Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

TONSILITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT

Disusun oleh:
Achmad Siraj Uluputty, S.Ked
NIM. 2013-83-001

Pembimbing:
dr. Billy Y.R. Talakua, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan pembuatan Laporan Kasus dengan judul
“Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut” ini dengan baik. Laporan Kasus ini dibuat dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik pada bagian ilmu kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepada dan Leher
(THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon tahun 2019.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun selalu penulis harapkan, dan semoga Laporan Kasus ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.
Akhir kata penulis mengucapkan terima aksih atas segala pihak yang telah membantu penulis
dalam penyelesaian pembuatan laporan kasus ini.

Ambon, September 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………........….. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………........ ii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………................ v
BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………......... 1
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….
2.1 Anatomi Faring dan Tonsi ………………………………….. 2
2.1.1 Nasofaring.................................................................. 2
2.1.2 Orofaring.................................................................... 3
2.2 Tonsilitis Akut………............................................................. 6
2.2.1 Definisi …………………………………………….. 6
2.2.2 Patogensesis ………………………………………..
6
2.2.3 Etiologi …………………………………………….. 7
2.2.4 Epidemiologi ……………………………………….
7
2.2.5 Manifestasi Klinis………………………………….. 8
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang……………………………..
9
2.2.7 Diagnosis banding………………………………….. 9
10
2.2.8 Tatalaksana………………………………………….
13
2.2.9 Komplikasi………………………………………….
2.3 Tonsilitis Kronis…………………………………………….. 14
2.3.1 Definisi dan Etiologi………………………………….. 14
2.3.2 Patogenesis……………………………………………. 14
2.3.3 Manifestasi Klinis…………………………………….. 15
2.3.4 Teatalaksana…………………………………………... 16
2.3.5 Komplikasi……………………………………………. 18

2.4 Benign Paroxymal Positional Vertigo BPPV…..……………… 15


2.4.1 Definisi …………….………………………………….. 15
2.4.2 Etiologi……………………………………………. 15
2.4.3 Diagnosis…………………………………….. …… 15

BAB III : LAPORAN KASUS……………………………………………... 17


A. Identitas pasien …………………………………..…......18
B.
Anamnesis ............................................................................18

ii
C. Pemeriksaan Fisik …………………………………….....19
D. Pemeriksaan Penunjang …………………………………
21
E. Diagnosis
………………………………………………...24
F. Diagnosis Banding…………………………………….....24
F. Terapi ……………………………....................................24
G. Anjuran…………………………………………………..24
F. Follow Up
………………………………………………..25
BAB IV : PEMBAHASAN......………………………………………. … 26
DAFTAR PUSTAKA….....………………………………………..............

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Faring 3


Anatomi mulut 5
Gambar 2.2 Tonsilitis Akut 6
Klasifikasi 8
Gambar 2.3 pembesaran tonsil
Strawberry tongue 10
Gambar 2.4
abses peritonsil 10
Gambar 2.5 tonsilektomi 12
pemeriksaan mulut 21
tenggorokan 22
darah rutin
Gambar 2.6 darah kimia

Gambar 2.7

Gambar 3.1

Gambar 3.2

Gambar 3.3

iv
BAB I
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu:
tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah).
Peradangan pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.1
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri
streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex.
Salah satu penyebab paling sering pada tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta
hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab
radang tenggorokan.2
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang berpotensi membentuk
formasi batu tonsil. Terdapat referensi yang menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang
memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis kronik. Tonsilitis kronis merupakan salah satu
penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda.
Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis
kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas
karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika
dengan adanya gejala seperti demam berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan
limfadenopati servikal dan submandibula.2
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Faring dan Tonsil

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler berbentuk pipa corong dengan panjang
5 inch yang menghubungkan hidung dan mulut menuju laring. Faring adalah tempat dari
tonsil dan adenoid. Dimana terdapat jaringan limfe yang melawan infeksi dengan
melepas sel darah putih ( limfosit T dan B). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.1,3,4
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan
laringofaring.1-6
1. Nasofaring
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
a. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
b. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus
faringeus, yang dikenal sebagai fosa Rosenmuller.
c. Torus tubarius – refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachius yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti
ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat di atas perlekatan palatum molle.
d. Koana posterior rongga hidung.
e. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat tertekan akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf
kranial glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis.

2
Gambar 2.1 Anatomi faring.3

2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikalis. struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding
posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum.4
Orofaring termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkum ferensial disebut cincin
Waldeyer. Semua bagian cincin mempunyai struktur dasar yang sama, yaitu massa
limfoid ditunjang oleh kerangka retinakulum jaringan penyambung. Adenoid (tonsila
faringeal) mempunyai struktur limfoidnya tersusun dalam lipatan, tonsil palatina
mempunyai susunan limfoidnya sekitar pembentukan seperti kripta. Sistem kripta yang
kompleks dalam tonsil palatina mungkin bertanggung jawab pada kenyataan bahwa tonsil
palatina lebih sering terkena penyakit daripada cincin limfoid lain. Kripta-kripta ini lebih
berlekuk-lekuk pada kutub atas tonsila, menjadi mudah tersumbat oleh partikel makanan,
mukus sel epitel yang terlepas, leukosit, dan bakteri, dan tempat utama pertumbuhan
bakteri patogen. Selama peradangan akut, kripta dapat terisi dengan koagulum yang
menyebabkan gambaran folikular yang khas pada permukaan tonsila.1,2,3,5

3
Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding
lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membran mukosa,
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Pada permukaannya
banyak lubang kecil, yang membentuk kripta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila
palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa, disebut kapsula.1,2,4
Tonsil mendapat darah dari A. Palatina asendens, cabang tonsil A. maksila
eksterna, A. Faring asendens, dan A. lingualis dorsal.3,4
Persarafan tonsil berasal dari saraf trigeminus dan saraf glossopharingeus. Nervus
trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati ganglion
sphenopaltina yaitu n. palatina. Bagian bawah tonsil dipersarafi n. glossopharingeus.3,4,6
Tonsil mencapai ukuran terbesarnya pada masa kanak-kanak, tapi sesudah masa
pubertas akan mengecil dengan jelas. Batas-batas tonsilla palatina:1,2,3
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum molle. Disini, tonsilla palatina dilanjutkan oleh jaringan
limfoid di bawah permukaan palatum molle.
4. Inferior : sepertiga posterior lidah. Disini, tonsilla palatina dilanjutkan oleh
tonsilla lingualis.
5. Medial : ruang oropharynx.
6. Lateral : kapsula dipisahkan dari m. constrictor pharyngis superior.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Pada garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual atau kista duktus tiroglossus.2
Tonsil dan adenoid, bersama-sama dengan lingual tonsil dan folikel lymphe
merupakan bagian dari cincin Waldeyer, sebuah lingkaran yang berkesinambungan dari
jaringan limfoid yang mengelilingi saluran pernapasan dan saluran pencernaan bagian
atas. Fungsinya adalah untuk menghasilkan antibodi terhadap sejumlah besar antigen dan
patogen yang dihirup saat bernapas dan ditelan saat makan setiap saat. Biasanya, jaringan
limfoid mendapatkan episode peradangan dan hipertrofi yang kita sebut tonsilitis.7
Aliran darah faring berasal dari beberapa cabang sistem karotis eksterna. Beberapa
anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi lainnya. Ujung
cabang arteri maksillaris interna, cabang tonsilar arteri fasialis, cabang lingual arteri
4
lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea superior, dan arteri faringeal yang naik
semuanya menambah jaringan anastomosis yang luas.1
Persarafan sensorik nasofaring dan orofaring, seperti dasar lidah, terutama melalui
pleksus faringeal dan saraf glosofaringeal. Pada bagian bawah faring terdapat persarafan
sensorik yang berasal dari saraf vagus melalui saraf laringeus superior.1
Aliran limfe faringeal meliputi rantai retrofaringeal dan faringeal lateral dengan
jalan selanjutnya masuk nodus servikalis profunda. Keganasan nasofaring seringkali
bermetastase ke rantai servikalis profunda.1

Gambar 2.2 Anatomi mulut.3


B. Tonsilitis Akut
1. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsila yang
biasanya disertai dengan pengumpulan leukosit, sel-sel epitel mati, dan bakteri pathogen
dalam kripta.1,2,8

5
Gambar 2.3 Tonsilitis akut.8

2. Patogenesis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal, tonsil palatina, dan tonsil lingual.2
Penyebaran tonsilitis dapat melalui udara (air borne droplets), tangan, dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.2
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak
kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel
yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis folikularis, bila
bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakunaris.2,5,7
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses
ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengkapan dengan jaringan
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
submandibula.2,5,7,9

3. Etiologi

6
Penyebab utamanya adalah infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil
berfungsi membantu menyerang bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan
pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun virus, sehingga
membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis.5
Penyebab tonsilitis antara lain:2,5,7,9
a. Pneumococcus
b. Staphilococcus
c. Streptokokus beta hemolitikus grup A
d. Hemofilus Influenza
e. Virus Epstein Barr
f. Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.
Faktor predisposisi dari tonsilitis akut, antara lain:2,10
a. Postnasal discharge karena sinusitis.
b. Residual jaringan tonsil karena tonsilektomi.
c. Mengkonsumsi minuman dingin atau makanan dingin dapat secara langsung
menyebabkan infeksi atau menurunkan daya tahan dengan vasokonstriksi.
d. Adanya benda asing yang bisa menyebabkan mudahnya terjadi infeksi.

4. Epidemiologi
Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada anak usia
di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis akut, 15% dari kasus
yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus, sisanya itu biasanya virus. Pada
anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50% dari kasus disebabkan streptococus
pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah
insiden yang sama rata.5,8

5. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda tonsilitis akut adalah:2,5,8,9
a. Sakit tenggorokan dan disfagia. Anak kecil mungkin tidak mengeluh sakit
tenggorokan tapi akan menolak untuk makan.
b. Otalgia (sebagai akibat dari nyeli alih melalui N.IX)
c. Demam, yang kadang dapat menyebabkan kejang demam pada bayi.
d. Malaise, nyeri sendi, dan tanda-tanda dehidrasi.

7
e. Tonsil membesar dan hiperemis serta dapat menunjukkan pus dari kriptus di
tonsilitis folikularis (detritus).
f. Durasi perlangsungan tonsilitis akut biasanya 4 sampai 6 hari.
Teknik pemeriksaan adalah pasien diminta untuk membuka mulutnya dan
kemudian pemeriksa menggunakan spatel menekan lidah ke bawah dan kemudian daerah
faring dan tonsil dapat dievaluasi.

Gambar 2.4 Klasifikasi pembesaran tonsil11

Interpretasi pembesaran tonsil:11


 0 : Posttonsilektomi.
 1 : Amandel menempati kurang dari 25 persen, dari dimensi lateral
orofaring yang diukur antara pilar-pilar anterior tonsil.
 2 : Amandel menempati kurang dari 50 persen dari dimensi lateral
orofaring.
 3 : Amandel menempati kurang dari 75 persen dari dimensi lateral
orofaring.
 4: Amandel menempati 75 persen atau lebih dari dimensi lateral
orofaring

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
tonsilitis akut, antara lain:

8
a. Inflammatory parameter : pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis,
dan erhytrocyte sedimentation rate (ESR) dan C-reactive protein (CRP)
meningkat.9
b. Pemeriksaan bakteri : sebuah kultur bakteri jarang diambil dari apus
tenggorok karena biasanya membutuhkan 2-3 hari untuk mendapatkan
hasil yang definitif, dimana waktu pengobatan sudah harus dimulai. Itu
sbaiknya dilakukan sebuah rapid immunoassay, yang dapat
mengidentifikasi organisme penyebab seperti Streptococcus grup A
hanya dalam waktu 10 menit.9

7. Diagnosis Banding
a. Difteri
Difteri memiliki onset yang berbahaya dan ditandai dengan membran
abu-abu (susah dihilangkan) di tonsil, tenggorokan, dan uvula. Diagnosis
difteri melalui pemeriksaan dan kultur swab.8

b. Scarlett fever
Scarlett fever dapat menyerupai tonsilitis akut. Scarlett fever disebabkan
oleh infeksi streptococcus dan menyebabkan ruam eritematosa berwarna abu-
abu. Pasien didapatkan tanda berupa strawberry tongue.9

Gambar 2.5 Strawberry tongue.9

c. Abses peritonsil
Abses peritonsilar adalah sekumpulan pus yang terletak diantara kapsul tonsil
dan muskulus konstriktor faringeal superior. Gejala yang paling sering adalah sulit

9
menelan, mengeluarkan air liur, trismus, dan demam. Asimetris peritonsiler dapat
terjadi dan disertai deviasi uvula.10

Gambar 2.6 Abses peritonsil.10

8. Tatalaksana
Tatalaksana tonsilitis meliputi:2,3,12
a. Pasien diharuskan untuk tirah baring.
b. Aspirin atau parasetamol diberikan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman.
Ingat bahwa aspirin tidak boleh diberikan kepada anak-anak umur dibawah
tahun karena risiko sindrom Reye.
c. Mengedukasi pasien untuk selalu minum air supaya terhindar dari dehidrasi.
d. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur
atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin
atau klindomisin.
e. Pengangkatan tonsil (tonsilektomi).
Indikasi tonsilektomi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif.
a. Indikasi absolut:1
1) Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronik.
2) Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3) Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan
berat badan penyerta.
4) Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5) Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya.
b. Indikasi relatif:1

10
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi yang paling
sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A.
Sekarang ini, di samping indikasi-indikasi absolut. Indikasi tonsilektomi yang paling
dapat diterima adalah:3
1) Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan
penatalaksanaan medis yang adekuat).
2) Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik.
3) Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
4) Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononukleosis.
5) Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk.
6) Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis.
7) Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
8) Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati
servikial persisten.
Metode tonsilektomi ada lima, yaitu :
a. Dissection method
b. Guillotine method
c. Elektrokauter
d. Cryosurgery
e. Laser

11
Gambar 2.7 Tonsilektomi.1
Manajemen setelah operasi perlu diperhatikan. Pasien harus ada di daerah
pemulihan yang berdekatan dengan ruang operasi sampai sepenuhnya sadar. Sangat
penting untuk memastikan bahwa semua perdarahan telah berhenti. Perhatikan denyut
nadi dan tekanan darah, harus sering diperiksa. Beberapa jam setelah operasi, sebagian
besar pasien dapat minum cairan asalkan tidak berlebihan. Demam biasanya ada
dikarenakan infeksi lokal, biasanya infeksi saluran kecing atau otitis media. Biasanya
setelah tonsilektomi, akan muncul
cairan eksudat berwarna kuning. Cairan ini normal dan akan hilang dengan sendirinya.
Setelah tonsilektomi, sebisa mungkin pasien harus diinstruksikan untuk makan secara
normal. Makan makanan yang normal biasanya menghasilkan pengurangan rasa sakit
setelah itu.3,6

Kontraindikasi tonsilektomi adalah:4


a. Umur: Tonsilektomi adalah kontraindikasi untuk usia dibawah 5 tahun, karena
fungsi imunitas tonsil penting pada umur ini. Pada pasien umur sangat muda,
tonsilektomi juga susah dilakukan karena keterbatasan ruang untuk anestesi, dan
kehilangan darah yang sulit untuk dihadapi.
b. Diabetes Mellitus.
c. Hipertensi.
d. Kelainan darah.
e. Polio : Tonsilektomi membawa risiko dari bulbar poliomyelitis.
f. Rinitis alergi dan asma.

12
9. Komplikasi
Komplikasi tonsilitis antara lain:2,8,9,10
a. Komplikasi dari tonsilitis akut dapat menyebabkan abses peritonsiler. Terjadi di atas
tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari
setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group A.
b. Pada anak juga sering menimbulkan komplikasi otitis media akut. Infeksi dapat
menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga. Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam
sel-sel mastoid.
c. Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur
mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).

C. Tonsilitis Kronis
1. Definisi dan Etiologi
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari semua penyakit
tenggorokan yang berulang. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik adalah
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisk dan pengobatan tonslitis akut yang tidak adekuat.
Radang pada tonsil dapat disebabkan kuman Grup A Streptococcus beta hemolitikus,
Pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus piogenes. Gambaran klinis
bervariasi dan diagnosa sebagian besar tergantung pada infeksi.2,7,8,10

2. Patogenesis
Pada umumnya tonsilitis kronis memiliki dua gambaran, yaitu terjadi pembesaran
tonsil dan pembentukan jaringan parut. Terlihat gambaran pembesaran kripta pada
beberapa kasus tonsilitis kronis. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil dalam
waktu lama akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya sel limfosit dan basofil
sehingga timbul detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis, detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai
bercak kuning. Bercak detritus ini, dapat melebar sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran) yang menutupi tonsil. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.
13
Dari hasil biakan tonsil, pada tonsilitis kronis didapatkan bakteri dengan virulensi rendah
dan jarang ditemukan Streptococcus beta hemolitikus. 2,7,8,10

3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok, rasa mengganjal
pada tenggorokan, tenggorokan terasa kering, nyeri pada waktu menelan, bau mulut ,
demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendisendi, tidak nafsu
makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini dikarenakan nyeri alih
(referred pain) melalui n. Glossopharingeus (n.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh
membran semu. Kelenjar submandibula membengak dan nyeri tekan.2,7,8,10

4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis:
a) Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis
yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan
dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora
bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.13

b) Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan-sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa tonsilitis kronis.13

5. Terapi

14
Antibotika spektrum luas, antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. Pada keadaan dimana tonsilitis sangat sering timbul dan pasien merasa
sangat terganggu, maka terapi pilihan adalah pengangkatan tonsil (tonsilektomi). 2,7,8,10

6. Komplikasi
Radang kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
Rhinitis kronis, Sinusitis atau Otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis, miositis,
nefritis, uveitis, irdosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis. 4,7,8,10

D. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)


1. Definisi
Gangguan keseimbangan perifer berupa vertigo yang mendadak muncul setelah
perubahan posisi kepala. Rekurensi BPPV tinggi namun dapat pula sembuh dengan
sendirinya.14

2. Etiologi
Sekitar 50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Beberapa kasus
BPPV dijumpai setelah mengalami jejas atau trauma kepala atau leher, infeksi telinga
tengah atau operasi stapedektomi dan proses degenerasi pada telinga dalam juga
merupakan penyebab BPPV sehingga insiden BPPV meningkat dengan bertambahnya

usia. 1,14

3. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat
perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi
lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk.
Vertigo bisa diikuti dengan mual.14

b. Pemeriksaan fisik
15
Pasien memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan
pada evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisis standar untuk BPPV adalah Dix-
Hallpike dan maneuver side lying untuk kss posterior dan anterior. Dan untuk kss
horizontal dengan menggunakan manuver supine roll test. Selama Dix-Hallpike’s
maneuver, diyakini bahwa debris otolitik yang bebas mengambang (canalolithiasis)
dalam kanal posterior bergerak menjauh dari cupula dan menstimulasi kanal posterior
dengan menginduksi ampullofugal aliran endolymph (hukum pertama Ewald). Eksitasi
dari kanal posterior mengaktifkan otot superior oblik ipsilateral dan otot rectus
inferior, yang menghasilkan deviasi mata ke atas dengan torsi ke arah telinga atas.
Akibatnya, nistagmus yang dihasilkan akan ke atas dan torsional, dengan kutub
teratas mata ke arah telinga bawah. Nistagmus biasanya dimulai dengan latensi singkat
beberapa detik, sembuh dalam waktu 1 menit (biasanya kurang dari 30 detik) dan
arahnya berlawanan dari posisi duduk. Nistagmus berkurang (misalnya mata lelah)
dengan pemeriksaan ulang. Cupulolithiasis dapat ada dalam kanal posterior.
Dibandingkan dengan canalolithiais, cupulolithiasis tipe kanal posterior- BPPV
cenderung memiliki latensi lebih pendek dan waktu konstan yang lebih lama (yaitu
lebih persisten).14
BPPV jarang melibatkan kanal semisirkular anterior, dan kanalis anterior-BPPV
menunjukkan beberapa karakteristik yang berlawanan dengan kanalis posterior-
BPPV. Pada kanalis anterior-BPPV, seperti Dix- Hallpike’s maneuver keduanya dapat
menimbulkan nistagmus ke arah bawah dengan komponen ipsitorsional (ke arah telinga
yang terkena).14
Dix-Hallpike’s maneuver telah dianggap sebagai gold standard untuk diagnosis
kanal posterior-BPPV. Namun, manuver ini harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien
dengan riwayat operasi leher, sindrom radikulopati cervical dan diseksi pembuluh darah,
karena memerlukan posisi rotasi dan ekstensi leher. “The side-lying test” dapat
digunakan sebagai alternative ketika Dix-Hallpike’s maneuver tidak dapat
dilaksanakan; setelah pasien duduk di meja pemerikaan, pasien segera berbaring dengan
kepala berpaling 45˚ ke arah yang berlawanan.14

16
Interpretasi Tes Dix Hallpike14
a. Normal : tidak timbul vertigo dan nistagmus dengan mata terbuka. Kadang-kadang
dengan mata tertutup bisa terekam dengan elektronistagmografi adanya beberapa detak
nistagmus.
b. Abnormal : timbulnya nistagmus posisional yang pada BPPV mempunyai 4 ciri,
yaitu: ada masa laten, lamanya kurang dari 30 detk, disertai vertigo yang lamanya sama
dengan nistagmus, dan adanya fatigue, yaitu nistagmus dan vertigo yang makin
berkurang setiap kali manuver diulang.
Pemeriksaan dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan mencatat arah fase
cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap lurus kedepan :
1. Fase cepat ke atas, berputar kekanan menunjukan BPPV pada kanalis posterior kanan
2. Fase cepat ke atas, berputar kekiri menunjukan BPPV pada kanalis posterior kiri
3. Fase cepat ke bawah, berputar kekanan menunjukan BPPV pada kanalis anterior
kanan
4. Fase cepat ke bawah, berputar kekiri menunjukan BPPV pada kanalis anterior kanan

17
BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Nn. Jesika Mahakena
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Bentas
Tempat Pemeriksaan : IGD RSUD Haulussy Ambon
Tanggal Pemeriksaan : 16 september 2019

II. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri menelan berulang
Anamnesis Terpimpin:
Keluhan sudah dialami sejak 1 hari yang lalu, sebelumnya pasien pernah
mengalami keluhan yang sama namun pasien lupa waktunya. Keluhan disertai
demam. Pasien mengakui bahwa keluhan dirasakan setelah pasien mengkonsumsi
minuman dingin, dan makanan pedas. Pasien mengeluhkan tenggorokan berlendir,
batuk disangkal, pilek disangkal, dan nyeri kepala berputar sejak satu hari yang
lalu jika pasien menggerakan kepala dan badannya, memberat saat menutup mata,
terdapat nausea, dan vomitus disangkal. Ayah pasien mengakui bahwa anaknya
mendengkur saat tidur.
Riwayat Penyakit Dahulu : alergi makanan, asma disangkal, riwayat trauma pada
kepala
Riwayat Kebiasaan: makanan pedas, minuman dingin
Riwayat Pengobatan : Ibuprofen, Vit. B com
Riwayat Keluarga : Tidak ada

18
III. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Telinga
Inspeksi / Palpasi Kanan Kiri
Otoskopi Normal Normal
Daun Telinga Normal, nyeri tekan Normal, nyeri tekan
(-), nyeri tarik (-) (-), nyeri tarik (-)

Liang Telinga Lapang, terdapat Lapang, , sekret(-)


massa berwarna
coklat, sekret(-)

Membrana Timpani Intak, refleks cahaya Intak, refleks cahaya


(+), hiperemis (-) (+), hiperemis (-)

Pemeriksaan Tes
Pendengaran (Penala)
Rinne : Positif (+) Positif (+)
Weber : Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan : normal Normal

19
2. Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal
Kanan Kiri
Inspeksi/Palpasi Eritema (-), edema (-), Eritema (-),oedema (-),
nyeri tekan pada sinus nyeri tekan pada sinus
maksila dan sinus maksila dan sinus
frontalis (-) frontalis (-)

Rhinoskopi Anterior
Cavum Lapang, sekret (-) Lapang, sekret (-)
Concha Hiperemis (-), edema Hiperemis (-), edema
(-), hipertrofi (-), pucat (-), hipertrofi (-), pucat
Septum Tidak ada deviasi Tidak ada deviasi

Rhinoskopi Posterior Tidak dilakukan


pemeriksaan

3. Mulut : Tidak ada caries gigi


Tenggorokan :

20
Inspeksi

Gambar 3.1. Pemeriksaan Mulut Tenggorokan

Tonsil : T3/T3, hiperemis (+), hipertrofi (+) , kripta (+), detritus


(+)
Orofaring : hiperemis (+), edema (-), granuler (-),
Post Nasal Drip (PND) (-)
Uvula : deviasi (-), hiperemis (-), edema (-)

Laringoskopi Indirek: tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Leher
KGB : Tidak ada pembesaran KGB dan nyeri tekan
Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
Nodul/Tumor : Tidak ada
4. Pemeriksaan romberg dan dix-hallpike
Tidak bisa dilakukan, pemeriksaan akan dilakukan di poli THT
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Darah rutin :
a) Jumlah leukosit : 17.8 103/mm3
b) Monosit : 11.3%
c) Eosinofil : 7.6%
d) Basofil : 1.6%

21
Gambar 3.2. Darah rutin

Darah kimia :
a) Glukosa sewaktu : 94 mg/dL
b) Ureum : 16 mg/dL
c) Kreatinin : 0.8 mg/dL

22
Gambar 3.3. Darah kimia

Rontgen : Tidak diperlukan


PA : Tidak diperlukan

V. Resume
Seorang wanita berusia 23 tahun dating ke IGD RSUD Haulussy dengan keluhan
disfagia satu hari yang lalu, sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan yang
sama namun pasien lupa waktunya. keluhan disertai demam. Pasien juga
mengakui bahwa keluhan dirasakan setelah pasien mengkonsumsi minuman
dingin, makanan pedas. Pasien mengeluhkan tenggorokan berlendir, batuk
disangkal, pilek disangkal, dan cephalgia berputar sejak satu hari yang lalu jika
pasien menggerakan kepala dan badannya, memberat saat menutup mata, terdapat

23
nausea, dan vomitus disangkal. Ayah pasien mengakui bahwa anaknya mengalami
sleep apnea.

VI. Diagnosis
Tonsilitis kronik eksaserbasi akut susp. BPPV

VII. Diagnosis Banding


- Tonsilitis Difteri
- Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulsermembranosa)

VIII. Terapi:
1. Tindakan:
2. Non-Medikamentosa: Diet cair per oral
3. Medikamentosa:
Intravenous
a. Antibiotik : Ceftriaxone 2x2gr vial/iv
Metrodinazole 3x500mg drip/iv
b. Inflamasi : Dexamethasone 3x5mg/iv
c. Penunjang : IVFD RL + drip neurobion 1 amp 20tpm
d. Simptomatik : ketorolac 3x30mg/iv
e. Roboransia :-
Topikal :
IX. Anjuran
- Hindari faktor pemicu : makanan pedas, minuman dingin
- Menyarankan kepada pasien untuk dilakukan tindakan tonsilektomi

24
X. FOLLOW UP

Tanggal S O A P

17-09-2019 - Nyeri menelan TTV: 1. Tonsillitis kronik 1. Diet lunak


berkurang TD : 110/80 mmHg eksaserbasi akut 2. IVFD RL + neurobion 1 amp
(08.19) - Tidak ada nyeri S : 35,50 C 20tpm
2. Susp. BPPV
Hari II
berputar N : 66 x/mnt regular 3. Ceftriaxone 2x2gr vial/iv
P : 20 x/menit 4. Metrodinazole 3x500mg
SPO2 : 98% drip/iv
Pemeriksaan fisik: 5. Ketorolac 3x30mg amp/iv
Tenggorokan : T3/T3, 6. Dexametason 3x5mg/iv
hiperemis (+/+), kripta
melebar( +/+), detritus (+/
+).
18-09-2109 - Tidak ada nyeri TTV: 1. Tonsillitis kronik 1. Diet lunak
menelan TD : 110/80 mmHg eksaserbasi akut 2. IVFD RL + neurobion 1
(07.57) Tidak ada nyeri S : 36,70 C amp 20tpm
2. Susp. BPPV
Hari III
berputar N : 84 x/mnt regular 3. Ceftriaxone 2x2gr vial/iv
P : 18 x/menit 4. Metrodinazole 3x500mg
SPO2 : 99% drip/iv
Pemeriksaan fisik : 5. Ketorolac 3x30mg amp/iv
Tenggorokan:T3/T3, 6. Dexametason 3x5mg/iv
hiperemis (-/-), kripta 7. Cek Hb, Hct, leukosit,
melebar (+/+), detritus (-/-) trombosit

19-09-2109 - Tidak ada nyeri TTV: Tonsillitis kronik 1. Cefexime 2x200gr tab
menelan TD : 110/80 mmHg eksaserbasi akut 2. Metrodinazole 3x500mg
(07.55) - Tidak ada nyeri S : 36,70 C tab
Susp. BPPV 3. Metilprednisolone 2x18mg
berputar N : 84 x/mnt regular
Hari IV tab
P : 18 x/menit 4. Pasien boleh pulang
SPO2 : 99%
Pemeriksaan fisik :
Tenggorokan:T3/T3,
hiperemis (-/-), kripta
melebar (+/+), detritus (-/-)

Hasil laboratorium darah


rutin :
Hb : 14.2 g/dL
Hct : 40.3 %
Trombosit : 269 103/mm3
Leukosit : 13.7 10m3/mm3

25
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis Tonsilitis kronik eksaserbas akut ditegakkan berdasarkan dari
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesa didapatkan seorang perempuan berusia 19 tahun datang


dengan keluhan sudah dialami sejak satu hari yang lalu, sebelumnya pasien
pernah mengalami keluhan yang sama namun pasien lupa waktunya. keluhan
disertai demam. Pasien juga mengakui bahwa keluhan dirasakan setelah pasien
mengkonsumsi minuman dingin, makanan pedas. Pasien mengeluhkan
tenggorokan berlendir. Ayah pasien mengakui bahwa anaknya mengalami sleep
apnea. Menurut kepustakaan, tonsillitis kronik timbul akibat proses radang yang
berulang akibat rangsangan yang menahun dari beberapa jenis makanan. Faktor
predisposisi lainnya ialah perempuan lebih banyak mengalami tonsillitis kronis
serta paling banyak terdapat pada kelompok usia 11-20 tahun serta nyeri menelan
dan mengalami obstructive sleep apnea.4,15
Pada pemeriksaan telinga dan hidung tidak ditemukan tanda-tanda patologis.
Ini berarti tonsillitis kronis yang terjadi belum menimbulkan komplikasi pada
kedua organ tersebut. Menurut kepustakaan, komplikasi yang dapat timbul dari
tonsillitis ialah otitis media akut, dan sinusitis.14
Saat dilakukan pemeriksaan pada daerah tenggorok, terlihat tonsil hipertrofi
T3 (dextra) dan T3 (sinistra) dengan tampilan hiperemis serta terlihat kripta
melebar dan detritus. Menurut kepustakaan, gambaran klinis dari tonsillitis kronik
ialah tonsil hiperemis dan hipertrofi, kripti yang melebar berisi detritus.4,14
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan dilakukan rawat inap dan diberikan
pengobatan berupa IVFD RL dan diet lunak, antibiotik berupa ceftriaxone 2 x 2 gr
iv,dan metrodinazole 3 x 500 mg iv, dexamethasone 3 x 5mg iv dan ketorolac 3
x30 mg iv. Menurut kepustakaan, pemberian tatalaksana tersebut bertujuan untuk
menjaga hidrasi dan asupan kalori yang adekuat, pemberian antibiotik untuk efek

26
etiologi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, dan analgesik untuk
meredakan nyeri tenggorokannya.4,14

27
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA.. BOIES buku ajar penyakit THT. Ed.
6.jakarta: EGC; 1997. Hal. 320-322, 330, 339-340, 342.
2. Soepardi Arsyad, et al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Ed. 7. Jakarta: FKUI; 2007. Hal. 221-223.
3. Netter FH, et al. Atlas of human anatomy. Ed. 5. Stuttgart: Netters; 207.
Hal.57
4. Snell RS, et al. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Jakarta: ECG;
2005. Hal. 796, 798.
5. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. A short textbook of ENT for students
and practitioners. Ed. 7. Mumbai: Usha; 2007. Hal. 226, 243244, 249-250,
252.
6. Snow JB. Ballenger’s manual of otorhinolaryngology head and neck surgery.
London: Decker; 2002. Hal. 369-370.
7. Borgstein J. The basic ear nose throat. London: 2002. Hal. 149-153.
8. Bull PD. Lectures note on disease of the ear, nose, and throat. Ed. 9.
Sheffielg: Blackwell Science; 2002. Hal. 111-113, 116-117.
9. Probst R, Grevers G, Iro H. 2006. Basic otorhinolaringology. Stuttgart:
Thieme; 2006. Hal. 113-115.
10. Graham JM, Scadding GK, Bull PD. Pediatric ENT. New York: Springer;
2007. Hal. .131-136.
11. Chan J, Edman JC, Koltai PJ. Obstructive sleep apnea in children. [Cited on
26.Juli.2018;.updated.13.Feb.2014]..Available.from:http://www.aafp.org/afp/2
004/0301/p1147.html.
12. Shenoy PK. “Acute tonsillitis”-if left untreated could cause severe fatal
complications. Journal of Current Clinical Care, 2012: 2 (4); 1-8.
13. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed
With Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine,
Vol. 5, No. 2. 2008.[cited, 2019 september 21]. Available from: URL:
http://www. Bioline International .com

28
14. Arif M. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan
Media Aesclapius FKUI.
15. Shalihat AO, Novialdi, Irawati L. Hubungan Umur, jenis kelamin dan
perlakuan penatalaksanaan dengan ukuran tonsil pada penderita tonsillitis
kronis di bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padaang tahun 2013. Jurnal
Kesehatan Andalas, 4 (3). 2015. [cited, 2019 september 21]. Available from:
URL: jurnal.fk.unand.ac.id

29

Anda mungkin juga menyukai