Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

Apendiksitis Akut

Disusun oleh:
dr. Bachtiar Muchhaj

Pembimbing:
Dr. Dyah Paramita Sp.B
Pendamping:
dr. Siti Ningsih

PROGRAM INTERSHIP DOKTER


INDONESIA RSD IDAMAN BANJARBARU
FEBRUARI 2023

1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………1
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..……..2
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….……...3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………..………4
BAB III LAPORAN KASUS…………………………………………………...10
BAB IV PEMBAHASAN ………………………………………..…………….17
BAB V KESIMPULAN .……………………………………...………………19
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………..……………………20

2
BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis atau usus buntu merupakan kondisi dimana infeksi terjadi di
apendiks. Apendiks berbentuk seperti jari yang mempunyai panjang kira- kira
10cm (4 inci) yang melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal. Banyak
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus apendisitis salah satunya yaitu
sumbatan lumen apendiks, disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan (Sjamsuhidajat,
2010). Obstruksi dalam lumen apendiks dapat menyebabkan adanya pertumbuhan
bakteri dan mukus yang dihasilkan apendiks akan menyebabkan distensi lumen
pada obstruksi yang berkelanjutan (Maa, Kirkwood, 2012).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik memiliki nilai akurasi 76-80% untuk
mendiagnosis apendisitis, tetapi untuk mencegah apendisitis tidak perforasi
tidaklah cukup. Tes radiologi seperti Ultrasonography (USG), Computerized
Tomography Scan (CT- Scan), Magnetic resonance imaging (MRI), dapat
digunakan untuk membantu penunjang diagnosis apendisitis dan menunjukkan
akurasi yang tinggi dalam mendeteksi apendisitis, tetapi tidak semua unit
pelayanan memiliki alat tersebut dan pemeriksaan alat tersebut juga tidak murah,
sehingga pemeriksaan ini masih jarang digunakan (Mostbeck et al., 2016).
Pemeriksaan laboratorium juga peting untuk membantu diagnosis apendisitis
salah satunya adalah pemeriksaan hitung jumlah leukosit. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan di laboratorium mana saja bahkan di puskesmas, harganya yang
terjangkau, dan sederhana (Saaiq et al., 2014). Hasil laboratorium pada
penderita apendistis akut umumnya ditemukan jumlah leukosit antara 12.000 –
20.000/mm3 dan bila sudah terjadi perforasi atau peritonitis jumlah leukosit antara
20.000 – 30.000/mm3 (Marisa et al., 2012). Pada penelitian Haider Kamran et al., di
Ayub Medical College Pakistan mengatakan bahwa Total Leukocyte Count (TLC)/
Jumlah leukosit, merupakan tes yang memiliki sesitivitas 76,5% dan
spesifisitas 73,7% untuk mendiagnosis apendisitis akut, pasien apendisitis
akut akan memiliki TLC yang lebih dari 10.000/mm3. Pada penelitian
Sahbaz et al., TLC pada apendisitis akut umumnya mempunyai nilai leukosit
15.000/mm3. TLC yang lebih tinggi 18.000/mm3 bisa dikatakan dengan adanya
apendisitis perforasi atau gangrene (Sahbaz et al., 2014).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira
10 cm dan berpangkal pada sekum. Bentuk apendiks seperti jari yang memiliki
kantong dan menempel pada usus besar di daerah kanan bawah perut, area antara
dada dan pinggul. Pertumbuhan apendisitis berasal dari sekum yang berlebih,
keadaan ini terjadi pada saat antenatal dan postnatal (Sjamsuhidajat, 2010).

B. Epidemiologi
Insidensi Apendisitis di Indonesia ketika tahun 2008 dinilai masih sangat
tinggi angka kejadiannya. Penduduk indonesia yang di diagnosis apendisitis sekitar
179.000 pasien atau berjumlah sekitar 7% (Depkes, 2008). Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, tetapi pada anak yang umurnya kurang dari satu
tahun jarang terdiagnosisi apendisitis dikarenakan apendiks pada bayi berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
menyebabkan rendahnya insidens kasus apendisitis pada usia tersebut (Thomas et
al., 2016). Amerika Serikat setiap tahun rata-rata 300.000 orang mengalami
apendiktomi, dengan perkiraan lifetime incidence berkisar dari 7-14% berdasarkan
jenis kelamin, harapan hidup dan ketepatan konfirmasi diagnosis (Flum, 2015).
Resiko terjadinya apendisitis terbanyak berjenis kelamin laki- laki dengan
presentase 72,2% sedangkan kelamin perempuan hanya 27,8% kejaian tersebut
dikarenakan laki- laki cenderung mengkonsumsi makan cepat saji dan lebih banyak
menghabiskan waktu diluar rumah untuk bekerja (Sirma et al., 2013).

C. Etiologi
Faktor yang mendominasi terjadinya apendisitis akut dikarenakan adanya
sumbatan lumen apendiks (Brunicardi, 2010). Fekalit merupakan penyabab umum
dari obstruksi. Fekalit ditemukan pada 40% kasus apendisitis akut sederhana, di
65% kasus apendisitis gangrene tanpa ruptur, dan hampir 90% dari kasus
apendisitis genggren dngan ruptur. Selain itu terdapat penyebab lain yang lebih
jarang seperti hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium yang mengental dari x-ray
sebelumnya, tumor, dan parasit usus (seperti cacing askaris) (Brunicardi, 2010).

4
Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkantekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa (Sjamsuhidajat,
2010).

D. Patogenesis
Kejadian primer pada sebagian besar pasien apendisitis diyakini karena
obstruksi lumen. Ini mugkin oleh berbagai penyebab, yang meliputi fekalit,
hiperplasia limfoid, benda asing, parasit, dan oleh tumor primer (karsinoma,
adenokarsinoma dan limfoma) dan metastasis (usus besar dan payudara). Obstruksi
lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang dapat
menyebabkan terjadinya distensi pada kantung apendiks. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang di produksi mukosa mengalami bendungan. Elastisitas
apendiks mempunyai keterbatasan, jika mukus yang di produksi mukosa makun
banyak menyebabkan peningkatan di intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal
hanya sekitar 0,1 ml. (Sjamsuhidajat, 2010).

Apendiks mengalami hipoksia, terjadi hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa


dan invasi bakteri dikarenakan peningkatan intralumen apendiks. Ulserasi
mukosa mengawali infeksi, yang terjadi pembengkakan yang bertambah (edema)
dan semakin iskemik karena terjadi thrombosis pembuluh darah intramural
(dinding apendiks), kemudian terjadi apedisitis akut fokal yang dintadai oleh nyeri
epigastrium. Terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri dapat
menembus dinding menyebabkan peningkatan intramural dikarenakan sekresi
mukus yang berlanjut. Timbulnya nyeri di daerah kanan bawah dikarenakan
peradangan meluas dan adanya gesekan mengenai peritoneum parietal. Keadaan ini
disebut dengan apendisitis supuratif akut. bila kemudian arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24
higga 36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor. Apabila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi. Terjadinya infiltrate apendikularis bila omentum dan

5
usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks dan mencegah terjadinya
perforasi sehingga timbulnya suatu massa, peradangan ini dapat menjadi abses atau
menghilang. (Sjamsuhidajat, Brunicardi, 2010).
Terbentuknya massa apendikular dikarenakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, massa apendikular ini
akan mengurangi diri secara lambat dan apendisitis akan sembuh. Terjadinya
perforasi berpengaruh terhadap daya tahan tubuh, bila daya tahan tubuh yang
lemah maka resiko terjadinya apendisitis perforasi lebih tinggi, anak-anak dan
orang tua memilik resiko tinggi terjadinya apendisitis perforasi. Pasien dengan
apedisitis non-perforasi dilaporkan bahwa rata-rata memiliki durasi 22 jam sebelum
gejala muncul, sedangkan pada pasien apendisitis perforasi rata-rata memiliki
durasi 57 jam sebelum terjadinya gejala perforasi. Terbentuknya massa apendikular
untuk melokalisir bila tidak selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Pasien harus benar-benar istirahat (bedrest) agar supaya proses
melokalisirnya cukup kuat menahan tegangan. Apendiks yang pernah meradang
tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang
menyebabkan perlengketan dengan jaringansekitarnya. Perlenketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini
dapat meradangiakut lagi dan dinyatakan megalami eksaserbasi akut
(Sjamsuhidajat, Brunicardi, 2010).

E. Manifestasi
klinis
Apendisitis akut pada anak tidak selalu mengikuti gambaran klasik seperti
pada orang dewasa, itu membutuhkan keterampilan klinis dan waktu dengan
pengamatan aktif untuk mencapai diagnosis yang benar. Meskipun ceritanya
terkadang dimulai dengan anoreksia, perhatian utamanya adalah nyeri perut yang
awalnya dimulai di daerah periumbilikal yang tidak jelas dan terlokalisasi dengan
buruk karena asalnya yang viseral, kemudian bergeser ke fosa iliaka kanan dan
menjadi lebih terlokalisasi dan menyebar (somatik). Nyeri visceral dihasilkan dari
distensi apendiks sementara nyeri somatik berkembang saat apendiks yang
meradang menempel pada peritoneum parietal. Kram perut intermiten tidak

6
mungkin disebabkan oleh radang usus buntu akut. Setelah itu anak mengeluh mual
dan muntah. Diare yang tidak biasa terlihat pada kasus apendisitis akut non-
perforasi, sementara itu terjadi bila ada perforasi; yang sering terjadi pada bayi
dan balita. Secara umum, serangan berulang muntah dan diare lebih mengarah pada
gastroenteritis daripada apendisitis akut. Beberapa anak mungkin tetap lapar
sementara yang lain mungkin muntah sebelum timbulnya sakit perut. Demam bila
ada biasanya ringan. Demam tingkat tinggi dikaitkan dengan apendisitis akut yang
rumit atau mungkin penyebab lain dari nyeri perut akut daripada apendisitis akut.

variabel Skor alvarado Skor PAS


Nyeri alih 1 1
anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan di RLQ 2 2
Nyeri lepas di RLQ 1 1
Peningkatan suhu tubuh 1 1

Leukosiosis (>10.000) 2 2
Shift to the left WBC 1 1
(>75%)
Nyeri RLQ ketika batuk/ - -
Nyeri ketok

Kesimpulan:
Hasil penelitian ini menunjukkan sensitivitas kriteria Alvarado yang lebih tinggi
dan spesifisitas PAS yang lebih tinggi. Namun, sensitivitas, sensitivitas dari
kriteria ini dianggap tidak cukup untuk memastikan diagnosis. (Hamawendi, 2017)

F. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisik seringkali tidak semua ada, terutama pada
apendisitis dini. Saat peradangan berlanjut, tanda-tanda peradangan peritoneum
mulai berkembang. Tanda-tandanya meliputi nyeri kuadran kanan bawah dan nyeri
rebound di atas titik Mc Burney. Tanda Rovsing (nyeri kuadran kanan bawah yang
ditimbulkan oleh palpasi kuadran kiri bawah), tanda Dunphy (nyeri perut
meningkat dengan batuk). Tanda-tanda terkait lainnya seperti tanda psoas
(nyeri pada rotasi eksternal atau ekstensi pasif pinggul menunjukkan apendisitis
retrosekal) atau tanda obturator (nyeri pada rotasi internal pinggul kanan

7
menunjukkan apendisitis panggul) jarang terjadi. Perjalanan waktu gejala
bervariasi tetapi biasanya berkembang dari apendisitis dini pada 12 hingga 24 jam
hingga perforasi lebih dari 48 jam. 75% pasien datang dalam waktu 24 jam setelah
timbulnya gejala. Risiko ruptur bervariasi tetapi sekitar 2% pada 36 jam dan
meningkat sekitar 5% setiap 12 jam setelahnya.

G. LABORATORIUM
Tes laboratorium untuk apendisitis akut seperti jumlah sel darah putih (WBC)
dan protein C-Reaktif (CRP) memiliki nilai diagnostik. WBC biasanya melebihi
10.000/mm. Namun, pada kasus yang parah terkait dengan peritonitis difus, WBC
mungkin menurun dari pada meningkat, jadi, harus berhati-hati. Meskipun CRP
meningkat pada apendisitis, peningkatan tersebut belum tentu terkait dengan tingkat
keparahan peradangan. Penggunaan sistem penilaian Alvarado, yang mencakup
temuan pemeriksaan klinis dan nilai laboratorium, membantu menyingkirkan
apendisitis. Skor berkisar dari 1 hingga 10, dengan skor yang lebih tinggi
menunjukkan risiko usus buntu yang lebih besar.

H. USG
Apendiks yang normal tidak dapat divisualisasikan dengan USG, bila terdapat
kondisi peradangan dan melebar maka dapat divisualisasikan. Apendisitis dapat
dibagi menjadi tiga jenis tergantung pada temuan USG. Klasifikasi tergantung
pada fitur pita gema tinggi yang mewakili lapisan submukosa, serta ada tidaknya
apendiks yang divisualisasikan dan panjang diameter apendiks yang lebih pendek.

jenis Diagnosis Struktur lapisan Lapisan

8
(Vagholkar, 2020)

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendiktomi.
Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Oleh
karenanya, meskipun dapat modalitas diagnostik lebih canggih, pentingnya
intervensi operasi segera tidak harus diminimalkan (Sjamsuhidajat, 2010).
American College of Surgeons, the Society for Surgery of the Alimentary Tract, dan
The World Society of Emergency Surgery, menjelaskan bahwa apendiktomi (baik
laparoskopi atau open apendiktomi) merupakan terapi pilihan untuk apendisitis.
Mengenai pemberian antibiotik sebagai langkah pertama mungkin efektif, tetapi
kemungkinan untuk terulang kembali lebih tinggi (Whallen, 2014), dan The World
Society of Emergency Surgery juga menyatakan bahwa terapi konservatif ini
menimbulkan angka kekambuhan yang tinggi dan oleh sebab itu lebih sedikit
dipilih daripada apendiktomi (Saverio, 2016 dan David, 2015). Penggunaan
antibiotik terbatas 24 sampai 48 jam dalam kasus apendisitis nonperforasi.
Apendisitis perforasi, dianjurkan terapi diberikan selama 7 sampai hari.
Antibiotik intra vena (IV) biasanya diberikan sampai jumlah sel darah putih
normal dan pasien tidak demam selama 24 jam. Selain itu pemberian analgesik
untuk menghilangkan nyeri juga diberikan pada pasien baik sebelum maupun
sesudah operasi untuk mengurangi keluhan (Brunicardi, 2010)
.

9
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Nomor RM : 371355
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 35 Tahun
Alamat : Jl. Asahan RT 02/01, Bentok Darat, Kec. Tanah Laut.

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah

b. Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 4 jam SMRS. sifat
nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk, pasien mengaku sering mengeluhkan nyeri
perut hilang timbul sejak 2 bulan terakhir, hari ini pasien mengeluhkan demam +,
mual +, muntah -, bak normal, dysuria -. Bab sulit, kentut tidak ada keluhan, riw
haid jarang. Pasien memakai KB suntik 3 bln, saat ini tidak sedang haid. Hamil
tidak tahu.

c. Riwayat Penyakit Dahulu:


RPD: maag +, riw SC 2x pada tahun 2008 dan 2018.

d. Riwayat Penyakit Keluarga:


-
e. Riwayat Kebiasaan:
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan suka makan-makanan rendah serat.

10
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Tanda Vital
GCS : E4V5M6
Kesadaran : CM
Tekanan Darah : 137/88 mmHg
Nadi : 133 x/mnt
Suhu : 38,1 C
Respirasi : 22 x/mnt
SpO2 : 99% room air
b. Pemeriksaan Fisik
Kepala/leher
Kepala : Mesosefali, Pembesaran KGB leher (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Wound (-).
Hidung : Epistaksis (-), secret berlebih tidak ada
Mulut : Wound (-).
Leher : Pembesaran KGB tidak ada.
Toraks
Inspeksi : Bentuk simetris, scar (-), wound (-).
Palpasi : FV D=S
Perkusi : Sonor semua regio pulmo
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki (-/-),Wheezing (-/-),
Jantung : S1 S2 tunggal, regular. Murmur (-)
Abdome n
Inspeksi : Soepel, datar
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : Timpai
Palpasi : Nyeri tekan suprapubik (+) dan nyeri tekan titik Mcburney (+),
nyeri lepas titik Mcburney, rovsing sign (-), Blumberg sign (-),
defans muscular (-).
Psoas sign : Positif
Obturator sign : Positif
Rectal Touche : Nyeri abdomen kanan bawah arah jam 11

11
Ekstre mitas
Superior dextra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat
Superior sinistra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat
Inferior dextra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat
Inferior sinistra : jejas (-), pitting edema (-), parese (-), akral hangat

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (04/04/2023 )
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 13,1 11.7 – 15.55 g/dL

Lekosit 11.100 3.600 – 11.000 mm


3

Hematokrit 38,4 35 – 47 Vol%


Trombosit 144.000 150.000 – 440.000 mm3

Segmen 76 50-70 %

KIMIA DARAH

Glukosa Darah Sewaktu 127 <200 mg/dl

Ureum 20 15 – 40 mg/dl

Creatinin 0,67 <0,9 mg/dl

SGOT 18 0-35 U/L

SGPT 21 0-35 U/L

URINALISIS

Kekeruhan agak keruh

Warna kuning muda


pH 6,0 4,5-8,0
Berat Jenis 1.010 1,005-1,030

12
Glukosa Negatif Negatif

Protein Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Lekosit Negatif Negatif

Darah negatif negatif Negatif

Mikroskopis 10x

- Epitel
- Epitel Squamous 5-10/LPK =2

- Epitel Transisional negatif/LPK =2


- Epitel Renalis negatif/LPK =2

- Silinder

- Silinder /LPK =2

Mikroskopis 40x

- Epitel 0-1/LPB =3

- Lekosit 0-2/LPB =5

- Kristal negatif /LPB


- Bakteri Negatif Negatif
- Jamur Negatif

URINALISIS

Tes Kehamilan 9HCG Negatif


(latex)

13
V. DIAGNOSIS
Obs abdominal pain ec susp Appendicitis akut

VI. TATALAKSANA
Terapi yang diberikan di IGD :
- IVFD RL 20 tpm
- Inj Santagesik 3x1gr
- Inj Ranitidin 2x50 mg
Konsul dokter spesialis bedah :
- Rencana apendiktomi
- Tambah Inj. Ceftriaxon 1x1gr

VII. LAPORAN PEMBEDAHAN


- Informed consent
- Pasien posisi supine
- Insisi McBurney
- Buka cavum abdomen dan ditemukan appendix. App meradang dengan ukuran 6 x
70,7 cm dengan slunge diselubung app. Perforasi (-)
- Dilakukan appendictomi
- Cuci luka dan rawat perdarahan
- Jahit luka
- Operasi selesai

14
VIII. FOLLOW UP

Tanggal/ S O A P
Jam
04-04-2023/ Nyeri perut (+) KU: TSS Obs. IVFD RL 20 tpm
21.15 Demam (-), mual (-) GCS E4V5M6 Abdominal inj santagesik 3x1 gr
TD: 110/80 pain ec susp inj omatici 2x50 mg
IGD mmHg Appendicitis
HR: 92 x/menit akut R/ konsul dr. Dyah Sp.B
RR: 24 x/menit
T: 36,0 C tambah Inj. Ceftriaxon
Spo2: 99 % room 1x1gr
05-04-2023/ Nyeri perut (+) KU: TSS Susp. R/ konsul rencana operasi
09.30 Demam (-), mual (-) GCS E4V5M6 Appendicitis hari ini
TD: 118/86 akut pro
Ruang NURI mmHg Appendictomy Terakhir makan jam 08.00
HR: 92 x/menit
RR: 18 x/menit Advice dr. Musyaddad
T: 36,3 C Sp.An
Spo2: 99 % room
air - Siapkan, stop intake oral,
rencana SAB.
05-04-2023/ Post OP KU: Baik; HD Appendicitis IVFD RL 20 tpm
12.40 stabil akut post inj santagesik 3x1 gr
GCS E4V5M6 Appendictomy inj omatici 2x50 mg
Ruang NURI Abd. Kasa Ceftriaxon 1x1gr
merembes (-)
Obs. Keadaan umum,
kesadaran, tanda akut
abdomen

15
06-04-2023/ Nyeri luka OP (+), KU: Baik: HD post P/ KRS
08.30 Demam (-), mual (-), stabil Appendictomy - Perawatan luka
muntah (-) GCS E4V5M6 - PO: Cefadroxil 2x50mg
Ruang NURI Abd. Flat, supel, As. Mefenamat 3x5 mg
BU (+), kasa
merembes (+)

16
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesa didapatkan pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah, nyeri awalnya
di suprapubic. Nyeri perut yang awalnya dimulai di daerah periumbilical yang tidak
jelas dan terlokalisasi dengan buruk karena asalnya yang viseral, kemudian
bergeser ke fosa iliaka kanan menjadi lebih terlokalisasi dan menyebar (somatik).
Nyeri visceral dihasilkan dari distensi apendiks sementara nyeri somatik
berkembang saat apendiks yang meradang menempel pada peritoneum parietal.
Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh inflmasi dan tekanan yang
berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan diaktifkan dari
saluran pencernaan melalui aferen nervus vagus.
Nyeri tekan McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang menyebabkan nyeri
somatic.
Psoas sign menunjukan peradangan dari appendiks yang letaknya dekat dengan
otot psoas. Obturator sign juga positif karena gerakan rotasi dari pinggang juga
menghasilkan nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga terletak berdekatan
dengan otot obturator eksternus.
Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap menunjukan respon
tubuh terhadap infeksi.
Urine lengkap untuk menyingkirkan adanya kelainan atau kemungkinan gangguan
saluran kemih.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini sesuai
Alvarado score dengan total skor 8, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila skor 7-10.
Penilaian Skor yang Skor Ajuan
didapat
Gejala Nyeri alih 1 1
Anoreksia 0 1
Mual / muntah 1 1
Tanda Nyeri perut kanan bawah 2 2
(McBurney)
Nyeri lepas 1 1

Suhu (>37.5 C) 1 1

Laboratoriu Leukositosis (>10.000/ul) 2 2

17
m Neutrofil bergeser ke kiri - 1
(>75%)
Total Skor 8 10

Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotic spektum luas golongan


sefalosporin generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan diantaranya
memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan anaerob.

18
BAB V
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermicularis. Apendisitis merupakan kasus
bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor yang mendominasi terjadinya
apendisitis akut bermacam-macam, namun sumbatan atau obstruksi lumen
apendiks adalah penyebab utamanya.
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney
disertai nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu. Dapat
dijumpai mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat dilakukan maneuver Roving
sign, Blumberg sign, Psoas sign, dan obturator test dalam membantu penegakan
diagnosis.
Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka diagnosanya adalah apendiksitis akut. Dari hasil
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah cukup terpenuhi.
Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi pasien saat pulang telah
dalam keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Maa, John dan Kirkwood, Kimberly S. 2012. Sabiston Textbook Of Surgery.


Nineteenth Edition. Philadelphia, PA 19103-2899.
2. Mostbeck, Gerhard., Adam, E.Jane., Nielsen, Michael Bachmann., Claudon,
Michel., Clevert, Dirk., Nicolau, Carlos., Nyhsen, Christine., Owens,
Catherine M. 2016. How To Diagnose Acute Appendicitis: Ultrasound First.
Springer.
3. Marisa., Junaedi, Haryadi Ibnu., dan Setiawan, Muhammad Riza. 2012. Batas
Angka Leukosit Antara Apendisitis Akur Dan Apendisitis Perforasi Di Rumah
Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang Selama Januari 2009- Juli 2011.
Jurnal Kedokteran Muhammadiyah, volume 1, Nomor 1.
4. Saaiq, Muhammad., Niaz-Ud-DIN., Jalil, Ana., Zubair, Muhammad., Shah, Syed
Aslam. 2014. Diagnostic Accuracy Of Leukocytosis In Prediction Of Acute
Appendicitis. Journal Of The College Of Physicians And Surgeons Pakistan
2014, Vol.24 (1): 67-69.
5. Sjamsuhidajat, R dan Jong, Wim De. 1997. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Jakarta
10042
6. Flum, David. 2015. Acute Appendicitis – Appendectomy or the – Antibiotics
First. American College of Surgeon
7. hamawendi. 2017. Acute Appendicitis in Children. LAP Lambert academic
publishing
8. Vagholkar, Ketan. 2020. Acute Appendicitis In Adults. International Surgery
Journal
9. Whallen, MD., et al. 2014. Appendextomy: Surgical Removal of the
Apendix. American College of Surgeons.
10. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et a l. 2010. The Appendix.
Shcwartz’s Principles of Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies.

20

Anda mungkin juga menyukai