SIROSIS HEPATIS
Pembimbing :
Mahasiswa :
TAHUN 2019
Halaman Judul
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan PBL
yang berjudul “Sirosis Hepatis” ini tepat pada waktunya. Laporan PBL ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
4.4 Penyelesaian Masalah ............................................................................................. 29
4.5 Foto Kunjungan ....................................................................................................... 31
BAB V SIMPULAN .............................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33
iv
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Hati merupakan organ intestinal terbesar pada tubuh manusia yang
menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan memiliki banyak
fungsi kompleks yang berhubungan satu dengan yang lain. Penyakit hati dapat
disebabkan oleh infeksi, toksin, genetik dan metabolik.1
Sirosis Hepatis merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang
panjang dari semua penyakit hati kronis yang ditandai dengan kerusakan
parenkim hati.1,2,3 Sirosis Hepatis merupakan tahap akhir dari proses difus fibrosis
hati yang progresif yang ditandai dengan pembentukan nodul regeneratif.
Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian ketiga di dunia pada
penderita berusia 45-49 tahun, dengan prevalensi kasus sebesar 1,3% dan jumlah
kematian sebanyak 1,03 juta per tahunnya.4,5,6
Di Asia Tenggara, penyebab utama sirosis hepatis adalah hepatitis B dan
hepatitis C. Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia pada tahun 2007 sebesar
1,7%.7,8 Di Indonesia, sebagian besar penyebab sirosis hepatis masih berhubungan
dengan infeksi hepatitis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 45% sirosis hepatis
Indonesia di Indonesia disebabkan oleh virus hepatitis B dan 27% oleh karena
virus hepatitis C.2,9
Angka insiden sirosis hepatis sangat berkaitan dengan kemampuan
penegakkan diagnosis sirosis hepatis, yang terkadang sulit karena pasien biasanya
baru merasakan gejala pada saat penyakit sudah memasuki fase lanjut
(dekompensata). Hasil terapi yang belum memuaskan juga turut berperan dalam
peningkatan angka insiden sirosis hepatis. Tingginya angka kematian akibat
sirosis hepatis mungkin disebabkan oleh proses penyakitnya ataupun komplikasi
yang ditimbulkan dari sirosis itu sendiri. Pemahaman yang adekuat tentang
penyakit sirosis hepatis diperlukan dalam rangka meningkatkan kemampuan
tenaga kesehatan dalam mendiagnosis lebih dini dan melakukan penatalaksanaan
yang tepat sehingga komplikasi dari sirosis hepatis dapat ditekan dan kualitas
hidup pasien dapat ditingkatkan. 1,2,10
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul yang regeneratif.
Gambaran morfologi dari sirosis hepatismeliputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular hepatik dan
intrahepatik antara vena porta dan arteri hepatika serta vena hepatika.2,3
Penurunan fungsi hati yang permanen ditandai dengan adanya perubahan
secara histopatologi, yakni terdapat kerusakan pada sel-sel hati.Hal inilah yang
dapat merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-sel hati yang mati
sehingga menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang tidak mati
beregenerasi untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Dampaknya adalah akan
terbentuk sekelompok-sekelompok sel-sel hati baru (nodul-nodul regeneratif)
dalam jaringan parut.2,3
2.2 Epidemiologi
Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian keempat belas di
dunia, dengan prevalensi kasus sebesar 1,3% dan jumlah kematian sebanyak 1,03
juta per tahunnya. Kematian yang paling banyak terdapat pada usia 45-59
tahun.4,5,6,7Tingkat mortalitas di seluruh dunia dilaporkan meningkat menjadi
45,6% dari tahun 1990 sampai tahun 2013.12Lebih dari 40% pasien sirosis tidak
memiliki gejala. Di Amerika, insiden sirosis hepatis diperkirakan terjadi pada 360
per 100.000 penduduk, dimana pada tahun 2007 didapatkan 29.165 kematian
penduduk yang diakibatkan oleh sirosis hepatis dengan 48,1% diantaranya akibat
alkohol.1Sirosis merupakan faktor utama terjadinya karsinoma hepatoselular,
dengan insiden meningkat tiga kali lipat dari tahun 1975 sampai 2005.2
Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 1,7%.
Secara umum, diperkirakan angka insiden sirosis hepatis pada seluruh rumah sakit
di Indonesia berkisar antara 0,6-14,5%.7,8 Menurut laporan rumah sakit umum
pemerintah Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh
pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam, atau rata-rata 47,4% dari seluruh
2
penyakit hati yang dirawat. Perbandingan prevalensi sirosis pada pria : wanita
adalah 2,1 : 1 dan usia rata-rata 44 tahun.13
Penyebab utama terjadinya sirosis hepatis di negara-negara maju adalah
infeksi virus hepatitis C, penyalahgunaan alkohol dan juga perlemakan hati akan
mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH). Infeksi virus hepatitis B
dilaporkan menjadi penyebab tersering pada daerah sub-Sahara Afrika dan
sebagian besar wilayah Asia. Prevalensi sirosis hepatis sendiri sulit untuk dinilai
dan diperkirakan lebih besar dari yang dilaporkan karena pada stadium awal
penyakit ini umumnya asimptomatis sehingga penyakit ini sulit untuk
didiagnosis.6,14,15
2.3 Etiologi
Penyebab sirosis hepatis bermacam-macam, terkadang sirosis hepatis
disebabkan oleh lebih dari satu pencetus. Di negara Amerika, alkoholisme kronik
merupakan penyebab tersering dari sirosis hepatis. Di Asia Tenggara, sirosis
hepatis lebih banyak disebabkan oleh virus hepatitis B dan hepatits C
Tabel 2.1 Etiologi Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronis2
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toksoplasmosis
Virus hepatitis (hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, sitomegalovirus)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi α1-antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fruktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
3
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer
Penyebab Lain atau Tidak Terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis
2.4 Patogenesis
Mekanisme terjadinya sirosis hepatis antara lain, kematian sel-sel
hepatosit, regenerasi dan fibrosis progresif. Kegagalan sel hepar (hepatosit) pada
sirosis merupakan hasil yang didapat dari proses patologis yang diawali pada
tingkat molekuler. Hepar dibentuk oleh sel parenkim (hepatosit) dan sel lainnya
yang disebut kelompok sel non-parenkimal, terdiri dari liver sinusoidal
endothelial cells (LSECs), sel Kupffer dan hepatic stellate cells (HSCs). Sel
Kupffer merupakan makrofag terspesialisasi yang berlokasi di dinding sinusoid
hepar, apabila teraktivasi oleh infeksi virus, alkohol, diet tinggi lemak atau
deposisi besi akan menghancurkan hepatosit dengan cara memproduksi mediator
inflamasi dan bertindak sebagai Antigen-Presenting Cells (APCs) selama infeksi
viral berlangsung. Peran LSECs dalam menimbulkan kegagalan sel hepar adalah
melalui pengaktifan HSCs. Akibat adanya infeksi, LSECs akan menyekresikan
sitokin IL-33 yang nantinya akan mengaktifkan HSCs dan menginduksi adanya
fibrosis. Proses tersebut akan menyebabkan terjadinya defenestrasi dan
kapilarisasi LSECs, yang secara akumulatif akan menyebabkan disfungsi
hepatosit atau disebut kegagalan sel hepar.10
Salah satu akibat yang ditimbulkan adalah gagalnya sel hepar untuk
membuang bilirubin dari darah dan menyebabkan adanya manifestasi klinis
berupa icterus. Akibat selanjutnya dari kegagalan sel hepar adalah menurunnya
kemampuan sel hepar mengubah estrogen dan derivatnya, sehingga menyebabkan
hiperestrogenisme. Adapun gejala kegagalan sel hepar yang disebabkan oleh
gangguan hiperestrogenisme adalah eritema palmaris, kerontokan rambut pada
tubuh, spider naevi dan ginekomastia. Pada pasien ditemukan keluhan yang
4
terkait dengan kegagalan fungsi hepar, yaitu kuning pada kedua mata dan kulit
seluruh tubuh, perut yang membesar dan bengkak pada kaki kanan dan kiri,
pembesaran payudara kanan dan kiri dan keluar darah dari hidung.2,16
Penyebab kedua dari timbulnya manifestasi klinis pada sirosis hati adalah
hipertensi porta. Hipertensi porta merupakan gabungan hasil peningkatan
resistensi vaskular intra hepatik dan peningkatan aliran darah melalui sistem
porta. Secara anatomi, sistem porta terdiri dari semua vena yang mengangkut
darah dari vena gastrika, vena mesenterika inferior (mengangkut darah dari kolon
desenden dan rektum), vena mesenterika superior (mengangkut darah dari usus
halus, kolon asenden dan caput pankreas) dan vena lienalis. Manifestasi klinis
yang ditemui pada pasien sesuai dengan vena yang terlibat dalam
patogenesisnya.2
5
akan berjalan terus di dalam sel stelata dan jaringan hati yang normal akan diganti
oleh jaringan ikat.2,9,10
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
Sirosis hepatis sering disebut sebagai silent disease, dengan sebagian besar
pasien tidak menunjukkan gejala apapun sampai proses dekompensasi terjadi.
Maka dari itu perlu dilakukan anamnesis yang akurat tentang faktor-faktor risiko
yang mempengaruhi pasien sirosis hepatis. Kuantitas dan durasi konsumsi alkohol
merupakan faktor penting dalam diagnosis awal sirosis. Selain itu, riwayat
transmisi virus hepatitis B dan hepatitis C (misal kelahiran di daerah endemis,
hubungan seksual berisiko, penggunaan obat intranasal atau intravena, tindik
badan atau tato, kontaminasi dengan darah atau cairan tubuh lainnya), sejarah
transfusi dan riwayat penyakit autoimun terdahulu serta riwayat penyakit hati atau
autoimun di keluarga.2
Berdasarkan anamnesis biasanya pasien datang ke tempat pelayanan
kesehatan dengan keluhan berupa: merasa badan cepat lelah, nafsu makan
berkurangmudahkenyang,badanmengurus,rasatidakenakdiepigastrium,kembung,
mual , sakit perut kanan atas, sklera mata tampak kekuningan, kelemahan otot,
buangairkecilberwarnagelapsepertiteh,gatal-gatal,sertajikakeadaanberlanjutakan
terdapat riwayat perdarahan saluran cerna bagian atas seperti muntah dan buang
air besar berisikan darah hingga penurunan kesadaran. Selain itu juga terdapat
riwayat perut membesar (asites) dan bengkak pada tungkai bawah.2
6
ditemukan selama hamil,malnutrisi berat, terkadang bisa juga ditemukan
pada orang sehat namun denganukuran lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada tenardan hipotenar
telapaktangan.Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme
hormon estrogen.Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan
pula pada kehamilan, artritisrematoid, hipertiroidisme dan keganasan
hematologi.
Ginekomastia secarahistologis berupa proliferasi jinak jaringan
kelenjar mamae laki-laki,kemungkinan akibat peningkatan
androstenedion.Selain itu, ditemukan jugahilangnya rambut dada dan
aksilla pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalamiperubahan ke arah
lebih feminim. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepatberhenti
sehingga diduga fase menopause.
Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil.
Tandaini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis. Fetor
hepatikum, yaknimerupakan bau napas yang khas pada pasien sirosis
disebabkan peningkatankonsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan porto
sistemik yang berat. Ikterus padakulit dan membran mukosa akibat
bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurangdari 2-3 mg/dl tak terlihat.
Warna urin terlihat gelap, seperti air teh. Adanyakecenderungan untuk
lebih mudah mengalami perdarahan maupun anemia. Hal inidikarenakan
menurunnya produksi faktor pembekuan darah yang dihasilkan dihati
sehingga memudahkan untuk terjadinya perdarahan yang berujung
padaberkurangnya darah.
b. Tanda-tanda adanya hipertensi porta pada pasien dengan sirosis
hepatisadalah ditemukannya, splenomegali,varises esofagus, asites,
caputmedusa. Hepar pada sirosis hepatis biasanya akan teraba keras
danbernodul. Splenomegali yang disebabkan olehshunting darah ke dalam
vena lienalis padahipertensi porta.Varises vena esofagus, disebabkan oleh
suatu anastomosis aliran darahdari vena porta menuju vena esofagus akibat
dari tingginya tekanan alirah darahyang melalui sinusoid hati sehingga
berakibat pada pembesaran pembuluh vena diesofagus. Apabila tidak
7
segera ditangani maka terdapat kecenderungan untukpecah dan terjadi
perdarahan yang masif berupa hematemesis maupun melena.
8
normal.Konsentrasi yang tinggi biasanya bisa ditemukan pada
pasien kolangitis sklerosisprimer dan sirosis bilier primer.
Konsentrasi gamma-glutamil transpeptidase (GGT)tinggi
padapenyakit hati alkohol kronik, karena alkohol selain
menginduksi GGT mikrosomal penyakit hati alkoholik kronik,
karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatik juga
dapat menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
Konsentrasi bilirubin bisa normal pada sirosis hepatis kompensata,
tetapi bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin yang
sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai
dengan perburukan sirosis. Konsentrasi globulin meningkat pada
sirosis yang terjadi sekunder akibat dari pintasan, antigen bakteri
dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi
produksi imunoglobulin.
Waktu protrombin mencerminkan derajat atau tingkatan disfungsi
sintesis hati sehingga pada sirosis hepatis akan terlihat memanjang.
Kadar serum natrium menurun terutama pada sirosis dengan asites,
dikaitkan dengan ketidakmampuan ekskresi air bebas.
Serologis
Pemeriksaan serologis yang dimaksud dapat meliputi
pemeriksaanHBsAg maupun anti HCV untuk mencari tahu apakah
virus hepatitis merupakanfaktor predisposisi terhadap terjadinya
sirosis hepatis.
b. Pemeriksaan radiologi
Foto thoraks
Pemeriksaan foto thoraks bertujuan untuk mencari tahu apakah
terdapat komplikasi seperti edema paru.
Barium meal
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk
konfirmasi adanya hipertensi porta.
Ultrasonografi (USG)
9
Ultrasonografi (USG) yang dikombinasikan dengan color flow
Doppler adalah alat pencitraan paling berguna bagi pasien sirosis.
Pemeriksaan USG dapat melihat karateristik dari morfologi sirosis
termasuk batas dari nodul-nodul, strukturnya dan tanda-tanda
hipertensi porta.
Tomografi komputerisasi (CT scan) dan magnetic resonance
imaging (MRI) sangat terbatas penggunaannya karena biayanya
yang relatif mahal.
c. Biopsi hati
Biopsi hati sebenarnya tidak diperlukan, bahkan kontraindikasi bila
diagnosis sirosis hepatis dapat ditegakkan dengan temuan klinis dan
pencitraan. Biopsi hanya diindikasikan bila penyebab sirosis tidak dapat
ditentukan atau stadium penyakitnya belum dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya dan untuk mencari tahu apakah
terdapat tanda-tanda keganasan pada sel hati tersebut.
10
- Αfp
4. Endoskopi saluran cerna atas Varises, gastropati
5. USG/CT scan Ukuran hati, kondisi vena porta,
splenomegali, asites, dll
6. Laparoskopi Gambaran makroskopik visualisasi
langsung hepar
7. Biopsi hati Dilakukan bila koagulasi memungkinkan
dan diagnosis masih belum pasti
8. Foto Toraks Untuk mencari tahu komplikasi dari
sirosis hepatis seperti edema paru dan
sebagainya
2.6 Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan sirosis dapat dibagi berdasarkan
klasifikasifungsionalnya, yaitu pada sirosis kompensata dan sirosis dekompesata.
Prinsippenatalaksanaan berdasarkan klasifikasi fungsional tersebut dapat
dijelaskansebagai berikut.
11
memilikiketahanan yang rendah terhadap resistensi obat atau sering disebut
sebagaigolongan low barrier to drug resistance.4
Pemilihan golongan obat hepatitis B kronik, IFN-alfa atau
analognukleosida, didasarkan atas beberapa pertimbangan. IFN-alfa
mengharuskanadministrasi obat secara intravena dan harga sangat mahal serta
efek samping obatyang dihasilkan lebih sering terjadi. Namun, IFN-alfa diketahui
dapat mencapaikadar HbeAg dan HbsAg (-) dan tidak menyebabkan resistensi
obat. Keuntungananalog nukleosida dari IFN-alfa adalah administrasi obat dapat
per oral satu kalisehari. Selain itu, analog nuleosida juga memiliki efek samping
obat yang lebihringan. Adapun dosis tenofovir yang dapat diberikan pada
penderita hepatitis Bkronik adalah 1 x 300 mg/hari sedangkan dosis pegylated
IFN-alfa adalah 1 x 180μg/minggu.4Pada pengobatan fibrosis hati maka
pengobatan antifibrosis pada saat inilebih mengarah kepada inflamasi dan tidak
terhadap fibrosis. Namun di masamendatang sel stelata dapat dipergunakan
sebagai target pengobatan dan mediatorfibrogenik akan merupakan terapi utama.
Pengobatan untuk mengurangi aktivitassel stelata bisa merupakan salah satu
pilihan. Interferon memiliki aktivitasantifibrotik yang dihubungkan dengan
pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek antiinflamasi serta
mencegah pembentukankolagen, namun belum terbukti dalam penelitian sebagai
anti fibrosis dan sirosis.Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai
antifibrosis.1
12
Pemberianfurosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal
dosisnya 160mg/hari. Namun apabila asites sangat besar maka dapat dilakukan
tindakan parasentesis. Pengeluaran asites dapat dilakukan hingga 4-6 liter dan
untukmencegah hipovolemik dengan pemberian albumin.16
Jika terdapat komplikasi berupa ensefalopati hepatik (EH), maka
laktulosamerupakan lini pertama. Sifatnya yang laksatif menyebabkan penurunan
sintesisdan uptake amonia dengan menurunkan pH kolon dan juga mengurangi
uptakeglutamin. Selain itu, laktulosa diubah menjadi monosakarida oleh flora
normalyang digunakan sebagai sumber makanan sehingga pertumbuhan flora
normalusus akan menekan bakteri lain yang menghasilkan urease. Proses
inimenghasilkan asam laktat dan juga memberikan ion hidrogen pada
amoniasehingga terjadi perubahan molekul dari amonia (NH3) menjadi ion
amonium(NH4). Adanya ionisasi ini menarik amonia dari darah menuju lumen.9,10
Sedangkan pemberian pemberian antibiotik ditujukan untuk
menurunkanproduksi amonia dengan menekan pertumbuhan bakteri yang
bertanggung jawabmenghasilkan amonia. Antibiotik yang diberikan saat ini
adalah rifaximin. Untukdiet protein dapat dikurangi hingga 0,5 gr/kg berat badan
per hari, terutamadiberikan yang kaya asam amino rantai cabang.16
Penanganan varises esofagus sebelum terjadi perdarahan maupun
sesudahperdarahan dapat diberikan obat β-blocker. Waktu perdarahan akut dapat
diberikanpreparat somatostatin atau oktreotid kemudian diteruskan dengan
tindakanskleroterapi atau ligasi endoskopi.16
Pada komplikasi peritonitis bakterial spontan (PBS) dapat diberikan
antibiotik, seperti sefotaksim intravena, amoksisilin atau aminoglikosida.
Pengobatan PBSbiasanya menggunakan antibiotik golongan sefalosporin generasi
III, seperti sefotaksim secara parenteral (2x2 gr/hari) selama lima hari.
Pengobatanselanjutnya berdasarkan pada hasil kultur dan tes sensitivitas antibiotik
terhadapcairan asites.16
13
2.7 Komplikasi
Morbiditas dan mortalitas sirosis hepatis menjadi tinggi akibat
komplikasinya.Kualitas hidup pasien sirosis hepatis diperbaiki dengan
pencegahan dan penanganankomplikasi tersebut. Adapun beberapa komplikasi
dari sirosis hepatis, meliputi19,20,21,22
1. Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Pada sirosis, cairan yang mengumpul di dalam perut tidak mampu
untukmelawan infeksi secara normal. Sebagai tambahan, lebih banyak
bakteri-bakterimenemukan jalan mereka dari usus kedalam asites.
Olehkarenanya, infeksi di dalam perut dan asites, dirujuk sebagai PBS.
PBS merupakan suatu komplikasi yang mengancamnyawa. Beberapa
gejala yang muncul adalah demam, kedinginan, sakitperut dan kelembutan
perut, diare serta memburuknya asites.
2. Ensefalopati hepatik
Protein yang bersumber dari makanan ketika memasuki saluranpencernaan
selain diabsorpsi untuk memenuhi kebutuhan tubuh juga
akandimetabolisme oleh bakteri flora usus normal. Metabolisme tersebut
akanmenghasilkan zat sisa yakni ammonia yang kemudian akan
ikutterabsorpsi menuju aliran vena porta menuju hati untuk
didetoksifikasi.Namun, oleh karena fungsi hati pada sirosis menurun,
amonia akanterakumulasi dalam darah. Meningkatnya permeabilitas sawar
darah otakuntuk amonia menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit
yangberujung pada fungsi otak terganggu, dan dikenal dengan istilah
ensefalopatihepatik.
3. Sindrom hepatorenal
Pada pasien dengan sirosis hepatis yang memburuk dapat
menimbulkansekumpulan gejala khas yang dikenal dengan sindrom
hepatorenal. Sindrom ini merupakan suatu komplikasi yang serius dimana
fungsi dari ginjaltelah berkurang. Hal ini menekankan pada defek fungsi
ginjal dengantanpa kerusakan struktural pada ginjal. Akibat yang
ditimbulkan meliputikegagalan yang progresif dalam membersihkan darah
sertamenghasilkan produksi urin yang memadai meskipun beberapa
14
fungsipenting lain dari ginjal, seperti retensi garam masih dapat
dipertahankan.
2.8 Prognosis
Prognosis sirosis hepatis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah
faktor, meliputi etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain
yang menyertai. Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP) juga untuk menilai
prognosis pasien sirosis hepatis yang akan menjalani operasi, variabelnya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites dan ensefalopati serta INR.
Klasifikasi ini terdiri dari CTP A, B dan C. Kategori CTP A apabila mendapatkan
skor 5-6, CTP B bila mendapatkan skor 7-9 dan CTP C dengan skor 10-15. Pasien
yang termasuk dalam kategori CTP A masih berada dalam fase kompensata
sedangkan kategori CTP B dan C sudah dalam fase dekompensata. Klasifikasi
CTP berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama
satu tahun untuk pasien dengan kategori CTP A, B dan C berturut-turut yakni
100%, 80% dan 45%.2,3,5,14
Tabel 2.3 Klasifikasi Child Turcotte Pugh (CTP) Pasien Sirosis hepatis dalam
Terminologi Cadangan Fungsi Hati2,3
Derajat kerusakan 1 2 3
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (g/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
Asites Nihil mudah dikontrol sukar
Ensefalopati (derajat) Nihil minimal (I-II) berat/koma (III-IV)
INR <1,8 1,8-2,3 >2,3
Pada umumnya mortalitas hanya terjadi setelah pasien mengalami fase
dekompensata. Untuk sirosis kompensata saja, angka kelangsungan hidup selama
10 tahun diperkirakan sekitar 90%, namun angka kejadian terjadinya fase
dekompensata dalam 10 tahun tersebut meningkat hingga 50%. Selain itu, angka
kejadian karsinoma hepatoselular dilaporkan konstan 3% per tahun dan
berkorelasi dengan prognosis yang buruk pada setiap stadium karsinoma
hepatoselular.5
15
Tabel 2.4 Prognosis Sirosis Hati Berdasarkan Kondisi Klinis5
Stadium Kompensasi Mortalitas 1 Tahun
Stadium 1 Terkompensasi, tanpa varises esophagus 1% per tahun
Stadium 2 Kompensasi dengan varises 3-4%
Stadium 3 Dekompensasi dengan asites 20%
Stadium 4 Dekompensasi dengan perdarahan gastrointestinal 57%
Stadium 5 Infeksi dan gagal ginjal 67%
16
BAB III
LAPORAN KASUS
BAB III LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : NNS
No RM : 14023420
Umur : 76 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jalan Maluku III gang IV no IA
Agama : Hindu
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Pernikahan : Sudah menikah
Tgl Kontrol : 21 Juni 2019
Tgl Pemeriksaan : 25 Juni 2019
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Gastroenterohepatologi RSUP Sanglah pada
tanggal 21 Juni 2019 untuk kontrol rutin.
Saat ini pasien mengeluhkan lemas yang dirasakan terus menerus sejak
tiga hari sebelum datang untuk kontrol ke Poli. Lemas dirasakan ringan oleh
pasien, dikatakan seperti orang yang tidak bertenaga karena belum makan. Lemas
dirasakan membaik dengan istirahat dan sedikit memberat apabila pasien
melakukan aktivitas. Keluhan lain seperti mual dan muntah disangkal oleh pasien.
BAB dan BAK saat ini dikatakan dalam batas normal.
17
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien memiliki riwayat terdiagnosa dengan sirosis hepatis kurang lebih
sejak 6 bulan yang lalu, namun tidak pernah sampai memerlukan rawat inap di
rumah sakit. Pasien juga dikeluhkan memiliki kemampuan pendengaran yang
berkurang sejak kurang lebih satu tahun yang lalu, sehingga agak sulit untuk
diajak berkomunikasi seperti biasa. Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi,
diabetes mellitus, ginjal, dan jantung disangkal oleh pasien.
18
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
19
- batas kiri jantung pada MCL ICS 5 sinistra
Auskultasi : S1 tunggal, S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo :Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus N/N, pergerakan simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (+), pelebaran vena kolateral (-),
caput medusae (-), jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus normal (15 x/menit)
Perkusi : Timpani (-), ascites (-)
Palpasi : hepar dan lien sulit dievaluasi, nyeri tekan (+) regio
epigastrium dan hipokondrik kanan
20
MO % 6.63 % 2.0 – 11.0
EO % 1.53 % 0.0 – 5.0
BA % 0.31 % 0.0 – 2.0
NE # 2.08 103/µL 2.50 – 7.50 Rendah
LY # 0.56 103/µL 1.00 – 4.00 Rendah
MO # 0.19 103/µL 0.10 – 1.20
EO # 0.05 103/µL 0.00 – 0.50
BA # 0.01 103/µL 0.0 – 0.1
RBC 4.91 103/µL 4.5 – 5.9
HGB 13.38 g/Dl 13.5 – 17.5
HCT 45.90 % 41.0 – 53.0
MCV 93.59 fL 80.0 –100.0
MCH 27.28 Pg 26.0 – 34.0
MCHC 29.15 g/dL 31 – 36 Tinggi
RDW 12.69 % 11.6 – 14.8
PLT 33.69 103/µL 150 – 440 Rendah
MPV 8.19 fL 6.80-10.0
PTT
INR
APTT
Bilirubin total
Bilirubin Indirect
Bilirubin direct
ALP
Protein Total
Albumin
Globulin
21
Gamma GT
Hepar : Lobus kanan hepar terukur +/- 9,81 cm, permukaan kasar,
sudut tumpul, tepi irreguler, sistem bilier tampak normal,
echoparenchym meningkat kasar, tampak pnp vena porta
terukur +/- 13,8 cm dengan velocity terukur +/- 13,3 cm/s
tak tampak massa/nodul/kista
22
Ginjal Kanan : Ukuran normal, echocortex meningkat, batas sinus cortex
jelas, pelviocalyceal sistem tidak melebar, tak tampak batu
/massa /kista
Buli : Terisi sedikit urine, dinding buli tak tampak menebal, tak
tampak batu/massa.
Kesan :
3.6 PLANNING
Monitoring
Esophagogastroduodenoscopy
Fibroscan
HCV RNA
23
Terapi
Sofosbuvir tab 400 mg 1x1
Daclatasvir tab 60 mg 1 x 1
Urdex Capsul 250 mg 2 x 1
3.7 PROGNOSIS
Prognosis dihitung menggunakan Kriteria Child Turcotte Pugh (CTP).
3.8 KIE
- Pasien dan keluarga diberi penjelasan mengenai sirosis hepatis,
penyebab, perjalanan penyakitnya dan komplikasi yang mungkin
dialami oleh pasien.
- Pasien dan keluarga diberi penjelasan mengenai pentingnya melakukan
pengobatan untuk mencegah terjadinya perburukan penyakit yang
dialami oleh pasien.
- Pasien dan keluarga diberi penjelasan dan disarankan untuk mengikuti
terapi nutrisi yang telah di tentukan oleh ahli gizi.
- Pasien dan keluarga diberi penjelasan mengenai pentingnya latihan
jasmani pada pasien agar pasien tidak berbaring lama. Latihan jasmani
dapat dilakukan dengan duduk dan menggerak-gerakan anggota tubuh.
- Keluarga pasien diberi penjelasan dan saran mengenai pentingnya
untuk melakukan screening hepatitis dan pencegahan penularannya
dalam keluarga.
24
BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN
4.1 Alur Kunjungan Lapangan
Praktek Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dilakukan pada tanggal 25
Juni 2019 bertempat di Rumah Ibu Ni Nengah Semudri, Jalan Maluku III gang IV
no 1A Denpasar. Sebelum melakukan kunjungan, kami mencari informasi terlebih
dahulu mengenai pasien yang melakukan kunjungan di Poli
Gastroenterohepatologi RSUP Sanglah. Ibu Ni Nengah Semudri merupakan
pasien yang terpilih, berumur 76 tahun dan memiliki penyakit sirosis hepatis.
Setelah memilih kasus, kami mengonfirmasi maksud kunjungan kami dengan
berbicara secara langsung kepada pasien dan keluarga pendamping pasien
sekaligus untuk menanyakan kepada keluarga dan pasien apakah bersedia untuk
kami kunjungi. Setelah pasien dan keluarga menyanggupi, kami datang ke rumah
pasien. Saat melakukan kunjungan, kami mendapat sambutan hangat dari pasien
serta keluarga. Tujuan diadakannya kunjungan ini adalah untuk mengenal lebih
dekat kehidupan pasien sehari-hari, mengidentifikasi permasalahan terkait dengan
penyakit pasien dan faktor resiko apa saja yang terdapat pada pasien terkait
dengan penyakit pasien. Kunjungan ini juga bertujuan untuk memberikan edukasi
kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi penyakit yang dialami pasien.
25
rumah sakit, namun pasien merupakan pasien rawat jalan yang setiap bulannya
diharuskan untuk melakukan kontrol ke Poli. Hal tersebut menjadi beban
tersendiri bagi pasien secara psikologis dalam menjalani perawatan.
26
0,8 x 48 = 38,4 gram (153,6 kal)
3. Lemak 20% = 20% x 1758,3 kalori = 351,66 kalori dari lemak.
Lemak dibutuhkan sebesar 351,66 kalori setara dengan 39,07 gram lemak
(351,66 kalori : 9 kalori/gram lemak).
b. Kegiatan Fisik
Aktivitas fisik pasien terbatas akibat rasa lemas yang mudah timbul.
Sehari–hari kegiatan yang dapat dilakukan oleh pasien adalah menjaga cucu
dan berjalan-jalan sekitar pekarangan rumah. Meskipun demikian, pasien
masih mampu menghadiri upacara keagamaan yang diadakan di banjarnya
dengan ditemani oleh keluarganya.
27
c. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Pasien tinggal di Jalan Maluku III Gang IV No. 1A, sekitar 1 km dari
rumah pasien terdapat rumah sakit RSUP Sanglah, RS Kasih Ibu, RS Surya
Husadha, RS Prima Medika. Jarak tempuh dari rumah pasien ke rumah sakit
terdekat adalah ± 5 menit jika menggunakan motor. Pasien harus diantar
oleh keluarga dikarenakan pasien tidak mampu mengendarai kendaraan
akibat kondisinya yang lemas.
d. Lingkungan
Pasien tinggal bersama suami dan anaknya yang juga sudah berkeluarga.
Lingkungan tempat tinggal pasien cukup padat karena terdiri dari beberapa
bangunan. Tempat tinggal pasien terletak di dalam gang. Bangunan tempat
tinggal pasien merupakan bangunan permanen. Tempat tinggal pasien terdiri
dari dua bangunan, bangunan utama dan bangunan belakang yang dibatasi
oleh halaman tengah. Bangunan utama terdiri dua kamar tidur, ruang
keluarga, ruang tengah, dengan sebagian teras depan rumah dijadikan
tempat kosong untuk tempat bertamu. Bangunan belakang terdiri dari satu
kamar tidur, dapur, dan gudang. Terdapat dua kamar mandi terletak di
bangunan belakang yang dapat diakses dari luar sehingga bisa digunakan
bersama. Secara keseluruhan tempat tinggal pasien merupakan bangunan
lama dengan penataan rapi, bersih, namun padat. Ventilasi udara tempat
tinggal pasien cukup baik. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk
mandi, mencuci baju, dan keperluan memasak.
2. Kebutuhan Bio-Psiksosial
a. Lingkungan Biologis
Keluhan pasien didasarkan karena BAB hitam yang sempat dialami
pasien 6 bulan yang lalu, yang merupakan bagian dari perjalanan penyakit
hati kronisnya. Oleh sebab itu, sangat perlu diperhatikan pola hidup bersih
dan sehat serta pengobatan terhadap kondisi pasien untuk mencegah
terjadinya perburukan kondisi dan komplikasi lain yang lebih berat yang
dapat mengganggu aktivitas pasien kedepannya.
28
b. Faktor Psikologis
Dalam keadaan sakit dan selama menjalani perawatan pasien
membutuhkan dukungan dari keluarga. Suami dan anak pasien selalu
mengingatkan pasien untuk mengonsumsi obat–obatan, menjaga asupan
makan dan minum pasien, serta menemani pasien untuk melakukan kontrol
ke rumah sakit. Suami dan anak pasien sangat memerhatikan kondisi
kesehatan pasien. Keluarga senantiasa memberikan dukungan baik secara
fisik maupun psikis.
c. Faktor Sosial dan Kultural
Lingkungan sekitar tempat tinggal pasien memahami keadaan yang
dialami pasien saat ini sehingga kegiatan seperti ngayah di banjar dan
upacara keagamaan tertentu dapat diwakilkan oleh anak pasien saja. Pasien
mendapatkan dukungan dari keluarga, teman dan lingkungan sekitar pasien.
d. Faktor Spiritual
Keluarga pasien selalu mengingatkan dan mengajak pasien untuk terus
beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
demikian dapat menjauhkan pasien dari pikiran – pikiran negatif tentang
penyakit serta tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan kedepannya.
29
untuk senantiasa memperhatikan dan mengingatkan pasien mengenai pola
makan, rutin konsumsi obat yang diberikan, dan kontrol ke rumah sakit.
3. Edukasi keluarga pasien untuk melakukan skrining terhadap hepatitis
untuk mengetahui keadaan dan mencegah terjadinya perburukan.
4. Memberikan motivasi dan semangat kepada pasien dan keluarga mengenai
hal-hal positif dan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa pasien
membutuhkan dukungan dari keluarga, baik dukungan secara psikis
maupun yang lain.
30
4.5 Denah Pekarangan Rumah
31
BAB V
SIMPULAN
BAB V SIMPULAN
Sirosis hepatis merupakan dampak tersering dari perjalanan klinis yang
panjang dari semua penyakit hati kronis, yang ditandai dengan kerusakan
parenkim hati disertai fibrosis dan pembentukan nodul regeneratif. Sirosis hepatis
dapat disebabkan oleh penyakit infeksi, keturunan dan metabolik, obat, toksin,
dan penyebab lainnya. Di Asia Tenggara, penyebab utama sirosis hepatitis adalah
hepatitis B dan C. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang mengarah pada tanda dan
gejala sirosis hepatis. Tata laksana pada pasien sirosis hepatis umumnya dibagi
berdasarkan klasifikasi fungsional, yaitu sirosis kompensata dan dekompensata
dengan tujuan untuk mengurangi gejala dan memberikan penanganan sesuai
etiologinya. Adapun komplikasi yang dapat timbul berupa peritonitis bacterial
spontan, sindrom hepatorenal, dan ensefalopati hepatikum.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
9. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Sirosis Hati. Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia. http://pphi-online.org. 2010. [Diakses tanggal 20 Januari
2018].
10. Zhou WC, Zhang QB, Qiao L. Pathogenesis of liver cirrhosis. World J
Gastroenterology, 20(23), 2014. 7312-7324p.
11. Irianto K. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia. Bandung: Penerbit Yrama
Widia. 2008.
12. Ge PS, Runyon BA, Treatment of patients with cirrhosis. New England
Journal of Medicine, 375(7),2016. 67-77p.
13. Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noor HMS. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Hati. Edisi pertama. Jakarta: CV Sagung Seto. 2012.
14. Runyon BA, Gotes G, Talwalkar JA. Cirrhosis. NIH Publication, 14(1134)
2014, 1-16p.
15. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and chronic liver failure. Am Fam
Physician, 74, 2006.756-762p.
16. Porth CM. Disorders of hepatic and biliary function. Dalam: Essential of
Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. Edisi ketiga. China:
Wolters Kluwer Health. 2011. 737-751p.
17. Chung RT, Podolsky DK. Cirrhosis and its complication. Dalam: Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi keenam belas. New
York: Mc-Graw Hill. 2005. 1858-1862p.
18. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease.
Dalam: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL,
Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi keenam
belas. New York: Mc-Graw Hill. 2005. 1808-1813p.
34
19. Garcia-Tsao G, Lim J. Management and treatment of patients with
cirrhosis and portal hypertension. Am J Gastroenterol, 104, 2009. 1802-
1829p.
35