Pembimbing :
Mahasiswa :
TAHUN 2019
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
responsiyang berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronik” ini tepat pada
waktunya. Laporan responsi kasus ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 1
iii
3.7 Monitoring 25
3.8 Prognosis ………………………………………………………….. 25
3.9 KIE 25
BAB IV PEMBAHASAN 26
BAB V RINGKASAN 30
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 31
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
melakukan penatalaksanaan yang tepat sehingga dapat mencegah terjadinya
perburukan penyakitdan kualitas hidup pasien dapat ditingkatkan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Frekuensi napas normal 14 – 20 x /menit. Pada orang dewasa setiap satu kali
napas udara masuk 500 cc atau 10 ml/kg BB. Sehingga setiap menit udara masuk
ke sistem napas 6 – 8 liter (minute volume, MV). Udara yang sampai di alveoli
disebut Ventilasi Alveolar (VA). Ventilasi alveolar lebih kecil dari MV, karena
sebagian udara di jalan napas tidak ikut pertukaran gas (Dead Sapce = VD).
Difusi adalah perpindahan O2 dari alveoli ke dalam darah dan keluarnya CO2 dari
darah ke alveoli. Difusi O2 berjalan lancar bila alveoli mengembang baik dari
jarak difusi trans-membran pendek, edema menyebabkan jarak difusi O2 menjauh
hingga kadar O2 dalam darah menurun (hipoksemia). Difusi CO2 tidak pernah
terganggu karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar daripada O2 pada edema
paru pada tahap awal terjadi penumpukan cairan dalam jaringan di sekitar alveoli
dan kapiler (interstitial edema). Pada tahap lanjut cairan masuk ke dalam alveoli.
Sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang membawa O2 ke dalam jaringan
paru. Aliran darah di kapiler paru (perfusi) ikut menentukan jumlah O2 yang dapat
diangkut. Masalah timbul jika terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi alveolar
dengan perfusi.9
Ada empat jenis volume paru yaitu volume tidal, volume cadangan
inspirasi, volume cadangan ekspirasi, dan volume residu. Volume tidal adalah
jumlah udara yang dihisap atau dihembuskan dalam satu siklus napas normal.
Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang dewasa. Volume cadangan inspirasi
merupakan jumlah maksimal udara yang masih dapat dihirup setelah akhir
inspirasi tenang dan biasanya mencapai 3.000 ml. Volume cadangan ekspirasi,
yaitu jumlah maksimal udara yang masih dapat dihembuskan setelah akhir
ekspirasi tenang. Sedangkan volume residu yaitu jumlah udara yang masih ada di
dalam paru setelah melakukan ekspirasi maksimal atau ekspirasi yang paling kuat,
volume tersebut mencapai ± 1.200 ml.11 Kapasitas paru merupakan gabungan dari
beberapa volume paru yaitu Kapasitas Vital (KV), Kapasitas Paru Total (KPT),
Kapasitas Inspirasi (KI), dan Kapasitas Residu Fungsional (KRF). KV (volume
cadangan inspirasi + volume tidal + volume cadangan inspirasi) adalah jumlah
maksimal udara yang dapat dikeluarkan dari paru sekuat-kuatnya setelah terlebih
dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkan dengan
maksimal ± 4.600 ml. KPT (volume kapasitas vital + volume residu) adalah
4
jumlah maksimal udara yang dapat dimuat paru pada akhir inspirasi maksimal
dengan cara inspirasi paksa sebesar ± 5.800 ml. KI (volume cadangan inspirasi
volume tidal) merupakan jumlah maksimal udara yang dapat dihirup oleh
seseorang sebesar ± 3.500 ml dari posisi istirahat. KPR (volume cadangan
respirasi + volume residu) adalah jumlah udara yang tertinggal / tersisa dalam
paru pada posisi istirahat sebesar ± 2.300 ml.9
5
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran
pernapasan, dan jaringan paru. Kebiasaan merokok akan mempercepat
penurunan fungsi faal paru. Penurunan ekspirasi paksa per tahun 28,7 ml
untuk non perokok, 38,4 ml untuk bekas perokok, dan 41,7 ml untuk
perokok aktif. Pengaruh asap dapat lebih besar daripada debu yang hanya
sepertiga dari pengaruh buruk rokok.15
2.2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO pada tahun 2005, sekitar 80 juta orang menderita
PPOK dan 3 juta di antaranya meninggal dunia, dengan merujuk 5% dari seluruh
kematian secara global.4Di Amerika Serikat, data tahun 2007 menunjukkan bahwa
prevalensi PPOK sebesar 10,1 % pada laki-laki sebesar 11,8 % dan untuk
perempuan 8,5 %.17Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab
terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian
ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1991.18Sedangkan prevalensi PPOK
di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi
terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).19 Total kematian akibat PPOK
6
diperkirakan akan meningkat > 30% pada 10 tahun mendatang. Peningkatan
secara drastis pada dua dekade akan terjadi di negara-negara Asia dan Afrika
karena peningkatan pemakaian tembakau.20
Prevalensi PPOK di Indonesia pada tahun 2013 adalah 3,7% dan angka
kejadiannya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.6Di Indonesia, angka
kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di daerah DKI Jakarta (2,7%),
Jawa Barat (4,0%), Jawa Tengah (3,4%), DI Yogyakarta (3,1%), Jawa Timur
(3,6%), dan Bali (3,6%).21Laju kematian selama perawatan di rumah sakit dengan
eksaserbasi diperkirakan antara 2,5 – 10%. Kematian setelah perawatan di rumah
sakit diperkirakan antara 50 – 60% setelah 5 tahun keluar dari rumah sakit.
Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan meningkat pada kelompok
umur > 45 tahun.17
2.2.4 Patogenesis
PPOK terutama memengaruhi jalur pernapasan kecil dan alveoli.
Mekanisme penting dalam patogenesis PPOK adalah adanya inflamasi kronis dan
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan sehingga menyebabkan stres
oksidatif. Stres oksidatif berkontribusi pada obstruksi jalur pernapasan dan
hiperinflasi. Sel-sel inflamasi yang terlibat pada PPOK adalah neutrofil,
makrofag, dan limfosit, dimana sel-sel ini tidak dapat ditekan oleh steroid.
7
Neutrofil menghasilkan chemoattractant dan enzim proteolitik yang
menghancurkan jaringan paru sehingga kehilangan elastisitasnya. Neutrofil juga
meningkatkan aktivasi makrofag dan sel epitel dalam memproduksi mukus yang
menjadi tanda utama PPOK. Makrofag menghasilkan sitokin dan chemokines
seperti IL-8, IL-6, IL-10, TNFα, dan lain-lain, serta oksigen reaktif yang menarik
berbagai sel inflamasi seperti matrix metealoproteinases (MMP) dan
memperburuk inflamasi pada paru. Limfosit CD8+ menghasilkan enzim destruktif
seperti perforin dan granzyme B yang mampu menyebabkan apoptosis pada
dinding epitel alveoli. Sedangkan limfosit CD4 menginduksi respon autoimun
pada jaringan paru.4
Perubahan fisiologis pada penderita PPOK menyebabkan penurunan
kualitas hidup dan tingkat kelangsungan hidup. Kerusakan elastisitas pada
jaringan paru berakibat pada penyempitan jalur napas yang signifikan sehingga
terjadi penumpukan udara pada paru atau hiperinflasi. Hiperinflasi merupakan
penyebab utama terjadinya dispnea, rendahnya kualitas hidup, dan buruknya
prognosis pada pasien PPOK. Selain itu, fibrosis pada jalur pernapasan juga
menyebabkan penyempitan jalur yang tidak bisa kembali normal walaupun
dibantu oleh bronkodilator.4
Gambar 2.1 Patogenesis PPOK Akibat Stres Oksidatif dan Sel-Sel Inflamasi 4
8
2.2.5 Klasifikasi
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas. Menurut
American Thoracic Society (ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat
obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini
ditandai dengan sesak napas pada penderita yang dirinci sebagai berikut :25
9
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri
menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 %
dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan
analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau
hipoksemia dengan hiperkapnia.
2.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis PPOK dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang
dapat ditinjau melalui anamnesis sacred 7 basic 4 seputar keluhan pasien; apakah
sesak napas memberat apabila melakukan aktivitas, sesak yang disertai mengi,
batuk kering maupun dengan dahak yang produktif, maupun ada/tidaknya rasa
berat di dada, riwayat penyakit, faktor predisposisi dengan mempertimbangkan
apabila usia penderita >45 tahun, adanya riwayat merokok yang aktif atau pasif,
apakah terdapatnya indikasi pajanan zat beracun (polusi udara, debu pekerjaan),
apakah ada riwayat batuk berulang pada masa kanak-kanak, apakah ada riwayat
beran badan lahir rendah, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang melalui pemeriksaan rutin serta pemeriksaan khusus.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, umumnya PPOK dini biasanya tidak ditemukan
kelainan jelas serta tanda inflasi paru. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Beberapa yang dapat ditemukan melalui
pemeriksaan fisik pada penderita PPOK, yaitu:
- Inspeksi : Pursed-lips breathing, barrel chest (diameter antero-posterior dan
transversal dari rongga thorak sebanding), penggunaan otot bantu napas yang
menyebabkan hipertropi, dan pelebaran sela tulang rusuk. Pada pasien yang
telah terjadi gagal jantung kanan, dapat dilihat adanya denyut pada vena
jugularis di leher serta edema tungkai. Selain gambaran tersebut, terdapat
pula beberapa gambaran yang dapat ditemui seperti:Pink puffer yang
merupakan gambaran khas pada emfisema. Dimana penderita nampak kurus,
dengan kulit kemerahan serta pernapasan pursed-lips breathing; Blue bloater
yang merupakan gambaran khas pada keadaan bronchitis kronik, dengan
10
penderita gemuk disertai sianosis sentral dan perifer. Selain itu, terdapat pula
edema pada tungkai serta pada pemeriksaan auskultasi, terdapat suara napas
berupa ronki basah pada basal paru; Pursed lips breathing yang merupakan
sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dengan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 ketika terjadi gagal napas kronik.22
- Palpasi : Pada hasil pemeriksaan vokal fremitus, hantarannya melemah,
sela iga melebar.22
- Perkusi : Hipersonor, batas jantung kesan mengecil, letak diafragma rendah
dengan letak hepar cenderung terdorong ke bawah.22
- Auskultasi :Suara napas vesikuler normal hingga melemah. Terdapat suara
ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
Ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.22
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang, penegakkan diagnosis PPOK dapat dilihat
melalui pemeriksaan faal paru dengan menggunakan spirometri serta uji
bronkodilator, darah rutin, serta radiologi melalui foto toraks PA dan lateral untuk
menyingkirkan penyakit paru lainnya.
- Spirometri
Presentasi APE dari nilai terbaik =
- Uji Bronkodilator
11
Variabilitas hasian APE =
- X-Ray
Dalam pemeriksaan menggunakan foto toraks PA dan lateral, maka pada
kasus emfisema akan terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, dan jantung menggantung (jantung pendulum/tear
drop/eye drop appearance).Sedangkan pada pasien dengan bronkitis kronis maka
akan tampak gambaran normal dimana pada 21% kasus, corakan bronkovaskuler
akan bertambah.22
Dalam beberapa keadaan, pemeriksaan khusus mungkin diperlukan, namun
dalam tidak rutin dilaksanakan. Di antaranya:5
1. Faal paru.
a. Volume residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF. VR/KPT meningkat.
b. DLCO menurun pada emfisema.
c. Sgaw meningkat.
d. Variabiliti harian APE <20%
2. Uji latih kardiopulmoner.
a. Sepeda statis (ergocycle).
b. Jentera (treadmill).
c. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal.
12
3. Uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai derajat hipereaktivit bronkus,
sebab pada sebagian kasus penderita PPOK, terdapat hipereaktiviti
bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid.
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (e.g
prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50mg per hari selama 2
minggu yaitu adanya peningkatan VEP1 pasca bronkodilator >20% dan
minimal 250ml. Umumnya pada kasus PPOK tidak terdapat kenaikan faal
paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah.
a. Gagal napas kronik stabil.
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik.
6. Radiologi.
a. CT-Scan resolusi tinggi.
b. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
c. Scan ventilasi perfusi untuk mengetahui fungsi respirasi paru.
7. Elektrokardiografi.
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi.
Untuk menilai fungsi jantung kanan.
9. Bakteriologi.
Penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia
merupakan infeksi saluran napas berulang. Oleh sebab itu, pemeriksaan
bakteriologi sputum dengan menggunakan pewarnaan gram dan kultur
resistensi, dapat digunakan untuk mengetahui pola kuman serta pemilihan
antibiotik yang tepat.
10. Kadar alfa-1 antitripsin.
13
Dimana pada kasus emfisema herediter (emfisema pada usia muda), kadar
antitripsin alfa-1 umumnya rendah. Namun, defisiensi alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.
2.2.7 Penatalaksanaan
Secara umum, tujuan penatalaksanaan PPOK adalah untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan
faal paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Pemberian edukasi pada
PPOK merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil mengingat PPOK merupakan penyakit kronik yang bersifat ireversibel dan
progresif. Penggunaan bronkodilator dapat diberikan secara tunggal maupun
kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dengan menyesuaikan terhadap
klasifikasi derajat berat penyakit. Pemberian obat dapat diberikan dengan melalui
inhalasi, maupun nebulizer. Namun, penggunaan secara jangka panjang tidak
dianjurkan. Pada sebagian kasus dimana PPOK diklasifikan dengan derajat berat,
maka pemberian obat long acting maupun slow release lebih diutamakan.22
14
Pemberian obat anti inflameasi pada kasus PPOK diharapkan dapat
mempersingkat waktu penyembuhan serta memperbaiki fungsi paru secara lebih
optimal. Selain itu, dari beberapa hasil studi juga menyebutkan bahwa pemberian
glukokortikoid sebagai pilihan terapi dapat meningkatkan oksigenasi, resiko
kambuh dini, kegagalan pengobatan serta lamanya rawat inap. Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) merekomendasikan pemberian
40mg prednisone per hari selama 5 hari dengan pertimbangan bahwa pemberian
prednisolone secara oral sama efektifnya dengan pemberian terapi melalui jalur
intravena.5
15
Obat antibiotika hanya diberikan apabila pasien mengidap PPOK yang
disebabkan oleh infeksi bakteri. Beberapa antibiotika yang dapat digunakan antara
lain:
- Lini I : Amoksisilin, makrolid.
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosforin, kuinolon, makrolid
baru.
Apabila pasien dalam perawatan di Rumah Sakit, maka dapat digunakan
kombinasi:
- Amoksisilin dan klavulanat.
- Sefalosporin generasi II & III injeksi.
- Kuinolon per oral.
Ditambah dengan anti pseudomonas:
- Aminoglikose per injeksi.
- Kuinolon per injeksi.
- Sefalosporin generasi IV per injeksi.
Terapi oksigen diberikan pada pasien yang mengalami hipoksemia dengan
target peningkatan saturasi oksigen hingga 88-92% dengan tujuan untuk
mempertahankan oksigenasi seluler serta mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ lainnya. Pemberian terapi oksigen menggunakan nasal kanul
dengan titer 1-2liter/menit diberikan pada pasien dalam keadaan stabil yang
dirawat di Rumah Sakit dengan tujuan untuk mencegah hipoksemia yang
seringkali terjadi ketika pasien sedang tertidur.5
Indikasi pemberian terapi oksigen pada pasien PPOK adalah sebagai berikut:
1. PaO2< 60mmHg atau Sat O2<90%
2. PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2>89% disertai kor pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,
sleep apneau, serta pennyakit paru lainnya.
Pada pasien PPOK eksaserbasi dengan gagal napas akut, maupun pada
pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik, maka dapat diberikan
bantuan berupa ventilasi mekanik. Baik dengan intubasi, maupun tanpa intubasi
yang dapat digunakan selama perawatan di rumah dalam bentuk Non-Invasive
16
Intermitten Positive Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV).
Dengan harapan akan memberikan perbaikan yang signify pada hasil analisis gas
darah, kualitas dan kuantitas tidur, serta kualitas hidup.5
17
terhadap kondisi malnutrisi dilandasi oleh adanya pendapat bahwa malnurisi dapat
meningkatkan angka mortalitas oleh sebab berkolerasi dengan derajat penurunan
fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Oleh sebab itu, komposisi nutrisi
yang seimbang harus diperhatikan seperti dimana pada kasus PPOK, terdapat
gangguan ventilasi yang menyebabkan paru-paru tidak dapat mengeluarkan CO2
akibat metabolisme karbohidrat. Selain itu pada umumnnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxygen consumption dan respon ventilasi terhadap
keadaan hipoksia dan hiperkapni. Namun sebaliknya, pada PPOK dengan gagal
napas, pemberian protein yang berlebih dapat menyebabkan kelelahan. Selain itu,
pada PPOK sering terjadi gangguan keseimbangan elektrolit seperti
hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi yang dapat mengurangi
fungsi diagragma. Oleh sebab itu, dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi
seimbang (porsi kecil) dengan waktu pemberian yang sering.
Pada penderita yang telah mendapatkan pengobatan optimal namun
disertai dengan simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ke ruang gawat
darurat serta kualitas hidup ang menurun, maka dapat dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup. Adapun latihan fisik yang dianjurkan yaitu:5
1. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan.
Ditujukan untuk penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasan sehinggal tidak dapat menghasilkan tekanan inspirasi yang
cukup untuk ventilasi maksimum.
2. Endurance exercise.
Untuk meningkatkan cardiac output oleh sebab respons kardiovaskuler
pada penderita PPOK tidak dapat terjadi secara optimal.
2.2.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang seringkali muncul pada pasien penderita PPOK
di antaranya adalah sebagai berikut:5
1. Gagal napas.
- Gagal napas kronik.
18
Dengan hasil analisis gas darah PO2 < 60mHg dan PCO2 > 6ommHg
dengan pH normal.
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik.
Dimana hal ini ditandai dengan adanya sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen, adanya demam serta
penurunan kesadaran.
2. Infeksi berulang.
Menurunnya kadar limposit dalam darah menjadi penanda dimana imun
penderita menjadi lebih rendah pada kondisi kronik. Hal ini dapat
mempermudah tumbuhnya koloni kuman yang menjadi akibat daripada
terjadinya infeksi berulang.
3. Kor pulmonal.
Ditandai dengan adanya P pulmonal pada hasil EKG, jumlah hematokrit >
50% yang dapat pula disertai dengan adanya gagal jantung kanan.
2.2.9 Prognosis
Pada pasien dengan PPOK berat yang disertai dengan dispneau dapat
menurunkan produktivitas. Sebanyak 30% penderita dengan keluhan sumbatan
yang berat dapat meninggal dalam satu tahun, sementara 95% lainnya dapat
meninggal dalam kurun waktu 10 tahun yang diakibatkan oleh kegagalan napas,
pneumonia, aritmia jantung maupun emboli paru.25
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dianamnesis dalam keadaan sadar di ruang rawat inap Bakung
Timur RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 14 Mei 2019 pukul 13.05. Informasi
tambahan didapatkan melalui heteroanamnesis dari cucu pasien. Pada hari Jumat,
10 Mei 2019 pasien datang diantar oleh cucunya dengan keluhan sesak sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan sepanjang hari saat itu. Pasien
mengatakan sesaknya terasa hampir di seluruh bagian dada. Sesak dikatakan
berat, sehingga pasien terangkih-angkih sampai dadanya terasa nyeri dan sulit
untuk melakukan aktivitas. Sesak dirasakan saat pasien makan, berdiri, berjalan,
dan tidur. Pasien mengatakan sesak saat pasien tidur namun perubahan posisi
20
tidak membuat sesaknya berkurang. Kadang, sesak berkurang saat pasien
beristirahat. Awal terjadinya sesak pada tanggal 14 Mei 2019, pasien sedang
duduk di beranda dan tiba-tiba timbul sesak yang memberat. Nafsu makan pasien
dikatakan normal. Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) tidak ada
keluhan. Penurunan berat badan, demam, keringat malam, mual, dan muntah
disangkal. Pasien juga mengeluhkan adanya batuk.
Batuk dikatakan timbul sejak 1 tahun yang bersamaan dengan timbulnya
sesak. Batuk dirasakan hampir sepanjang hari dan secara berkala, dalam seminggu
bisa kambuh 4 – 5 x. Batuk disertai dengan adanya dahak yang berwarna putih
dan dikatakan cair seperti ludah.Batuk dirasakan sedang namun dirasa berat 3 hari
sebelum masuk rumah sakit.
21
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
22
- batas kiri jantung pada MCL ICS V sinistra
Auskultasi : S1 tunggal, S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo :Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus lemah, pergerakan simetris
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi :
+ + + + - -
+ + + + - -
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-),
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani (+), ascites (-)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
23
Neu 72.51 % 47-80
Ph 7.38 7.35-7.45
24
TCO2 29.60 mmol/L 24.00-30.00
Kesan : Aortosklerosis.
25
3.6 PLANNING
Planning Diagnosis
- Smear sputum gram
- Spirometri
Planning Terapi
- IVFD NaCl 0.9% 20 tpm.
- O2 2 lpm nasal kanul.
- Levofloxacin 750mg tiap 24 jam IV.
- Nebulizer Combivent tiap 8 jam.
- Metilprednisolon 62,5mg tiap 12 jam IV.
- Parasetamol 500mg tiap 8 jam.
- N. Asetilsistein 200mg tiap 8 jam IO.
3.7 MONITORING
- Tanda-tanda Vital
- Keluhan
- SpO2
3.8 PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam.
Ad functionam : dubia ad malam.
Ad sanationam : dubia ad malam.
3.9 KIE
-Memberikan edukasi pada pasien dan keluarganya untuk menghindari
faktor memperberat serta faktor pencetus.
-Edukasi terkait penyakit dan perjalanan penyakitnya.
-Memberikan edukasi terkait kepatuhan konsumsi obat serta terapi yang
diberikan cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat.
-Menyesuaikan keterbatasan melakukan aktivitas menjaga keseimbangan
nutrisi serta rehabilitasi latihan pernapasan.
26
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan teori, orang yang berusia > 45 tahun dengan riwayat merokok
memiliki risiko untuk mengalami PPOK. Dimana pada kasus, pasien berusia 78
tahun dengan riwayat perokok aktif ± 50 tahun dan baru 10 tahun terakhir ini
berhenti merokok, yang termasuk dalam kategori orang yang berisiko.
Kecurigaan terhadap diagnosis PPOK perlu dipikirkan ketika ditemukan keluhan
sesak, batuk kronis, dan produksi sputum. Keluhan-keluhan tersebut perlu digali
lebih lanjut dengan anamnesis yang baik untuk menegakkan diagnosis.
Berdasarkan teori, keluhan sesak yang dirasakan saat beraktivitas dapat
digolongkan menjadi beberapa kategori. Menurut American Thoracic Society
(ATS) penggolongan PPOK berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu
ringan, sedang, berat dan sangat berat. Gejala ini ditandai dengan sesak napas
pada penderita yang dirinci sebagai berikut :
a. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
b. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau sedikit
mendaki nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran spirometri menunjukkan
nilai VEP1 ≥ 50 %
c. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia karena sesak
napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas pada saat berjalan walau
jalan mendatar nilai 2 skala sedang.
d. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa menit
berjalan nilai 3 skala berat.
e. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari terganggu atau
sesak napas saat menggunakan atau melepaskan pakaian, nilai 4 skala
sangat berat. Pada penderita PPOK derajat berat sudah terjadi gangguan
fungsional sangat berat serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis
respirasi.
Berdasarkan keluhan pasien, dimana dari hasil anamnesis pasien
mengeluhkan bahwa sesak membuat nafas menjadi terangkih-angkih serta dada
28
terasa berat, hingga pada tahap dimana pasien mengalami kesulitan ketika
melakukan aktivitas seperti berjalan dalam jarak sekitar 100 meter mengacu pada
penilaian sesak pasien mencapai nilai 3 skala berat.
Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia) tahun 2005 maka PPOK dikelompokkan ke dalam :
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum dan dengan sesak napas derajad nol sampai satu. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan
VEP1/KVP < 70 %
b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan
atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80%
prediksi.
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajat tiga atau
empat dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri
menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 %
dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan
analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau
hipoksemia dengan hiperkapnia.
Kembali mengacu pada hasil anamnesis terkait keluhan pasien, dimana
pasien mengeluhkan sesak disertai batuk produktif, dengan sputum berwarna
putih cair seperti ludah, serta pada pemeriksaan thoraks dengan auskultasi dapat
didengar suara napas ronkhi pada kedua lapang paru, maka apabila dinilai
berdasarkan gejala klinisnya, diagnosis penyakit yang diderita oleh pasien
mengacu pada PPOK berat dimana eksaserbasi lebih sering terjadi. Namun,
diagnosis ini kembali harus ditunjang lebih lanjut menggunakan uji baku emas
spirometri.
Pada pemeriksaan fisik, umumnya PPOK dini biasanya tidak ditemukan
kelainan jelas serta tanda inflasi paru. Beberapa yang dapat ditemukan melalui
pemeriksaan fisik pada penderita PPOK, yaitu:
1. Inspeksi
29
a. Pursed-lips breathing.
b. Barrel chest dimana keadaan ini merupakan gambaran ketika diameter
antero-posterior dan transversal dari rongga thorak sebanding.
c. Penggunaan otot bantu napas yang menyebabkan hipertropi.
d. Pelebaran sela tulang rusuk.
Pada pasien yang telah terjadi gagal jantung kanan, dapat dilihat adanya
denyut pada vena jugularis di leher serta edema tungkai.
2. Palpasi
Pada hasil pemeriksaan vokal fremitus, hantarannya melemah, sela iga
melebar.
3. Perkusi
Hipersonor, batas jantung kesan mengecil, letak diafragma rendah dengan
letak hepar cenderung terdorong ke bawah.
4. Auskultasi
- Suara napas verikuler normal hingga melemah.
- Terdapat suara ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
- Ekspirasi memanjang.
- Bunyi jantung terdengar jauh.
Pada hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien, pada inspeksi
dapat dilihat adanya pursed lips ketika pasien mengeluhkan sesaknya kumat. Oleh
sebab beratnya sesak, maka otot bantu napas sering digunakan yang menyebabkan
terjadinya hipertrofi. Sehingga menyebabkan sela tulang iga melebar. Selanjutnya,
pada pemeriksaan palpasi, ditemukan hantaran vokal fremitus yang melemah.
Pada pemeriksaan perkusi sonor, namun kesan jantung, letak diafragma serta hati
tidak dapat dievaluasi. Pada pemeriksaan auskultasi, dapat didengar suara ronkhi
paru di kedua lapang paru. Hal ini, juga dikonfirmasi oleh pasien yang mengaku
merasakan dadanya gemetar ketika terangkih-angkih berusaha meraup napas.
Selain itu, ketika dilakukan pemeriksaan untuk melihat laju napas, ditemukan
ekspirasi pasien memanjang.
30
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan apabila
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya yang dapat disebabkan oleh infeksi
maupun faktor lainnnya seperti pajanan polusi, kelelahan maupun timbulnya
komplikasi. Pasien dengan gejala eksaserbasi umumnya memiliki keluhan
tambahan seperti: bertambahnya sesak, produksi sputum yang meningkat disertai
perubahan warna.
Pada hasil anamnesis, pasien mengeluh terjadinya sesak juga disertai
dengan adanya batuk produktif dengan sputum. Namun, untuk memastikan
diagnosis lebih lanjut, maka selanjutnya direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan kultur sputum.
Dalam pemeriksaan menggunakan foto toraks PA-lateral, pada pasien
dengan bronkitis kronis maka akan tampak gambaran normal. Namun pada 21%
kasus, coracan bronkovaskuler akan bertambah. Pada hasil foto thoraks milik
pasien, didapatkan kesan bronchitic lung yang disertai dengan peningkatan
corakan bronkovaskular yang mendukung kondisi ke arah bronkitis kronis.
Sehingga, apabila mengacu terhadap kriteria diagnosis PDPI terkait diagnosis
PPOK, temuan tersebut dapat dikatakan sesuai.
31
BAB V
SIMPULAN
Pada kasus pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak disertai
batuk dirasa memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan timbul sudah
sejak 1 tahun lalu dan menetap. Sesak dikatakan memberat saat aktivitas dan
berkurang ketika pasien beristirahat. Keluhan batuk produktif dengan sputum
berwarna putih, cair seperti ludah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan vokal
fremitus lemah disertai suara ronkhi pada kedua lapang paru. Pasien memiliki
riwayat dirawat di Rumah Sakit satu tahun yang lalu oleh sebab keluhan sesak
lebih dari dua kali dalam satu tahun.
Pada hasil foto thoraks milik pasien, didapatkan kesan bronchitic lung
yang disertai dengan peningkatan corakan bronkovaskular dengan kesan bronkitis
kronis.
Pasien didiagnosis dengan PPOK eksaserbasi akut. Pasien diberikan
tatalaksanamedikamentosa untuk mengurangi keluhan sesak, serta edukasi terkait
perubahan gaya hidup, nutrisi, serta manfaat dan efek samping dari pengobatan
yang diberikan.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Mannino DM, Buist AS. Global burden of COPD: risk factor prevalence, and
future trends. Lancet. 2007; 370: 765-73.
2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin: Situasi Lanjut Usia (Lansia) di
Indonesia. 2016. (diakses pada 16 Mei 2019 di http://www.depkes.go.id)
3. World Health Organization. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung A
Guide for Health Care Professionals Global Initiative for Chronic Obstructive
Disease. Glob Initiat Chronic Obstr Lung Dis. 2017; 22(4): 1 – 30.
4. Brashier BB, Kodgule R. Risk factors and pathophysiology of chronic
obstructive pulmonary disease (COPD). J Assoc Physicians India. 2012; 60
Supp (February): 17 – 21.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
di Indonesia: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). 2003.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar.
2013.
7. Seoroto AY, Suryadinata H. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Indones J Chest Crit Care Med. 2014;1(2): 84 – 8.
8. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi II. Jakarta:
EGC. 2001.
9. Guyton. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi XI. Jakarta: EGC. 2008.
10. West John B. Respiratory the essentials. Edisi VII. Pennysylvania: Lippincot
William and Wilkins. 2004.
11. MC Yeung, S Lam, Enarson D. Pulmonary Function Measurement In The
Industrial Setting. Chest. 1995.
12. Suyono. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. Edisi I. Jakarta: EGC. 2001.
13. P Rahmatullah. Pneumonitis dan Penyakit Paru Lingkungan Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009; hal. 2279 – 2296.
14. Sylvia Anderson Price. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi VI. Jakarta: EGC. 2005.
15. H Djunaedi. Dampak Merokok dan Cara-Cara Menanggulanginya. Majalah
Kesehatan Depkes RI 162: 18 – 22. 2002.
33
16. American Thoracic Society. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). Am J Respir Crit Care Med. 2013; 17 September: 115.
17. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino
DM, Menezes AM, SullivanSD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Marks GB,
Gulsvik A, Nizankowska MogilnickaE; BOLD Collaborative Research
Group, International variation in the prevalence of COPD (the BOLD Study):
a population-based prevalence study. Lancet. 2007 Sep 1; 370 (9598):741-50.
18. American Thoracic Society. Standards for Diagnosis and care of patient with
COPD. Am J Respir Crit Care Med. 1995; 152:S77- 120.
19. Chan-Yeung M, Ait Khaled N, White N, Ip MS, and Tan WC. The Burden
and Impact of COPD in Asia and Africa, Int J Tuberc Lung Dis. 2004; 8: 2 –
14.
20. N Angelis, K Porpodis, P Zarogoulidis, D Spyratos, L Kioumis, A
Papaiwannou. Airway inflammation in chronic obstructive pulmonary
disease. Journal of Thoracic Disease. 2014; 6 (Suppl1).S167-S172.
21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta. 2013.
22. Dipiro et al. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. The McGraw-
Hill Companies, Inc. USA. 2008; 7:2085 – 2117.
23. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. 2018.
24. Francis Caia. Perawatan Respirasi. Jakarta: Erlangga. 2008.
25. Ario Patrianto Partodimulyo dan Faisal Yunus. Kualiti Hidup Penderita
PPOK. J Respir Indo 25 (2). 2006.
34
1