Pembimbing :
dr. Bobby Prima, Sp.PD
Disusun Oleh :
dr. Lisdawaty Naomi Siregar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “Ny. D usia 47 Tahun dengan Ascites Massif et causa Sirosis Hepatis”
untuk memenuhi tugas Program Internship Dokter Indonesia. Terima kasih yang
sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada dr. Bobby Prima, Sp.PD., selaku
konsulen dan dr. Riza Monica selaku dokter pembimbing internship yang telah
membimbing dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis berharap laporan kasus
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................2
KATA PENGANTAR..................................................................................................3
DAFTAR ISI................................................................................................................4
BAB I............................................................................................................................5
PENDAHULUAN........................................................................................................5
BAB II..........................................................................................................................7
LAPORAN KASUS.....................................................................................................7
2.1. Identitas Pasien..................................................................................................7
2.2. Anamnesis..........................................................................................................7
2.3. Pemeriksaan Fisik..............................................................................................9
2.5. Resume.............................................................................................................15
2.6. Identifikasi Masalah........................................................................................16
2.7. Penatalaksanaan..............................................................................................16
2.8. Follow Up.......................................................................................................17
BAB III.......................................................................................................................24
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................24
3.1. Fisiologi Hepar............................................................................................24
3.2. Sirosis Hepatis..............................................................................................32
3.2.5.1. Penatalaksanaan sirosis kompensata.....................................................43
3.2.5.2. Penatalaksanaan sirosis dekompensata.................................................44
BAB IV PEMBAHASAN..........................................................................................46
BAB V PENUTUP................................................................................................... 46
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................52
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
2.2. Anamnesis
Dilakukan pada tanggal 03 November 2020, secara auto dan allo anamnesis
kepada pasien dan keluarga
Keluhan Utama :
Perut membesar yang memberat sejak 2 hari SMRS
8
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan dan riwayat penyakit yang sama.
Riwayat Kebiasaan :
1. Pasien tidak memiliki riwayat merokok.
2. Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas
3. Kebiasaan minum alkohol disangkal
4. Kebiasaan menggunakan jarum suntik disangkal
5. Riwayat transfusi darah disangkal
3. Keadaan Pernafasan
a. Frekuensi : 22 x/menit, regular, normal.
b. Corak Pernafasan : torako-abdominal
9
Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
a. Kepala : normocephali
b. Muka : simetris
c. Rambut : bersih, warna hitam dan tidak mudah rontok
2. Mata
a. Sklera : ikterik +/+
b. Konjungtiva Palpebra : Pucat -/-
c. Palpebra : edema -/-
d. Reflek cahaya : +/+
3. Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
4. Hidung : Deformitas septum nasi (-/-), nafas cuping hidung (-/-), mukosa
hiperemis (-/-),sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan (-)
5. Mulut : Bibir kering (-), pucat (-), sianosis (-), mukosa mulut merah (+),
sariawan (-), gusi bengkak (-), lidah kotor (-), papil atrofi (-), tremor
(-), karies gigi (+), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1, arkus faring
simetris.
6. Leher
Inspeksi: tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening
Palpasi :
10
7. Thorax
Inspeksi Gerakan dinding dada simetris saat Gerakan simetris saat statis dan
statis dan dinamis, spider nevi (-), dinamis
Retraksi intercostae (-) Penggunaan otot bantu napas (-)
Penggunaan otot bantu napas (-)
Pelebaran sela iga (-)
Palpasi Stem fremitus simetris kanan = kiri Stem fremitus simetris kanan =
Tidak ada benjolan, jejas (-) kiri, Tidak ada benjolan, jejas (-)
Perkusi sonor pada seluruh lapang paru sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi Vesikuler normal, Rh-/-, Wh -/- Vesikuler normal, Rh-/-, Wh -/-
8. Abdomen
Cor Hasil Pemeriksaan
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi Ictus codis tidak teraba.
Perkusi Batas kiri : SIC V, linea midclavicularis sinistra
11
a. Bentuk : normal
b. Kulit : normal
c. Clubbing finger : negatif
d. Palmar erythema : negatif
e. Pergerakan : tidak terbatas
f. Scar : tampak bekas scar
Palpasi
Palpasi
Hasil
Pemeriksaan Nilai Normal
(10/7/17)
Hb 12-16 g/dL 12,8
Ht 40-50 % 38 %
12
150.000- 450.000
Trombosit 199.000 sel/mm3
sel/mm3
Leukosit 4000-10000 mm3 5.500 mm3
Gula Darah Sewaktu 70-120 mg/dL 112 mg/dL
Ureum <50 mg/dl 30 mg/dL
Creatinin <1,3 mg/dl 1,0 mg/dL
SGOT <40 Unit/L 94 U/L
SGPT <41Unit/L 84 U/L
Diff Count 0/0/1/81/11/7
RDT Covid Non Reaktif Non Reaktif
HBSAG Negatif Positif
2.4.2. Elektrokardiogram
03 November 2020
Irama : Sinus
Frekuensi : 100 x/ menit, regular
Gel P : Tinggi: 0,04 dan lebar 0,08 (normal)
Axis : normoaksis
13
QRS Kompleks : 0,08 detik
Gel Q patologis : Tidak ada
ST Segmen : Isoelektris (Normal)
Gel T : Normal
14
2.5. Resume
Seorang wanita 47 tahun dengan keluhan perut membesar sejak ± 7 bulan
sebelum masuk rumah sakit, perut yang semakin lama dirasakan semakin membesar.
Pembesarannya terasa perlahan setiap harinya dan semakin lama semakin membesar.
Keluhan perut membesar baru pertama kali dirasakan pasien. Keluhan perut
membesar yang dirasakan membuat pasien merasakan penuh dan menyesak. Keluhan
nyeri perut (+) pada daerah ulu hati dan regio perut kanan, mual (+) muntah (-) dan
sesak (-). Pasien juga mengeluh adanya BAK yang bewarna seperti teh pekat,
keluhan nyeri saat BAK (-). Pasien mengatakan mengalami penurunan berat badan
dari berat badan 62 Kg sekarang menjadi 50 Kg. Pasien juga mengalami penurunan
nafsu makan (+), dan lemas (+) sehingga pasien terbatas dalam melakukan aktivitas.
Keluhan muntah darah (+) bewarna kehitaman kurang lebih 5 bulan yang lalu
sebanyak 4x masing – masing kurang lebih ½ gelas belimbing, riwayat BAB
bewarna kehitaman (+) sesekali konsistensi lembek, namun dalam 2 hari terakhir
pasien tidak BAB. Pasien juga mengeluh kedua tungkai kaki bengkak.
15
Pada pemeriksaan fisik didapakan sclera ikterik +/+, Pada pemeriksaan
abdomen dari inspeksi didapatkan tampak ikterus, cembung, distensi, nyeri tekan
pada regio epigastrium dan hipokondria kanan, pada perkusi didapatkan timpani
dengan dominant suara redup dan shifting dullness (+), tes undulasi (+), pada palpasi
didapatkan hepar dan lien sulit untuk diraba. Hasil pemeriksaan USG pada tanggal
16 September 2020 didapatkan kesan: Sirosis Hepatis dengan Ascites dan
Splenomegali.
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, pasien
memiliki riwayat maag, Riwayat alergi, DM, penyakit jantung disangkal dan
hipertensi disangkal. Pada pemeriksaan laboraturium didapatkan Hb 12,8 gr/dL,,
SGOT 94 U/L, SGPT 84 U/L, HBSAg positif. Hasil EKG tidak didapatkan adanya
kelainan.
2.6. Identifikasi Masalah
1. Ascites massif
2. Sirosis Hepatis Dekompensata DD/ Hepatocelluler Karsinoma
2.7. Diagnosis
1. Ascites massif e.c Sirosis Hepatis Dekompensata
2.8. Diagnosis Banding
1. Hepatocellular carcinoma
2. Metastase karsinoma ke Hepar
3. TB Usus
4. Kolangiokarsinoma
2.9. Penatalaksanaan
Istirahat
Diet Hati
IVFD RL (Asnet)
Inj Furosemid 1x1 ampl iv
Inj. Dexketoprofen 2x1 ampl iv
Inj. Esomax 1x1 vial iv
16
Spironolakton tab 3x100 mg po
Propanolol 2x10 mg po
2.10. Planning
Sitologi cairan ascites
CT scan abdomen
Cek laboratorium kadar AFP
Biopsi hepar
2.11. Follow Up
17
Hepatitis B Kronik
P - Istirahat
- Diet Hati
IVFD RL (Asnet)
Inj Furosemid 1x1 ampl iv
Inj. Dexketoprofen 2x1 ampl iv
Inj. Esomax 1x1 vial iv
Spironolakton tab 3x200 mg po
Propanolol 2x10 mg po
R/ Paracentesis besok pagi jam 10.00
Persiapan:
Transfusi set I
Abocatch uk 16 G I
Lidocain ampl IV
Spuit 5 cc I
Handscoon
Tanggal 05 November 2020
18
Jantung HR 86 x/menit reguler. BJ I/II Normal regular
Paru Vesikuler normal, ronkhi basah halus (-), whezzing (-),
Abdomen Cembung dan distensi berkurang, nyeri tekan (+)
epigastrium, hipokondria kanan (+), hepar dan lien sulit
dinilai, bsing usus (+) normal. Lingkar perut 89 cm
Ekstremitas Edema pretibia (+) berkurang
A Ascites massif e.c Sirosis Hepatis Dekompensata
Hepatitis B kronik
P - Istirahat
- Diet Hati
IVFD RL (Asnet)
Inj Furosemid 1x1 ampl iv
Inj. Dexketoprofen 2x1 ampl iv
Inj. Esomax 1x1 vial iv
Spironolakton tab 3x200 mg po
Propanolol 2x10 mg po
19
Kepala Conjungtiva palpebra pucat (-)/(-), sklera ikterik(+/+),
Thorax:
Jantung HR 89 x/menit reguler. BJ I/II Normal regular
Paru Vesikuler normal, ronkhi basah halus (-), whezzing (-),
Abdomen Cembung, distensi, nyeri tekan (+) epigastrium,
hipokondria kanan (+), Ballotement (+), hepar dan lien
sulit dinilai, bsing usus (+) normal. Lingkar perut 89 cm
Ekstremitas Edema pretibia (+) berkurang
20
makan (+) baik
21
Tanggal 08 November 2020
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
22
3.1. Fisiologi Hepar
3.1.1 Anatomi Hepar
Hati merupakan organ metabolik terbesar dan terpenting dalam tubuh, organ
ini dipandang sebagai pabrik biokimia utama di dalam tubuh dan berkontribusi
sekitar 2% dari total berat badan atau sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Permukaan
superior berbentuk cembung dan terletak dibawah kubah kanan diafragma dan
sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap ginjal
kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki dua lobus utama, kanan dan kiri.
Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis
yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral
oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar. Ligamentum falsiforme
berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen. Permukaan hati diliputi
oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang
melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan
peritoneum membantu menyokong hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan
penyambung padat yang dinamakan kapsula Glisson, yang meliputi seluruh
permukaan organ; kapsula ini melapisi mulai dari hilus atau porta hepatis di
permukaan inferior, melanjutkan diri ke dalam massa hati, membentuk rangka untuk
cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. [2,3]
23
Gambar 1. Permukaan anterior hati [5]
24
3.1.2. Histologi Hepar
Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang dinamakan lobulus,
yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ. Setiap lobulus merupakan
badan heksagonal dengan diameter antara 0,8 – 2 mm yang terdiri atas lempeng-
lempeng sel hati berbentuk kubus, tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di
antara lempengan sel hati terdapat kapiler-kapiler yang dinamakan sinusoid, tang
merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika. Tidak seperti kapiler lain, sinosoid
dibatasi oleh sel fagositik atau sel Kupffer. Sel Kupffer merupakan sistem monosit-
makrofag, dan fungsi utamanya adalah menelan bakteri dan benda asing lain dalam
darah. Hanya sumsum tulang yang mempunyai massa sel monosit-makrofag yang
lebih banyak daripada yang terdapat dalam hati, jadi hati merupakan salah satu organ
utama sebagai pertahanan terhadap invasi bakteri dan organ toksik. Selain cabang-
cabang vena porta dan arteria hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hati,
juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu interlobular membentuk kapiler
empedu yang sangat kecil yang dinamakan kanalikuli, berjalan ditengah-tengah
lempengan sel hati. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresi ke dalam
kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang semakin lama semakin
besar (duktus koledokus). [2,3]
25
Gambar 4. Pola lobular hati normal [5]
26
duktus biliaris komunis, yang mengangkut empedu dari hati ke duodenum. Setiap
hepatosit berkontak dengan sinusoid di satu sisi dan kanalikulus biliaris di sisi lain.
(Sherwood). Susunan anatomi hati memungkinkan setiap hepatosit berkontak
langsung dengan darah dari dua sumber: darah arteri yang berasal dari aorta dan
darah vena yang berasal langsung dari saluran cerna. Sel hepatosit menerima darah
arteri segar melalui arteri hepatica, yang menyalurkan oksigen dan metabolit-
metabolit darah untuk diproses oleh hati. Darah vena juga masuk ke hati melalui
sistem porta hati, suatu koneksi vascular unik dan kompleks antara saluran cerna dan
hati. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteria dan sekitar dua pertiga
adalah darah dari vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menit
adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatika dekstra dan sinistra, yang
selanjutnya bermuara pada vena kava inferior. [2]
Vena-vena yang mengalir dari saluran cerna tidak langsung menuju ke vena
cafa inferior, vena besar yang mengembalikan darah ke jantung, akan tetapi vena-
vena dari lambung dan usus masuk ke vena porta hati, yang membawa produk yang
diserap dari saluran cerna langsung ke hati untuk diproses, disimpan, atau
didetoksifikasi sebelum produk-produk ini memperoleh akses ke sirkulasi umum. Di
dalam hati, vena porta kembali bercabang menjadi anyamnan kapiler (sinusoid hati)
untuk memungkinkan terjadinya pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum
darah mengalir ke dalam vena hepatica yang kemudian menyatu dengan vena cafa
inferior. Vena porta bersifat unik karena terletak antara dua daerah kapiler, satu
dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta
bercabang-cabang yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini
kemudian mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-
lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara
lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa
lobulus membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali menyatu dan
membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus dari arteria hepatika juga
mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteria
27
dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta. Peningkatan tekanan dalam
sistem ini sering menjadi manifestasi gangguan hati dengan akibat serius yang
melibatkan pembuluh-pembuluh darimana darah portal berasal. [2]
3.1.4. Fisiologi
Hati sadalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. Organ ini dapat
dipandang sebagai pabrik biokimia utama di tubuh. Hati memiliki kapasitas
cadangan yang besar, dan hanya dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati
mampu mempertahankan kehidupan. Destruksi total atau pembuangan hati
mengakibatkan kematian dalam 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi yang
tinggi. Pada sebagian besar kasus, pengangkatan sebagian hati, baik karena sel sudah
mati atau sakit, akan diganti dengan jaringan hati yang baru. [2]
28
adalah fibrinogen (I), protrombin (II), dan faktor
V, VII, VIII, IX, dan X. Vitamin K diperlukan sebagai
kofaktor pada sintesis semua faktor ini kecuali
faktor V.
Ketogenesis
Penyimpana lemak
29
mengeluarkan empedi ke usus halus sesuai kebutuhan. Hati mensekresi sekitar 1 liter
empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam
empedu, fosfolipid (terutama lesitin) kolesterol, dan pigmen empedu (terutama
bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi lemak
dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka sebagian besar garam
empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami resirkulasi ke hati, serta kembali
dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir
metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk
penyakit hati dan saluran empedu yang penting, karena bilirubin cenderung
mewarnai jaringan dan cairan yang berkontak dengannya. [2]
Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan yang
dikirimkan oeh vena porta pasca absorbsi di usus. Bahan makanan tersebut adalah
karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi
glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini, glukosa
dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis) untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk
menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi glikogen dan disimpan
dalam jaringan subkutan. Hati mampu mensintesis glukosa dari protein dan lemak
(glukoneogenesis). Peranan hati pada metabolisme sangat penting untuk
kelangsungan hidup. Semua protein plasma, kecuali gamma globulin, disintesis oleh
hati. Protein ini termasuk albumin yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan
osmotik koloid, dan protrombin, fibrinogen, dan faktor-faktor pembekuan lain.
Selain itu, sebagian besar degradasi asam amino dimulai dalam hati melalui proses
deaminasi atau pembuangan gugus amonia (NH3). Amonia yang dilepaskan
kemudian disintesis menjadi urea dan disekresi oleh ginjal dan usus. Amonia yang
terbentuk dalam usus oleh kerja bakteri pada protein juga diubah menjadi urea dalam
hati. Fungsi metabolisme hati yang lain adalah metabolisme lemak, penyimpanan
vitamin, besi, dan tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal dan gonad, serta
detoksifikasi sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Fungsi detoksifikasi sangat
30
penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati melalui oksidasi, reduksi, hidrolisis,
atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya, dan mengubahnya menjadi zat yang
secara fisiologis tidak aktif. Zat-zat seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan
oleh kerja bakteri pada asam amino dalam usus besar dan zat-zat eksogen seperti
morfin, fenobarbital, dan obat-obat lain, didetoksifikasi dengan cara demikian. [2]
Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan karena
letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada sinusoid
menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan dengan cara
fagositosis. [2]
3.2. Sirosis Hepatis
3.2.1. Definisi
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis
hepatis ditandai oleh proses keradangan difus menahun pada hati, nekrosis sel hati,
usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus (fibrosis) di mana seluruh
kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan-bentukan regenerasi nodul.
Sirosis hepatis pada akhirnya dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan
pada kasus lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap.1
31
d. Toksoplasmosis
e. Hepatitis Virus
2. Penyakit Keturunan dan a. Defisiensi antitripsin
Metabolik
b.
Sindrom Fanconi
c.
Galaktosemia
d.
Penyakit Gaucher
e.
Penyakit simpanan Glikogen
f.
Hemokromatosis
g.
Intoleransi Fluktosa Herediter
h.
Tirosinemia Herediter
i.
Penyakit Wilson
3. Obat dan Toksin a.
Alkohol
b.
Amiodaron
c.
Arsenik
d.
Obstruksi Bilier
e.
Penyakit perlemakan hati non
alkoholik
f. Sirosis bilier primer
g. Kolangitis sklerosis primer
4. Penyebab lain atau tidak a. Penyakit usus inflamasi kronik
terbukti
b. Fibrosis kistik
c. Pintas jejunoileal
d. Sarkoidosis
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hepatis atas 3 jenis, yaitu : 1,4
1. Mikronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran < 3 mm.
2. Makronodular
Yaitu sirosis hepatis dimana nodul-nodul yang terbentuk berukuran > 3 mm.
3. Campuran
Yaitu gabungan dari mikronodular dan makronodular. Nodul-nodul yang
terbentuk ada yang berukuran < 3 mm dan ada yang berukuran > 3 mm.
Secara fungsional, sirosis hepatis terbagi atas : 1,4
1. Sirosis Hepatis Kompensata
32
Sering disebut dengan latent cirrhosis hepar. Pada stadium kompensata ini
belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada
saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis Hepatis Dekompensata
Dikenal dengan active cirrhosis hepar, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas, misalnya asites, edema dan ikterus.
3.2.3. Patofisiologi
Sirosis hepatis merupakan penyakit dengan proses nekrosis, inflamasi, fibrosis,
regenerasi nodular, dan pembentukan anastomosis vascular yang kurang lebih terjadi
secara bersamaan. Biasanya disebabkan oleh efek jangka panjang dari faktor yang
berbahaya, terutama penyalahgunaan alkohol yang merupakan penyebab dari sekitar
50% kasus diseluruh dunia. Kemungkinan terjadinya sirosis setelah mengonsumsi 13
kg etanol/kgBB secara kumulatif hanya sekitar 20% dan akan meningkatkan hingga
melebihi 90% setelah 40 Kg. zat yang paling berperan dalam pembentukan fibrosis
dan sirosis adalah metabolit etanol berupa aseltaldehid. Sirosis juga merupakan
stadium akhir dari hepatitis virus. Sirosis juga dapat terjadi setelah penyumbatan
pada aliran keluar darah atau setelah kerusakan hati lain. Faktor yang terlibat dalam
kerusakan sel hati adalah:
Defisiensi ATP akibat gangguan metabolism energi sel
Peningkatan pembentukan metabolit yang sangat reaktif (HO2, H2O2)
Defisiensi antioksidan misalnya glutation dan atau kerusakan enzim
perlindungan (glutation peroksidase, superoksida dismutase) yang
timbul bersamaan.
Metabolit O2 misalnya akan bereaksi dengan asam lemak tak jenuh pada
fosfolipid (peroksidase lemak). Hal ini membantu terjadinya kerusakan membran
plasma dan organel sel (lisosom, RE) akibatnya konsentrasi Ca2+ di sitosol
meningkat, yang mengaktifkan protease dan enzim lainnya sehingga terjadi
33
kerusakan sel yang bersifat ireversibel. Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap.
Jika hepatosit yang rusak mati, di antaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom
dan pelepasan sitokin dati matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel
yang mati akan mengaktifkan sel kupffer di sinusoid hati dan menarik sel inflamasi
(granulosit, limfosit, dan monosit). Berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin
kemudian dilepaskan dari sel kupffer dan dari sel inflamasi yang terlibat. Faktor
pertumbuhan ini dan sitokin selanjutnya mengubah sel Ito penyimpanan lemak di
hati menjadi miofibroblas, menubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag
aktif dan memicu proliferasi fibroblast. Aksi kemotaktik transforming growth factor
β (TGF- β) dan protein kemotaktik monosit 1 (MCP-1) yang dilepaskan dari sel Ito
(dirangsang oleh TNF alfa, platelet-derived growth factor (PDGF)) dan interleukin
akan memperkuat proses ini. Akibat sejumlah matriks ini, pembentukan matriks
ekstrasel ditingkatkan oleh miofibroblas dan fibroblast yang berdampak pada
peningkatan penimbunan kolagen (Tipe I, III, dan IV), proteoglikan dan glikoprotein
di ruang Disse. Fibrosis glikoprotein di ruang Disse menghambat pertukaran zat
antara sinusoid darah dan hepatosit, serta menignkatkan resistensi aliran di sinusoid.
Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak dan hepatosit akan mengalami
regenerasi. Jika nekrosis terbatas di pusat lobulus hati penggantian struktur hati yang
sempurna dimungkinkan terjadi. Namun jika nekrosis meluas menembus parenkim
perifer lobulus hati akan terbentuk septa jaringan ikat. Akibatnya regenerasi
fungsional yang sempurna tidak mungkin lagi terjadi dan akan terbentuklah nodul
(sirosis) yang kemudian menyebabkan kolestasis, hipertensi porta dan gagal hati
metabolik.5
34
35
Ikterus Perubahan Palmar
KERUSAKAN HEPAR
Metabolism Metabolism eritema
e Bilirubun e Steroid Angioma
Ginecomastia
Varises
Hipertens Esofagus Sintesis Volume Darah
i Portal Albumin Inaktifasi aldosteron & ADH
Splenomegal
i Tekanan Aldosteron & ADH
Onkotik
Tekanan
Hidrostati
k
Na & Retensi
Cairan
Ascites
Edema
Gambar 6. Proses dalam patofisiologi sirosis hepatis
3.2.3. Diagnosis
3.2.3.1. Manifestasi Klinis
Stadium awal sirosis sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis) sehingga
kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rtin atau
karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan
mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,
berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah
dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis
dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan pembekuan darah, perdarahan
gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat,
muntah darah dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
36
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.. Mungkin disertai hilangnya rambut
badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi [1]
37
3.2.3.2. Pemeriksaan Fisik
38
ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum
diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula pada orang sehat,
walau umumnya ukuran lesi kecil. [1]
Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, arthritis
rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. [1]
39
yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien
karena hipertensi porta. [1] Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat
hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi
[1]
porta. Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang berat. [1]
40
normal atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
[1]
primer dan sirosis billier primer. Gama-glutamil transpeptidase (GGT),
konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya
tinggi pada penyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT
mikrosomal hepatic, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. [1]
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati,
konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis. [1] Globulin,
konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
[1]
immunoglobulin. Prothrombin time mencerminkan derajat/ tingkatan disfungsi
sintesis hati, sehingga pada sirosis memanjang. [1]
Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan eksresi air bebas. [1] Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa
bermacam-macam, anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau
hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia
akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi
hipersplenisme. [1]
41
Resonance Imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal
biayanya. [1]
3.2.4. Penatalaksanaan
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan untuk
mengurangi progresifitas penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa
menambah kerusakan hati, serta pencegahan dan penanganan komplikasi.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untk mengurangi
progresi kerusakan hati. Bila tidak terdapat koma hepatikum, berikan diet yang
mengandung protein 1gr/kgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
42
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan
merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata bisa
merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek
antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti dalam
penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam
penlitian. [1]
43
[1]
endoskopi. Pada konsisi Peritonitis Bakterial Spontan (PBS) dapat diberikan
antibiotik golongan cephalosporin generasi III seperti cefotaxime secara parenteral
(2 x 2 gr/hari) selama lima hari/evaluasi cairan ascites ulang. Pengobatan selanjutnya
berdasar hasil kultur dan tes kepekaan antibiotik cairan ascites. Obat pilihan yang
sering dipakai:
- Ceftriaxone
- Kombinasi amoksisilin-as. Klavulamat
- Ciprofloxacin
Sedangkan untuk profilaksis terhadap PBS ulang (terutama jika albumin <
1g/dl):
- Norfloksasin 400 mg/hari, jangka panjang
- Ciprofloxacin 750 mg/1x/minggu
- Cotrimoxazole 2x2 gr/5 hari/minggu
Pada kondisi terjadinya Sindrom hepatorenal, penatalaksanaan bertujuan
untuk mengatasi perubahan sirkulasi darah hati dan mengatur keseimbangan garam
[1]
dan air. Transplantasi hati, terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.
Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi
resipien dahulu. [1]
3.2.5. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai. [1]
Klasifikasi Child-Pugh, juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan
manjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya
asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari Child A, B, dan
C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan hidup selama satu
tahun pada pasien. Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk penderita sirosis
dengan Child-Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-masing 100, 80, dan 45% [1]
44
45
BAB IV
PEMBAHASAN
Sirosis hepatis adalah fase lanjut dari penyakit hati kronis yang
menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai
dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Sirosis
hepatis ditandai oleh proses keradangan difus menahun pada hati, nekrosis sel hati,
usaha regenerasi dan proliferasi jaringan ikat difus (fibrosis) di mana seluruh
kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan-bentukan regenerasi nodul.
Sirosis hepatis pada akhirnya dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan
pada kasus lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap.
Pada pasien ini telah ditemukan bukti dan gejala klinis yang nyata yaitu
ascites, diperkuat oleh manifestasi klinis dan disertai dengan pemeriksaan penunjang
46
dan hasil pemeriksaan penunjang berupa USG didapatkan adanya gambaran sirosis
hepatis dengan ascites dan splenomegaly pada pasien. Diagnosis di perkuat dengan
keluhan lain yang dialami pasien seperti tanda-tanda hipoalbuminemia yang ditandai
dari edema pretibial dan pittineg edema (+/+). Hati sebagai organ yang hampir
menghasilkan seluruh plasma protein, termasuk albumin dan faktor-faktor
pembekuan darah protein spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma oleh karena
kerusakan sel hepatoseluler yang telah berubah menjadi jaringan ikat, maka terjadi
penurunan fungsi hati dalam pembentukan albumin sehingga pada pasien ditemukan
hipoalbuminemia. Albumin dalam pembuluh darah berfungsi untuk mempertahankan
cairan plasma dalam pembuluh darah. Ketika terjadi penurunan jumlah albumin yang
diproduksi, maka terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ekstravaskular sehingga
menyebabkan penumpukan cairan dirongga peritoneal pada pasien. Ada 2 faktor
yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis Hepatis, yaitu :
Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum.
Pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu
fungsinya, maka pembentukan albumin juga terganggu, dan kadarnya
menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga berkurang. Terdapatnya
kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan tanda kritis untuk
timbulnya asites.
Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises
esophagus, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan
koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila
kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan menghilang
walaupun hipertensi portal tetap ada. Hipertensi portal mengakibatkan
penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun.Hal ini
meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat.
Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama
47
natrium . dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium
yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.
Pada pemeriksaan fisik pasien, ditemukan tanda dan manifestasi klinis yang
menyerupai sirosis hepatis dekompensata yaitu, ditemukan distensi abdomen,
shiffting dullness (+), pitting oedema di pretibia (+). Selain itu terdapat pula tanda-
tanda hipertensi porta, yaitu ascites dan edema tungkai. Kedua keadaan ini telah
membuktikan bahwa terdapat kegagalan dari fungsi hati. Pada pasien ini, nyeri perut
kanan atas juga meupakan keluhan utama, keluhan penyerta lainnya terjadi
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, perasaan mual, dan kembung atau
terasa penuh. Hal ini juga menunjukkan suatu keadaan yang dicurigai suatu penyakit
hati kronik dan diperkuat dari hasil pemeriksaan laboratorium HBSag pasien yang
positif, pada pasien kemungkinan telah terjadi penyakit hati kronik yang disebabkan
oleh virus Hepatitis B dan telah berlanjut pada tahan perubahan arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus nodulus regeneratif yang selanjutnya disebut dengan sirosis
hepatis.
48
ditemukan adanya riwayat konsumsi rokok, alkohol, riwayat penggunaan jarum
suntik, riwayat transfuse darah dan lainnya yang dapat membantu menyingirkan
kemungkin etiologi dari sirosis hepatis yang dialami oleh pasien disebabkan oleh zat
alkoholik atau infeksi virus hepatitis lanjut. Hasil pemeriksaan sitologi cairan ascites
yang diperoleh dari hasil paracentesis belum dapat dilakukan karena keterbatasan
sarana yang tersedia di RS.
Rencana pemeriksaan pada pasien ini adalah pemeriksaan kadar AFP ( Alfa-
Fetoprotein), CT Scan Abdomen, Pemeriksaan sitology cairan ascites, dan biopsy
hepar. Penatalaksanaan pada pasien ini selama menjalani rawat inap diberikan sesuai
dengan penatalaksaan pada kasus sirosis hepatis dekompensata dengan ascites
massif. Pasien dianjurkan untuk istirahat atau tirah baring dan diawali dengan diet
rendah garam. Konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah
garam dapat dikombinasikan dengan obat diuretic. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosis 100-200 mg tiga kali sehari. Respon dari pengobatan ini
dapat dimonitor dengan penurunan BB 0,5 Kg/hari tanpa adanya edema kaki, atau 1
Kg/hari dengan adanya edema kaki. Apabila pemberian spironolakton tidak adekuat
maka dapat dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari.
Pemeberian furosemid dapat ditambah dosisnya apabila tidak menunjukkan adanya
respon, dengan maksimal dosis 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila ditemukan
ascites yang sangat besar. Pengeluaran asites bisa 4-6 liter dan diikuti dengan
pemberian albumin. Pada pasien tindakan parasentesis telah dilakukan dengan
pertimbangan ascites yang besar yang didukung dengan hasil cairan yang diperoleh
dari proses paracentesis abdomen yaitu: 5,5 liter.
Tetalaksana yang diberikan pada sirosis hepatis bertujun untuk mengurangi
progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang dapat menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penangan komplikasi. Pasien dapat diberikan inj. Omeperazole
1 vial/ 24 jam iv, dan beberapa vitamin hepar yang bertujuan untuk melindungi sel
hepatosit yang masih sehat dan mencegah kerusakan hepatosit yang lebih lanjut.
49
Bila tidak ada tanda terjadinya koma hepatik maka diberikan diet hepar yaitu;
Diet protein 1g/kgBB dan kalori 2000-3000 kkal/hari. Pada kasus diatas tidak
ditemukan adanya tanda koma hepatik sehingga pasien diberikan terapi diet hepar II.
Diet rendah protein terdiri dari:
Diet Hepar I : Terdiri dari karbohidrat 200 kalori, garam 600-800 mg tanpa
mengandung protein. Diet ini biasanya diberikan pada pasien
yanng memperlihatkan tanda-tanda ensefalopati hepatikum atau
koma hepatikum
Diet Hepar II : Terdiri dari protein 1 gram/kgBB, karbohidrat 200 kal, garam
600-800 mg. Biasanya diberikan pada kasus sirosis disertai
dengan ascites.
Diet Hepar III : Terdiri dari protein, 1 gram/ kgBB, karbohidrat 200 kal, garam
1000-1200 mg. Biasanya diberikan pada kasus sirosis disertai
dengan ascites minimal.
50
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus refeneratif. Asites terjadi pada 50% pasien
dalam waktu 10 tahun dari diagnosis sirosis kompensata. Ini merupakan indikator
prognosis yang buruk, dengan 50% 2 tahun kelangsungan hidup, memburuk secara
signifikan hingga 20% menjadi 50% pada 1 tahun ketika asites menjadi refrakter
terhadap terapi medis. Patogenesis asites dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
hipertensi porta, hipoalbuminemia, meningkatnya pembentukan dan aliran limfe hati,
serta retensi natrium dan gangguan ekskresi air. Diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan fisik, dapat juga dengan USG dan parasentesis. Penatalaksanannya
meliputi tirah baring, diet rendah sodium, diuretika, parasintesis, hingga TIPS untuk
asites refrakter.
51
DAFTAR PUSTAKA
52