Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Pembimbing :
dr. Ramzie Nendra D, Sp.U

Disusun Oleh :
dr. Liana Puspitasari

PROGRAM DOKTER INTERSHIP INDONESIA RUMAH SAKIT


BHAYANGKARA SETUKPA LEMDIKPOL
KOTA SUKABUMI
PERIODE NOVEMBER 2022 – NOVEMBER 2023
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

Telah disahkan disetujui laporan kegiatan


Dokter Internship

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Disusun Oleh :
dr. Liana Puspitasari

Sukabumi,

Dokter Pembimbing

(dr. Ramzie Nendra D, Sp.U)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat-
Nya sehingga laporan kasus yang berjudul “BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui pencapaian pembelajaran
dokter internship di Rumah Sakit Bhayangkara Setukpa Lemdikpol Kota Sukabumi. Kami
ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Ramzie Nendra D, Sp.U, atas saran
dan bimbingannya dalam menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis
dan pembatasan waktu. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang
membangun guna menyempurnakan laporan kasus ini. Akhir kata, penulis berharap agar
laporan kasus ini memberi manfaat kepada semua orang.

Sukabumi, 05 Januari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................................................
BAB I PENDAHULAN...........................................................................................................................
BAB II IDENTIFIKASI KASUS............................................................................................................
2.1 Identitas Pasien......................................................................................................................
2.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................................................
2.3 Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................................
2.4 Resume..................................................................................................................................
2.5 Follow Up..............................................................................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................
3.1 Definisi BPH..........................................................................................................................
3.2 Anatomi Kelenjar Prostat......................................................................................................
3.3 Fisiologi Kelenjar Prostat......................................................................................................
3.4 Etiologi BPH..........................................................................................................................
3.5 Faktor Resiko BPH................................................................................................................
3.6 Klasifikasi BPH.....................................................................................................................
3.7 Pengukuran Derajat Obstruksi...............................................................................................
3.8 Patofisiologi BPH..................................................................................................................
3.9 Gejala Klinis BPH.................................................................................................................
3.10 Diagnosis BPH....................................................................................................................
3.11 Pemeriksaan Penunjang BPH..............................................................................................
3.12 Penatalaksanaan BPH..........................................................................................................
3.13 Komplikasi BPH..................................................................................................................
BAB IV PENUTUP..................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................

ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar belakang

BPH merupakan kelainan pembesaran kelenjar yaitu hiperplasia yang mendesak


jaringan asli keporifer. Pada pasien BPH usia lanjut sangat memerlukan tindakan yang
tepat untuk mengantisipasinya. Sebagai salah satu tindakan yang akan dilakukan adalah
dengan operasi prostat atau prostatektomi untuk mengangkat pembesaran prostat. Dari
pengangkatan prostat, pasien harus dirawat inap sampai keadaannya membaik, guna
mencegah komplikasi lebih lanjut. (Suwandi, 2007)

Menurut Silva (2007), BPH dianggap menjadi bagian dari proses penuaan yang
normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak segera
ditangani dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH
yang dibiarkan tanpa pengobatan adalah pembentukan batu vesika akibat selalu
terdapat sisa urin setelah buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila
tekanan intra vesika yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan
terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal.

Di Dunia, dapat dilihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan
seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya
usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun,
persen untuk mendapatkannya bisasehingga 90%. Sedangkan hasil penelitian Di
Amerika 20% penderita BPH terjadi pada usia 41-50 tahun, 50% terjadi pada usia 51-
60 tahun dan 90% terjadi pada usia 80 tahun (Johan, 2005).

Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat


benigna. Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih
80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan Fransisca, 2006).

1
BAB II
IDENTIFIKASI KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. Juju
Umur : 64 Tahun
Alamat : Kp. Pojok RT 025/010, Kec. Purabaya
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sunda
Status Administrasi : BPJS

No. Rekam Medik : 211114

Tanggal Pemeriksaan : 19 Desember 2022

Tanggal Pulang RS : 23 Desember 2022

Anamnesis Keluhan Utama

Nyeri Perut kiri bawah

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Setukpa dengan keluhan nyeri perut

kiri bawah. Nyeri sudah dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Nyeri menjalar ke

pinggang kiri. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat BAK, os juga mengeluh sering

terbangun dimalam hari saat tidur karena tidak tahan untuk menahan BAK,

frekuensi BAK malam hari >5x, BAK sedikit-sedikit, pancaran kencing kurang

jauh dan kurang deras.

Keluhan lain seperti demam dirasakan os sejak 2 hari, os juga mengeluhkan

nyeri ulu hati dan mual, tetapi tidak muntah. Batuk disangkal, BAB lancar dan

tidak ada keluhan. Sebelumnya os belum pernah mengalami keluhan serupa. Dikeluarga
2
os tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti os. Os sudah pernah berobat

ke puskesmas tetapi keluhan masih dirasakan belum hilang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi tidak terkontrol

Riwayat Keluarga
Pasien mengatakan dikeluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama.

2.2 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 4E 6M 5V
o Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 180/80 mmhg
 Nadi : 90 x/menit, regular, equal, isi cukup
 Suhu : 37.4 °c
 Pernafasan : 20x/menit
 SpO2 : 96 %

Kepala
 Bentuk : Normosefal
 Wajah : Simetris, edema (-), deformitas (-)
 Rambut : Hitam halus, tipis, tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera icteric -/-, pupil bulat isokor, reflex cahaya
+/+, air mata (+)
 Telinga : Simetris, bentuk normal, sekret (-)
 Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), hiperemis (-/-), epistaksis (-/-),
 Mulut : Mukosa oral kering, perioral sianosis (-),
 Tonsil : Pembesaran (-/-) hiperemis (-/-) detritus (-/-)
 Faring : Hiperemis(-)

3
Leher
 KGB : Tidak teraba pembesaran KGB
 Kelenjar Tiroid : Pembesaran Tiroid (-)
 Trachea : Tidak terdapat deviasi

Thoraks
 Inspeksi : Bentuk normal, pergerakan simetris
 Palpasi : Vokal fremitus sama di kedua lapang paru
 Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
 Auskultasi : + + - - - -
vesikuler + + wheezing - - ronkhi - -
+ + - - - -
Cor
 Inspeksi : Ictus cordis tampak
 Palpasi : Ictus cordis terletak di ICS V midclavicular line
 Perkusi : Batas Atas : ICS II Linea Parasternalis Dextra
Batas Kanan : ICS IV Linea Parasternalis Dextra
Batas Kiri : ICS IV Linea Midclavicula Sinistra
Batas bawah : ICS V Linea Midvlavicula Sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung S1, S2 murni regular, murmur (-) gallop (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar, lembut,
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Lembut, liver dan lien tidak terdapat pembesaran, turgor normal, nyeri

tekan regio Epigastrium (+), nyeri tekan regio Iliaca Sinistra (+), Nyeri

ketok CVA (-/+)


 Perkusi : Timpani, pekak samping (-), pekak pindah (-), ruang traube kosong.

Ekstremitas
 Bentuk normal, deformitas (-), Luka (-)
 Sianosis perifer (-), petechiea (-) clubbing finger (-) Palmar erythema (-), Spoon Nail (-)
 Muscle Strengh ektremitas atas dan bawah 5/5
4
 Akral hangat
 CRT < 2 detik

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang 19 Desember 2022
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 11.2 g/dL 14-18
Hematokrit 33.0 % 41-53
Leukosit 17.100 /mm 3
4.000-10.000
Trombosit 249.000 /mm3 150.000- 400.000

HITUNG JENIS
Eosinofil - % 2-4
Basofil - % 0-1
Neutrofil Batang - % 3-6
Neutrofil Segmen 73 % 50-70
Limfosit 10 % 25-40
Monosit 17 % 2-8
KIMIA KLINIK
Ureum 71 mg/dL 20-40
Kreatinin 1.8 mg/dL 0.5-1.1
SGOT 157 U/L 10-34
SGPT 172 U/L 9-46
Natrium 134 Mmol/L 135-148
Kalium 4.3 Mmol/L 3.5-5.3
Klorida 106 Mmol/L 99-107
GDS 139 mg/dL <180
IMUNOLOGI
Rapid Antigen Negatif - Negatif

5
Pemeriksaan USG
USG Abdomen Bawah 20 Desember 2022

USG Abdomen Bawah


- Ginjal kanan dan kiri ukuran normal, batas medulla dan kortex tidak tampak jelas,
ketebalan kortex normal, kedua kalix dan kedua ureter sangat melebar, tidak tampak
jelas batu / SOL
- Vesica Urinaria dinding menebal, irregular, tampak bayangan hyperechoic 1cm dan
slunge tebal intralumen
- Prostat ukuran 3,4x4x4,5 cm setara dengan volume 31-32 cc, tidak tampak SOL
Kesan
 HIDRONEFROSIS KEDUA GINJAL, GRADE III-IV
 HIDROURETER BILATERAL
 CYSTITIS KRONIS EC SUSPEK VESIKOLITHIASIS DENGAN SLUNGE
INTRALUMEN VESICA URINARIA

6
 HIPERPLASIA PROSTAT

Pemeriksaan BNO Polos

- Tampak udara usus berlebih


- Tidak tampak distensi usus yang significant
- Tampak bayangan opak dirongga pelvis setinggi sacrum 3
- Udara dirongga pelvis minimal
- Kalsifikasi vertebrae Lumbal 1-5
- Tidak tampak kompresi corpus vertebrae lumbalis
- Scoliosis vertebrae lumbal ke kanan
Kesan
 Suspek Vesikolitiasis
 Spondiloartrosis vertebrae lumbal 1-5
 Gambaran meteorismus dengan skibala
 Scoliosis vertebrae lumbal ke kanan

7
8
Pemeriksaan Foto Thorac

- Trachea ditengah
- Cor membesar
- Sinus tajam
- Diaphragma licin
- Pulmo hillus kasar
- Corakan paru ramai
- Tampak bercak halus inhomogen dan infiltrate progresif baru pada basal kedua paru
Kesan
 Tampak gambaran Bronchopneumonia
 Elongation dan kalsifikasi aorta
 Kardiomegali suspek LVH

9
2.4 Resume
Anamnesis
 Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Setukpa dengan keluhan nyeri perut

kiri bawah. Nyeri sudah dirasakan sejak 1 bulan SMRS

 Nyeri menjalar ke pinggang kiri. Pasien juga mengeluhkan nyeri saat BAK,

 os juga mengeluh sering terbangun dimalam hari saat tidur karena tidak

tahan untuk menahan BAK, frekuensi BAK malam hari >5x, BAK sedikit-

sedikit, pancaran kencing kurang jauh dan kurang deras.

 Keluhan lain seperti demam dirasakan os sejak 2 hari, os juga mengeluhkan

nyeri ulu hati dan mual, tetapi tidak muntah. Batuk disangkal, BAB lancar

dan tidak ada keluhan.

 Sebelumnya os belum pernah mengalami keluhan serupa. Dikeluarga os tidak ada

anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti os

Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum : Sakit sedang
o Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 180/80 mmhg
 Nadi : 90 x/menit, regular, equal, isi cukup
 Suhu : 37.4 °c
 Pernafasan : 20x/menit
 SpO2 : 96 %

Abdomen
 Inspeksi : Datar, lembut,
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Lembut, liver dan lien tidak terdapat pembesaran, turgor normal, nyeri

10
tekan regio Epigastrium (+), nyeri tekan regio Iliaca Sinistra (+), Nyeri

ketok CVA (-/+)


 Perkusi : Timpani, pekak samping (-), pekak pindah (-), ruang traube kosong.

Pemeriksaan Penunjang
Lab
USG Abdomen Bawah

Kesan:
 Hidronefrosis Kedua Ginjal, Grade III-IV
 Hidroureter Bilateral
 Cystitis Kronis Ec Suspek Vesikolithiasis Dengan Slunge Intralumen Vesica Urinaria
 Hiperplasia Prostat

Diagnosis
Benign Prostat Hiperplasia
Diagnosis Banding
 Hidronefrosis Ginjal bilateral

 Hidronefrosis Ureter Bilateral

 Cystitis ec susp Vesicolithiasis


Pengobatan
Tatalaksana IGD

 Hydromal 20 tpm

 Omeprazole iv 1 amp

 Ketorolac iv 1 amp

 Paracetamol 500mg po

 Amlodipine 5mg po

11
 Konsul dr Ramzie SpU

Advice dr. Ramzie SpU :

 Hydromal 14 tpm
 Ketorolac 2x30mg iv
 Lansoprazole 1x30mg iv
 Ceftriaxone 2x1gr iv
 Harnal 1x0,4mg po
 Amlodipine 1x10mg po
 BNO Polos
 USG Urologi

2.5 Follow Up

Tanggal S O A P
Pasien  Kesadaran : CM Colic Renal Hydromal 14
20/12/2022 Sinistra + Susp
mengeluhkan  TD: 120/80 tpm
dr. Ramzie nyeri perut  HR: 80 x/menit BPH + HT
SpU kiri bawah,  Suhu: 36,1 C Ketorolac
BAK kadang  RR: 20 x/menit 2x30mg iv
tersendat  Kepala: Normocephal,
 Conjungtiva Anemis Lansoprazole
(-/-) Sklera ikterik (-/-) 1x3mg iv
Thorak:
 Pulmo : sonor pada Ceftriaxone
lapang paru inferior 2x1gr iv
sinistra, VBS (+/+) Rh
(-/-) Wh (-/-)
 Cor : S1 S2 Reguler, Harnal
murmur (-), Gallop (-) 1x0,4mg po
Abdomen: Supel, Bising
Usus (+), Ekstremitas: Amlodipine
 Akral hangat (+) 1x10mg po
Edema (-) CRT
<2’’Detik
 Produksi urin jernih

12
13
Tanggal S O A P
Pasien  Kesadaran : CM Hidronefrosis Pro URS dextra et
21/12/2022 dextra et
mengeluhkan  TD: 120/80 sinistra + TURP
dr. Ramzie nyeri perut  HR: 88 x/menit sinistra + BPH jam 18.00
SpU kanan dan  Suhu: 36,4 C
kiri  RR: 20 x/menit Terapi lanjut :
kiri ,BAK  Kepala: Normocephal, Hydromal 14 tpm
kadang  Conjungtiva Anemis
tersendat (-/-) Sklera ikterik (-/-) Ketorolac 2x30mg
Thorak: iv
 Pulmo : sonor pada
lapang paru inferior
Lansoprazole
sinistra, VBS (+/+) Rh
(-/-) Wh (-/-) 1x3mg iv
 Cor : S1 S2 Reguler,
murmur (-), Gallop (-) Ceftriaxone 2x1gr
Abdomen: Supel, iv
Bising Usus (+), nyeri
ketok CVA +/+ Harnal 1x0,4mg
 Ekstremitas: Akral po
hangat (+) Edema (-)
CRT <2’’Detik Amlodipine
1x10mg po
USG : Hidronefrosis Dextra
sinistra grade III + BPH

Instruksi Post OP :
21/12/22 Post TURP +
dr. Ramzie Vesikolitotripsy Hydromal 14 tpm
SpU Ceftriaxone 2x1gr
iv
Lansoprazole
1x30mg iv
Asam traneksamat
2x500mg iv
Ibuprofen
2x400mg po
AFF traksi besok
pagi
Irigasi kateter
sampai dengan
jernih

14
Tanggal S O A P
Nyeri luka  Kesadaran : CM Post TURP a/i Terapi lanjut
22/12/2022 BPH
operasi (+),  TD: 110/80
Dokter pusing (+)  HR: 80 x/menit Hydromal 14
Umum  Suhu: 36,5 C tpm
 RR: 20 x/menit
 Kepala: Normocephal, Ketorolac
 Conjungtiva Anemis 2x30mg iv
(-/-) Sklera ikterik (-/-)
Thorak: Lansoprazole
 Pulmo : sonor pada 1x3mg iv
lapang paru inferior
sinistra, VBS (+/+) Rh
(-/-) Wh (-/-) Ceftriaxone
 Cor : S1 S2 Reguler, 2x1gr iv
murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: Supel, Bising Harnal
Usus (+), 1x0,4mg po
 Ekstremitas: Akral
hangat (+) Edema (-) Amlodipine
CRT <2’’Detik 1x10mg po
 Produksi urin 100cc,
darah (+)

15
Tanggal S O A P
Nyeri luka  Kesadaran : CM BPH post AFF DC
23/12/2022 TURP
operasi (-),  TD: 110/70 Rencana
dr. Ramzie Keluhan lain  HR: 84 x/menit pulang sore
SpU (-)  Suhu: 36,6 C
 RR: 20 x/menit Terapi
 Kepala: Normocephal, pulang :
 Conjungtiva Anemis Natrium
(-/-) Sklera ikterik (-/-) diclofenac
Thorak: 2x50mg
 Pulmo : sonor pada
lapang paru inferior
Cefixime
sinistra, VBS (+/+) Rh
(-/-) Wh (-/-) 2x200mg
 Cor : S1 S2 Reguler,
murmur (-), Gallop (-) Posafit 2x1
Abdomen: Supel, Bising tab
Usus (+),
 Ekstremitas: Akral Urief 2x4mg
hangat (+) Edema (-)
CRT <2’’Detik
 Produksi urin jernih

BAK Lancar  Kesadaran : CM BPH POST Urief 2x4mg


28/12/2022 TURP
Darah –  TD: 160/100 Uritus
dr. Ramzie Nyeri  HR: 80 x/menit 2x0,1mg
SpU pinggang -  Suhu: 36,5 C
 RR: 20 x/menit
(kontrol ke  Kepala: Normocephal,
poliklinik)  Conjungtiva Anemis
(-/-) Sklera ikterik (-/-)
Thorak:
 Pulmo : sonor pada
lapang paru inferior
sinistra, VBS (+/+) Rh
(-/-) Wh (-/-)
 Cor : S1 S2 Reguler,
murmur (-), Gallop (-)
Abdomen: Supel, Bising
Usus (+),
 Ekstremitas: Akral
hangat (+) Edema (-)
CRT <2’’Detik

 Hasil PA :
BPH

16
Laporan Operasi

Jenis Tindakan : TURP + Vesikolitotripsi

- Posisi litotomy dengan Spinal Anestesi, Desinfeksi, Dropping -

- Sistoskopi : Muara Ureter dextra et sinistra core, Trabekulosis berat,

Batu Vesika 1 buah ukuran 1x1cm

17
BAB III
Tinjaun Pustaka

3.1 Definisi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Benign prostate hyperplasia atau sering disebut pembesaran prostat jinak


adalah sebuah penyakit yang sering terjadi pada pria dewasa di Amerika dimana
terjadi pembesaran prostat (Dipiro et al, 2015). BPH terjadi pada zona transisi
prostat, dimana sel stroma dan sel epitel berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya
dipengaruhi oleh hormon seks dan respon sitokin. Pada penderita BPH hormon
dihidrotestosteron (DHT) sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin dapat
memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel. Prostat membesar
mengakibatkan penyempitan uretra sehingga terjadi gejala obstruktif yaitu :
hiperaktif kandung kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016).

Benign prostate hyperplasia (BPH) dikaitkan dengan gejala saluran kemih


bawah, Gejala- gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat
jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih
(Dipiro et al, 2015).

3.2 Anatomi Kelenjar Prostat

Anatomi Prostat Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli- buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti
buah kemiri dengan ukuran 4 x 32,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.

kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskuler dan glandular yang terbagi
dalam beberapa daerah atau zona yaitu : perifer, sentral, transisional, prepostatik
sfingter dan anterior. Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah
satu komponen dari cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus

18
sekretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama
cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini merupakan ± 25% dari
volume ajakulat Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak, mengakibatkan
uretra posterior membuntu dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran
kemih .Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional
(Purnomo, 2000).

McNeal membagi kelenjar prostat menjadi 3 bagian.

1. Zona sentral
2. Zona perifer 75% volume prostat normal. Kanker prostat berkembang dari zona
ini.

3. Zona transisional.5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari


prostat yang membesar pada hiperplasia prostat jinak.
Kelenjar prostat yang sehat seperti ukuran kenari, letaknya tepat di bawah
blader dan di atas rektum. dan mengelilingi uretra. Perannya untuk menghasilkan
cairan kental yang membuat sebagian besar air mani pria. Otot prostat membantu
sperma bergerak melalui saluran ejakulasi, dan juga membantu membuka kandung
kemih untuk memungkinkan urin melewati uretra. dengan demikian, kelenjar
prostat yang sehat diperlukan untuk kinerja yang memuaskan dari kedua fungsi
seksual dan saluran kencing

3.3 Fisiologi Prostat


Sekret kelenjar prostat seperti cairan susu, sekret berasal dari vesikula
seminalis yang merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi
sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam yaitu 6,5.

Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang
kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan
selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan
cairan vesikula seminalis 46- 80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat
19
dibawah pengaruh androgen bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian
Stilbestrol (Mulyono, 1995)

3.4 Etiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan adanya perubahan keseimbangan antara hormon
testosteron dan estrogen pada usia lanjut, peranan faktor pertumbuhan (growth
factor) sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat, meningkatnya lama
hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel-sel yang mati dan terjadinya
proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel
epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Purnomo, 2000).

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:

a. Teori Dihidrotestosteron Untuk pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat


dibutuhkan suatu metabolit androgen yaitu dihidrotestosteron atau DHT.
Dihidrotestosteron dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di dalam sel
prostat oleh enzim 5α- reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.
Dihidrotestosteron yang telah berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis
protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo,
2012). Perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α-
reduktase. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal (Purnomo, 2012)

b. Teori Ketidakseimbangan Estrogen dan Testosteron Pada usia yang semakin


20
tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap
sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian
sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru
akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat menjadi lebih
besar (Purnomo, 2012).

c. Teori Interaksi Stroma dan Epitel Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu
mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma
(Purnomo, 2012)

Berkurangnya Kematian Sel Prostat Program kematian sel (apoptosis) pada


sel prostat adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis
kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang
selanjutnya selsel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom (Purnomo, 2012). Pada
jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam
keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum
dapat diterangkan secara pasti faktorfaktor yang menghambat proses
apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses

21
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia
sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses
apoptosis.

d. Teori Sel Stem Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu
suatu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen,
sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi
produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel kelenjar (Purnomo, 2012).

3.5 Faktor Resiko Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran prostat


telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang menganalisis data dari
kelompok plasebo dalam Prostate Cancer Prevention Trial (PCPT), yang terdaftar
18.880 pria berusia lebih dari 50 tahun, tingginya konsumsi daging merah dan
diet tinggi lemak dapat meningkatkan risiko BPH, dan tingginya konsumsi
sayuran dikaitkan dengan penurunan risiko BPH. Lycopene dan suplemen dengan
vitamin D bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin
E, dan selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas fisik
juga terbukti mengurangi kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary
Tract Symptom (LUTS).
Dalam meta-analisis yang terdaftar 43.083 pasien laki-laki, intensitas latihan
itu terkait dengan pengurangan risiko pembesaran prostat. Sebuah korelasi negatif
antara asupan alkohol dan pembesaran prostat telah ditunjukkan dalam banyak
studi penelitian (Yoo & Cho, 2012)

22
Pria yang mengkonsumsi alkohol secara sedang memiliki risiko 30% lebih
kecil kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinan untuk
mengalami transurethral resection prostate, dan 20% lebih kecil kemungkinan
mengalami gejala nokturia. Namun, dalam meta-analisis dari 19 studi terakhir,
menggabungkan 120.091 pasien, pria yang mengkonsumsi 35 gram atau lebih
alkohol per hari dapat menurunkan risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan
risiko LUTS dibandingkan dengan pria yang tidak mengkonsumsi alkohol (Yoo
& Cho, 2012).

3.6 Klasifikasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score
(PSS).

• Derajat ringan: skor 0−7,

• Sedang: skor 8−19, dan

• Berat: skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012).

3.7 Pengukuran Derajat Obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur melalui beberapa cara. Cara pertama yaitu

dengan mengukur volume sisa urin setelah penderita miksi spontan karena pada orang

normal biasanya tidak terdapat sisa. Sisa urin lebih dari 100cc merupakan indikasi terapi

intervensi pada penderita BPH. Volume sisa urin dapat diukur dengan melakukan

kateterisasi ke dalam vesika setelah penderita miksi, dengan ultrasonografi vesika, atau foto

post voiding pada BNO-IVP. Cara kedua yaitu dengan uroflowmetri. Pada pemeriksaan ini

diukur pancaran urin, dimana nilai normal average flow rate (Qave) 10-12 ml/detik,

maximum flow rate (Qmax) 20 ml/detik, dan voided volume. 9

Secara klinik derajat berat BPH dibagi menjadi 4 gradasi, yaitu : 

23
 Derajat 1: Apabila ditemukan keluhan protatismus, pada DRE (colok dubur)

ditemukan penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm

kedalam rektum prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum

memerlukan tindakan operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif, misal

alfa bloker, prazozin, terazozin 1-5 mg per hari.

 Derajat 2: Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih menonjol.

Penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet dengan

muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari

100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk intervensi operatif.

 Derajat 3: Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine

lebih dari 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai

muara ureter. TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan reseksi

tidak selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.

 Derajat 4: Terjadi retensi urin total. Penonjolan > 3 cm ke dalam rektum prostat

menonjol melewati muara ureter. Tanda klinik terpenting pada BPH adalah

ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination

(DRE). Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal.

3.8 Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-
24
buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau LUTS yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo,
2012).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli


tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi
refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal
(Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau


tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan
keluar urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral
Resection of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat
jaringan periuretral hiperplasia insisi transuretral melalui serat otot leher kandung
kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk
memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar
prostat (Price & Wilson, 2012).

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar.


Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada
BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal.
Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik
sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab
obstruksi prostat (Purnomo, 2012).

3.9 Gejala Klinis Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Gejala pada penderita BPH dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala

obstruktif disebabkan oleh kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi secara adekuat
25
misalnya karena volume prostat pada BPH yang besar, sedangkan gejala iritatif disebabkan

oleh pengosongan yang tidak sempurna saat miksi atau rangsangan pada vesika oleh BPH

sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum terisi penuh.

Obstruktif Iritatif
Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy) Peningkatan frekuensi miksi (frequency)
Miksi terputus (intermittency) Peningkatan frekuensi miksi malam hari
(nocturia)
Urin menetes pada akhir miksi (terminal Miksi sulit ditahan (urgency)
dribbling)
Pancaran miksi lemah Nyeri pada waktu miksi (dysuria)
Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias)
Tabel 1. Gejala obstruktif dan iritatif pada BPH1

Beratnya gangguan miksi diidentifikasi dan diklasifikasikan oleh berbagai jenis

skoring, di antaranya International Prostate Symptom Score (IPSS) yang disusun oleh World

Health Organization dan Madsen Lawson Score. IPSS terdiri dari delapan buah pertanyaan

mengenai LUTS. Skor akhir akan menentukan tatalaksana yang akan dilakukan terhadap

penderita. 2,4

Tabel 2. Klasifikasi hasil IPSS2,4

Skor Kategori Tatalaksana


0-7 Ringan Watchfull waiting
8-18 Sedang Medikamentosa
19-35 Berat Operasi

Keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih akibat gejala

hiperplasia prostat. Di antaranya adalah:

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

26
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms

(LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala obstruktif disebabkan oleh

karena penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar

dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga

kontraksi terputus-putus. Gejala obstruktif antara lain :

a. Harus menunggu pada permulaan miksi (hestistancy)

 Pancaran miksi yang lemah (weak stream)

 Miksi terputus (intermittency)

 Menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)

 Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete bladder emptying)

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih

tergantung pada tiga faktor, yaitu:

 Volume kelenjar periuretral

 Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

 Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga

meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos

prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya

kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Gejala iritatif disebabkan oleh

karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan

oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada

vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Gejala iritatif antara lain :

 Bertambahnya frekuansi miksi (frequency)


27
 Nokturia

 Miksi sulit ditahan (urgency)

 Nyeri waktu miksi (disuria)

Gejala-gejala tersebut di atas sering disebut dengan sindroma prostastismus. Secara

klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi:

 Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

 Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

 Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +

sisaurin > 150 ml.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas,

berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari

infeksi atau urosepsis, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis),

yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan

tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3. Gejala di luar saluran kemih

Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan

hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi

sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.

3.10 Diagnosis

Pada pria berusia di atas 60 tahun kira-kira ditemukan 50% dengan pembesaran

prostat dan separuhnya akan memberikan keluhan.Jika dasar kelainan berada di traktur

urinarius bagian atas, maka diperiksa kelianan ginjal yang tergambar lewat pemeriksaan

28
fisik yaitu ginjal dapat teraba pada hidronefrosis, nyeri pinggang dan nyeri ketok regio

Flank pada pielonefritis, vesika urinaria dapat teraba bila terjadi retensi urin, dan teraba

benjolan di lipat paha bila ada hernia.

Pemeriksaan colok dubur (rectal touché, RT) dilakukan untuk memeriksa tonus

sfingter ani, mukosa rektum, dan prostat. Jika batas atas prostat masih teraba, dapat

diperkirakan massa prostat kurang dari 60 gram. Jika prostat teraba membesar maka diberi

deskripsi lebih lanjut mengenai konsistensi, simetri, dan nodul untuk menentukan dugaan

pembesaran jinak atau ganas. Pembesaran prostat jinak biasanya memiliki konsistensi

kenyal, bentuknya simetris, dan tidak terdapat nodul. Sedangkan pada adenokarsinoma

prostat konsistensinya keras, bentuk asimetris, dan terdapat nodul.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi atau

faktor komorbid pada penderita seperti infeksi, penurunan fungsi ginjal, batu saluran

kemih, dan diabetes mellitus. Pemeriksaan darah terdiri dari darah perifer lengkap,

elektrollit, PSA, ureum, kreatinin, dan kadar glukosa. Pemeriksaan urin terdiri dari

urinalisis, biakan, dan tes sensitivitas antibiotik.

Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada BPH terutama ultrasonografi (USG)

secara Trans Abdominal Ultrasound (TAUS) atau Trans Rectal Ultrasound (TRUS).

TAUS digunakan untuk menilai volume buli, volume sisa urin, divertikel, tumor, atau batu

buli. TRUS digunakan untuk mengukur volume prostat, prostat digolongkan besar jika

volumenya lebih dari 60 gram. TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan

dengan memperlihatkan adanya daerah hypoehoic, dan bisa dapat dilakukan biopsi prostat

dengan jarum yang dituntun TRUS diarahkan ke daerah yang hypoechoic Pencitraan

lainnya yang dapat dilakukan yaitu Blaas Nier Overzicht-Intravenous Pyelogram (BNO-

IVP) untuk melihat adanya batu saluran kemih, hidronefrosis, divertikulae, volume sisa

29
urin, dan indentasi prostat. CT Scan dan MRI jarang digunakan karena dianggap tidak

efisien.

Tabel 3. Indikasi biopsi prostat


1. Bila pada RT dicurigai adanya keganasan
2. Nilai PSA > 10 ng/ml atau PSA 4 – 10 ng/ml dengan PSAD > 0,15
(Standar internasional)
3. Nilai PSA > 30 ng/ml atau PSA 8 – 30 ng/ml dengan PSAD > 0,22
(Standar Jakarta)

3.11 Pemeriksaan Penunjang Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

A. Endapan Urin

Untuk memeriksa unsur-unsur pada endapan urin ini diperlukan


pemeriksaan sedimen urin. Pemeriksaan tersebut merupakan salah satu dari
tiga jenis pemeriksaan rutin urin yaitu pemeriksaan makroskopis,
pemeriksaan miskroskopis (pemeriksaan sedimen) dan pemeriksaan kimia
urin. Pada pemeriksaan makroskopis yang diperiksa adalah volume, warna,
kejernihan, berat jenis, bau dan pH urin. Pemeriksaan kimia urin dipakai
untuk pemeriksaan pH, protein, glukosa, keton, bilirubin, darah, urobilinogen
dan nitrit (Hapsari, 2010).
Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu
pemeriksaan sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui adanya
kelainan pada ginjal dan saluran kemih serta berat ringannya penyakit.
Pada BPH sendiri, unsur sedimen yang paling banyak terdapat antara lain
adalah eritrosit, leukosit, dan bakteri. Keberadaan dari endapan urin ini
mengiritasi dan dapat menyebabkan luka pada dinding kandung kemih
sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan mukosa. Hal ini lebih lanjut
terlihat pada terjadinya hematuria makros (darah pada urin).
30
Terkumpulnya endapan urin yang lebih banyak dapat menyebabkan
obstruksi aliran kemih sehingga lama kelamaan menjadi tidak dapat
mengeluarkan urin sama sekali (Hapsari, 2010).

Urinalisis Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya


leukosituria dan hematuria. Benign Prostate Hyperplasia yang sudah
menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit
lain yang menimbulkan keluhan miksi, yaitu: karsinoma buli-buli insitu
atau striktur uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya
kelainan. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu
dilakukan pemeriksaan kultur urin, dan kalau terdapat kecurigaan adanya
karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urin. Pada pasien
BPH yang sudah mengalami retensi urin dan telah memakai kateter,
pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada
leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter (IAUI, 2003).
B. Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 3−30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan
dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih
banyak. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem
pelvikalis 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika
terdapat kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal
ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan
pada saluran kemih bagian atas (IAUI, 2003).
C. Pemeriksaan Prostate Specific
Antigen Prostate Specific Antigen (PSA) disintesis oleh sel epitel
kelenjar prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker spesifik. Serum
PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH, dalam hal

31
ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk, dan lebih mudah
terjadinya retensi urin akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat
diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA makin cepat
laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap
tahun pada kadar PSA 0,2−1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada
kadar PSA 1,4−3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3−9,9
ng/dl adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami
peningkatan pada peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat
atau TURP), pada retensi urin akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia
yang makin tua (IAUI, 2003).

Uroflometri Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urin selama


proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari
uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran
maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran. Nilai Qmax dipengaruhi
oleh: usia, jumlah urin yang dikemihkan, serta terdapat variasi individual yang
cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume
urin (>150 mL) dan diperiksa berulang kali pada kesempatan yang berbeda.
Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan (Direct Bladder
Outlet Obstruction (BOO) harus diukur beberapa kali. Untuk menilai ada
tidaknya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urin 4 kali (IAUI,
2003).
D. Ultrasonografi (USG)
Merupakan penggunaan gelombang suara frekuensi sangat tinggi atau
ultrasonik (3,5−5 MHz) yang dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik pada
transduser untuk membantu diagnosis. Yang digunakan dalam bidang
kedokteran antara 1−10 MHz (Hapsari, 2010).

32
Gelombang tersebut berjalan melewati tubuh dan dipantulkan kembali
secara bervariasi, tergantung pada jenis jaringan yang terkena gelombang.
Dengan transduser yang sama, selain mengirimkan suara, juga menerima suara
yang dipantulkan dan mengubah sinyal menjadi arus listrik, yang kemudian
diproses menjadi gambar skala abu-abu. Citra yang bergerak didapatkan saat
transduser digerakkan pada tubuh. Potongan-potongan dapat diperoleh pada
setiap bidang dan kemudian ditampilkan pada monitor. Tulang dan udara
merupakan konduktor suara yang buruk, sehingga tidak dapat divisualisasikan
dengan baik, sedangkan cairan memiliki kemampuan menghantarkan suara
dengan sangat baik (Hapsari, 2010). Pada pemeriksaan USG kelenjar prostat,
zona sentral dan perifer prostat terlihat abu-abu muda sampai gelap homogen.
Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior terlihat hipoekogenik
heterogen. Keheterogenan dan kehipoekogenikan tergantung dari variasi jumlah
sel stromal dan epitelial kelenjar (Hapsari, 2010)
Zona transisional biasanya merupakan 5% bagian pada prostat lakilaki
muda. Akan tetapi dapat menjadi 90% bagian prostat pada pasien BPH. Dengan
meningkatnya ukuran zona transisional, zona perifer dan sentral prostat menjadi
tertekan ke belakang. Selain itu, zona transisional yang membesar juga melebar
ke arah distal sehingga menyebabkan overhanging apex zona perifer. Hal
tersebut dapat dilihat melalui TRUS. Selain itu, melalui TAUS, dapat dilihat
terdapat pembesaran lobus median prostat ke arah intra-vesikal (protrusi) dan
gambaran residu urin dalam jumlah banyak (>40 cc) (Hapsari, 2010).
E. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk
melihat perubahan metabolisme dari perubahan jaringan yang terjadi.
Pemeriksaan ini sangat penting dalam kaitan diagnosis penyakit karena salah
satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan
terhadap jaringan yang diduga terganggu (McVary & Roehrborn, 2010).
Metode teknik pembuatan preparat histopatologi: (1) Organ yang

33
telah dipotong secara representatif dan telah difiksasi formalin 10% 3
jam; (2) Bilas dengan air mengalir 3−5 kali; (3) Dehidrasi dengan: alkohol
70% selama 0,5 jam, alkohol 96% selama 0,5 jam, alkohol 96% selama 0,5
jam, alkohol absolut selama 1 jam, alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam; (4)
Clearing:xylolI selama 1 jam, xylolII selama 1 jam; (5) Impregnansi dengan
parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65°C; (6) Pembuatan blok parafin:
sebelum dilakukan pemotongan blok parafin didinginkan dalam lemari es.
Pemotongan menggunakan rotary microtome dengan menggunakan
disposable knife. Pita parafin dimekarkan pada water bath dengan suhu
60°C. Selanjutnya dilakukan pewarnaan hematoksilin eosin (HE)
(Muhartono dkk., 2013)

3. 12 Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik.


Kadangkadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri
tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi
saja (Purnomo, 2012)

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup


pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari tanpa terapi
(watchful waiting), medikamentosa, dan terapi intervensi (IAUI, 2003).

A. Tanpa terapi (watchful waiting)


Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan
skor IPSS <8 dan ≥8, tetapi gejala LUTS tidak mengganggu aktivitas
seharihari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya tidak boleh mengkonsumsi kopi atau alkohol
sebelum tidur malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), dan hindari penggunaan obat
dekongestan atau antihistamin (McVary & Roehrborn, 2010; Purnomo,
2012)
34
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan
ditanya keluhannya yang mungkin menjadi lebih baik (sebaiknya
memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan
laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi
bertambah buruk daripada sebelumnya, mungkin dipikirkan untuk
memilih terapi yang lain (Purnomo, 2012)

B. Medikamentosa
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
1. Penghambat adrenergik alfa

Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher

vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan

di uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala

timbul dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau

Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan

darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan

lemah.

2. Penghambat enzim 5 α reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga testosteron

tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga

sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan

efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.

3. Phytoterapi

Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum

Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea

pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas

35
diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth

Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-

androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel

prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan

tonus leher vesika.9,11

C. Intervensi
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan
adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif:
- sisa kencing yang banyak
- infeksi saluran kemih berulang
- batu vesika
- hematuria makroskopil
- retensi urin berulang
- penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien
memenuhi toleransi operasi. TURP adalah reseksi endoskopik malalui
uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan
kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya.
Metode inicukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi
retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil
terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah.
Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk
membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi.
Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan
TURP.
Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan operasi paling banyak
36
dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-
uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya
daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah.
Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang
dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan
yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril
(aquades). Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang
hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah vena yang terbuka padasaat reseksi. Kelebihan air dapat
menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air
atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan
pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah
meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien
akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma
dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar
0,99%.
Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TURP dipakai
cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada
aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi jangka waktu
operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik
untuk mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.
Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi,
hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan
apabila volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik /
prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan
volume prostat tidak begitu besar. Bila alat yang tersedia tidak memadai,
maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau

37
retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang
ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan
pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel
yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.

3.13 Komplikasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


Komplikasi umum pada BPH meliputi :
a. Retensi urin akut
Merupakan ketidakmampuan mendadak untuk buang air kecil. Kandung
kemih menjadi bengkak dan nyeri. Ini adalah keadaan darurat yang memerlukan
perhatian medis segera.
b. Infeksi saluran kemih
Urin sisa yang disebabkan oleh BPH dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih rekuren.
c. Batu kandung kemih
BPH dapat meningkatkan risiko pembentukan batu kandung kemih.
d. Gangguan fungsi kandung kemih
BPH dapat menyebabkan obstruksi saluran kandung kemih. Bila kandung
kemih harus bekerja lebih keras untuk mendorong urin keluar dalam jangka waktu
yang lama, maka dinding otot kandung kemih membentang dan melemahkan
sehingga tidak lagi berkontraksi dengan benar.
e. Gangguan fungsi ginjal
BPH berat dapat menyebabkan air seni kembali ke dalam dan merusak ginjal.

38
BAB IV

PENUTUP

Benign prostate hyperplasia atau sering disebut pembesaran prostat j inak


adalah sebuah penyakit yang sering terjadi pada pria dewasa di Amerika dimana
terjadi pembesaran prostat (Dipiro et al, 2015). BPH terjadi pada zona transisi
prostat, dimana sel stroma dan sel epitel berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya
dipengaruhi oleh hormon seks dan respon sitokin.
Pada penderita BPH hormon dihidrotestosteron (DHT) sangat tinggi
dalam jaringan prostat. Sitokin dapat memicu respon inflamasi dengan
menginduksi epitel. Prostat membesar mengakibatkan penyempitan uretra
sehingga terjadi gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung kemih, inflamasi,
pancaran miksi lemah

Benign prostate hyperplasia (BPH) dikaitkan dengan gejala saluran kemih


bawah, Gejala- gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat
jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih

Di Dunia, dapat dilihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an,


kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan
setelah meningkatnya usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi
50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisasehingga 90%.
Sedangkan hasil penelitian Di Amerika 20% penderita BPH terjadi pada usia 41-
50 tahun, 50% terjadi pada usia 51-60 tahun dan 90% terjadi pada usia 80 tahun
(Johan, 2005).

Di Indonesia pada usia lanjut, beberapa pria mengalami pembesaran prostat


benigna. Keadaan ini di alami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang
lebih 80% pria yang berusia 80 tahun (Nursalam dan Fransisca, 2006).

39
DAFTAR PUSTAKA

Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak


.Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-5
Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah . Binarupa
aksara, Jakarta ; 161-70
Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak.
Dalam: Kapita selekta Kedokteran . Media Aesculapius, Jakarta
; 329-34

Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam : Pembesaran


Prostay Jinak.
Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.

Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam : Pembesaran


Prostat Jinak.
Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17S

jamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah ,
EGC, Jakarta, 1997; 1058-64

40

Anda mungkin juga menyukai