat dilakukan terutama pada kecurigaan apendisitis yang terjadi secara
retrosekal2,3,4.
Pemeriksaan penunjang kurang bermakna pada diagnosis apendisitis karena
penegakan diagnosis umumnya cukup berasal dari penemuan klinis.
 Radiologi : Rontgen, USG dan CT-San.
- Rontgen : ditemukan fekalit < 5%, perselubungan fossa iliaka dextra

10
- USG abdomen : struktur aperstaltik, blind ended, keluar dari dasar caecum,
massa inflitrat abses
- CT-Scan : diameter appendix > 6cm , gambaran target, ada apendicoltih, setelah
pemberian kontras tapak gambaran enhancement dinding appendix . massa
periapendikular.
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat
bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai
lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan5. Komponen
Alvarado Score adalah:
2.7 Diagnosis Banding Appendisitis7 (Gambar 2.6)

11
Gambar: Alvarado score10

2.8 Tatalaksana Appendisitis


Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada
apendisitis adalah Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan operasi
untuk mengurangi komplikasi pasca-operasi dan meningkatkan keberhasilan operasi.
a) Medikamentosa
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa
analgetik dan antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien
apendisitis seringkali datang dengan kondisi yang tidak stabil karena nyeri hebat
sehingga analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk profilaksis, dengan
cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya. Antibiotik yang umum diberikan
adalah cephalosporin generasi 2 / generasi 3 dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah
telah dibuktikan mengurangi terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka
dan pembentukan abses intraabdominal3,4. Pilihan antibiotik lainnya adalah
12
ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam klavulanat, imipenem, aminoglikosida, dan lain
sebagainya. Waktu pemberian antibiotik juga masih diteliti. Ada laporan bahwa pada
apendisitis tanpa peritonitis, dosis tunggal antibiotic preoperative menurunkan
infeksi luka postoperasi.7
Akan tetapi beberapa protokol mengajukan apendisitis akut diberikan dalam
waktu 48 jam saja. Apendisitis dengan perforasi memerlukan administrasi antibiotik
7-10 hari6.

b) Apendektomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus
gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya
menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam setelah nyeri dirasakan)
tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi dibanding yang dilakukan biasa
(12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu operasi,
terdapat penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.7

Gambar 2.7 insisi apendiktomi7


Teknik yang digunakan dapat berupa operasi terbuka dan dengan Laparoskopi.
Operasi terbuka dilakukann dengan insisi pada titik McBurney yang dilakukan tegak lurus
terhadap garis khayalan antara SIAS dan umbilikus. Sebelum mempersiapkan abdomen
untuk operasi, raba dulu masa periapendikular. Bila teraba massa lakukan tatalaksana

13
terhadap massa periapendikular berupa terapi konservatif dan dilakukan apendektomi 6-10
minggu kemudian. Terapi yang diberikan berupa antibiotic IV dan bowel rest
Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk menemukan massa
yang membesar. Setelah dilakukan insisi : gridrion, Rutherfor Marison, Lanz. Dalam
beberapa tahun terakhir insisi Lanz lebih popular digunakan karena eksposur yang lebih
baik. Bila diagnosis diragukan terutama bila ada obstruksi , insisi lower midline abdominal
lebih dipilih.7
pembedahan dilakukan dengan identififkasi sekum dengan taenia coli kemudian
dengan jari tarik caecum, apendiks akan terasa pada dasar caecum. Adesi inflamasi
dpidahkan hati-hati dengan jari, lalu keluarkan apeniks melalui luka insisi. Mesoapendiks
diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan transeksi diantara
forsep arteri dan ligasi. Benang 2/0 absorbable digunakan untuk menjahit caecum sejauh
1,25 cm dari ujung yang diamputasi. Jahitan harus melewati otot, dan meliputi tinea coli.7

Gambar 2.87
Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini
walaupun belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil operasi
dan pengurangan kejadian komplikasi post-operasi. Apendekotmi laparoskopi harus
dilakukan apabila diagnosis masih belum yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat
sekaligus menjadi prosedur diagnostik. Sampai saat ini penelitian-penelitian yang
dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode ini adalah meningkatkan kualitas
hidup pasien. Perbaikan infeksi luka tidak terlalu berpengaruh karena insisi pada operasi
terbuka juga sudah dilakukan dengan sangat minimal2,3,4.

14
Gambar 2.9 Laparaskopi Apendiktomi7
Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka dan
abses inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan pemberian
antibiotik perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat kontaminasi rongga
peritoneum4.
2.9 Komplikasi Appendisitis
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka
penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya diawali
dengan adanya masa periapendikuler terlebih dahulu. Masa periapendikuler terjadi apabila
gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa
kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan
tetapi, risiko terjadinya abses dan penyebaran pus dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga
massa periapendikuler ini adalah target operasi apendiktomi.
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena
selain angka morbiditas tinggi, penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi
apendisitis dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat
seluruh perut, demam tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan
menghilang karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen
yang paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang
dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparatomi eksploratif untuk membersihkan pus-

15
pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan
laparaskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah4.

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. S
Usia : 34 tahun
Alamat : Timbulun
Tanggal Masuk : 3 Mei 2019
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah yang semakin nyeri sejak 1 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Awalnya nyeri dirasakan di perut kanan bawah ± 1 hari, nyeri nyeri semakin kuat
dan terus menerus. kemudian pasien berobat ke puskesmas pembantu di Timbulun
lalu dirujuk ke puskesmas dan dirujuk ke RST.
 Demam (+) menggigil sejak 1 hari yang lalu
16
 Nyeri dirasakan semakin bertambah dengan pergerakan dan batuk.
 Mual (+). muntah (+) kurang lebih 2 kali berisi apa yang dimakan sejak 1 hari
yang lalu.
 Penurunan nafsu makan (+)
 Terdapat riwayat nyeri menjalar dari pinggang kanan ke pusat
 Pasien tidak memiliki riwayat BAB berdarah. Nyeri BAK tidak ada, BAK sering
tidak ada, tidak ada nyeri riwayat nyeri suprapubis

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat alergi obat tidak ada
 Riwayat operasi sebelumnya tidak ada
 Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien.

Riwayat Sosial Ekonomi dan lain-lain


 Pasien seorang IRT berusia 34 tahun dan sudah menikah.
 Riwayat kebiasaan: merokok (-) minum alkohol (-) penyalahgunaan obat (-)

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37,9°C
Mata : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5 – 2 cmH2O, tidak teraba pembesaran kgb dan tiroid
Thorak : Jantung dan Paru dalam batas normal
Jantung
 Inspeksi, iktus kordis tidak terlihat

17
 Palpasi, iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
 Perkusi, atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial LMCS RIC
IV)
 Auskultasi, S1S2 reguler, murmur (-), bising (-)
Paru
 Inspeksi, simetris kiri = kanan
 Palpasi, fremitus kiri = kanan
 Perkusi, sonor
 Auskultasi, suara napas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen
 Inspeksi : tidak tampak kelainan
 Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di perut kanan bawah
 Mc Burney sign (+)
 Rovsing sign (-)
 Psoas sign (+)
 Obturator sign (+)
 Defans muscular (-) perut kanan bawah
 Nyeri tekan dan ketok CVA (-)
 Perkusi : tympani
 Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, CRT <2detik
Pemeriksaan rectal toucher : tidak dilakukan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


3.4.1 Laboratorium
 Leukosit : 15.000/mm3 (Nilai rujukan: 5.000-10.000)

3.5 Diagnosis
Alvarado score
Migratory riff pain :1
Anorexia :1
Nausea/ vomiting :1
Tenderness :2

18
Rebound tenderness :1
Elevated temperature :1
Leukositosis :2
Total :9
Diagnosa kerja : Apendisitis Akut

3.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Rujuk ke RST

BAB 4
DISKUSI
Seorang pasien perempuan berusia 34 tahun berobat ke puskesmas pembantu

Bungus di Timbalun dengan keluhan utama Nyeri perut bawah kanan yang memakin nyeri

sejak ± 1 hari berobat ke Pustu. Diagnosis pada pasien ini ditegakan melalui anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

Keluhan nyeri perut kanan bawah ini disertai dengan, mual dan penurunan nafsu

makan. Kemungkinan diagnosis yang bisa dipikirkan dari gejala pasien saat datang ke IGD

tersebut antara lain penyakit (akut abdomen) yang yang berhubungan dengan organ-organ

di regio perut kanan bawah antara lain: appendisitis akut, Crohn’s disease, gastroentetitis,

divertikulitis kolon, limfadenitis mesentrika, dan lain-lain.

Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengalami diare, tidak ada BAB

berdarah dan tidak demam yang merupakan gejala tersering pada penyakit chron’s pasisen

19
juga tidak mengeluhkan nyeri pada sendi, konjungtivitis. Gastroentritis juga dapat

disingkirkan dengan tidak adanya riwayat diare. Pada pasien nyeri ketok dan tekan CVA

negatif dan tidak terdapat nyeri pinggang daerah sudut costovertebra, yang kondisi ini

terjadi pada batu ginjal. Buang air kecil juga tidak dirasakan nyeri, frekuensi tidak sering

dan tidak ada nyeri pada bagian suprapubis, sehingga tidak memungkinkan diagnosis

vesicolitiasis. Diverticulitis kolon pada bagian perut kanan bawah juga mirip dengan nyeri

apendisitis, pada diverticulitis kolon terdapat gejala lain yaitu, mual, muntah, kembung dan

konstipasi. Limfadenitis mesentrika biasanya didahulu oleh gastroenteritis, dengan gejala

nyeri dan perasaan mual.

Menurut Depkes (2006), apendisitis menempati urutan penyakit terbanyak pada

saluran cerna setelah gastritis dan duodenitis di Indonesia. Secara epidemiologi apendisitis

akut yang merupakan akut abdomen sering terjadi pada usia muda. Gejala yang

ditimbulkan pertama kali adalah nyeri perut kanan bawah yang diawali disekitar umbilikus

atau epigastrium yang kemudian menjalar ke titik Mc Burney di sepertiga lateral garis

yang menguhubungkan Spina Ischiadika Anterior Superior Dextra dan umbilikus. Hal ini

sesuai dengan karakteristik nyeri yang dikeluhkan oleh pasien.

Apendisitis terjadi karena adanya infeksi apendix oleh mikroorganisme yang

didukung oleh adanya faktor pencetus berupa hiperplasia limfoid dan obstruksi lumen

apendix oleh berbagai sebab seperti fekalit, infestasi cacing, dan lain-lain. Obstruksi yang

terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi mucus akhirnya

meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan tekanan intralumen ini akan menyebabkan

hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa, serosa hingga

peritoneum visceral. Selama masa ini terjadi nyeri visceral di periumbilikal yang disertai

mual, muntah. Nyeri pada perut kanan bawah terjadi 6-8 jam kemudian, Nyeri ini terjadi

akibat inflamasi yang progresif hingga mengenai peritoneum parietal. Lokasi nyeri

20
umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina

iliaka anterior superior (SIAS) dan umbilikus.

Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya nyeri tekan di titik

McBurney. Adanya nyeri tekan di titik McBurney menunjukkan bahwa pasien mengalami

apendisitis akut. Tetapi tidak ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah

apabila dilakukan penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing Sign) dan nyeri saat

dilepaskan (Blumberg Sign), tetapi pada pemeriksaan lain yaitu Psoas Sign dan Obturator

Sign, keduanya positif pada pasien adanya Psoas Sign dan Obturator Sign dapat membantu

menegakkan diagnosis apendisitis akut.

Dari anamnesis pasien mengelukan nyeri perut nyeri perut sejak 1 hari sebelum

berobat ke pustu, nyeri dirasakan semakin bertambah dengan pergerakan dan batuk,

demam (+), mual (+). muntah (+) sejak 1 hari yang lalu, penurunan nafsu makan adadan

ada riwayat nyeri menjalar. Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan nyeri tekan dan

nyeri lepas (+) di perut kanan bawah. Dari hasil laboratorium didapatkan jumlah leukosit

pasien 15,000/mm3. Sehingga berdasarkan Alvarado scor pasien mendapatkan skor

sejumlah 9 yang artinya 93% kemungkinan pasien menderita appendisitis.

Pada pasien apendisitis, terapi utama yang direncanakan adalah Apendektomi

sesegera mungkin. Pada penanganan kasus pasien ini, sudah dilakukan dengan benar yakni

segera merujuk pasien ke RST untuk direncanakan apendektomi. Apendektomi secara dini

diharapkan dapat mengurangi komplikasi post-operasi seperti infeksi luka dan

pembentukan abses intraabdomen.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

1. Putz R Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2010.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;2011.
hal 755-64.
3. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ. 2007. 333:540-
34.

4. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing; 2006. H. 123-27.

5. Brunicardi FC. Schwartz’s Manual of Surgery. 8th edition. London: McGraw-Hill.


2006. p. 784-95

6. Morris PJ, Wood WC. Oxford’s Textbook of Surgery. 2nd ed. Oxford. eBook.

7. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery. 26th edition. London: Edward Arnold. 2013. p. 1199-1215.

8. Grace PA, Borley NR. Surgery at a Glance. 2nd edition. Victoria: Blackwell
Science. 2002. p. 28

9. Kartono D. Apendisitis Akuta. Dalam Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu


Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara. h. 115-117

10. Robert O, Fran OR. The Alvarado score for predicting acute appendicitis: a
systematic review. BMC Medicine. 2011. 9:139

23

Anda mungkin juga menyukai