APENDISITIS AKUT
Oleh:
dr. Syafalikha Dwizahra
Pembimbing:
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
”APENDISITIS AKUT”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Program Internsip Dokter
Indonesia di RSUD Dr. (H.C.) Ir. Soekarno periode Februari 2023 - Februari 2024.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yustinus Rurie Wirawan Sp. B dan
dr.Febbysinta Dewi selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
arteriosklerosis, sehingga kebanyakan pasien baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. Sementara itu, insiden tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks
yang masih tipis (Riwanto et al., 2010).
Penegakkan diagnosis apendisitis akut masih berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan uji laboratorium (Fransisca et al., 2019). Salah satu gejala
apendisitis akut yaitu migrasi nyeri pada abdomen, dari periumbilikus ke abdomen
kanan bawah. Lama keluhan nyeri yang dialami pasien apendisitis akut sebelum
dilakukan pembedahan terbukti membedakan hasil histopatologi (Odith, 2006).
Durasi apendisitis berhubungan dengan risiko perforasi (Abu Foul et al., 2019).
Perforasi jarang terjadi sebelum 24 jam setelah awitan, tetapi angkanya dapat
setinggi 80% setelah 48 jam (Longo et al.,2013).
Pemeriksaan jumlah leukosit merupakan uji laboratorium yang dapat
membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut dimana ditemukan leukositosis,
terutama kasus komplikasi. Pemeriksaan jumlah leukosit merupakan suatu
pemeriksaan yang tersedia di semua rumah sakit, cepat dan murah. Jumlah leukosit
mengalami peningkatan pada apendisitis akut yaitu sekitar 10.000-18.000 sel/mm3.
Jumlah leukosit kurang dari 18.000 sel/mm3 umumnya terjadi pada apendisitis
simpel dan jumlah leukosit yang lebih dari 18.000 sel/mm3 menunjukkan adanya
perforasi (Bhatti et al., 2009).
Bila diagnosis klinis sudah jelas tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah apendiktomi. Apendiktomi adalah pembedahan
untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi (Abu Foul et al., 2019).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Apendisitis
a. Definisi Apendisitis
Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada lapisan mukosa dari
apendiks vermiformis yang kemudian dapat menyebar ke bagian lainnya dari
apendiks. Peradangan ini terjadi karena adanya sumbatan atau infeksi pada lumen
apendiks. Apendisitis yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan beberapa
komplikasi seperti perforasi atau sepsis, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Apendisitis akut merupakan kasus abdomen akut paling sering yang membutuhkan
pembedahan darurat (Craig, 2017).
b. Epidemiologi
Prevalensi seseorang untuk menderita Apendisitis adalah sebesar 7%
(Mostbeck et al., 2016). Lebih dari 250.000 kasus Apendisitis didiagnosis di
Amerika Serikat tiap tahunnya, dengan angka mortalitas 0,0002% dan morbiditas
3%. Apendiktomi merupakan operasi yang paling sering dilakukan di seluruh dunia
(Espejo et al., 2014; Pinto et al., 2013). Indonesia menduduki peringkat ketiga
negara di-Asia dengan jumlah mortalitas tertinggi karena Apendisitis, yaitu sebesar
3,8 per 100.000 jiwa. Kejadian apendisitis di Indonesia cukup tinggi. Menurut data
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2008 jumlah penderita
apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang. Kemudian tahun 2009, sebanyak
596.132 orang dengan presentase 3,36% dilaporkan menderita apendisitis, dan
meningkat menjadi 621.435 dengan presentase 3,53% di tahun 2010 (Kemenkes
RI, 2009).
Apendisitis paling sering terjadi antara usia 5 dan 45 tahun, dengan usia
rata-rata 28 tahun. Insidennya kira-kira 233/100.000 orang. Laki-laki memiliki
predisposisi yang sedikit lebih tinggi untuk mengembangkan apendisitis akut
dibandingkan dengan perempuan, dengan kejadian seumur hidup masing-masing
8,6% dan 6,7% untuk pria, dan wanita. Posisi apendiks yang paling umum adalah
retrocecal(Addis et al.,1990).
6
c. Anatomi Apendiks
Apendiks adalah struktur tambahan yang menempel pada caecum.
Berbentuk tabung bergulung yang berputar dengan ujung buntu, dan berukuran
sekitar 8 cm. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal
dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks
yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal (Sjamsuhidayat dan
Jong,2014).
Disebut apendiks vermiform karena (Vermiform : Bentuk cacing;
Appendiks : Tambahan). Mesenterium apendiks, yang disebut mesoapendiks,
menempel ke bagian inferior mesenterium ileum (Tortora dan Derrickson, 2014)
Dinding apendiks terdiri dari lapisan otot melingkar di bagian dalam dan lapisan
otot longitudinal dibagian luar. Apendiks dilapisi oleh epitel kolumner dengan
beberapa glanduler dan sel neuroendokrin. Dasar apendiks terletak di dinding
posteromedial cecum, sekitar 2,5 cm di bawah persimpangan ileocecal. Ujung
apendiks sifatnya mengapung di rongga peritoneal dan arahnya dapat bervariasi
yaitu : arah retrocecal sebanyak 64%, arah subcecal sebanyak 2%, arah pelvic
sebanyak 32%, arah preileal sebanyak 1%, dan arah postileal sebanyak 0,5% (Craig,
2017; Harrison et al., 2015; Lee, 2015).
Gambar 2.1. Berbagai variasi posisi anatomis dari apendiks (Harrison et al.,
2015).
Appendiks disebut juga sebagai tonsil abdomen karena ditemukan banyak
jaringan limfoid, dimana ditemukan pertama kali 2 minggu setelah lahir, jumlahnya
7
meningkat selama pubertas sekitar 200 folikel usia 12-20 tahun dan menetap hingga
dewasa, setelah itu atropi dan menghilang pada usia 60 tahun.
Suplai darah ke apendiks berasal dari a.apendikularis, cabang a.ileokolik.
Arteri ini melalui mesoappendix posterior ke terminal ileum. Arteri apendikularis
merupakan end artery, sehingga jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi apendiks, akan mengalami gangrene (Lee, 2015).
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n.vagus yang sejalan
dengan a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X yang berhubungan dengan dermatome umbilikalis.
Karena itu nyeri viseral pada Apendisitis bermula di sekitar umbilicus
(Sjamsuhidayat dan Jong,2011).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dialirkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks diduga berperan dalam terjadinya Apendisitis
(Sjamsuhidayat dan Jong, 2011). Imunoglobulin sekretoaris yang dihasilkan oleh
Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks adalah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri,
netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal
lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
sebab jumlah jaringan limfoid sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di
saluran cerna dan seluruh tubuh(Sjamsuhidayat dan Jong, 2011).
8
mengakibatkan gangguan pada aliran vaskular dan limfatik yang menyebabkan
pembengkakan dan iskemia pada apendiks. Mukosa mengalami hipoksia dan mulai
membusuk, mengakibatkan invasi dari bakteri intraluminal pada dinding apendiks.
Bakteri yang biasa mengakibatkan Apendisitis adalah Escherichia coli (76%),
Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) dan Pseudomonas (20%) (Petroianu dan
Barroso, 2016). Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel
radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan. Pada
perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai
nekrosis lokal disebut apendisitis akut supuratif.
Infeksi menyebabkan peradangan yang dapat meluas ke serosa, peritoneum
parietal, dan organ lain yang berdekatan. Peradangan ini menstimulasi ujung saraf
aferen dari T8-T10 menghasilkan nyeri alih di daerah epigastrik dan periumbilikus.
Nyeri ini biasanya akan bergeser dan kemudian menetap di kuadran kanan bawah.
Jika hal ini terus dibiarkan aliran darah pada arteri akan terganggu dan
menyebabkan infark. Lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan gangren dan perforasi,
yang biasanya terjadi antara 24 dan 36 jam (Petroianu dan Barroso, 2016).
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna,
tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali
menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat
mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi
(Sjamsuhidayat dan Jong,2014).
e. Faktor Resiko
Ditemukan beberapa faktor risiko yang menyebabkan apendisitis terjadi yaitu:
jenis kelamin, usia, pola diet dan konsistensi feses. Pada keluhan akut abdomen
yang paling sering banyak terkena adalah jenis kelamin laki-laki, dimana
dinyatakan bahwa perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2,5:1. Dikatakan
apendisitis itu lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, karena
perempuan lebih sering mengkonsumsi makanan berserat dibandingkan laki-laki
(Christie et al.,2021)..
Secara keseluruhan, kelompok usia 15 hingga 29 tahun adalah kelompok risiko
tertinggi untuk kedua jenis kelamin. Apendisitis cenderung terjadi karena
9
kurangnya konsumsi makanan yang berserat, bahan makanan, cara makanan itu
diolah dan waktu makan yang tidak teratur, makanan yang dikonsumsi mengandung
banyak karbohidrat. Kebiasaan konsumsi makanan dengan serat yang rendah dapat
menyebabkan timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatkan
pertumbuhan flora normal kolon sehingga terjadi peradangan pada apendiks. Pola
diet konsumsi serat berperan penting dalam membentuk sifat feses dan fekalit
(Christie et al.,2021).
f. Klasifikasi Apendisitis
Berdasarkan onset gejala, dibagi menjadi apendisitis akut dan kronis
1. Apendisitis akut
Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberi tanda setempat.
Gejala apendisitis akut antara lain nyeri samar dan tumpul merupakan nyeri visceral
di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini disertai rasa mual muntah
dan penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik
McBurney. Pada titik ini, nyeri yang dirasakan menjadi lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Lee, 2015)
Apendisitis akut diklasifikasikan menjadi
a) Non complicated/sederhana :
Peradangan pada apendiks tanpa disertai perforasi, abses, gangrene, maupun abses
disekitar apendiks.
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menjadi
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri didaerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan.
b) Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme
yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada
appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
10
terdapat eksudat fibrinopurulent. (Bhangu et al., 2015; Petroianu dan Barroso,
2016).
c) Appendisitis Akut Gangrenosa
Bertambahnya tekanan dalam lumen, akan berakibat aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda- tanda
supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks
berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut
gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulent.
(Bhangu et al., 2015).
d) Appendisitis Abses
Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus).
Abses dapat teraba seperti massa yang fixed & memiliki tepi atas pada palpasi
dengan disertai nyeri tekan.
e) Appendisitis Perforasi
Appendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik
2. Apendisitis Kronis
Apendisitis kronis baru bisa ditegakkan apabila ditemukan tiga hal yaitu pertama,
pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling
sedikit tiga minggu tanpa alternatif diagnosa lain. Kedua, setelah dilakukan
apendiktomi, gejala yang dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara histopatologik
gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif atau fibrosis pada
apendiks (Lee, 2015).
g. Diagnosis
Sampai saat ini penegakkan diagnosis untuk Apendisitis akut masih menjadi
sebuah tantangan tersendiri bahkan bagi ahli dan profesional sekalipun. Hal ini
karena tanda dan gejala yang terjadi pada pasien tidak spesifik dan memiliki banyak
diagnosis banding yang harus disingkirkan, sedangkan komplikasi yang dihadapi
pun tidak sembarangan. Pemeriksaan yang dilakukan haruslah kompleks untuk
11
dapat menghasilkan akurasi diagnosis yang baik sehingga angka negatif
apendiktomi dapat diminimalisir (Petroianu, 2012; Shogilev et al., 2014)
1) Anamnesis
Pasien Apendisitis akut biasanya datang dengan keluhan nyeri pada perut
bagian kanan bawah. Nyeri ini biasanya digambarkan sebagai nyeri kolik di daerah
periumbikal yang nyerinya dirasa intensif pada 24 jam pertama, kemudian menjadi
nyeri tajam dan konstan yang berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Anamnesis
dilakukan untuk menanyakan adanya gejala lain yang menyertai seperti adanya
mual, muntah, konstipasi, penurunan nafsu makan, dan demam. Namun gejala
gejala ini tidak spesifik karena dapat terjadi pada gangguan lain dari abdomen
(Petroianu, 2012).
2) Pemeriksaan Fisik
Lokasi dari apendiks sangat bervariasi pada tiap individu, oleh karena itu
tanda dan gejala Apendisitis biasa bisa muncul atau tidak pada individu yang
berbeda. Pemeriksaan fisik digunakan untuk memastikan adanya nyeri yang
ditimbulkan oleh apendisitis pada berbagai posisi tubuh tertentu. Berikut ini
merupakan beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang diagnosis
apendisitis :
a) Rovsing’s sign : positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan
bawah saat dilakukan penekanan pada perut kuadran kiri bawah.
b) Blumberg’s sign : positif bila terdapat nyeri pada perut saat tekanan pada
perut dilepas.
c) Psoas sign : positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang
muncul saat dilakukan gerakan ekstensi paha kanan pasien, meregangkan otot
iliopsoas dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri, ini mungkin
menandakan lokasi retrocaecal dari apendisitis.
d) Obturator sign : positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah
yang muncul saat dilakukan rotasi internal pasif dari paha kanan yang dilipat, ini
mungkin menandakan lokasi apendisitis pelvis yang dekat m.obturatorius (Barlow
et al., 2013; Petroianu, 2012).
3) Pemeriksaan Laboratorium
12
Pemeriksaan laboratorium untuk Apendisitis terdiri dari pemeriksaan darah
lengkap dan pemeriksaan protein reaktif. Pada pemeriksaan darah lengkap yang
dijadikan penanda untuk apendisitis akut adalah leukositosis dan neutrofilia.
Peningkatan sel darah putih lebih dari 10.000/ml menandakan Apendisitis
sederhana, sedangkan peningkatan lebih dari 18.000/ml menandakan Apendisitis
dengan perforasi. Peningkatan C-reactive protein (CRP) biasanya terjadi pada
Apendisitis yang gejalanya telah timbul lebih dari 12 jam. Dari kombinasi ketiga
temuan tersebut dapat meningkatkan sensitifitas diagnosis untuk Apendisitis akut
sebesar 97%- 100% (Petroianu, 2012). Selain itu terdapat pemeriksaan lainnya yang
dapat membantu mendiagnosis apendisitis yaitu hasil perbandingan nilai neutrofil
dan limfosit, dimana rasio neutrofil limfosit (RNL) sebelum pembedahan dapat
membedakan antara apendisitis akut simpel dan apendisitis perforasi Sevinc, 2016).
4) Pemeriksaan Radiologi
a) Apendikogram
Pemeriksaan apendikogram dilakukan dengan meminta pasien untuk
meminum cairan kontras kemudian dilakukan pengambilan hasil X-ray. Prosedur
ini cukup invasif dan radiatif sehingga membutuhkan indikasi yang kuat untuk
penggunaannya. Kecurigaan terjadinya Apendisitis pada pemeriksaan ini adalah
jika tidak terdapat pengisian dari cairan kontras atau pengisian sebagian, ditemukan
gambaran lumen yang ireguler, dan adanya edema mukosa lokal pada ujung
caecum. Sebuah penelitian mengaatakan bahwa apendikogram memiliki sensitifitas
sebesar 83% (Kusuma et al., 2015).
b) USG
Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai penunjang diagnosis
Apendisitis adalah USG, walaupun akurasinya lebih rendah dibanding CT-Scan dan
MRI. Ultrasonografi menjadi pilihan utama karena penggunaanya yang mudah,
murah, dan tidak invasif. Sayangnya tingkat akurasi USG sangat bergantung pada
operator dan alat yang digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi hasil USG
adalah obesitas, gas dalam lengkungan usus di depan apendiks, jumlah cairan
inflamasi di sekitar apendiks, dan posisi dari apendiks (Hussain et al., 2014; Sezer
et al., 2012).
13
Cara melakukan pemeriksaan menggunakan USG adalah sebagai berikut :
Pasien berbaring dalam posisi telentang pada permukaan yang tegas. Kuadran
kanan bawah dieksplorasi dengan kompresi yang tegas dan bertahap menggunakan
transduser garis frekuensi tinggi. Posisi tangan kiri pemeriksa di daerah lumbal
pasien dan mencoba untuk mengecilkan perut melawan transduser. Atau meminta
pasien untuk berbaring dalam posisi dekubitus lateral kiri dan pemeriksa melakukan
pendekatan USG dari lateral dan posterior (Espejo et al., 2014).
Kriteria pencitraan USG yang digunakan untuk mendiagnosis Apendisitis
adalah jika terdapat :
i) Temuan appendiceal : Penebalan dinding apendiks, diameter lumen
>6mm, hiperekoik dengan bayangan posterior karena adanya apendikolith, non-
compressible apendiks, hiperekoik pada mukosa dan lapisan otot lumen, dan
peningkatan aliran darah pada dinding apendiks pada pewarnaan dopler.
ii) Temuan periappendcieal : Hiperekoik lemak peri-enterik karena adanya
peradangan pada lemak di sekitar apendiks, penebalan dinding caecum >5mm,
apendikolith ekstra luminal, dan adanya cairan bebas disekitar apendiks.
Minimal terpenuhi 2 dari kriteria di atas untuk dapat menegakkan diagnosis
apendisitis (Espejo et al., 2014; Hussain et al., 2014; Mostbeck et al., 2016). Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa dari beberapa kriteria diatas, yang paling baik
spesifisitasnya dalam mendisgnosis apendisitis adalah jika ditemukan diameter
lumen >6mm dan non-compressible apendiks (Hussain et al., 2014).
Gambar 2.2. Tampilan USG dari apendiks normal. a) Gambar transversal yang
menunjukkan kemunculan cincin konsentris dengan echogenisitas bergantian
(panah putih), yang mewakili mukosa, otot dan serosa pada apendisk. b) Caecum
apendiks dapat diamati pada sumbu membujur, di tempat yang paling umum (panah
putih), pada posisi medial melawan pembuluh darah iliaka (warna Doppler atau
panah orange) (Espejo et al., 2014).
14
Gambar 2.3. Tampilan USG dari Apendisitis pada posisi longitudinal (a) dan
transversal (b). Terdapat penebalan dinding (+2), tanda sasaran, diameter> 6 mm
(+1) dan cairan bebas di sekitar usus buntu (+) (Mostbeck et al., 2016).
c) CT-Scan
Pemeriksaan computed tomography (CT-Scan) pada dasarnya merupakan
pemeriksaan imaging yang paling diakui untuk membantu penegakan diagnosis
Apendisitis pada orang dewasa. Di Amerika CT-Scan digunakan pada 86% pasien
Apendisitis, dengan sensitifitas sebesar 92,3%. Namun bahaya radiasi dan
keterbatasan sarana merupakan masalah dari penggunaan alat ini (Bhangu et al.,
2015).
d) MRI
Penggunaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengurangi resiko
dari radiasi, namun tujuan khusus dan spesifisitasnya dalam mendiagnosis akut
abdomen masih dipertanyakan. Selain itu tidak semua rumah sakit di dunia
memiliki sarana yang memadai untuk MRI, dan penggunaanya yang tidak bisa
langsung merespon keadaan darurat menjadi kekurangan dari alat ini (Bhangu et
al., 2015).
5) Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan baku emas dalam mengkonfirmasi
diagnosis Apendisitis. Kriteria yang digunakan ahli patologi untuk menentukan
diagnosis apendisitis adalah sebagai berikut :
a) Terdapat peradangan transmural pada apendiks.
b) Adanya granulosit pada mukosa atau di dalam epitel apendiks (Zarandi, et al.,
20014).
15
6) Skor Alvarado
Saat ini telah banyak upaya yang dilakukan untuk dapat menegakkan
diagnosis Apendisitis, salah satunya adalah dengan sistem skor Alvarado. Skor ini
menggabungkan antara gejala, tanda, dan hasil laboratorium dari pasien suspek
apendisitis. Dibawah ini merupakan kriteria penilaian dari skor Alvarado :
Tabel 2.1. Table skor Alvarado
Temuan klinis Skor
Anoreksia 1
Nyeri perut yang berpindah ke kuadran kanan bawah 1
Mual dan muntah 1
Nyeri tekan pada perut kuadran kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan suhu tubuh >37,2°C 1
Leukositosis (>10.000/ml) 2
Neutrofilia (>75%) 1
TOTAL 10
(Tatar et al., 2016).
Dari tabel diatas, jika skor Alvarado <5 artinya risiko untuk terjadinya
Apendisitis rendah sehingga perlu kajian ulang terhadap diagnosis bandingnya.
Skor 5-6 menunjukkan risiko sedang untuk apendisitis, maka perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan imaging untuk membantu
menegakkan diagnosis Apendisitis akut. Skor >6 menunjukkan risiko tinggi untuk
terjadinya Apendisitis sehingga dapat segera dilakukan penatalaksanaan
selanjutnya seperti apendiktomi (Ebell dan Shinholser, 2014; Mostbeck et al.,
2016).
h. Terapi
Penatalaksanaan untuk Apendisitis akut sebenarnya masih dalam
perdebatan. Masalah utama yang dihadapi adalah perforasi sebagai komplikasi
yang berkembang progresif dan cepat yang dapat menyebabkan kematian.
Sedangkan keputusan dilakukannya operasi yang tidak berdasar pada diagnosis
yang tepat dapat meningkatkan angka negatif apendiktomi. Penatalaksanaan
konservatif biasanya dilakukan pada apendisitis tanpa perforasi, sedangkan
16
tindakan operasi dilakukan pada apendisitis dengan perforasi untuk mencegah
komplikasi yang fatal (Sallinen et al., 2016; Svensson et al., 2012).
1) Medikamentosa
Pemberian antibiotik merupakan bentuk penatalaksanaan konservatif yang
dilakukan pada pasien dengan apendisitis tanpa perforasi. Pemberian antibiotik
dilakukan melalui intravena kemudian dilanjutkan pemberian secara oral. Data
sebuah penelitian menyebutkan bahwa angka komplikasi pada kelompok ini jauh
lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat tindakan apendiktomi.
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perforasi, adhesi bowel obstruction, dan
kematian. Namun pada akhirnya 10% pasien membutuhkan tindakan operasi
darurat, dan 17% pasien mengalami kekambuhan selama follow-up 1 tahun. Secara
keseluruhan 73% pasien dewasa dengan suspek apendisitis akut mungkin tidak
memerlukan tindakan operasi (Sallinen et al., 2016; Svensson et al., 2012).
2) Operatif
Dalam melakukan apendiktomi terdapat dua posedur yang sering dilakukan
yaitu, open apendiktomi dan laparoskopi apendiktomi. Kedua prosedur ini
dilakukan sebagai penatalaksanaan utama untuk Apendisitis akut. Hal ini untuk
mencegah terjadinya komplikasi berupa perforasi dan sepsis yang dapat
menyebabkan kematian. Indikasi digunakannya metode laparoskopi adalah pada
orang tua, obesitas, dan ibu hamil. Metode ini dinilai lebih aman, dengan hasil
kosmetik yang baik, dan pemulihan pasca operasi yang lebih cepat serta lebih tidak
menyakitkan. Selain itu laparoskopi juga dapat digunakan sebagia alat penunjang
diagnosis sehingga angka negatif apendiktomi dapat diturunkan. Laparoskopi
dilakukan dengan cara 1-4 insisi masing-masing untuk memasukkan laparoskop
dan instrumen lain yang dibutuhkan selama pembedahan perforasi (Popa et al.,
2015; Ruffolo et al., 2013).
Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis Apendisitis berdasar
penampakan makroskopik adalah jika tampak adanya tanda inflamasi, yaitu :
Penampilan vaskular, konsistensi dan diameter usus buntu, serta pembentukan pus
atau deposisi fibrin. Menurut kriteria ini Apendisitis dapat digolongkan dalam
beberapa tingkatan :
17
a) Peradangan ringan : pembuluh darah yang lebih menonjol dibandingkan
kondisi normal. Tanpa adanya perubahan konsistensi dan diameter, serta tidak ada
pembentukan puss atau deposisi fibrin.
b) Peradangan sedang : peningkatan ukuran pembuluh darah disertai dengan
pengerasan apendiks.
c) Peradangan berat : pembuluh darah menjadi lebih menonjol dan
berproliferasi. Apendiks menjadi padat, dengan perubahan pada diameter dan
konsistensi.
d) Apendisitis supuratif : terdapat deposisi pus atau fibrin pada apendiks
yang mengalami peradangan.
e) Apendisitis perforasi : terdapat lubang pada apendiks (Zarandi, et al.,
2014).
Diagnosis pasca bedah untuk Appendisitis akut yang didasarkan dari
temuan hasil operasi atau temuan makroskopik memiliki nilai akurasi 80-85%
dimana nilai tersebut lebih besar pada laki laki dibanding perempuan. Dari
penelitian sebelumnya disebutkan bahwa akurasi seorang operator bedah dalam
mendiagnosis temuan makroskopik apendiks yang memiliki tampakan patologis
yang jelas seperti pus, abses, dan perforasi adalah 100%. Namun dalam
mengklasifikasikan apendiks yang mengalami peradangan baik ringan, sedang,
maupun berat akurasinya menjadi <80%, dan nilai akurasi terendah untuk
mendiagnosis Appendisitis akut dengan peradangan ringan yaitu sebesar 26,3%
(Pham et al., 2015; Zarandi et al., 2014).
Setelah dilakukan operasi pengangkatan appendiks, ternyata tidak semua
pasien positif mengalami Apendisitis. Sebagai contoh, sebuah penelitian di India
menyebutkan kejadian negatif apendektomi sebesar 17,2 % (12,4 % pada laki-laki
dan 33,3 % pada perempuan). Insiden negatif apendiktomi terbesar terjadi pada
perempuan usia produktif yaitu antara 11-20 tahun atau sebesar 66,7 %. Hal ini
mungkin disebabkan karena kondisi ginekologi dapat salah terdiagnosis sebagai
Apendisitis akut, seperti dismenore dan komplikasi kista ovarium. (Joshi et al.,
2014; Sezer et al., 2012).
Komplikasi yang dapat terjadi baik pada laparoskopi apendiktomi maupun
open apendiktomi meliputi : Infeksi luka superfisial, ketidaknyamanan pada perut
18
dan bekas insisi, diare, perforasi, infeksi dalam, bowel obstruction, hernia
insisional, laparoskopi adhesiolisis, dan kematian. Kejadian infeksi superfisial dan
bowel obstruction lebih rendah pada laparoskopi apendiktomi, sedangkan kejadian
infeksi dalam (abses) dan insisional hernia sama antara laparoskopi apendiktomi
dan open apendiktomi (Ruffolo et al., 2013).
19
BAB III
LAPORAN KASUS
IGD
1. IDENTITAS
Nama : Ny. K
Umur : 58 tahun
Alamat : Jl Mayor Syafri Rahman
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
MRS : 2 Maret 2023
No RM : 04xxxx
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 5 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekaranf
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan sejak 5 hari SMRS.
Keluhan nyeri pertama kali dirasakan di ulu hati dan sekitar pusar yang kelamaan
menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat
ketika kelelahan dan membaik dengan istirahat namun pasien tidak berobat. Nyeri
terasa seperti di tusuk-tusuk. Keluhan disertai dengan demam, mual dan muntah.
Muntah dirasakan 3 kali SMRS dan warna putih terutama setelah makan, BAB
terakhir 1 hari yll (normal), BAK normal. Pasien juga mengatakan asupan makan
menurun sejak 5 hari yll, minum dbn. Pasien sudah mengonsumsi parasetamol
untuk demamnya, namun tidak ada perbaikan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
20
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : ayah
Riwayat hipertensi : ayah
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat Kebiasaan :
Sehari-hari pasien memiliki waktu istirahat yang cukup. Pasien jarang
berolahraga. Tidak ada riwayat penggunaan alkohol, rokok, maupun obat-obatan
terlarang. Pasien makan teratur, tidak suka makanan pedas, sering makan
makanan tinggi karbohidrat, seperti nasi dan mie instan, dan jarang makan sayur
dan buah.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present :
Kondisi Umum : Compos Mentis E4V5M6
VAS :7
TD : 102/58 mmHg
Nadi : 73 x/menit
Suhu : 38,3o C
RR : 20 x/menit
Saturasi : 97% room air
Status General :
Kepala : Normocephali, dalam batas normal
Mata : Anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), refleks cahaya langsung
(+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : Normotia, sekret (-/-)
21
Hidung : Sekret (-/-), cavum nasi hiperemis (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Sianosis (-), tremor (-), hiperemis (-), tonsil hiperemis (-/-), T1/T1.
Leher : Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.
Dada :
Inspeksi : bekas luka (-), retraksi (-)
Perkusi : sonor (+/+)
Palpasi : pengembangan dada simetris (+/+)
vocal Fremitus (+) normal simetris
Auskultasi : cor : reguler, murmur (-) gallop (-)
pulmo : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, supel
Auskultasi : bising usus (+) 12x per menit
Perkusi : timpani,
Palpasi : supel, defans muskular (-), nyeri tekan illiaca dextra (+),
nyeri tekan epigastrium (+), mc burney sign (+), rebound
tenderness (+), obturator sign (+), nyeri tekan
suprapubik(+) , psoas sign (-), rovsing sign (-), dunphy sign
(-), hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas : CRT <2 detik, edema (-), akral hangat
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tabel 3.1 Hasil Laboratorium Pemeriksaan Darah 02/03/23
Hematologi Rutin
22
Eritrosit 4.21 juta/uL 3.9-5.6
Index Eritrosit
MPV 9 Fl 7-11
Neutrofil 67 % 50-70
Limfosit 22 % 20-40
Eosinofil 1 % 1-4
Basofil 0 % 0-1
Karbohidrat
Elektrolit
Fungsi Hepar
23
SGPT 26 U/L 0-42
Fungsi Ginjal
24
Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip
Tulang dan jaringan linak dinding dada kesan baik
Kesan :
Kardiomegali
Pulmo tak tampak kelainan
25
Alvarado Score
Alvarado score = 9
5. DIAGNOSIS
Appendisitis Akut
6. TATALAKSANA
- IVFD RL 20 tpm
- Transfusi PRC 2 kolf, premed dexametason 1 ampul
- Inj Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
- Inj Ondansentron 4 mg kp
- Inj PCT 1 fl/ 8 jam kp
26
- Inj Omeprazol 40 mg/12 jam
- USG whole abdomen
7. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
BANGSAL
FOLLOW UP 03/03/23
S O A P
27
Pemeriksaan Penunjang Bangsal ; Laboratorium (03/03/23)
Hematologi Rutin
Index Eritrosit
MCH 22 Pg 22-34
MPV 9 Fl 7-11
kimia
HBsAg Non reactive Non reactive
28
Pemeriksaan Penunjang Bangsal ; USG abdomen (03/03/23)
29
Vesica Urinaria : Terisi cairan, dinding tampak ireguler menebal lk 0,5 cm, tak
tampak batu maupun massa
Uterus : Ukuran dan echostructure normal, tak tampak massa
Regio iliaca dextra : Tampak dilatasi appendix dengan ukuran diameter lk. 1,5 cm,
sepanjang lk. 7,5 cm, vascularisasi intralesi (-)
Kesan :
- Appendisitis
- Cystitis
- Tak tampak kelainan pada hepar, vesica felea, lien, pancreas, ren bilateral
dan uterus
FOLLOW UP 04/03/23
S O A P
30
FOLLOW UP 05/03/23
S O A P
31
FOLLOW UP 07/03/23
S O A P
32
FOLLOW UP 08/03/23
S O A P
33
Ringkasan Pulang
Tanggal 8 Maret 2023
DX Sekunder
34
BAB IV
ANALISA KASUS
35
kolon juga mengalami peningkatan. Proses inilah yang memudahkan terjadinya
apendisitis (Christie et al.,2021).
Pada pemeriksaan fisik, lebih tepatnya pemeriksaan abdomen, didapatkan
adanya nyeri tekan pada regio illiaca dextra, nyeri tekan epigastrium, mc burney
sign, rebound tenderness, obturator sign, dan nyeri tekan suprapubik. Nyeri tekan
yang dirasakan pada titik mcburney sesuai dengan posisi anatomis dari apendiks itu
sendiri, titik McBurney terletak dua pertiga jarak dari pusar ke spina iliaka anterior
superior kanan, sekitar 3,8–5,1 cm (1,5–2 inci) dari bagian atas tulang pinggul ke
arah pusar. Titik ini sesuai dengan dasar apendiks, di mana ia melekat pada sekum.
Adanya rebound tenderness menunjukkan apendiks yang meradang menyebabkan
iritasi pada peritoneum (Grover dan Sternbach, 2011). Obturator sign timbul saat
dilakukan gerakan rotasi internal sendi panggul, sementara lutut kanan dalam
keadaan fleksi. Ini menunjukkan apendiks pelvis yang meradang yang bersentuhan
dengan otot obturator internus.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan Leukositosis (11.46
rb/uL) yang menandakan adanya proses peradangan. Anemia mikrositik
hipokormik (Hb = 8,8; MCV 64;MCH 21) dengan peningkatan RDW (149%) dapat
menunjukkan kemungkinan adanya anemia defisiensi besi. Pola diet juga nafsu
makan yang menurun dan gejala muntah pada pasien dapat menyebabkan
berkurangnya zat besi. RDW umumnya digunakan untuk membedakan antara
anemia mikrositik karena kekurangan zat besi dan karena talasemia atau
hemoglobinopati (Ozturk et al.,2013). Namun pada kasus ini, anemianya belum
dapat ditegakkan karena tidak dilakukan pemeriksaan lab kadar zat besi.
Peningkatan kadar RDW berhubungan dengan gangguan eritropoiesis atau
degradasi eritrosit. Peningkatan RDW dapat terjadi akibat proses penyakit apa pun
yang menyebabkan pelepasan retikulosit secara prematur ke dalam sirkulasi yang
dapat terjadi pada proses peradangan. Peningkatan RDW telah terbukti
berhubungan dengan peningkatan penanda inflamasi, seperti CRP, tingkat
sedimentasi eritrosit, dan interleukin 6 (Ozturk et al.,2013).
Alvarado score pada pasien adalah 9, dimana ditemukan adanya migrasi
nyeri ke perut kanan bawah (1), Anoreksia (1), Mual (1), nyeri tekan kuadran kanan
bawah, terutama pada area McBurney’s (2), rebound pain (1), demam (1), dan
36
leukositosis (2). Skor >6 menunjukkan risiko tinggi untuk terjadinya Apendisitis
sehingga dapat segera dilakukan penatalaksanaan selanjutnya seperti apendiktomi.
Tatalaksana awal yang diberikan berupa rehidrasi dengan cairan kristaloid
(IVFD RL 20 tpm) pemberian antiemetic dan PPI (Inj Ondansentron 4 mg, Inj
Omeprazol 40 mg/12 jam) untuk mengatasi gejala perut, mual dan muntahnya,
antipiretik, analgesic (Inj PCT 1 fl/8 jam) untuk gejala demam dan nyeri, antibiotik
(inj Ceftriaxone 1 gram/12 jam). Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang sering digunakan pada pasien dengan diagnosis
apendisitis karena memiliki spektrum aktivitas yang luas dan aktif terhadap S.
aureus dan E. coli yang dapat menimbulkan infeksi pada luka operasi, waktu paruh
yang lebih panjang dari semua antibiotik sefalosporin yaitu 5-11 jam sehingga jika
operasi memakan waktu yang lebih lama dari yang seharusnya maka tidak perlu
pengulangan dosis, penetrasi jaringan yang baik, dan toksisitas rendah, tidak
terdapat masalah koagulase dan memiliki indeks terapi yang baik. Kelemahan
ceftriaxone adalah termasuk antibiotik spektrum luas sehingga dapat mengganggu
flora normal dan meningkatkan resiko kemungkinan terjadinya resistensi antibiotik
(Katzung, 2012).
Pasien juga diberikan transfusi PRC 2 kolf (500 cc) atas indikasi anemia
(Hb =8,8). Pemberian 1 unit PRC pada pasien dapat meningkatkan Hb sekitar 1
g/dL (Artha dan Dwipayana, 2020). Target yang ingin dicapai untuk perbaikan
keadaan umum dan dapat dilakukan tindakan yaitu kadar hemoglobin darah 9 atau
10 g/dl sebagai persyaratan minimum untuk operasi elektif (Kowalyshyn et
al.,1972). Pemberian Inj Dexametason 1 ampul sebagai premedikasi sebelum
transfusi bertujuan untuk mencegah reaksi transfusi (Fry et al.,2010).
Pemeriksaan penunjang berupa USG abdomen dilakukan di bangsal untuk
menegakkan diagnosis. Pada USG didapatkan pada regio iliaca dextra adanya
tampakan dilatasi appendix dengan ukuran diameter lk. 1,5 cm, sepanjang lk. 7,5
cm, vascularisasi intralesi (-). Hal ini menegakkan diagnosis apendisitis dimana
yang paling baik spesifisitasnya dalam mendiagnosis apendisitis adalah jika
ditemukan diameter lumen >6mm dan non-compressible apendiks (Hussain et al.,
2014).
37
Pada pasien juga ditemukan adanya gambaran sistitis, bakteri yang
menyebar dari apendiks ke ruang retroperitoneal dapat menginvasi saluran kemih
dan menyebabkan infeksi saluran kemih simtomatik atau asimtomatik pada pasien
Apendisitis (Puskar et al., 1997).
Tatalaksana definitif yang dilakukan pada pasien adalah open
appendectomy, dimana memiliki kelebihan murah, durasi operasi lebih singkat dan
pasien dalam keadaan yang cukup stabil untuk dilakukan prosedur. Operasi
berlangsung dengan lancar dan tidak adanya kesulitan intraoperative.
Pasien dirawat dan di observasi selama 2 hari setelah operasi. Saat
perawatan tidak ditemukan tanda-tanda komplikasi post operatif seperti infeksi,
maupun abses. Kondisi pasien membaik, dapat makan dan minum dengan baik,
mulai dapat berjalan, dan pasien diperbolehkan pulang. Pasien dipulangkan dengan
obat pulang antibiotic cefixime 2x200 mg, tramadol 3x50 mg dan Ondansentron
2x4 mg, dan dilakukan perawatan luka post op 1 kali sehari.
Edukasi yang diberikan pada pasien berupa minum obat sesuai anjuran,
kembali ke pola makan yang sama seperti sebelum operasi. Melakukan
pembersihan luka post op 1 kali sehari. Memperhatikan tanda-tanda komplikasi
post op. Untuk diet, pasien dapat mengambil porsi yang lebih kecil dan makan lebih
sering di siang hari dapat membantu dalam transisi ke diet biasa (6-8 porsi kecil per
hari). Mencegah konstipasi dengan minum banyak air dan makan makanan
berserat. Tidak mengangkat benda berat dan menghindari aktivitas berat. Berjalan
adalah satu-satunya olahraga yang diperbolehkan selama 6 minggu pertama setelah
operasi (Svensson et al., 2012).
38
BAB V
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Foul, S., Egozi, E., & Assalia, A. (2019). Is Early Appendectomy in Adults
Diagnosed with Acute Appendicitis Mandatory? A Prospective Study. World
Journal of Emergency Surgery.
2. Addiss DG, Shaffer N, Fowler BS, Tauxe RV. The epidemiology of
appendicitis and appendectomy in the United States. Am J Epidemiol. 1990
Nov;132(5):910-25
3. Artha D, Dwipayana IKA. Gambaran hasil peningkatan kadar hemoglobin
pada pasien anemia yang ditransfusi dengan packed red cell dan whole blood
di rsud kabupaten polewali mandar 1. J Media Laboran. 2020;10(2):24.
4. Barlow, A., Muhleman, M., Gielecki, J., Matusz, P., Tubbs, R.S., Loukas, M.,
2013. The vermiform appendix: A review: The Vermiform Appendix. Clin.
Anat. n/a-n/a. https://doi.org/10.1002/ca.22269
5. Bhangu, A., Søreide, K., Di Saverio, S., Assarsson, J.H., Drake, F.T., 2015.
Acute appendicitis: modern understanding of pathogenesis, diagnosis, and
management. The Lancet 386, 1278–1287.
6. Bhatti, A., Dawood, A., Farzana, & Zaman, J. (2009). Acute Appendicitis: Can
WBC Count, Age, and Duration of Symptoms Predict Severity Disease.
Pakistan Journal of Surgery, 167-170
7. Craig, S., 2017. Appendicitis: Practice Essentials, Background, Anatomy.
8. Christie,Josephine Olivia., Wibowo ,Agung Ary ., Noor ,Meitria Syahadatina.,
Tedjowitono., Budianto., Aflanie, Iwan. Literature Review: Analisis Faktor
Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Apendisitis Akut. Homeostasis,
Vol. 4 No. 1, April 2021: 59-68
9. Ebell, M.H., Shinholser, J., 2014. What Are the Most Clinically Useful Cutoffs
for the Alvarado and Pediatric Appendicitis Scores? A Systematic Review.
Ann. Emerg. Med. 64, 365-372.e2.
https://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2014.02.025
10. Espejo, O. de J.A., Mejía, M.E.M., Guerrero, L.H.U., 2014. Acute
Appendicitis: Imaging Findings And Current Approach To Diagnostic Images.
40
11. Fransisca, C., Gotra, M., & Mahastuti, N. M. (2019). Karakteristik Pasien
dengan Gambaran Histopatologi Apendisitis di RSUP Sanglah Denpasar
Tahun 2015-2017. Jurnal Medika Udayana, Vol.8 No.7.
12. Fry JL, Arnold DM, Clase CM, Crowther MA, Hol- brook AM, Traore AN,
dkk. Transfusion premedication to prevent acute transfusion reactions : a
retrospective observational study to assess current practices. Transfu- sion
2010;50:1722-30.
13. Grover, C. A. & Sternbach, G. (2011). Charles McBurney: McBurney's point.
The Journal of Emergency Medicine, 42(5): 578–581. DOI:
10.1016/j.jemermed.2011.06.039
14. Harrison, T.R., Kasper, D.L., Hauser, S.L., 2015. Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 19th ed.
15. Hussain, S., Rahman, A., Abbasi, T., Aziz, T., 2014. Diagnostic accuracy of
ultrasonography in acute appendicitis. J. Ayub Med. Coll. Abbottabad JAMC
26, 12-7.
16. Indri, U. V., Karim, D., & Elita, V. (2014). Hubungan Antara Nyeri,
Kecemasan dan Lingkungan dengan Kualitas Tidur pada Pasien Post Operasi
Apendisitis. JOM PSIK Vol.1
17. Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. Appendicitis. [Updated 2023 Apr 24]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
18. Joshi, M.K., Joshi, R., Alam, S.E., Agarwal, S., Kumar, S., 2014. Negative
Appendectomy: an Audit of Resident-Performed Surgery. How Can Its
Incidence Be Minimized? https://doi.org/10.1007/s12262-014-1063-0
19. Katzung, B.G., Masters, S.B., & Trevor, A.J. (2012) Basic & Clinical
Pharmacology. 12 th Edition. The Mc-Graw-Hill, London. halm 799-800.
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan.
21. Kusuma, N., Makhmudi, D. dr A., Sp.BA, S.B., 2015. Hubungan Pemeriksaan
USG, Appendikogram Serta CRP Pada Apendisitis Anak. Universitas Gadjah
Mada.
22. Kowalyshyn TJ, Prager D, Young J. A review of the present status of
preoperative hemoglobin requirements. Anesth Analg 1972;51:75–79.
41
23. Lee, S.L., 2015. Inflammation of Vermiform Appendix: Background,
Anatomy, Pathophysiology.
24. Liang, M. K., Andersson, R. E., Jaffe, B. M., & Berger, D. H. (2015). The
Appendix. Dalam F. C. Brunicardi, Schwartz's Principles of Surgery, 10th Ed.
(hal. 1241-1262). USA: McGraw-Hill Education
25. Longo, D. L., & Fauci, A. S. (2013). Harrison : Gaastroenterologi dan
Hepatologi. Jakarta: EGC.
26. Mostbeck, G., Adam, E.J., Nielsen, M.B., Claudon, M., Clevert, D., Nicolau,
C., Nyhsen, C., Owens, C.M., 2016. How to diagnose acute appendicitis:
ultrasound first. Insights Imaging 7, 255–63. https://doi.org/10.1007/s13244-
016-0469-6
27. Odith, T. R. (2006). Pemeriksaan Jumlah Leukosit Dalam Mendukung Akurasi
Diagnosis pada Tiap-tiap Derajat Apendisitis Anak Berdasarkan Klasifikasi
Cloud di RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta.
28. Öztürk ZA, Ünal A, Yiğiter R, Yesil Y, Kuyumcu ME, Neyal M, Kepekçi Y:
Is increased red cell distribution width (RDW) indicating the inflammation in
Alzheimer's disease (AD)?. Arch Gerontol Geriatr. 2013, 56: 50-54.
10.1016/j.archger.2012.10.002.
29. Petroianu, A., 2012. Diagnosis of acute appendicitis. Int. J. Surg. 10, 115–119.
https://doi.org/10.1016/j.ijsu.2012.02.006
30. Petroianu, A., Barroso, T.V.V., 2016. Pathophysiology of Acute Appendicitis.
31. Pham, H., Devadas, M., Howle, J., 2015. Effect of surgical experience on the
macroscopic diagnosis of appendicitis: A retrospective cohort study. Int. J.
Surg. 16, 78–82. https://doi.org/10.1016/j.ijsu.2015.02.019
32. Pinto, F., Pinto, A., Russo, A., Coppolino, F., Bracale, R., Fonio, P., Macarini,
L., Giganti, M., 2013. Accuracy of ultrasonography in the diagnosis of acute
appendicitis in adult patients: review of the literature.
https://doi.org/10.1186/2036-7902-5-S1-S2
33. Popa, D., Soltes, M., Uranues, S., Fingerhut, A., 2015. Are There Specific
Indications for Laparoscopic Appendectomy? A Review and Critical Appraisal
of the Literature. J. Laparoendosc. Adv. Surg. Tech. 25, 897– 902.
https://doi.org/10.1089/lap.2014.0624
42
34. Puskar D, Vucković I, Bedalov G, Fridrih S, Pasini J. Urinary tract infection in
acute appendicitis. Acta Med Croatica. 1997;51(4-5):197-201. PMID:
9473798.
35. Riwanto, I., Hamami, A. H., & Pieter, J. (2010). Usus Halus, Apendiks, Kolon,
dan Anorektum. Dalam R. Sjamsuhidajat, Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-de Jong, Edisi 3 (hal. 755-762). Jakarta: EGC.
36. Ruffolo, C., Fiorot, A., Pagura, G., Antoniutti, M., Massani, M., Caratozzolo,
E., Bonariol, L., Calia di Pinto, F., Bassi, N., 2013. Acute appendicitis: What
is the gold standard of treatment? World J. Gastroenterol. WJG 19, 8799–
8807. https://doi.org/10.3748/wjg.v19.i47.8799
37. Sallinen, V., Akl, E.A., You, J.J., Agarwal, A., Shoucair, S., Vandvik, P.O.,
Agoritsas, T., Heels-Ansdell, D., Guyatt, G.H., Tikkinen, K.A.O., 2016. Meta-
analysis of antibiotics versus appendicectomy for non-perforated acute
appendicitis. Br. J. Surg. 103, 656–667. https://doi.org/10.1002/bjs.10147
38. Sevinc, M.M., 2016. Diagnostic value of basic laboratory parameters for
simple and perforated acute appendicitis: An analysis of 3392 cases
(neutrophilto-lymphocyte ratio, platelet count, mean platelet volume, serum
bilirubin). Turk. J. Trauma Emerg. Surg.
https://doi.org/10.5505/tjtes.2016.54388
39. Sezer, T.O., F, C.–, Gulece, B., C, A.–, Zalluhoglu, N., Gorgun, M., Dogan, S.,
Diagnostyczna Ultrasonografii W Zapaleniu Wyrostka Robaczkowego, W.,
2012. Diagnostic Value of Ultrasonography in Appendicitis.
40. Shogilev, D., Duus, N., Odom, S., Shapiro, N., 2014. Diagnosing Appendicitis:
Evidence-Based Review of the Diagnostic Approach in 2014. West. J. Emerg.
Med. 15, 859–871. https://doi.org/10.5811/westjem.2014.9.21568
41. Sjamsuhidayat, R., Jong, W. de, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, 2nd ed. EGC,
Jakarta. Soetikno, R.D., 2011. Radiologi Emergensi. PT Refika Aditama,
Bandung, Indonesia.
42. Svensson, J., Hall, N., Eaton, S., Pierro, A., Wester, T., 2012. A Review of
Conservative Treatment of Acute Appendicitis. Eur. J. Pediatr. Surg. 22, 185–
194. https://doi.org/10.1055/s-0032-1320014
43
43. Tatar, I.G., Yilmaz, K.B., Sahin, A., Aydin, H., Akinci, M., Hekimoglu, B.,
2016. Evaluation of Clinical Alvarado Scoring System and CT Criteria in the
Diagnosis of Acute Appendicitis. Radiol. Res. Pract. 2016, 9739385.
https://doi.org/10.1155/2016/9739385
44. Tortora, G.J., Derrickson, B., 2014. Principles of Anatomy & Physiology, 14th
ed.
45. Zarandi, N.P., Parsijani, P.J., Bolandparvaz, S., Paydar, S., 2014. Accuracy of
Surgeon’s Intraoperation Diagnosis of Acute Appendicitis, Compared with the
Histopathology Results. Bull Emerg Trauma 15–21.
44