Apendisitis Akut
Oleh:
Suri Hanifa Efendi
1740312214
Preseptor:
Dr. dr. Afriwardi, Sp.KO, MA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
1.4 Metode Penelitian
Penulisan makalah ini menggunakan metode penulisan tinjauan pustaka yang
merujuk pada berbagai literature.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Appendix Vermiformis
Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga
abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan
berpangkal di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal.
Sedangkan pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan
menyempit di distal. Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang didasarkan
pada letak terhadap struktur-struktur sekitarnya yaitu retrosekal, retroileal, ileosekal dan di
rongga pelvis1,2. Apendiks dipersarafi oleh persarafan otonom parasimpatis dari nervus
vagus dan persarafan simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan
radang pada apendiks akan dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh
arteri apendikularis yang tidak memiliki kolateral2.
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan
lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan
minimal,pengangkatan apendiks dikatakan tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa
saluran cerna. Apendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran
ini akan dialirkan ke sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks.
Apendisitis seringkali terjadi karena gangguan aliran cairan apendiks ini2.
4
Gambar 2.2 Gambaran histologis apendiks vermiform7
5
Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi
mucus akhirnya meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan tekanan intralumen ini
akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa,
serosa hingga peritoneum visceral. Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri
aerob dan anaerob saluran cerna. Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri. Edema
dinding apendiks menyebabkan diapedesis kuman ke submukosa dan terjadilah ulkus.
Resolusi dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotik
b. Stadium Purulent
Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi
iskemia. Selama iskemia bakteri menyebar menembus dinding menyebabkan
apendisitis akut. Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding apendiks
dan terjadi perangsangan peritoneum parietal lokal.
c. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri yang
menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan menyebabkan masa
lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi penyebaran bakteri dan
melokalisir radangnya. Masa ini disebut apendisitis infiltrate, bila masa lokal itu berisi
pus maka disebut apendisitis abses. Tidak jarang terjadi resolusi.
d. Stadium perforasi
Penyebaran bakteri ke rongga peritoneal atau peritonitis merupakan dampak yang
ditakutkan pada apendisitis akut. Peritonitis ini dapat timbul oleh:
- Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang gangren
- Atau delayed-perforasi dari apendisitis abses.7
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya
operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut
sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak
dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat
apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar2,3,4. Faktor risiko lain perforasi diantaranya
terapi immunosupresi, diabetes mellitus, fekalit, appendix pelvis, operasi abdomen
sebelumnya
6
Gambar 2.3 Patogenesis Apendisitis2
7
metaanalisis, ditemukan bahwa nyeri perut yang berpindah dan berubah dari
viseral menjadi somatik merupakan salah satu bukti kuat untuk menegakkan
diagnosis apendisitis2,3. Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa
manusia letak apendiks berada retrosekal atau berada pada rongga
retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut
yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke
peritoneum minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul
apabila pasien berjalan dan terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara
dorsal2,3. Posisi apendiks pelvic tidka pernah menyebabkan nyeri yang pada
dinding anterior abdomen, nyeri biasanya dirasakan sebagai rasa tak nyaman
pada daerah suprapubic dan tenesmus, nyeri hanya ditemukan pada
pemeriksaan rectal touché.
b) Mual dan Muntah
Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan
atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis2,3.
c) Gejala Gastrointestinal
Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam
bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan
adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Diare terjadi karena
perangsangan dinding rektum oleh peradangan pada apendiks pelvis atau
perangsangan ileum terminalis oleh peradangan apendiks retrosekal. Akan tetapi,
apabila diare terjadi terus menerus perlu dipikirkan terdapat penyakit penyerta lain.
Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan
ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik2,3.
Tanda appendisitis akut:
a) Keadaan Umum
Secara umum, pasien apendisitis akut memiliki tanda-tanda pasien dengan
radang atau nyeri akut.
- Takikardia dan demam ringan-sedang sering ditemukan. Demam pada
apendisitis umumnya sekitar 37,5 – 38,5°C. Demam yang terus memberat dan
mencapai demam tinggi perlu dipikirkan sudah terjadinya perforasi2,3.
- Pasien biasanya tidur dengan melipat sendi panggul pada kaki kanan. Jika
berdiri pasien biasanya membungkuk kedua hal ini akan merelaksasikan otot
Psoas.
8
b) Keadaan Lokal
Pada apendisitis, tanda-tanda yang ditemukan adalah karena adanya
rangsangan langsung atau tidak langsung pada peritoneum oleh apendiks.
Rangsangan langsung menyebabkan ditemukannya nyeri tekan dan nyeri lepas pada
perut kanan bawah, terutama pada titik McBurney. Selain itu pada inspeksi dan
palpasi abdomen akan mudah dilihat terdapat defans muscular sebagai respons dari
nyeri somatik yang terjadi secara lokal.
Rangsangan tidak langsung ditunjukkan oleh beberapa tanda, antara lain
Rovsing sign yang menandakan nyeri pada perut kiri bawah apabila dilakukan
penekanan pada titik McBurney. Begitupula Blumberg sign adalah nyeri pada perut
kiri bawah apabila dilakukan pelepasan pada iliaka kiri.
Hiperefleksia kulit iliaka kanan, pada pasien dengan klinis apendisitis yang
jelas. Hiperestesia meningkat bila kulit dicukit dengan spuit maupun dicubit.
Pada apendisitis retrosekal, tanda-tanda umum di atas seringkali tidak muncul
akan tetapi dapat cukup khas ditegakkan dengan Psoas sign dan Obturator sign.
Tanda psoas adalah nyeri timbul apabila pasien melakukan ekstensi maksimal
untuk meregangkan otot psoas. Secara praktis adalah dengan fleksi aktif sendi
panggul kanan kemudian paha kanan diberikan tahanan. Hal ini akan menimbulkan
rangsangan langsung antara apendiks dengan otot psoas sehingga timbul nyeri.
Tanda obturator muncul apabila dilakukan fleksi dan endorotasi sendi panggul yang
menyebabkan apendiks bersentuhan langsung dengan muskulus obturator internus.
9
Gambar 2.4 Gejala dan tanda apendisitis akut2
2.6 Diagnosis Appendisitis
Diagnosis apendisitis bergantung pada penemuan klinis, yaitu dari anamnesis
mengenai gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas
pada apendisitis. Anamnesis mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya,
gejala penyerta seperti mual-muntah-anoreksia, dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.
Menyingkirkan gejala aku abdomen lainnya juga penting bila apendisitis akut tidak khas.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga sudah
dapat mengarah ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang merupakan tanda-
tanda yang sering ditemukan. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap
tahap.. Pada inspeksi, dapat ditemukan bahwa dinding perut terlihat kaku dan kemudian
dikonfirmasi dengan palpasi. Pada palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta
terdapat tahanan (deffense muscular). Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik
apendisitis yaitu titik McBurney, uji Rovsig, dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator
juga dapat dilakukan terutama pada kecurigaan apendisitis yang terjadi secara
retrosekal2,3,4.
Pemeriksaan penunjang kurang bermakna pada diagnosis apendisitis karena
penegakan diagnosis umumnya cukup berasal dari penemuan klinis.
Radiologi : Rontgen, USG dan CT-San.
- Rontgen : ditemukan fekalit < 5%, perselubungan fossa iliaka dextra
10
- USG abdomen : struktur aperstaltik, blind ended, keluar dari dasar caecum,
massa inflitrat abses
- CT-Scan : diameter appendix > 6cm , gambaran target, ada apendicoltih, setelah
pemberian kontras tapak gambaran enhancement dinding appendix . massa
periapendikular.
Dengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu alat
bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai
lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan5. Komponen
Alvarado Score adalah:
2.7 Diagnosis Banding Appendisitis7 (Gambar 2.6)
11
Gambar: Alvarado score10
b) Apendektomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu kasus
gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya
menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam setelah nyeri dirasakan)
tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi dibanding yang dilakukan biasa
(12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12 jam waktu operasi,
terdapat penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.7
13
terhadap massa periapendikular berupa terapi konservatif dan dilakukan apendektomi 6-10
minggu kemudian. Terapi yang diberikan berupa antibiotic IV dan bowel rest
Di bawah pengaruh anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk menemukan massa
yang membesar. Setelah dilakukan insisi : gridrion, Rutherfor Marison, Lanz. Dalam
beberapa tahun terakhir insisi Lanz lebih popular digunakan karena eksposur yang lebih
baik. Bila diagnosis diragukan terutama bila ada obstruksi , insisi lower midline abdominal
lebih dipilih.7
pembedahan dilakukan dengan identififkasi sekum dengan taenia coli kemudian
dengan jari tarik caecum, apendiks akan terasa pada dasar caecum. Adesi inflamasi
dpidahkan hati-hati dengan jari, lalu keluarkan apeniks melalui luka insisi. Mesoapendiks
diligasi dan dipisahkan. Basis apendiks kemudian dilakukan ligasi dan transeksi diantara
forsep arteri dan ligasi. Benang 2/0 absorbable digunakan untuk menjahit caecum sejauh
1,25 cm dari ujung yang diamputasi. Jahitan harus melewati otot, dan meliputi tinea coli.7
Gambar 2.87
Apendektomi dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini
walaupun belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil operasi
dan pengurangan kejadian komplikasi post-operasi. Apendekotmi laparoskopi harus
dilakukan apabila diagnosis masih belum yakin ditegakkan karena laparoskopi dapat
sekaligus menjadi prosedur diagnostik. Sampai saat ini penelitian-penelitian yang
dilakukan masih mengatakan keunggulan dari metode ini adalah meningkatkan kualitas
hidup pasien. Perbaikan infeksi luka tidak terlalu berpengaruh karena insisi pada operasi
terbuka juga sudah dilakukan dengan sangat minimal2,3,4.
14
Gambar 2.9 Laparaskopi Apendiktomi7
Komplikasi pasca-operasi dari apendektomi adalah terjadinya infeksi luka dan
abses inttraabdomen. Infeksi luka umumnya sudah dapat dicegah dengan pemberian
antibiotik perioperatif. Abses intra-abdomen dapat muncul akibat kontaminasi rongga
peritoneum4.
2.9 Komplikasi Appendisitis
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka
penanganan segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya diawali
dengan adanya masa periapendikuler terlebih dahulu. Masa periapendikuler terjadi apabila
gangren apendiks masih berupa penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa
kasus masa ini dapat diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan
tetapi, risiko terjadinya abses dan penyebaran pus dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga
massa periapendikuler ini adalah target operasi apendiktomi.
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena
selain angka morbiditas tinggi, penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi
apendisitis dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat
seluruh perut, demam tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan
menghilang karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen
yang paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang
dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparatomi eksploratif untuk membersihkan pus-
15
pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan
laparaskopi sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah4.
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Ny. S
Usia : 34 tahun
Alamat : Timbulun
Tanggal Masuk : 3 Mei 2019
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah yang semakin nyeri sejak 1 hari yang lalu.
17
Palpasi, iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi, atas (RIC II), kanan (LSD), kiri (1 jari medial LMCS RIC
IV)
Auskultasi, S1S2 reguler, murmur (-), bising (-)
Paru
Inspeksi, simetris kiri = kanan
Palpasi, fremitus kiri = kanan
Perkusi, sonor
Auskultasi, suara napas vesikular, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak kelainan
Palpasi : Nyeri tekan dan nyeri lepas (+) di perut kanan bawah
Mc Burney sign (+)
Rovsing sign (-)
Psoas sign (+)
Obturator sign (+)
Defans muscular (-) perut kanan bawah
Nyeri tekan dan ketok CVA (-)
Perkusi : tympani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas : Edema -/-, akral hangat, CRT <2detik
Pemeriksaan rectal toucher : tidak dilakukan
3.5 Diagnosis
Alvarado score
Migratory riff pain :1
Anorexia :1
Nausea/ vomiting :1
Tenderness :2
18
Rebound tenderness :1
Elevated temperature :1
Leukositosis :2
Total :9
Diagnosa kerja : Apendisitis Akut
3.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Rujuk ke RST
BAB 4
DISKUSI
Seorang pasien perempuan berusia 34 tahun berobat ke puskesmas pembantu
Bungus di Timbalun dengan keluhan utama Nyeri perut bawah kanan yang memakin nyeri
sejak ± 1 hari berobat ke Pustu. Diagnosis pada pasien ini ditegakan melalui anamnesis,
Keluhan nyeri perut kanan bawah ini disertai dengan, mual dan penurunan nafsu
makan. Kemungkinan diagnosis yang bisa dipikirkan dari gejala pasien saat datang ke IGD
tersebut antara lain penyakit (akut abdomen) yang yang berhubungan dengan organ-organ
di regio perut kanan bawah antara lain: appendisitis akut, Crohn’s disease, gastroentetitis,
Dari anamnesis diketahui bahwa pasien tidak mengalami diare, tidak ada BAB
berdarah dan tidak demam yang merupakan gejala tersering pada penyakit chron’s pasisen
19
juga tidak mengeluhkan nyeri pada sendi, konjungtivitis. Gastroentritis juga dapat
disingkirkan dengan tidak adanya riwayat diare. Pada pasien nyeri ketok dan tekan CVA
negatif dan tidak terdapat nyeri pinggang daerah sudut costovertebra, yang kondisi ini
terjadi pada batu ginjal. Buang air kecil juga tidak dirasakan nyeri, frekuensi tidak sering
dan tidak ada nyeri pada bagian suprapubis, sehingga tidak memungkinkan diagnosis
vesicolitiasis. Diverticulitis kolon pada bagian perut kanan bawah juga mirip dengan nyeri
apendisitis, pada diverticulitis kolon terdapat gejala lain yaitu, mual, muntah, kembung dan
saluran cerna setelah gastritis dan duodenitis di Indonesia. Secara epidemiologi apendisitis
akut yang merupakan akut abdomen sering terjadi pada usia muda. Gejala yang
ditimbulkan pertama kali adalah nyeri perut kanan bawah yang diawali disekitar umbilikus
atau epigastrium yang kemudian menjalar ke titik Mc Burney di sepertiga lateral garis
yang menguhubungkan Spina Ischiadika Anterior Superior Dextra dan umbilikus. Hal ini
didukung oleh adanya faktor pencetus berupa hiperplasia limfoid dan obstruksi lumen
apendix oleh berbagai sebab seperti fekalit, infestasi cacing, dan lain-lain. Obstruksi yang
terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi mucus akhirnya
hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa, serosa hingga
peritoneum visceral. Selama masa ini terjadi nyeri visceral di periumbilikal yang disertai
mual, muntah. Nyeri pada perut kanan bawah terjadi 6-8 jam kemudian, Nyeri ini terjadi
akibat inflamasi yang progresif hingga mengenai peritoneum parietal. Lokasi nyeri
20
umumnya berada di titik McBurney, yaitu pada 1/3 lateral dari garis khayalan dari spina
Dari hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan adanya nyeri tekan di titik
McBurney. Adanya nyeri tekan di titik McBurney menunjukkan bahwa pasien mengalami
apendisitis akut. Tetapi tidak ditemukan adanya nyeri tekan pada perut kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing Sign) dan nyeri saat
dilepaskan (Blumberg Sign), tetapi pada pemeriksaan lain yaitu Psoas Sign dan Obturator
Sign, keduanya positif pada pasien adanya Psoas Sign dan Obturator Sign dapat membantu
Dari anamnesis pasien mengelukan nyeri perut nyeri perut sejak 1 hari sebelum
berobat ke pustu, nyeri dirasakan semakin bertambah dengan pergerakan dan batuk,
demam (+), mual (+). muntah (+) sejak 1 hari yang lalu, penurunan nafsu makan adadan
ada riwayat nyeri menjalar. Pada pemeriksaan fisik abdomen, didapatkan nyeri tekan dan
nyeri lepas (+) di perut kanan bawah. Dari hasil laboratorium didapatkan jumlah leukosit
sesegera mungkin. Pada penanganan kasus pasien ini, sudah dilakukan dengan benar yakni
segera merujuk pasien ke RST untuk direncanakan apendektomi. Apendektomi secara dini
21
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Putz R Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2010.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;2011.
hal 755-64.
3. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ. 2007. 333:540-
34.
4. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed.
Blackwell Publishing; 2006. H. 123-27.
6. Morris PJ, Wood WC. Oxford’s Textbook of Surgery. 2nd ed. Oxford. eBook.
7. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery. 26th edition. London: Edward Arnold. 2013. p. 1199-1215.
8. Grace PA, Borley NR. Surgery at a Glance. 2nd edition. Victoria: Blackwell
Science. 2002. p. 28
10. Robert O, Fran OR. The Alvarado score for predicting acute appendicitis: a
systematic review. BMC Medicine. 2011. 9:139
23